Judul: Analisis, Prinsip, Tujuan dan Tahapan-Tahapan dalam Perumusan Kurikulum untuk Satuan Pendidikan
Penulis: Ja'far Shodiq
MODEL-MODEL MANAJEMEN DALAM PENDIDIKAN
(Sebuah Kajian tentang Manajemen Klasik, Manajemen Hubungan antar Manusia, Manajemen Sistem Organisasi dan Manajemen Birokrasi)
Latar Belakang
Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata bahwa "suatu kebenaran yang tak terorganisir dengan rapi akan mudah dikalahkan oleh kejahatan yang tertata dengan baik". Dari ungkapan tersebut; terlepas dari kontroversi benar-tidanya sumber kalimat itu, tentunya dapat kita pahami bahwa dalam menjalankan sesuatu butuh sebuah sistem manajerial (tata kelola) yang baik. Tanpa itu, mustahil apa yang hendak kita capai melalui tindakan tersebut dapat kita raih dengan sempurna.
Ungkapan tersebut diatas, setidaknya juga menguatkan bahwa manusia dalam setiap menyelesaikan urusan dan memenuhi kebutuhannya senantiasa butuh bekerjasama dengan orang lain, ia hanya memiliki daya dan kemampuan yang terbatas. Karena itu, untuk menjalin "kerjasama" tersebut manusia membutuhkan satu wadah yang dikemudian hari disebut organisasi. Nah, dalam kegiatan berorganisasi inilah kajian tentang "manajemen" mulai mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan.
Lembaga pendidikan, sebagai sebuah organisasi yang bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa perlu mendapatkan perhatian yang dominan dari aspek manajemennya. Sebab, sukses tidaknya program pendidikan tersebut sangat dipengaruhi sistem manajemen yang berlansung dalam lembaga pendidikan tersebut. Hal ini setidaknya dapat kita amati pada beberapa lembaga pendidikan yang awalnya tampak biasa saja, namun dalam waktu singkat mampu menunjjukkan keunggulannya. Atau sebalinya, sebuah lembaga pendidian yang memiliki track record bagus tiba-tiba mengalami kegagalan dan amburk total. Semua hal itu; meski tidak mengenyampingkan faktor lain, disebabkan oleh amburadulnya sistem manajemen di dalamnya.
Karena itu, tak dapat kita pungkiri bahwa aspek manajemen memiliki pengaruh signifikan dalam perjalanan sebuah kelembagaan. Hal ini disebabkan, manajemen berhubungan dengan aspek kelihaaian dalam merencanakan kegiatan, melaksanakannya dengan menata sebaik mungkin, mengawasi jalannya kegiatan secara menyeluruh sehingga kegaitan yang telah direncakan tersebut dapat berlansung sesuai dengan baik, dan mengevaluasi hasil pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan sehingga nanti didapatkan sebuah temuan untuk dijadikan landasan dalam menentukan rencana kegiatan berikutnya.
Dengan demikian, perbaikan kualitas pendidikan dapat dimulai dengan memperbaiki sistem manajemen yang diterapkan dalam lembaga tersebut. Artinya, semakin lembaga pendidikan tersebut mampu mengoptimalkan segala potensi, baik yang bersifat sumber daya manusia, material dan sarana prasana yang tersedia dengan efektif dan efisien, maka akan semakin cepat pula perbaikan kualitas pendidikan tersebut tercapai. Dan semua tahapan tersebut akan terlaksana dengan baik, apabila sistem manajemen dan tata kelola lembaga tersebut sudah terbenahi dengan sempurna.
Atas dasar itulah, kajian tentang manajemen mulai mendapatkan banyak perhatian dari berabgai kalangan sehingga melahirkan beragam model manajemen yang berkaitan dengan lembaga pendidikan. Meskipun pada awalnya, teori tentang manajemen ini hanya dipraktek pada perusahan dan pabrik semata, namun setelah para praktisi pendidikan mulai menyadari bahwa pengelolaan lembaga pendidikan tidak jauh berbeda dengan pengelolaan perusahaan, maka ilmu dan teori tentang manajemen ini pun mulai diadopsi dan diterapkan dalam sektor pendidikan.
Sejak saat itu, perbincangan mengenai manajemen pendidikan mulai banyak didiskusikan. Bila pada awalnya, pendidikan hanya dikelola secara sederhana, dan dibiarkan berjalan apa adanya, tanpa ada target, tujuan dan pengawaan bahkan evaluasi maka sejak diadopsinya manajemen dalam tata kelola lembga pendidikan, secara perlahan mulai didakan pembenahan guna meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa model manajemen yang telah dipraktekkan dalam lembaga pendidikan, antara lain: Manajemen Klasik (Ilmiah), Manajemen Sistem Organisasi, Manajemen Hubungan antar Manusia dan Manajemen Sistem Birokrasi.
Dari keempat jenis model tersebut, penulis berupaya memberikan gambaran yang detail mulai dari pengertian, sejarah munculnya keemmpat teori dan model manajemen tersebut berikut tokoh yang mencetuskannya dan juga beberapa karakteristik dan unsur pembeda dari keempat model manajemen tersebut.
Secara umum, kajian dalam makalah ini hanya bersifat pengenalan saja. Karena itu apa yang terurai dalam makalah ini masih butuh kajian lebih serisu dan mendalam sehingga nantinya ditemukan gambaran utuh dan detail menai pengertian, tokoh dan karakteristik dari keempat model manajemen tersebut.
Sejarah Manajemen
Fase prasejarah
Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa pada fase ini manajemen sudah berkembang dengan baik. Secara tidak sadar, masyarakat purba telah menjalankan sebagai prinsip manajemen yang dikenal sekarang, meskipun masih dalam batas-batas yang sangat sederhana.
Ditinjau dari segi waktu dan tempatnya, fase ini dibagi menjadi beberapa perkembangan.
Peradaban Mesopotamia.
Pada zaman Mesopotamia, prinsip-prinsip manajemen telah diterapkan, terutama di bidang pemerintahan, perdangagan, komunikasi pengakutan (sungai ), dan "uang" logam sebagai alat tukar perdagangan. Pada zaman ini, logam tersebut juga dipakai sebagai alat ukur dan alat hitung.
Peradapan yang berkembang di Mesopotamia tidak banyak memberikan informasi yang berarti karena para peneliti tidak memperoleh data-data antropologis mengenai sejarah manajemen di Mesopotamia.
Peradapan babilonia.
Pada zaman peradapan babilonia ini, perkembangan manajemen boleh dikatakan sama dengan peradapan Mesopotamia. Manajemen pemerintahan, perdangan, dan perhubungan telah berkembang dengan baik pada zaman it. Dalam code of hamurrabi (undang-undang hamurrabi ) dikembangkan managerial guidelines were set forth, yaitu petunjuk dan garis-garis yang mengarahkan manajemen serta pentingnya effective leader style (mengembangkan gaya kepemimpinan yang efektif, dalam mandirikan manara babel setinggi 650 kaki ( +_198,12 m ) (dengan stuktur-stuktur bangunan yang indah, juga mengerjakan sistem produksi.
Mesir kuno
Peninggalan yang cukup banyak, para peneliti memastikan bahwa manajemen pada masa mesir kuno mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para sarjana pada zaman mesir kuno telah berkembang manajemen pemerintahan, militer, perpajakan, perhubungan, dan pertanian ( termasuk irigasi ).di samping itu, ditemukan bukti bahwa orang mesir telah memperaktektan sistem desentralisasi dan penggunaan staf penasihat pada 2000 tahun sebelum masehi. Pembuatan pyramid itu telah "memaksa" kita menerima bahwa dalam pembangunannya pasti ada perencanaan, organisasi, kepemimpinan, dan sistem pengawasan formal. Pekerjaan seperti itu menunjukkan adanya pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang efektif dan efesien.
Tiongkok kuno
Kira-kira tahun 1100 sebelum masehi, bangsa tiongkok telah menyadari perlunya perencanaan, pengorganisasian, kepemimpina, dan pengawasan. Akan tetapi, yang paling menonjol ialah bahwa masyarakat dan pemerintahan tiongkok kuno telah berasil menciptakan sistem manajemen kepegawaian yang sangat baik. Demikianlah baiknya karya tersebut sehingga banyak prinsip administrasi kepegawain moderen dipinjam dari prinsip-prinsip administrasi kepegawain yang telah ada pada masa tiongkok kuno, yang dikenal dengan istilah merit sistem dan sekaligus merupakan perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang melakukan penilaian terhadap para karyawan berdasarkan karya masing-masing.
Romawi kuno
Perkembangan manajeman pada zaman romawi kuno dapat diketahui dengan mempelajari seorng filsuf terkenal, Cicero. Dalam bukunya De officii (the office) dan De Legibus (the law) dijelaskan tentang pemerintahan romawi yang berhasil memerintah daerah yang sangat luas dengan pembagian tugas-tugas pemerintah dalam departemen yang disebut magistratesi yang dipimpin oleh seorang magistrator. Pada zaman ini, telah dikembangkan administrasi militer, pajak dan perhubungan, lebih dari zaman-zaman sebelumnya.
Yunani kuno
Bangsa yunani adalah bangsanya para filsuf, yang telah banyak membangun paradigm berfikir tentang kepemimpinan dan demokrasi. Pada msasa yunani kuno, pemilihan pemimpin dilakukan secara langsung karena jumlah penduduknya masih sedikit.
Fase Sejarah (1 M-1886 M )
Perkembangan manajemen pada fase ini dimulai setelah diketahui bahwa gereja Katolik Roma memengaruhi perkembangan teori administrasi. Dengan kata lain, gereja Katolik Roma telah memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan manajemen.
Fase Modern (1886 M- sekarang )
Fase ini ditandai dengan lahirnya gerakan manajemen ilmiah yang di pelopori F.W. Taylor dan Fayol, pelopor sistematika manajemen. Baik Taylor maupun Fayol, kedua-duanya merupakan para pelaksana suatu organisasi. Hanya, Taylor menyoroti pelaksana dan pimpinan tingkat atas dari suatu organisasi.
Tahap survival (1886-1930 )
Tahap ini dimulai sejak lahirnya manajemen ilmiah yang dikemukakan oleh Taylor (dan Fayol ). Pada tahap ini ditegaskan bahwa ilmu administrasi lahir pada waktu yang relative cukup panjang. Pada tahap ini pula banyak lahir ahli administrasi dan manajemen sehingga administrasi dan manjemen dinyatakan sebagai ilmu.
Tahap konsulidasi dan penyempurnaan (1930-1945 )
Tahap ini disebut tahap konsulidasi dan penyempurnaan karena dalam jangka waktu inilah prinsip, rumus, dalil-dalil ilmu manajemen lebih disempurnakan sehingga kebenarannya tidak dapat lagi dibantah. Dalam jangka waktu ini pula, gelar-gelar kesarjanaan dalam ilmu administrasi Negara dan niaga mulai banyak diberikan oleh lembanga-lembaga pendidikan tinggi.
Tahap Human Relation (1945-1959 )
Tahap ini disebut tahap human relation karena setelah terciptanya prinsip, rumus, dan dalil-dalil yang telah teruji kebenarannya, perhatian para ahli dan sarjana mulai beralih pada faktor manusia serta hubungan formal dan informal yang perlu diciptakan, dibina, dan dikembangkan oleh dan antarmanusia pada semua tingkatan organisasi demi terlaksananya kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan dalam susunan yang intim dan harmonis.
Tahap Behaviourisme (1959 – sekarang )
Semangkin pentingnya peranan manusia dalam mencapai usaha yang telah ditentukan, para ahli dan sarjana semakin memusatkan penyelidikannya terhadap masalah manusia dan pekerjaannya. Penyelidikan ini ditujukan pada tindakan-tindakan manusia dalam berorganisasi dan alasan-alasan manusia melakukan kegiatan. Jika tindakan merungikan organisasi, dicari jalan keluarnya agar tidak merugikan lagi. Jikan tindakan tersebut bisa lebih ditingkatkan demi tercapainya tujuan organisasi yang lebih efisien, ekonomis, dan efektif.
Manajemen Klasik (Manajemen Ilmiah)
Taylor ialah orang pertama yang mengembangkan manajemen ilmiah. Ia seorang ahli teknik mesin yang memulai pekerjaannya di pabrik baja Midvale Steel Company Philadelphia (USA) sebagai pekerja biasa selama enam tahun. Setelah enam tahun bekerja diangkat menjadi Chief Enggineer. Pada tahun 1886, ia meneliti usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas kerja berdasarkan waktu dan gerak (time end motion study). Ia berpendapat bahwa efesiensi perusahaan rendah karna banyak waktu dan gerak-gerak buruh yang tidak produktif. Hasil penelitiannya disajikan di depan kogres sarjana teknik amerika, kemudian ditulis dalam bukunya yang berjudul, The Principles of scientific Management. Begitu pentingnya buku tersebut bagi para buru dan manajer maka pada tahun 1911 diterbitkan oleh sebuah penerbit. Semenjak itu, taylor terkenal sebagai Bapak Manajemen Ilmiah (the father of scientific managemen).
Manajemen klasik/ilmiah sering diartikan berbeda, arti pertama, manajemen ilmiah ialah penerapan metode ilmiah dalam studi, analisis, dan pemecahan masalah-masalah organisasi, arti yang kedua, manajemen ilmiah adalah seperangkat mekanisme atau tehnik (a bag of trisk) guna meningkatkan efesiensi dan keefektifan organisasi.
Manajemen ilmiah dimaksudkan sebagai penerapan metode ilmiah pada studi, analisa dan pemecahan masalah organisasi atau seperangkat mekanisme untuk meningkatkan efesiensi kerja. Pendekatan manajemen ilmiah ini dikembangkan oleh Fredrick W. Taylor (1856-1915) berdasarkan konsep perencanaan pekerjaan untuk memperoleh efesiensi, standarisasi, spesialisasi dan simplikasi (penyederhanaan ). Taylor memulai pekerjaannya sebagai buru harian pada suatu pabrik baja, kemudian naik jabatan menjadi supervisior dan pernah mengalami perjuangan manajemen kelas menengah dalam menolak usaha top manajemen untuk meningkatkan produktivitas.
Ada empat prinsip dasar pemikiran taylor tentanng manajemen ilmiah/ klasik ialah sebagai brikut:
Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seorang harus diuraikan menurut bagian- bagiannya, dan cara ilmiah untuk melakukannya setiap bagian dari pekerjaannya yang ditugaskan kepadanya.
Harus ada kerja sama yang baik antara manajer dan pekerja sehingga segala tugas dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana.
Harus ada pembagian kerja antara manajer dan para pekerja.
Manajer harus menjalankan kegiatan supervise, memberikan perintah, dan merancang apa yang harus dikerjakan, sedangkan para pekerja harus bebas mengerjakan pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka.
Tokoh pendahuluan manajemen ilmiah ialah Watt dan Boulton (1800). Mereka memberikan kontribusi pemikirannya bagi manajemen ilmiah berupa penerapan pendekatan ilmiah, mengembangkan penelitian pasar, prakiraan, perencanaan produksi, tata arus kerja, standarisasi komponen produk, dan sistem pengendalian.
Teori manajemen ilmiah memfokuskan kajiannya pada pentingnya keberadaan manajer dan perannya dalam suatu organisasi. Menurut teori ini, penciptaan iklim yang kondusif bergantung pada sumber daya manusia yang menggerakkan organisasi.
Teori organisasi klasik atau teori tradisional menggambarkan organisasi yang tersentralisasi dan tugas-tugasnya pun tersepasialisasi. Dengan kata lain, setiap pekerja memikul tanggung jawab penuh sesuai dengan spesialisasinya dan memngikuti sistem kerja yang professional. Adapun teori pelaku organisasi memfokuskan pengaruh individu kelompok, dan struktur terhadap perilaku dalam organisasi.
Teori klasik berasumsi bahwa para pekerja atau manusia itu sifatnya rasional, berfikir logic, dan kerja merupakan suatu yang diharapkan. Oleh karna itu teori klasik berangkat dari premis bahwa organisasi bekerja dalam proses yang logis dan rasional dengan pendekata ilmiah dan berlangsung menurut stuktur/anatomi organisasi.
Kelemahan-kelemahan teori klasik secara garis besar sebagai berikut:
Teori klasik adalah teori yang terikat waktu. Teori ini cocok diterapkan pada permulaan abad dua puluhan, karna motif pekerja waktu itu terutama memenuhi kebutuhan fisiologis.
Teori klasik mempunyai cirri-ciri deterministic. Teori sangat menekankan pada prinsip-prinsip manajemen dan tidak memperhitungkan berbagai dimensi dalam manajemen seperti motivasi pengambilan keputusan, dan hubungan informal.
Teori ini merumuskan asumsinya secara sksplisit. Malahan banyak asumsi yang lemah dan tidak lengkap secara implicit terdapat dalam teori klasik itu, antara lain: efisien hanya diukur oleh tingkat produktivitas yang hanya menyangkut penggunaan sumber secara ekonomis tanpa memperhitungkan faktor manusiawi.
Tokoh-Tokoh Manajemen Klasik
Ada dua tokoh manajemen yang mengawali munculnya manajemen ilmiah, yaitu Robert Owem dan Charles Babbage.
Robert Owem (1771-1858 )
Pada permulaan abad 1800, Robert Owem, manajer beberapa pabrik kapas di New Lanark Skotlandia, menekankan pentingnya unsure manusia dalam produksi. Menurutnya, perbaikan kondisi karyawan yang akan menaikkan produksi dan keuntungan (laba ), dan investasi yang paling menguntungkan juga katyawan atau vital machines.
Charles Babbage (1792-1871 )
Charles Babbage, seorang professor matematika dari inggris, mencurahkan banyak waktunya untuk membuat operasi pabrik menjadi lebih efisien. Dia percaya bahwa aplikasi prinsip-prinsip ilmiah pada proses kerja akan menaikkan produktivitas dan menurunkan biaya. Babbage adalah penganjur pertaman pembagian kerja melalui spesialisasi. Kontribusinya yang lain, Babbage menciptakan alat penghitung (kalkulator ) mekanis pertama pengembangan program permainan bagi computer menganjurkan kerjasama yang saling menguntungkan antara kepentingan karyawan dan pemilik pabrik, serta merencanakan skema pembagian keuntungan.
Tokoh-tokoh penting dalam aliran manajemen ilmiah antara lain Robert Owem (1771-1858 ), Charles Babbage (1792-1871 ), Frederich W. Taylor (1856-1915 ), Henry L. Gantt (1861-1919 ), Frank dan Lilian Gilbert (1868-1924 dan 1878-1972 ).
Beberapa sumbangan dari aliran ini adalah sebagai brikut:
Metode ilmiah yang dikembangkan
Penerapan prinsip-prinsip ilmiah adalah proses kerja (teknik-teknik efisien ) untuk meningkatkan produktivitas dan menekan biaya lebih rendah;
Seleksi karyawan secara ilmiah;
Peningkatan kondisi karyawan (pengembangan, pendidikan, dan kesejahteraan ) untuk meningkatkan hasil produksi dan laba;
Penggunaan sistem bagan yang memuat jadwal kegiatan produksi karyawan, dapat diterapkan pada berbagai kgiatan organisasi.
Manajemen ilmiah yang mementingkan rancangan kerja mendorong para manajer untuk mencari cara terbaik dalam pelaksanaan tugas.
Manajemen ilmiah mengembangkan pendekatan rasional dalam pemecahan masalah.
Beberapa pembatas dari aliran ini adalah:
Peningkatan produksi sering tidak disertai dengan peningkatan pendapatan:
Upah yang tinggi dan kondisi kerja yang baik, bukan hanya disebabkan oleh peningkatan laba perusahaan;
Hubungan manjemen dengan karyawan tetap jauh;
Manajemen ilmiah memandang manusia sebagai satuan yang rasional yang hanya dapat dimotivasi dengan pemuasan kebutuhan ekonomi dan fisik, sehingga aliran ini mengabaikan kebutuhan sosial non bendawi serta kebutuhan mendapatkan kepuasan dari hasil kerjanya;
Aliran Organisasi klasik
Henry Fayol (1841-1925 ) adalah tokoh penting dalam aliran ini ia memberi perhatian utama pada kegiatan manajerial. Kemampuan menjadi nilai sebagai aspek penting yang paling dibutuhkan dalam operasi perusahaan. Fayol membagi manajemen menjadi lima fungsi;
Perencanaan (planning )
Pengorganisasian (organizing)
Pemberian perintah (commanding)
Pengoordinasian (coordinating)
Pengawasan (controlling)
Dalam perkembangannya, fungsi ke-3 dan ke-4 difungsikan menjadi fungsi pengarahan (actuating ) sehingga dikenal menjadi 4 fungsi standar: planning,organizing,actuating,controlling (POAC ), sebagaimana yang digagas oleh George R. Terry (1977 ).
Beberapa sumbangan dari aliran ini adalah;
Konsep keterampilan manajerial dapat diterapkan dalam berbagai tipe kegiatan organisasi;
Memberikan hal-hal praktis dibandingkan aliran lain sehingga banyak diterima oleh para manajer;
Memberikan kesadaran bagi para manajer akan hal-hal mendasar yang mungkin akan dihadapi dalam setiap organisasi;
Beberapa keterbatasan aliran ini;
Dinilai hanya tepat apabila organisasi berada dalam lingkungan yang stabil dan dapat meramalkan secara tepat perubahan lingkungan diluar organisasi;
Dipandang terlalu umum untuk mengatasi permasalahan organisasi masa kini.
Manajemen Neo-Klasik (Hubungan Antar Manusia)
Sejarah Teori Neo Klasik
Teori ini timbul sebagian karena pada para manajer terdapat berbagai kelemahan dengan pendekatan klasik. Pada kenyataannya manajer ada kesulitan dan menjadi frustasi karena orang tidak selalu mengikuti pola tingkah laku yang rasional. Disini perlu upaya untuk membantu para manajer dalam menghadapi manusia, agar organisasi lebih efektif. Beberapa ahli berusaha memperkuat teori klasik dengan wawasan sosiologis dan psikologis. Dengan adanya peralihan yang lebih berorientasi pada manusia dikenal dengan pendekatan perilaku sebagai ciri utama teori Neo-Klasik.
Teori ini berasumsi bahwa manusia itu makhluk sosial dengan mengaktualisasikan dirinya. Beberapa pelopor aliran neo-klasik ini antara lain: Elton Mayo dengan studi hubungan antar-manusia, atau tingkah laku manusia dalam situasi kerja terkenal dengan studi Hawthorne. Berdasarkan hasil studi ini ternyata kelompok kerja informal lingkungan sosial pekerja mempunyai pengaruh yang besar terhadap produktivitas.
Pengikut aliran ini Chester I. Barnard (1976) yang menyatakan bahwa hakikat organisasi adalah kerjasama, yaitu kesediaan orang saling berkomunikasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama. Individu harus bekerja sesuai dengan kehendak organisasi. Keseimbangan harus dijaga antara imbalan yang diberikan kepada individu dan sumbangan individu terhadap tercapainya tujuan organisasi.
Barnard berpendapat bahwa suatu manajemen dapat bekerja secara efisien dan tetap hidup jika tujuan organisasi dan kebutuhan perorangan yang bekerja pada organisasi itu dijaga seimbang. Barnard (1906-1961) menggunakan pengalaman kerja dan hasil studi dalam bidang sosial dan filsafat untuk merumuskan teori-teorinya mengenai kehidupan organisasi.
Vromm dengan teori Harapan (Ekspektasi) mendasar pada dua asumsi berikut:
Manusia biasanya meletakkan nilai kepada sesuatu yang diharapkan dari hasil karyanya. Oleh karena itu ia mempunyai urutan kesenangan (preferences) di antara sekian banyak hasil yang ia harapkan.
Suatu usaha untuk menjelaskan tentang motivasi yang terdapat pada seseorang selain harus mempertimbangkan keyakinan orang bahwa yang dikerjakannya memberikan sumbangan terhadap tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, vromm mengajukan suatu teori tentang motivasi yang akan mempengaruhi prestasi. Vromm mengemukakan suatu formula prestasi yang berhubungan langsung dengan motivasi, sebagai berikut:
P = f (M x A)
M = f (V x E)
P = f (A x V x E)
Keterangan:
P = Prestasi kerja
M = Motivasi kerja
A = Ability (kemampuan)
V = Valensi (preferensi keinginan)
E = Ekspektasi (harapan)
Artinya, prestasi kerja seseorang merupakan fungsi dari motivasi dikali abiliti. Motivasi sendiri merupakan fungsi perkalian dari valensi dengan ekspektasi. Valensi merupakan preferensi keinginan seseorang terhadap sesuatu yang nilainya antara 0 – 1. Jika sesuatu oleh seseorang dianggap mempunyai nilai valensi nol, maka sesuatu itu tidak akan mempunyai daya tarik bagi orang yang bersangkutan. Sebaliknya, jika mempunyai nilai valensi satu, maka sesuatu yang ditawarkan oleh organisasi mempunyai daya tarik yang sangat tinggi.
Untuk menguji teori Victor Vromm ini telah banyak dilakukan penelitian. Ada dua hal penting yang ditemukan dalam penelitian tersebut, yaitu: (1) pembedaan antara imbalan (intensif) instrinsik dan imbalan ekstrinsik, (2) spesifikasi dari suatu keadaan di mana ekspektasi dan nilai mempengaruhi kualitas pekerjaan seseorang.
Di samping itu, ditemukan pula dua kondisi yang harus dipenuhi agar ekspektasi dan kepuasan dapat mempengaruhi prestasi, yaiitu (1) kemampuan yang memadai untuk melaksanakan tugas, (2) persepsi yang tepat tentang peranan seseorang dalam organisasi.
McClelland dengan teori prestasinya mengemukakan, pada dasarnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga kebutuhan, yaitu (1) kebutuhan akan kekuasaan (need for power), (2) kebutuhan akan afiliassi (need for affiliation), dan (3) kebutuhan akan keberhasilan (need for achievement). Teori ini berusaha menjelaskan tingkah laku yang berorientasi kepada prestasi.
Pemahaman tentang perilaku akan menuju keefektivan tugas yang harus dilakukan seorang manajer walaupun hal ini merupakan bidang yang amat rumit. Masalah perilaku manusia amat kompleks untuk dijelaskan dengan penyamarataan yang dapat diterapkan untuk semua orang. Perilaku manusia dipengaruhi oleh seperangkat variabel yang mempengauhi perilaku manusia.
Menurut Marwan Asri (1989), perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu:
Variabel individual, mencakup faktor kemampuan dan ketrampilam mental, fisik, latar belakang keluarga, tingkat sosial, pengalaman, umur dan jenis kelamin.
Variabel organisasi, terdiri dari faktor sumber daya yang tersedia, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, struktur organisasi, dan desain pekerjaan.
Variabel psikologis, terdiri atas beberapa faktor, berupa persepsi, sikap, kepribadian, proses belajar, dan motivasi.
Berdasar kajian tentang masalah perilaku, dapat disimpulkan:
Perilaku timbul karena sebab.
Perilaku diarahkan untuk mencapai tujuan.
Perilaku yang dapat diamati dapat diukur.
Perilaku todak langsung dapat diamati (misalnya berfikir) juga penting untuk mencapai tujuan.
Perilaku bermotivasi.
Manusia Sebagai Pelaku organisasi
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak pernah mampu menyelesaikan problem kehidupannya sendiri. Mereka butuh untuk bekerjasama dan saling bantu-membantu satu sama lain. Inilah salah satu alasan lahirnya "semangat" untuk berkelompok dan berorganisasi dengan tujuan, agar beban kehidupan mereka bisa lebih ringan. Oleh karenya tidak salah bila dikatakan bahwa kesuksesan manusia salah satunya difaktori oleh sejauh mana kemampuannya bekersama dan berorganisasi.
Ini menunjukkan bahwa dalam berorganisasi manusia berhadapan dengan masalah kualitas atau tingkat keilmuan dan potensi yang tidak sama. Padahal kinerja dalam organisasi membutuhkan tingkat keahlian tertentu yang sesuai dengan bidang yang ia emban dalam jabatan struktur keroganisasin tersebut. Karena itu, membangun tingkat Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan bagian dari upaya dalam peningkatan kinerja organisasi sehingga ia lebih "cerdas" dalam mengelola, mengurus, dan meningkatka kualitas pekerjaannya.
Hal ini memberikan penjelasan bahwa potensi manusia itulah yang dapat menjadikannya mampu memberikan manfaat bagi kehidupan manusia lainnya. Karenanya, manusia harus mampu memberikan suatu jasa atau pelayanan taktis yang diberikannya secara berarti bagi manusia lainnya. Untuk itu, manusia harus paham terlebih dahulu mengenai apa yang akan, dan harus ia kerjakan untuk memberikan pelayanan tersebut.
Kelemahan dan keunggulan suatu organisasi pada dasarnya juga ditentukan dari tingkat SDM personalian organisasi tersebut, dengan meninjau komponen-kompenen dan hubungan pegawai satu sama lain. Dengan begitu akan tampak, kekurangan, kelemahan bahkan kelebihan dari sistem organisasi dan sistem pelayanan sehingga dapat ditemukan rumusan untuk memperbaiki sistem yang telah berlansung dalam organisasi tersebut. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya-upaya khusus dari "pimpinan" organisasi tersebut untuk meningkatkan kualitas SDM mereka.
Hubungan manusia dalam organisasi dapat dibagi dalam dua hal, antara lain:
Hubungan manusia dalam organisasi formal
Dalam hal ini, manusia saling berintraksi dan berkoordinasi secara sadar, dan sengajat untuk mewujudkan tujuan bersama. Organisasi formal tidak akan terwujud tanpa kesengajaan tersebut.
Hubungan manusai dalam organisasi informal
Adanya hubungan manusia dalam intraksi-intraksi tertentu tanpa adanya tujuan bersama yang umum dan tidak terkoordinasi secara sengaja. Mereka hanya berkumpul saja dalam situasi terntentu untuk saling "mengikat" diri secara emosiaonal.
Keterbatasan pendekatan perilaku dan sumbangannya
Beberapa ahli manajemen termasuk ahli perilaku percaya bahwa bidang perilaku tidak sepenuhnya nyata karna berkenan dengan manusia yang bersifat unik. Metode, teori, dan istilah perilaku, (jargon) sangat komleks dan abstrak untuk dipraktekkan para manajer. Dikarenakan perilaku manusia sangat unik, maka ahli-ahli perilaku sering berbeda dalam menyimpulkan penelitian, dan rekomendasinya pun sulit bagi manajer untuk memilih dan melaksanakannya.
Sumbangan teori perilaku seperti yang telah disebutkan tadi adalah untuk dikembangkan dalam teori motivasi. Selain itu. Untuk mengetahui perilaku kelompok, hubungan manusiawi di tempat kerja, dan pentingnya hubungan manusiawi di tempat kerja, ahli prilaku menyarankan untuk dikembangkan dalam teori kepemimpinan, konflik, kekuasaan, perubahan organisasi dan komunikasi.
Manajemen Sistem Organisasi
Konsep Sistem Organisasi
Cara berfikir manusia antara lain 1) Deduktif atau analitikal, 2) Inkduktif atau empkirikal, 3) Kausatif, 4) Kreatif, 5) Bantuan silogisme, 6) Abstrak, 7) Konkret, dan 8) Sistem. Dedukktif dari umum ke khusus. Induktif dari Khusus ke umum.
System berasal dari bahasa Yunani, system. Pendekatan sistem terhadap manajemen berusaha untuk memandang organisasi sebagai sebuah sistem yang menyatu dengan maksud tertentu yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan. Pendekatan sistenm tidak secara terpisah berhubungan dengan berbagai bagian dari sebuah organisasi melainkan memberikan kepada manajer suatu cara untuk memandang organisasi sebagai keseluruhan dan sebagai bagian dari yang lebih besar (lingkungan).
Sistem menurut Banghart (1990) ialah sekelompok elemen-elemen yang saling berkaitan yang secara bersama-sama diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
M.J. Riley (1981) mengemukakan bahwa "A system is a set of interrelated parts with a purpose seems to fit the concept of manager's job and the complexity of the internal and external environment in which he operates". Dari definisi ini jelas bahwa dalam suatu sistem ditemukan adanya bagian-bagian yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Interrelasi bagian-bagian itu ditujukan pada tujuan tertentu. Riley melihat bahwa sistem yang dioperasikan itu hendaknya ada kesesuaian antara tugas-tugas yang telah ditetapkan dengan lingkungan baik internal maupun eksternal.
Murdick & Ross (1982) mendefinisikan sistem sebagai seperangkat unsur yang melakukan suatu kegiatan atau membuat skema dalam rangka mencapai tujuan dengan mengolah data dan atau energi serta barang-barang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan informasi dan atau energi dan atau benda.
Johnson, Kast dan Rosenzweig (1973) mengemukakan bahwa "A systems is an organized or complex whole, an assemblage or combination of things or parts forming a complex or unitary whole". Dari pengertian ini jelas bahwa yang disebut sistem ditandai oleh adanya kesatuan yang terorganisasi atau oleh adanya himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian yang kompleks yang menyatu.
Koontz & O'Donnel (1976) mendefinisikan sistem sebagai keseluruhan bukan hanya bagian-bagian karena sistem yang bersangkutan perlu dipandang sebagai suatu totalitas. Sistem dapat dipandang sebagai suatu hal yang tertutup atau terbuka. Sistem tertutup adalah sistem yang tidak dipengaruhi dan memengaruhi lingkungannya, sedangkan sistem terbuka ialah sistem yang dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya.
Elias M.A Wad (1979) mengemukakan, "A system can be defined as an organized group of components (subsistems) linked according to plan to achieve a specific objectives". Dari definisi yang dikemukakan ini jelas bahwa sistem yang dimaksudkan benar-benar merupakan suatu sistem buatan manusia (sengaja diciptakan oleh manusia) untuk tujuan-tujuan tertentu atau spesifik.
Sistem adalah suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersamasama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran yang tertentu Penjelasan di atas menjelaskan bahwa sistem bekerja dalam suatu jaringan kerja dari suatu prosedur nyang saling berhubungan satu sama lain untuk menyelesaikan tujuan dan sasaran yang dimaksud.
J. Fitz Gerald, A.F. Fitz Gerald dan W.D. Stalling (1981) mengemukakan, "A system can be defined as a network of interrelated procedures that are joined together to perform an activity or to accomplish a specific objective. It is in effect all the ingredients which make up the whole". Dalam definisi ini ditekankan pada prosedur untuk melaksanakan aktivitas ke arah pencapaian tujuan yang spesifik. Sesuatu yang dikatakan sistem menurut pengertian ini mengandung beberapa aspek sebagai berikut:
Adanya sejumlah prosedur yang saling kait membentuk suatu jaringan kerja.
Adanya aktivitas bersama.
Adanya tujuan spesifik yang hendak dicapai.
Sistem menutur Shrode & Voich (1974) ialah suatu keseluruhan yang terdiri dari sejumlah begian-bagian, dan mengemukakan bahwa "A system is a set of interrelated parts, working independntly and jointly, inpursuit of common onjectives of the whole, within a complex environment". Dari pengertian ini jelas bahwa terdapat beberapa aspek yang dikandung oleh makna sistem, yaitu sebagaimana yang tersebut di bawah ini.
Suatu sistem terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Bagian-bagian yang saling hubung itu dapat bekerja atau berfungsi baik secara independen maupun secara bersama-sama.
Berfungsinya bagian-bagian tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan umum dari suatu keseluruhan.
Suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling hubung tersebut berada dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Menurut Shrode elemen-elemen dasar organisasi mencakup:
Tujuan
Teknik
Struktur
Orang, dan
Informasi.
Kelima elemen tersebut memproses sejumlah input yang bersumber dari lingkungandan outputnya digunakan oleh lingkungan.
Manajemen dipandang sebagai suatu sistem didasarkan pada asumsi bahwa organisasi merupakan sistem terbuka, tujuan organisasi mempunyai kebergantungan. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam manajemen berdasarkan sistem, mencakup: 1) manajemen berdasarkan, 2) manajemen berdasarkan teknik, 3) manajemen berdasarkan struktur, 4) manajemen berdasarkan orang, dan 5) manajemen berdasarkan informasi.
Definisi sistem menurut Bertalanffy ialah sekelompok elemen yang saling memengaruhi, dan sistem menurut Ackof ialah suatu entitas baik yang bersifat konseptual atau fisikal yang terdiri dari bagian-bagian yang interdependen. Sedangkan menurut Poel ialah kumpulan elemen-elemen di mana terdapat hubungan yang mengarah pada pencapaian sasaran tertentu. Winadi (1986) dapat lebih menjelaskan sistem sebagaimana tabel di bawah ini.
Sistem Unsur-unsur Tujuan Utama
Tubuh manusia Organ-organ, kerangka tulang, susunan syaraf Homoeostatis (selaras)
Klub Sosial Anggota Rekreasi
Orang Mesin-mesin, bangunan, dan material Produksi
Sistem misil Orang, misil dan pelontarannya, deteksi, dan komunikasi Serangan sosial
Kepolisian Manusia, perlengkapan, bangunan, jaringan, komunikasi Pengendalian keamanan
Filsafat Ide-ide Pemahaman
Akunting Jurnal, komputer, manusia Catatan operasi keuangan dan dokumen transaksi
Memperhatikan beberapa aspek definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik beberapa hal pokok mengenai apa yang dimaksudkan dengan sistem.
Suatu sistem bergerak ke arah tujuan tertentu
Sesuatu dikatakan sistem selalu berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai. Semua unsur yang membentuk sistem akan bergerak dan berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing dan secara bersama-sama akan tertuju pada apa yang akan tercapai. Namun yang perlu diingat ialah bahwa tujuan yang ada dalam suatu sistem akan mengikuti suatu hierarki tertentu. Oleh karena itu, pencapaian tujuan akhir dari suatu sistem akan melalui tahap-tahap pencapaian tujuan pada setiap bagiannya masing-masing.
Suatu sistem terdiri atas bagian-bagian (subsistem)
Adanya tata urutan dalam suatu sistem akan menampakan adanya hierarki sistem secara teratur. Urutan hierarki sistem tersebut mulai dari bagian yang besar sampai pada unsur atau elemen.
Sistem
Subsistem
Komponen
Komponen
Subsistem
Variabel
Variabel
Unsur
Unsur
Dimensi
Dimensi
Penerapan hierarki sistem ini dapat diperjelas dengan mengambil contoh sistem Pendidikan Nasional, sebagai berikut:
Sistem Pendidikan: Pendidikan Nasional
Sub sistem: Pendidikan Tinggi, Pendidikan Dasar dan Menengah, Pendidikan Luar Sekolah dan lain-lain.
Komponen: input, proses, output.
Unsur-unsur: untuk input: guru, siswa, dana, dll.
Proses: metode, teknik, dll.
Output: Lulusan, bahan penelitian, dll.
Dimensi: misalnya guru (dosen) dilihat dari dimensi kualitatif dan kuantitati.
Variabel: misalnya dimensi kualitatif dari guru: Aspirasi guru, motivasi, dll.
Setiap bagian ini mempunyai fungsinya masing-masing secara spesifik. Biasanya fungsi yang dijalankannya itu tidak dapat digantikan oleh yang lain. Oleh karenanya, keberadaan unsur atau bagian atau apapun subsistem tersebut merupakan suatu keharusan. Oleh karena kalau terjadi kekosongan (ketidakadaan) akan menyebabkan sistem tersebut tidak akan mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan. Masing-masing bagian menjalankan fungsinya tapi tetap dalam kerangka pencapaian tujuan sistem secara keseluruhan. Penyimpangan fungsinya untuk mencapai tujuan berarti akan merupakan "gangguan" terhadap bekerjanya suatu sistem.
Adanya kesatuan berbagai begian atau unsur yang saling kait.
Adanya saling kait diantara semua bagian, komponen ataupun unsur yang membentuk suatu sistem sangat diperlukan agar sistem tersebut dapat berfungsi atau bekerja. Bahkan pada tingkat tertentu, saling terkait akan menampakkan adanya suatu kesatuan. Aktivitas yang terjadi secara sendiri-sendiri oleh bagian-bagian (unsur-unsur) suatu sistem tidak akan bermakna kalau tidak "menyatu" dengan unsur-unsur lainnya. Oleh karena itu, suatu sistem hendaknya dipandang sebagai suatu kebulatan atau kesatuan yang terpadu.
Terbuka untuk berhubungan dengan lingkungannya.
Agaknya dapat dikatakan bahwa tidak ada sistem yang benar-benar "tertutup", semua sistem yang ada pada dasarnya berada dalam suatu lingkungan tertentu.
Adanya sejumlah aktivitas yang dilaksanakan.
Aktivitas yang terjadi dalam suatu sistem senantiasa ditujukan pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Aktivitas yang dilaksanakan berkenaan baik dengan unsur-unsur yang membentuk sistem secara sendiri-sendiri maupun dengan pengkombinasian berbagai unsur yang ada.
Karekteristik Sistem
Ada tiga unsur pokok berpikir sistem (system thinking); 1) sains sistem, yaitu eksplorasi ilmiah tentang sistem dalam berbagai bidang ilmu misalnya ilmu lingkungan hidup; 2) sistem teknologi, yaitu problem yang muncul dalam teknologi modern dan masyarakat, misalnya hardware, software, dan brainware; 3) filsafat sistem, yaitu reorientasi pemikiran dan pandangan dunia ilmiah, misalnya paradigma baru yang dikembangkan Kuhn.
Di dalam pencapaian tujuan organisasi, menurut teori sistem harus didasarkan pada lima asumsi dan lima prinsip bekerja. Kelima asumsi dan prinsip bekerja itu adalah, sebagai berikut:
Asumsi Prinsip
Organisasi merupakan sistem terbuka
Organisasi mencari prestasi maksimum
Tujuan organisasi sangat berjenis-jenis (bervariasi)
Tujuan organisasi saling kebergantungan
Tujuan organisasi berubah-ubah Service untuk lingkungan
Prinsip optimasi
Multidimensional
Prinsip keharmonisan
Prinsip pengurangan resiko.
Winardi (1986) menyatakan bahwa dalam dunia nyata, sejumlah pembuat keputusan yang hebat menggunakan intuisi mereka. Akan tetapi, ada juga pengambil keputusan pemula yang tentu belum berpengalaman tidak dapat mengambil keputusan berdasarkan intuisi. Oleh sebab itu, diperlukan berpikir dengan menggunakan sistem. Manfaat berfikir sistem adalah tidak membuat orang berpikir terkotak-kotak atau parsial, tetapi menyeluruh dengan menggunakan subsistem-subsistem secara sinergi. Hasil keputusannya akan lebih baik dibandingkan berpikir tanpa sistem.
Sifat-sifat sistem antara lain:
Selalu terdiri dari lebih dari satu subsistem,
Selalu merupakan bagian sistem yang lebih besar (supersistem),
Dapat bersifat tertutup dan terbuka,
Selalu memiliki batas-batas sistem,
Sistem tertutup cenderung mengalami kemunduran (entropi),
Rasio input, proses dan output diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dinamis dan mempertahankan kehidupannya,
Memerlukan umpan balik untuk menjaga keseimbangan tersebut,
Perubahan cepat memerlukan kewaspadaan dengan meningkatkan mutu subsistem antara spesialisasi dan diferensiasi struktur,
Akibat spesialisasi dan diferensiasi, batas sistem perlu diperluas,
Bertambahnya interaksi dengan lingkungannya menyebabkan sulitnya pemecahan masalah sebuah sistem karena itu muncul istilah kontingensi,
Menyeluruh (wholistic), yaitu dipahami sebagai kesatuan total bukan atomistic,
Sinergi, yaitu bekerja bersama-sama, hasilnya lebih besar daripada bekerja sendiri-sendiri.
Berdasar anggapan bahwa pada dasarnya tidak ada sistem yang benar-benar tertutup, maka dalam mengemukakan karakteristik sistem dalam uraian ini berarti karakteristik suatu sistem yang terbuka. D. Katz dan R.L. Kahn (1974) mengemukakan sejumlah karakteristik sistem terbuka sebagai berikut: (1) importation of energy; (2) the though put; (3) the output; (4) systems as cycle of events; (5) negative entropy; (6) information input, negative feedback, and the coding process; (7) the steady state and dynamic homeostatis; (8) differentiation; (9) equifinality.
Karakteristik tersebut dijelaskan dalam uraian berikut ini:
Pemasukan Energi
Berbagai bentuk energi yang diperlukan oleh sistem dimasukkan (diimpor) dari lingkungan eksternal. Di sini jelas bahwa suatu sistem ini memerlukan masukan (input) dari lingkungannya.
Transformasi Bahan-bahan atau Energi
Bahan-bahan masukan atau energi yang diperoleh dari lingkungan ditransformasikan atau diproses oleh sistem. Dalam hal ini dilaksanakan berbagai aktivitas sistem untuk mengubah bahan-bahan masukan maupun energi yang tersedia untuk menghasilkan sesuatu yang diperlukan.
Hasil
Hasil yang diperoleh setelah terlaksananya berbagai kegiatan mentransformasi atau memproses atau bahan-bahan masukan dan energi, dilontarkan ke lingkungan eksternal.
Sistem sebagai Lingkaran Peristiwa-peristiwa
Berbagai aktivitas yang dilaksanakan oleh sistem mulai dari pemasukan bahan-bahan dan energi sampai pada hasil-hasil yang akan "dipasarkan" ke lingkungan menunjukkan adanya siklus yang berpola. Saling butuh dan saling memberikan antara sistem dan lingkungannya menyebabkan terjadinya siklus tersebut. Dalam kaitan ini muncul masalah struktur dalam hubungan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan dan berbagai unsur sistem.
Entropi Negative
Agar sistem terbuka tersebut tetap bertahan, maka proses entropik itu hendaknya ditahan. Yang dimaksud dengan proses entropik adalah suatu hukum alam yang universal untuk semua bentuk organisasi bergerak ke arah ketidakteraturan atau mati. Sistem terbuka yang mengimpor energi dari lingkungan eksternalnya dapat menyimpannya dan dapat mencapai tingkat entropi negatif. Ada kecenderungan bahwa sistem terbuka akan berusaha untuk meningkatkan energi yang diimpor agar bertahan untuk suatu periode tertentu.
Input Informasi, Umpan Balik Negatif dan Proses Pengkodean
Masukan untuk suatu sistem kehidupan tidak hanya meliputi bahan-bahan energi, tetapi juga masukan-masukan yang bersifat informasi yang berfungsi dalam hubungannya dengan lingkungan.
Tipe masukan informasi yang ditemukan dalam semua sistem ialah "Umpan Balik Negarif". Jelas ini memungkinkan suatu sistem untuk mengoreksi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Suatu sistem terbuka pula mempunyai sifat selalu selektif dalam manerima masukan-masukan ke dalam sistem dari lingkungan. Sistem yang ada akan menciptakan asimilasi terhadap masukan-masukan yang dapat diadaptasi. Mekanisme selektif dalam menerima bahan-bahan masukan serta prinsip-prinsip selektif dan adaptif terhadap struktur dinamakan pengkodean.
Steady State dan Homeostatis yang Dinamik
Steady State merupakan ciri kemampuan sistem untuk bertahan. Kemampuan bertahan ini dimungkinkan oleh adanya importasi energi yang dapat menahan terjadinya entropi. Steady state bukan berarti tidak bergerak.
Pemasukan energi dan lingkungan eksternal dan produk sistem tetap terlaksana secara kontinyu, hanyalah selalu ditandai oleh rasio pertukaran energi dan hubugan diantara bagian-bagian yang tetap sama.
Konsep homeostatis dipinjam dan diproses biologis tubuh manusia untuk mencapai temperature konstan dalam hal menghadapi lingkungan yang berubah dan konsepsi dinamis dari gagasan bahwa suatu keadaan mantap (steady state) tersebut secara konstan bergerak.
Deferensiasi
Sistem terbuka bergerak ke arah deferensiasi dan elaborasi. Dengan kata lain bahwa sistem terbuka mempunyai kecenderungan untuk bertumbuh menjadi lebih terspesialisasi mengenai elemen-elemennya dan strukturnya dielaborasi sehingga batas-batasnya diperluas.
Ekuifinalitas
Sebagaimana dikatakan bahwa sistem berorientasi pada tujuan. Dalam sistem terbuka cara-car untuk mencapai tujuan itu dapat melalui banyak cara. Juga bisa dikatakan bahwa untuk mencapai tujuan tertentu (yang diinginkan) bermacam-macam input dapat diproses dengan cara atau metode-metode yang berbeda-beda pula. Konsep ini dikenal dengan nama ekuifinalitas.
Secara lebih spesifik, Ryans (1968) mengemukakan karakteristik sistem dibidang pendidikan, sebagai berikut:
Berbagai subsistem, baik fasilitas maupun sumber-sumber lain yang berhubungan dengan subsistem, merupakan komponen yang saling bergantung dan saling berhubungan.
Kondisi yang perlu untuk terjadi interaksi antara elemen dari suatu sistem, adalah adanya jaringan informasi bersama (a common information network). Komunikasi antara elemen itu sangat penting dalam menjamin berfungsinya suatu sistem sebagai kesatuan (entity) yang terorganisasi dalam menjamin sistem itu untuk menghasilkan keluaran.
Berfungsinya sistem pendidikan pada dasarnya bergantung kepada berfungsinya kontrol terhadap aliran dan transformasi informasi antara elemen dalam sistem tersebut dan antara beberapa sistem yang ada diluar yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan.
Pengolahan informasi merupakan hal yang inherent dalam berfungsinya suatu sistem. Pengolahan informasi adalah aktivitas pengamatan (sensing), penyarigan (filtering) pengaturan dan antrian (quening), pengklasifikasian (classifying), penyimpangan sementara (temporary storing), pensistesisan (synthesizing) transformasi dan pengiriman informasi serta pengambilan keputusan dalam cara mentransformasikan informasi sehingga tujuan sistem tercapai.
Mengapa pendidikan memerlukan pendekatan sistem. Pendekatan sistem merupakan suatu motode atau teknik analisis yang secara khusus disebut analisis sistem (system analysis) terutama berfungsi dalam memecahkan masalah (problem solving) dan pengambilan keputusan (decision making). Dalam hal ini pendekatan sistem dikaitkan dengan metode-metode ilmiah. Analisis sistem mencakup (1) menyadari adanya masalah, (2) mengidentifikasi variabel yang relevan, (3) menganalisis dan mensistensikan faktor-faktor, dam (4) menentukan kesimpulan dalam bentuk program kegiatan. Penggunaan pendekatan di atas sangat diperlukan oleh dunia pendidikan dengan alasan:
Lembaga-lembaga pendidikan telah menjadi semakin kompleks dan semakin sulit untuk dikelola. Cara-cara tradisional dalam pengelolaan/manajemen tidak mampu lagi atau kurang efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sesuai dengan perkembangan pendidikan.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi pendidikan semakin lama semakin cepat. Banyak pengelola pendidikan mengalami kesulitan mengikuti perubahan dalam dunia pendidikan ini karena tidak mungkin mereka menjadi ahli dalam segala bidang, maka diperlukan pendekatan yang dapat memecahkan masalah yang semakin kompleks itu.
Masih langka para pengelola sistem dan satuan pendidikan yang profesional. Pada dasarnya mereka berasal dari guru bukan manajer profesional dalam pendidikan. Dalam situasi seperti ini pendekatan sistem sangat membantu mereka dalam merencanakan, mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan sistem pendidikan.
Pertumbuhan pendidikan dan perkembangan yang relatif cepat disertai pertambahan anggaran yang tidak sedikit, seringkali mengurangi kesadaran bahwa terdapat kekeliruan-kekeliruan dalam merencanakan dan mengelola pendidikan. Dengan dana yang kurang memadai, kunci keberhasilan kegiatan pendidikan akan banyak bergantung pada ketetapan dan kemampuan untuk merencanakan dan mengelola kegiatan tersebut. Dalam hal ini pendekatan sistem dapat membantu perencana pendidikan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber-sumber untuk pendidikan.
Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan perlu ditingkatkan. Untuk itu diperlukan pendekatan sistem agar efektivitas dan efisien juga meningkat. Tanpa itu sulit terlaksana.
Beberapa keunggulan pendekatan sistem dalam mengelola pendidikan antara lain:
Misi, sasaran, dan tujuan lembaga pendidikan dapat dijabarkan lebih jelas.
Program-program yang dirumuskan selalu diarahkan pada tujuan dan sasaran.
Orientasi kegiatan diarahkan kepada hasil akhir.
Perencanaan dipandang sebagai bagian integral dari keseluruhan operasi lembaga atau organisasi pendidikan.
Sumber-sumber daya dapat dialokasikan dengan lebih efektif berdasarkan skala prioritas yang disusun menurut besarnya sumbangan terhadap pencapaian tujuan.
Informasi yang diperlukan untuk perencanaan dan pengambilan keputusan dapat dirancang dan dikelola secara terpadu.
Segala kegiatan dapat difokuskan pada pencapaian sasaran, sehingga pemborosan dapat ditekan seminimal mungkin.
Pimpinan pengelola dapat dinilai hasil pekerjaannya secara objektif, karena sasaran pekarjaannya jelas.
Pengelola dapat mengembangkan kreativitasnya dalam batas kewenangan yang telah ditetapkan, sepanjang mereka tetap berorientasi pada tujuan akhir.
Akontabilitas dapat dirumuskan secara jelas dan operasional.
Umpan balik dapat diperoleh pada semua tingkat otoritas pendidikan, sehingga penyimpangan dalam usaha pencapaian tujuan dapat secara cepat diidentifikasi.
Komunikasi antarkomponen dapat terbina dengan lebih baik sehingga kesalahpahaman dapat dikurangi.
Pendelegasian wewenang dan tanggungjawab dapat dilaksanakan secara lebih baik.
Manejemen Birokrasi
Teori Birokrasi dipelopori Max Weber (1864-1920) yang kemudian dikenal sebagai Bapak Birokrasi. Ia adalah juga dikenal sebagai peletak dasar sosiologi modern di Jerman. Ia mengenalkan teori Birokrasi ini setelah melihat adanya banyak pertentangan antar buruh setelah peristiwa Perang Dunia 1.
Istilah birokrasi berasal dari bahasa Prancis, bureau yang berarti meja. Dalam hal ini meja tidak sekedar dipahami sebagai sebuah perangkat perkantoran, tapi melebihi dari itu. Meja melambangkan sebuah kekuasaan dan kewenangan seseorang yang berada dibalik meja tersebut. Karena itu, dapat kita perhatikan bahwa seseorang yang memiliki kewenangan dan kekuasaan tertinggi pasti memiliki meja yang paling besar dan "terkesan" mewah.
Dalam KBBI istilah birokrasi memiliki dua pengertian, Pertama, sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena berpegang pada hirarki kekuasaan dan jenjang jabatan. Kedua, cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban dan menurut tata aturan (adat dan lainnya) yang ribet dan berliku.
Pemaknaan terakhir dalam KBBI tersebut diatas, sepertinya merujuk pada sisitem birokrasi pemerintahan dalam sebuah negara yang memang seringkali "mengesankan" keruwetan dalam pelayanan kepemerintahan. Bahkan di Indonesia muncul anekdok "kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah" untuk menunjjukkan betapa ribetnya birokratisasi dalam suatu negara.
Awalnya, sistem birokrasi yang dicetuskan Weber tidak bertujuan "meribetkan" sesuatu. Justru ia ingin memperbaiki sistem manajemen klasik yang masih belum memiliki kepastian pembagian kerja. Harapannya, melalui teori tersebut Weber berharap adanya pembagian kerja berdasarkan wewenangan dan kekuasaan seseorang sehingga kelak tercipta adanya pekerjaan yang efektif, efisien, kondusif dan konsisten.
Weber menegaskan bahwa, birokrasi merupakan ciri dari pola organisasi yang strukturnya dibuat sedemikian rupa sehingga mampu memanfaatkan tenaga ahli secara maksimal. Semua hal tersebut dimaksudkan agar tata kelola organisasi bisa berjalan baik dan terarah. Adanya pembagian tugas dengan berdasarkan kewenangan dalam struktur keorganisasian tentu akan meningkatkan kinerja orang-orang dalam organisasi tersebut, sehingga mereka bisa mewujudkan gambaran bersama mengenai tujuan masa depan yang hendak diciptakan.
Untuk itu, Max Weber membagi enam pokok karakteristik Birokrasi, yaitu:
Pembagian kerja yang jelas
Dalam sebuah organisasi harus ada kejelasan pembagian tugas dan spesialisasi yang berdasarkan pada posisi dan kedudukannya yang diatur dalam sebuah perundang-undangan dan berketetapan hukum.
Hierarki wewenang dirumuskan dengan baik
Ada kejelasan wewenang dan tugas pokok antara atasan dan bawahan, dimana seorang bahwan diharuskan senantiasa patuh pada perintah atasan yang memiliki kewenangan lebih tinggi.
Hubungan dalam organisasi bersifat Imporsonal
Birokrasi menghendaki adanya hubungan antar personal dalam organisasi tidak berdasarkan pada aspek pribadi maupun kedekatan. Dan mereka harus senantiasa bersikap bahwa kepentingan organisasi jauh lebih penting dari kebutuhan pribadi.
Administrasi selalu dilaksanakan dengan dokumen tertulis.
Dokumen tertulis selain berfungsi sebagai arsip untuk bahan evaluasi kinerja berikutnya, juga berfungsi sebagai dasar adanya sebuah "aktivitas" maupun pekerjaan yang dilakukan seseorang.
Orientasi pengembangan karier dengan berdasar pada keahlian
Diterima atau ditolaknya seorang karyawan tidak berdasar pada kedekatan semata, tapi tergantung pada keahlian dan kompetensi yang dimiiki oleh seseorang. Hal ini juga berlaku ntuk promosi atau kenaikan jabatan dalam sebuah organisasi tesebut.
Memusatkan program pada kemampuan dan tujuan organisasi
Agar kinerja organisasi semakin terarah, maka Weber menyarankan agar setiap tindakan yang diambil selalu dikaitkan dengan besarnya sumbangan terhadap tujuan organisasi.
Teori birokrasi oleh Weber, pada masa itu dirasa memberikan terobosan yang sangat luar biasa dalam perkembangan teori manajemen klasik yang awalnya hanya menfokuskan kajiannya pada kegiatan atau hal-hal yang bersifat operasional (teknis) suatu perusahaan, dan belum mencakup tata pengelola atau bagaima seharusnya orang-orang dalam perusahaan mesti bersikap secara struktual. Teori birokrasi oleh Weber telah menyadarkan banyak kalangan bahwa pembagian tugas dalam sebuah organisasi itu sangat penting.
Namun, pada perkembangan selanjutnya teori birokrasi juga mengalami kefakuman. Bahkan, sebuah perusahaan tampak berjalan tidak efektif karena ketatnya arutan birokrat yang kaku dan berbelit-belit, bahkan teori birokrasi justru menyebabkan penundaan pekerjaan dan ketidakefienan kinerja. Karena itu, Weber mengingatkan bahwa spesialisasi pekerjaan jangan membuat kita terjebak untuk bekerja sendiri-sendiri sehingga tidak mau lagi bekerjasama. Prinsip dasar organisasi yang mengamanatkan adanya kerjasama intens, harus tetap menjadi pegagan utama.
Spesialisasi dalam birokrasi hanya bertujuan agar kinerja organisasi bisa lebih terkontrol dan terarah. Karenanya, Weber tetap bersikap teguh bahwa birokrasi merupakan sistem organisasi terbaik. Menurutnya, suatu organisasi yang terdiri dari ribuan anggota membutuhkan aturan jelas untuk anggota organisasi tersebut. Bahkan ia menjamin, teori birokrasinya akan mampu menjalankan tata organisasi tertata baik, semua personalia akan mampu bekerja sesuai fungsinya dan tingkat kontrol akan lebih maksimal.
Pada dasarnya, Birokrasi harus dicerna sebagai satu fenomena sosiologis. Dan birokrasi sebaiknya dipandang sebagai buah dari proses rasionalisasi. Konotasi atau anggapan negatif terhadap birokrasi sebenarnya tidak mencerminkan birokrasi dalam sosoknya yang utuh. Birokrasi adalah salah satu bentuk dari organisasi, yang diangkat atas dasar alasan keunggulan teknis, di mana organisasi tersebut memerlukan koordinasi yang ketat, karena melibatkan begitu banyak orang dengan keahlian-keahlian yang sangat bercorak ragam.
Hanya saja, praktek yang terjadi justru sebaliknya. Penerapan birokratisasi yang kaku jusru membuat kinerja tersebut malah terbelit-belit dan terkotak-kotak. Bahkan, kenaikan dan promosi jabatan yang seharusnya berorientasi pada keahlian dan potensi seseorang justru beralih pada unsur kedekatan. Sehingga aturan "bawahan harus tunduk patuh pada pimpinan" justru dipahami bahwa semakin tunduk seorang bawahan maka ia akan semakin mudah untuk naik jabatan.
Realitas itulah yang pernah melanda negeri kita, sehingga banyak investor asing yang mengeluh kinerja pemerintah kita yang lamban dan berbelit, sehingga mereka enggan untuk mengivestasikan kekayaannya di Indonesia. Berbelitnya birokrasi itu pulalah yang oleh beberapa kalangan disinyalir menjadi akar munculnya "tradisi" korupsi, kolusi dan nepotisme.
Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efisien.
Bahkan pandangan para pengamat lebih jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.
Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.
Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ saja, tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Namun meski begitu, apa yang disampaikan oleh Max Weber tetap merupakan satu trobosan luar biasa. Buktinya, sistem birokrasi dalam sebuah organisasi merupakan kebutuhan pokok dalam peradaban modern. Karena itu, organisasi tanpa birokrasi tidak akan berjalan dengan maksimal.
Untuk membenahi beberapa hal dalam teori birokrasi tersebut, Weber juga meberikan tiga jenis praktik birokrasi dalam bentuk tiga otoritas yang terdiri dari: otoritas tradisional, kharismatik dan legal rasional. Otoritas tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana legitimasi diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan. Dalam hal ini pengawasan mutlak milik "pimpinan utama". Secara teoritis tingkat kontrol tanpak akan lebih stabil dilakukan. Hanya saja persoalan yang muncul kemudian, siapa yang berani memberikan pengawasan dan kontrol pada pimpinan tertinggi itu?
Sedang otoritas kharismatik menunjukkan legitimasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang luar biasa. Artiya, meski pemimpin memberikan "petunjuk" diluar kebiasaan atau aturan yang berlaku dalam organisasi tersebut, intruksinya akan tetap diikuti dan ditindak lanjuti oleh bawahannya. Biasanya, hal ini terkadang terjadi di pondok pesantren yang memang "mengedapankan" aspek karisma seorang pempimpinan daripada nalar rasionalitas maupun aturan.
Sementara otoritas legal rasional menyebutkan bahwa kepatuhan bawahan pada atasan didasarkan atas legalitas formal dan aturan resmi yang telah disepakati bersama dalam organisasi tersebut. Dalam hal ini, pempimpin tidak boleh keliru dalam proses kepemimpinannya. Karena bahawan juga "berhak" memberikan kontrol pada kinerja pimpinan dengan berdasarkan pada tata aturan yang memiliki legalitas dalam organisasi tersebut.
Tipologi yang diajukan oleh Weber, selanjutnya dikembangkan oleh para sarjana lain, seperti oleh Fritz Morztein Marx, Eugene Litwak dan Textor dan Banks. Menurut Dennis H. Wrong ciri struktural utama dari birokrasi adalah: pembagian tugas, hierarki otorita, peraturan dan ketentuan yang terperinci dan hubungan impersonal di antara para pekerja.
Pentingnya peranan birokrasi amat menonjol dalam negara-negara sedang berkembang di mana mereka semuanya telah memberikan prioritas kegiatannya pada penyelenggaraan pembangunan nasional. Di negara-negara ini birokrasi berperan sebagai motor dan penggerak pembangunan. Secara khusus peranan dan pentingnya arti birokrasi tertampilkan dalam fungsinya sebagai pemrakarsa usul pembuatan kebijakan, penasihat dalam kebijakan dan sebagai inovator dan penyedia sumber.
Dalam hal pendidikan di Indonesia, secara nasional birokrasi pendidikan dipegang oleh Departemen Pendidikan Nasional (Sekaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) yang kemudian dilanjutkan ke tingkatan provensi hingga kabupaten atau kota. Beberapa hirarki sistem birokrasi pendidikan itu dilandaskan pada UU No 22 tahun 1999 pasal 62 yang menyatakan bahwa dinas pendidikan di daerah kabupaten/kota bertugas sebagai unsur pelaksana program pemerintahan pusat.
Birokrasi dalam pendidikan sebagai organisasi penyelenggaran pendidikan dari semua tingakatan dapat diklasisifikasikan sebagaimana berikut:
Adanya spesialisasi dan pembagian tugas, kewenangan yang jelas
Hirarki kekuasaan di setiap tingkatan
Menitikberatkan pada penggunaan peraturan umum untuk mengontrol perilaku anggotanya
Adanya impersonalitas dalam hubungan organisasi
Pembagian pekerjaan dibagikan berdasarkan kompetensi dan keahlian.
Melalui pembagian kerja yang jelas sesuai dengan jabatan dan kewenangananya diharapkan adanya efektifitas dan efisiensi dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sehingga kualitas pendidikan di negeri bisa terus mengalami perkembangan signifikan.
Hanya saja, diakui atau tidak sistem birokrasi pendidikan kita masih "carut-marut" dan tidak terkelola secara profesional sehingga banyak sekali persoalan kependidikan yang sampai saat ini masih belum terselesaikan. Sehingga sulit sekali melakukan terobosan-terbosan penting terkait dengan pengembangan sistem pembelajaran bagi anak didik kita.
Kesimpulan
Manajemen klasik/ilmiah sering diartikan berbeda, arti pertama, manajemen ilmiah ialah penerapan metode ilmiah dalam studi, analisis, dan pemecahan masalah-masalah organisasi, arti yang kedua, manajemen ilmiah adalah seperangkat mekanisme atau tehnik (a bag of trisk) guna meningkatkan efesiensi dan keefektifan organisasi.Tokoh-tohok manajemen klasik diantaranya: Robert Owem (1771-1858 ), Charles Babbage (1792-1871 ), Frederich W. Taylor (1856-1915 ).
Hubungan manusia dalam organisasi dapat dibagi dalam dua hal, antara lain: (1) Hubungan manusia dalam organisasi formal: Dalam hal ini, manusia saling berintraksi dan berkoordinasi secara sadar, dan sengajat untuk mewujudkan tujuan bersama. Organisasi formal tidak akan terwujud tanpa kesengajaan tersebut. (2) Hubungan manusai dalam organisasi informal: Adanya hubungan manusia dalam intraksi-intraksi tertentu tanpa adanya tujuan bersama yang umum dan tidak terkoordinasi secara sengaja.
Terdapat beberapa aspek yang dikandung oleh makna sistem, yaitu (1) Suatu sistem terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. (2) Bagian-bagian yang saling hubung itu dapat bekerja atau berfungsi baik secara independen maupun secara bersama-sama. (3) Berfungsinya bagian-bagian tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan umum dari suatu keseluruhan.
Istilah birokrasi memiliki dua pengertian, Pertama, sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena berpegang pada hirarki kekuasaan dan jenjang jabatan. Kedua, cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban dan menurut tata aturan (adat dan lainnya) yang ribet dan berliku. Birokrasi dalam pendidikan sebagai organisasi penyelenggaran pendidikan dari semua tingakatan dapat diklasisifikasikan sebagaimana berikut: (1) Adanya spesialisasi dan pembagian tugas, kewenangan yang jelas (2) Hirarki kekuasaan di setiap tingkatan (3) Menitikberatkan pada penggunaan peraturan umum untuk mengontrol perilaku anggotanya (4) Adanya impersonalitas dalam hubungan organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz. 2008. Anatomi Organisasi dan Kepempimpinan Pendidikan: Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Amir, Jusuf, Feisal. 1995. Reorentasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Antonio, Harianto. 2012. Rancang Bangun Sistem Informasi Administrasi Informatika. Jurnal ELHAKA No 2. Universitas Tanjungpura.
Engkoswara, dkk., . 2010. Administrasi Pendidikan, Bandung: ALFABETA,
Fattah, Nanang. 2004. Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: Rosda Karya
Husaini, Usman. 2008. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Kamus Besar Bahasa Indonesia (online) dapat dilacak pada http://ebsoft.web.idPrijosaksono, Aribowo.,2005. The Power Of Transformation. Jakarta: PT Elex Media Komputendo-Kelompok Gramedia
Qomar, Mujamil. 2007. Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidkan Islam. Jakarta: Airlangga
Romli, Lili. 2008. Masalah Reformasi Birokrasi. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Vol 2. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN.
Rusman. 2009. Manajemen Kurikulum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Suharsaputera. Tampa tahun. Administrasi Pendidikan. Bandung: Refika Aditama
Saefullah. 2002. Manajemen Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia
Sagala, Syaiful. 2008. Administrasi Pendiikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta
Surakhmad, Winarto. 2009. Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Jakarta; PT Kompas Media Nusantara.
Usman, Husaini., 2008. Manajemen Teori Praktik & Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Usman. Husaini., 2008. Manajemen:Teori Praktek & Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Wukir, 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Organisasi Sekolah. Jakarta: Multi Presindo
Terimakasih telah membaca Analisis, Prinsip, Tujuan dan Tahapan-Tahapan dalam Perumusan Kurikulum untuk Satuan Pendidikan . Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat
0 komentar: