Judul: Manajemen Pengawasan Bank Syariah
Penulis: Maz Supandi
MANAJEMEN PENGAWASAN BANK SYARIAH
1. PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini berita seputar kejahatan yang terjadi di dunia perbankan kembali menyeruak, menghiasi berbagai media massa. Kasus kejahatan perbankan yang terjadi umumnya melibatkan oknum pegawai bank, sindikat kejahatan perbankan dan perusahaan outsourching. Kejahatan di dunia perbankan seperti di atas dapat berdampak buruk bagi dunia perbankan. Kasus-kasus ini bisa mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank.
Menurut Strategic Indonesia, selama kuartal pertama tahun 2011 tercatat sedikitnya 9 kejahatan di berbagai industri perbankan. Menurut Jos Luhukay, pengamat Perbankan Strategic Indonesia, mengatakan bahwa modus kejahatan perbankan bukan hanya soal penipuan (fraud), tetapi lemahnya pengawasan internal control bank terhadap sumber daya manusia juga menjadi titik celah kejahatan perbankan .
Di antara kejadian yang menyita perhatian masyarakat adalah pembobolan uang nasabah prioritas Citibank Landmark senilai Rp 16,63 miliar yang dilakukan senior relationship manager (RM) bank tersebut. Inong Malinda Dee, selaku RM, menarik dana nasabah tanpa sepengetahuan pemilik melalui slip penarikan kosong yang sudah ditandatangani nasabah. Kasus ini bisa menjadi contoh pelajaran bagi bank manapun yang berada di Indonesia. Citibank yang merupakan salah satu bank yang sudah mendunia saja, bisa kebobolan. Kasus ini bisa berdampak kepada masyarakat luas. Masyarakat bisa takut untuk menaruh uangnya di Bank. Pengawasan internal setiap bank harus lebih ditingkatkan lagi. Dalam kasus Malinda Dee, kelemahan ada di pengawasan risiko operasional. Pengawasan di sini mencakup pengawanan terhadap Internal Control di Citibank. Khusus mengenai layanan private banking, celah penyalahgunaan itu bisa didapati lantaran adanya kepercayaan yang berlebihan dari nasabah terhadap pegawai bank. Ada dua hal utama yang dijual private banking, yakni kemudahan dan kenyamanan. Nasabah dilayani seperti raja, sementara itu, pengamanan dan pengawasan yang maksimum terkadang terabaikan.
Dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran ketentuan intern bank serta kelemahan pada penerapan manajemen risiko yang tercermin dari kelemahan sistem dan prosedur (Standard operating procedures, SOP) dan pengendalian intern sebagaimana diatur dalam PBI No.5/8/PBI/2003 yang telah diubah dengan PBI No.11/25/PBI/2009 tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum.
Yang kedua, konspirasi kecurangan investasi/deposito senilai Rp 111 miliar untuk kepentingan pribadi Kepala Cabang Bank Mega Jababeka dan Direktur Keuangan PT Elnusa Tbk. Elnusa menyimpan dana itu di deposito berjangka. Sedangkan Bank Mega mengatakan dana itu disimpan di deposito on call. Bank Indonesia menilai internal PT Bank Mega Tbk masih lemah sehingga kasus pembobolan dana nasabah kembali terulang. Kelemahan terutama dalam pengawasan kantor pusat terhadap cabang-cabangnya. Kantor pusat lemah dalam melakukan verivikasi penarikan dana nasabah, meskipun kantor cabang berukuran kecil. Kasus yang terjadi disebabkan karena tidak ditaatinya peraturan good governance. Sebaik-baiknya peraturan tapi pelaksanaan di lapangan tidak jalan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada maka hal-hal seperti itu bisa terjadi. Jadi justru dengan peraturan yang ada pengawasan yang harusnya lebih diperkuat lagi.
Bagaimana halnya dengan bank syariah? Apakah hal yang serupa dapat terjadi pada bank syariah? Sebagaimana kita ketahui bahwa kita tidak bisa mengabaikan begitu saja apa yang terjadi pada bank konvensional, karena dunia perbankan masih didominasi oleh perbankan konvensional. Jadi, tetap saja ada pengaruhnya terhadap perbankan islam apa saja yang terjadi di perbankan konvensional.
Berkenaan dengan hal tersebut diatas, dalam makalah ini mencoba memaparkan manajemen pengawasan bank syariah. Dengan segala keunikannya yang membedakan dengan bank konvensional, diharapkan agar preseden buruk di dunia perbankan yang dapat berdampak buruk terhadap tingkat kepercayaan masyarakat kepada dunia perbankan sebagai lembaga kepercayaan dapat diminimalisir, atau sebisa mungkin dihilangkan.
KONSEP DASAR PENGAWASAN DALAM ISLAM
2.1 Ayat ayat yang berkenaan dengan Pengawasan
Allah SWT telah menciptakan alam semesta beserta isinya untuk menyertai manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi ini. Diturunkan Al-qur'an dan sunnah Nabi-Nya sebagai pedoman hidup. Bahkan Allah mengutus para rasul-Nya sebagai teladan hidup. Siapa yang berpedoman dengan keduanya dan mensuritauladani para rasul-Nya akan memperoleh kemenangan dan kebahagiaan hakiki. Allah menggenggam dan mengatur semua ciptaan-Nya. Tidak ada satupun yang terlepas dari ketentuan-Nya. Semua perkara bergulir menurut qadla dan taqdir-Nya. Sejatinya Allah Maha melihat dan Maha Mengawasi semua gerakan kehidupan makhluk-Nya. Tidak ada lintasan dari makhluk-Nya yang paling halus sekalipun yang luput dari pengelihatan dan pengawasan Allah. Penglihatan dan pengawasan Allah tidak terbatas pada ruang dan waktu.
Segala apa yang dilakukan dilakukan manusia tidak luput dari pengawasan Allah SWT
"Tuhan mengetahui kecurangan mata dan apa yang disembunyikan dada". (QS. Al-Mu'min: 19)
"Sesungguhnya tidak ada yang tersembunyi bagi Allah sesuatu yang di langit dan di bumi". (QS. Ali Imran: 5)
"Dan Dia-lah Allah (yang disembah) baik di langit maupun di bumi, Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan dan mengetahui apa yang yang kamu usahakan". (QS. Al-An'am: 3).
Kita harus senantiasa dalam kesadaran penuh, dan yakin bahwa apapun yang kita lakukan selalu ada yang menyaksikannya. Dan kelak di hari pertanggungjawaban, mereka akan memberikan kesaksian, tanpa ada sedikitpun yang terluput. Lewat firman-firman-Nya yang suci dan terjaga, yang termaktub dalam Al-Qur'anul Karim, Allah SWT menyampaikan siapa saja yang akan menjadi saksi atas setiap perbuatan kita.
Dan katakanlah, "Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Qs. At-Taubah: 105).
Dalam surat Al hadiid ayat 4 Allah berfirman:
Dan Dia senantiasa bersamamu dimanapun kamu berada ". ( QS. Al Hadiid (57):4)
Orang-orang menyangka bahwa mereka "sendirian" bila mereka tidak terlihat oleh yang lain, namun hal ini tidak benar. Pertama, karena Allah selalu bersama kita dan melihat serta mendengar setiap perbuatan ataupun perkataan kita. Kedua, ada para saksi yang tidak terlihat di sisi kita yang tidak pernah meninggalkan kita. Mereka adalah para malaikat yang bertugas mengawasi kita, yang mencatat setiap perbuatan. Al-Qur`an memberi tahu kita tentang hal ini dalam surat Qaaf ayat 16-18, Allah berfirman :
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir."
Demikian telitinya pekerjaan para malaikat Tuhan yang bertugas mengawasi manusia tersebut, sehingga yang tersirat dalam hatipun walaupun belum terwujud dalam bentuk perbuatan dan tindakan nyata, sudah dicatat dan menjadi bagian amal yang akan diperlihatkan kepadanya nanti di akhirat. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat al-Zalzalah [99]: 7-8;
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (7). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (8).
Ada hal yang menarik untuk dicermati antara objek sumpah Tuhan dengan jawab sumpah-Nya. Di mana, untuk menegaskan bahwa setiap manusia memiliki penjaga dan pengawas yang bertugas mengawasi setiap gerakannya, Allah swt terlebih dahulu bersumpah dengan langit yang begitu luas dan dengan bintang yang menembus kegelapan malam. Lalu apa hubungan pengawasan Tuhan dengan langit luas dan bintang yang menembus malam? Di antara jawabannya adalah, bahwa Allah swt ingin mengatakan. " Jangankan kejahatan yang digelapkan atau disembunyikan manusia yang kecil, kegelapan malam yang begitu luas bisa Allah tembus dan singkapkan, dengan mengutus makhluk-Nya yang bernama bintang. Lalu apa susahnya bagi Allah swt mengungkap kejahatan yang disembunyikan makhluk kecil seperti manusia, Allah juga bisa membukanya dengan menciptakan makhluk-Nya yang disebut malaikat".
Pengawasan Allah ini bersifat absolut, lahir dan batin. Tak ada sesuatu kecuali di bawah kontrol dan pengawasan-Nya. Dalam Alquran, Allah SWT disebut sebagai pengawas manusia (QS An-Nisaa [4]: 1),
"Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
bahkan pengawas segala perkara (QS Al-Ahzab [33]: 52).
Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu."
Penjagaan Allah swt tersebut disebutkan-Nya dalam surat ar-Ra'du [13]: 11
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah…"
Makna hâfizh yang lain, adalah bahwa setiap manusia memiliki pengawas yang selalu mengawasi setiap gerak langkahnya, bahkan gerak hatinya sekalipun. Tidak ada satupun yang bisa luput dari pantauan Allah swt, karena Allah swt menciptakan banyak pengawas untuk mencatat setiap aktifitas manusia. Hal itu disebutkan Allah swt dalam surat al-Infithar [82]: 10-12
"Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) (10), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu) (11), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan (12)."
2.2 Hadist yang berkenaan dengan pengawasan
Terdapat sebuah hadits sahih riwayat Bukhari dari Umar bin Khattab yang menjelaskan pengertian ihsan. Ihsan adalah keadaan pada diri seseorang yang dia merasa senantiasa diawasi Allah dalam segenap perbuatan lahir atau batin. Hadits ini merupakan jawaban Rasulullah tatkala malaikat Jibril datang kepadanya menanyakan tentang ihsan. Dijawab oleh Rasul, ihsan adalah, "Anta'budallaha ka annaka tarahu. Fain lam takun tarahu, fa innahu yaraka (kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat Allah, yakinlah bahwa Ia melihatmu)".
Dalam riwayat lain disebutkan :
"Seorang tidak mungkin mencuri atau melakukan kejahatan, sedangkan ia beriman kepada Allah dalam arti menyadari kehadiran dan pengawasan-Nya." (HR Muslim).
Pesan yang ditekankan hadist di atas adalah bahwa sebagai seorang muslim kita yakin bahwa Allah selalu mengawasi setiap perbuatan kita. Tidak ada sedikitpun yang luput dari pengawasan-Nya. Implementasinya adalah bahwa dalam bertindak kita harus mempertimbangkan segala sesuatu, apakah sesuai dengan aturan syariah atau bertentangan dengan aturan syariah, karena pada akhirnya kita akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan yang dilakukan.
ANALISIS MENGENAI MANAJEMEN PENGAWASAN BANK SYARIAH
3.1 Pendahuluan
Keberadaan bank dalam perekonomian modern merupakan kebutuhan yang telah menyentuh pada semua kebutuhan masyarakat. Bank sebagai lembaga kepercayaan tidak hanya dibutuhkan bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu negara. Untuk menciptakan dan memelihara perbankan yang sehat diperlukan kebijakan perbankan yang efektif, meliputi kebijakan dalam bidang perizinan, pengaturan, pengawasan dan kebijakan yang terkait dengan tindak lanjut dari pengawasan berupa pemberian sanksi terhadap setiap penyimpangan terhadap ketentuan perbankan. Untuk menciptakan perbankan yang sehat diperlukan pengaturan dan pengawasan bank yang efektif.
Bank merupakan unit usaha yang kegiatan operasionalnya tergantung pada sumber dana dari masyarakat. Maka kelangsungan hidup suatu bank ditentukan oleh kepercayaan masyarakat, yang dari sini muncul terminasi bank sebagai lembaga kepercayaan. Merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap bank akan membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup bank. Apabila merosotnya kepercayaan terhadap bank ini meluas terhadap sistem perbankan, hal ini akan mengakibatkan krisis perbankan. Untuk itulah diperlukan pengaturan dan pengawasan bank untuk melindungi dana masyarakat.
Pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dibutuhkan untuk menjaga dan memelihara kepercyaan masyarakat terhadap perbankan. Pengawasan terhadap bank pada dasarnya merupakan tanggung jawab pengurus (pemilik dan pengelola) bank. Pihak eksternal hanya mendukung dan melengkapi pengawasan yang dilakukan pengurus bank. Umumnya suatu Negara membentuk suatu lembaga yang diberi otoritas untuk mengatur dan mengawasi bank. Pengaturan dilakukan dengan membuat berbagai ketentuan untuk mengatur operasional bank yang sering disebut dengan Banking Prudential Principles atau pengaturan tentang prinsip-prinsip kehati-hatian pada bank. Berbagai ketentuan itu selain untuk keperluan pengawasan oleh otoritas pengawas, juga untuk memungkinkan pihak-pihak yang berkepentingan agar memperoleh informasi yang diperlukan.
Tugas pengawas bank pada prinsipnya adalah memantau dan memeriksa apakah pemilik dan pengelola bank telah melaksanakan ketentuan dan aturan perbankan dengan baik Dengan adanya pengawasan, dapat segera dilakukan langkah-langkah yang diperlukan apabila peraturan atau ketentuan tidak dilaksanakan. Pengawasan yang baik adalah pengawasan yang dilakukan dengan mengkombinasikan pengawasan tak langsung (off site) dan pengawasan langsung (on site). Pengawasan tidak langsung adalah pengawasan yang dilakukan melalui berbagai laporan yang disampaikan bank. Laporan tersebut dapat berupa laporan keuangan serta laporan yang terkait dengan kegiatan operasional bank. Pengawasan langsung dilakukan dengan mendatangi dan melakukan pemeriksaan terhadap bank. Pengawasan langsung biasanya dilakukan untuk memeriksa kebenaran dan akurasi laporan keuangan seluruh kegiatan operasional bank, menilai kualitas manajemen serta sistem pengawasan yang dimiliki bank.
3.2 Sistem Regulasi dan Pengawasan Perbankan
Krisis sektor perbankan yang kita alami beberapa waktu lalu, merupakan bukti tentang pentingnya pengaturan dan pengawasan perbankan. Ongkos dan kerugian yang ditanggung karena kegagalan sistem perbankan sangatlah besar dan berdampak luas bagi perekonomian. Oleh karena itu, bank merupakan industri yang harus diatur dan diawasi secara sangat ketat.
Dengan demikian, penting bagi bank untuk meyakinkan deposan dan melindunginya dari kerugian yang seharusnya tidak perlu terjadi dengan mencegah tindakan curang, kesalahan manajemen, pinjaman berlebih, konsentrasi kredit dan eksploitasi sumber-sumber keuangan bank untuk memperkaya sebagian kecil pihak.
Secara umum alasan pokok dari pentingnya pengaturan dan pengawasan perbankan adalah: (i) posisi penting perbankan dalam sistem keuangan; (ii) potensi terjadinya permasalahan sistemik akibat kegagalan usaha bank (bank runs), (iii) sifat dari kegiatan usaha bank di mana hampir seluruh asetnya berbentuk alat likuid dan tingkat kewajiban finansial (leverage) yang sangat tinggi, dan (iv) adanya situasi ketidakmampuan nasabah untuk memonitor secara terus menerus kinerja bank dan diikuti potensi terjadinya kecurangan (moral hazard). Jadi pelaksanaan pengaturan dan pengawasan perbankan adalah dalam rangka untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, agar sistem perbankan dapat bermanfaat secara oprtimal bagi perekonomian, dan melindungi kepentingan nasabah.
3.2.1 Sistem Regulasi dan Pengawasan Global
Untuk melindungi kesehatan masing-masing sektor dan peran positif dalam meningkatkan kesehatan sistem keuangan, maka kegiatan antar sektor dilarang. Oleh karena itu setiap layanan juga tradisional diatur dan diawasi oleh otoritas yang berbeda dan khusus. Hampir semua negara anggota IDB mengikuti bentuk tradisional pengawasan pada saat ini, dan otoritas pengawas bank sentral. Sebagian besar negara-negara berkembang juga mengikuti pola ini dan, sampai saat ini, Amerika Serikat juga benar-benar mengikuti rezim ini sesuai dengan persyaratan Glass-Steagall Act.
Seperti terhadap sistem tradisional, bank dan perusahaan sekuritas melakukan lintas-sektor kegiatan di negara-negara Eropa yang paling dalam kerangka universal perbankan, dengan kecukupan modal gabungan sebelumnya, dan terpisah kecukupan modal saat ini. Di beberapa bank negara Eropa dan asuransi perusahaan diperbolehkan untuk memiliki hubungan bisnis yang lebih interaktif, sedangkan di beberapa perusahaan asuransi lain negara dan perusahaan sekuritas masukkan satu sama lain bisnis domain lebih sering. Akibatnya, bank-perusahaan sekuritas, perusahaan banksinsurance, dan perusahaan-perusahaan sekuritas asuransi adalah masing-asing dikelompokkan bersama di bawah kerangka peraturan tunggal. Peningkatan tajam jumlah konglomerat keuangan dalam beberapa tahun telah menyebabkan melintasi batas-batas sektoral tradisional. Pertumbuhan ini telah merupakan hasil dari sejumlah faktor, beberapa diantaranya adalah:
Merger lintas-sektoral dan akuisisi antara bank dan surat berhargaperusahaan dan antara bank dan perusahaan asuransi;
Akuisisi manajer dana oleh bank dan perusahaan asuransi;
Perpanjangan perusahaan jasa keuangan ke daerah baru melalui internal pertumbuhan (misalnya, perusahaan asuransi mendirikan bank-bank dan sebaliknya sebaliknya, perusahaan asuransi menjual produk investasi, dan bank pengaturan efek dan operasi pengelolaan dana);
Keterlibatan perusahaan non-keuangan dalam bisnis jasa keuanganmelalui pemberian kredit dan jasa keuangan untuk klien mereka;dan
Liberalisasi pasar ditambah dengan perbaikan dalam informasiteknologi.
Kombinasi usaha sekuritas dan aktivitas real estat dengankegiatan perbankan komersial tetap lazim di Eropa dan Jepang di bawahkonsep payung universal banking. Hal ini dibedakan perbankan model negara-negara dari model Glass-Steagall, yang tetap kerangka perbankan di Amerika Serikat selama periode 1933-2000. Amerika Serikat perbankan yang baru kerangka (Gramm-Leach-Bliley Act 1999) telah membuat mungkin bagi bank komersial yang kuat untuk mendaftarkan diri sebagai perusahaan induk keuangan dan untuk melakukan perbankan-surat berharga dan bisnis efek-asuransi bersamaan dalam kondisi tertentu. Ada tren yang berkembang dari lintas sektor merger di Amerika Serikat. Bahkan di hampir semua negara Eropa semakin regulator mendukung campuran perbankan (yang sudah termasuk sekuritas) dan bisnis asuransi, tetapi mengharapkan perusahaan-perusahaan ini untuk melaporkan perbankan dan kegiatan asuransi secara terpisah. Di Perancis, hibrida ini telah dinobatkan sebagai "Bancassurance". Hal ini menimbulkan perlunya penyesuaian standar seragam untuk mengatur kegiatan keuangan di seluruh dunia.
Negara Indonesia masih menganut sistem pengawasan tradisional, yaitu berada di bawah bank sentral. Sebagian besar negar-negara berkembang menganut sistem ini, dan hingga sekarang, Amerika Seirkat juga menganut rezim ini berdasarkan ketentuan Glass-Steagall Act.
Sebagai kebalikan dari bentk tradisional, bank dan perusahaan sekuritas yang melakukan aktivitas lintas sektor di sebagian besar negara eropa berada dalam kerangka universal banking, dari yang sebelumnya menggabungkan kecukupan modal, menjadi pemisahan kecukupan modal. Di sebagian Negara Eropa, bank dan perusahaan asuransi diperbolehkan untuk memiliki link-link bisnis yang saling berhubungan, sementara di sebagian Negara lainnya, perusahaan asuransi dan dan perusahaan sekuritas, saling memasuki domain area bisnis satu sama lain.
Di Amerika Serikat, terdapat tren pertumbuhan merger lintas sektor. Bahkan, sebagian regulator di Negara Eropa semakin berminat dengan konsep bank campuran (bank dan aktivitas sekuritas) dan bisnis asuransi. Di perancis, konsep camouran ini disebut dengan bancassurance. Oleh karena itulah standar regulasi bagi aktivitas konglomerasi keuangna di seluruh dunia perlu diadopsi. Sebagai hasilnya, perkembangan selanjutnya akan ditentukan di arena regulasi dan pengawasan, yang meliputi berikut ini:
1. Pada tataran perundang-undangan nasional, sebagian Negara terpaksa memerger infrastruktur regulasinya ke dalam satu lembaga, misalnya Financial Service Authority (FSA) di Inggris, begitu juga di Scandinavia dan Jepang, telah berinisiatif membentuk otoritas regulasi yang dapat mendukung aktivitas dari pihak regulator dan meningkatkan kerjasama di antara mereka.
2. Pada tataran internasional, koordinasi dalam hal pengawasan lintas sektor antara aktivitas Basel Committee of Banking Supervision (BCBS), International Organizations of Securities Commissioner (IOSCO), dan International Association of Insurance Supervisor (IAIS) telah diupayakan dalam kerangka Joint Forum on Financial conglomerates (JFFC).
3.3 Sistem Regulasi dan Pengawasan Perbankan di Indonesia
a. Perundang-undangan tentang Pengawasan Perbankan di Indonesia
Tugas Mengatur dan mengawasi Bank (UU NO 23 THN 1999)
• Pasal 24
Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
• Pasal 27
Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 adalah pengawasan langsung dan tidak langsung.
• Pasal 29
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.
• Pasal 34
Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sector jasa keuangan yang independen, dan dibentuk oleh undang-undang.
• Pasal 35
Sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1) belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan Bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
3.3.1 Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank
Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia sebagai:
1. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana
2. Pelaksana kebijakan moneter;
3. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; agar tercipta sistem perbankan yang sehat,baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan:
Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi);
Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan
Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian.
3.3.2 Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Bank
Pengaturan dan pengawasan bank oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut:
1.Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian izin oleh BI meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat.
3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank,laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan BI dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan tugas pemeriksaan.
4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.
3.4 Pengawasan Lembaga Keuangan Islam Global
Disiplin pasar yang lebih besar bahwa sistem islam memiliki potensi untuk memasuki sistem keuangan bagaimanapun juga tidak bisa menghilangkan perlunya peraturan dan pengawasan. Bank berurusan dengan dana umat. Deposito mereka jauh lebih dari modal dan leverage mereka lebih tinggi dari perusahaan non-bank. Oleh karena itu, perlu untuk menanamkan kepercayaan terhadap deposan dan menyelamatkan mereka dari kerugian dan mencegah penipuan, salah urus, overlending, konsentrasi kredit, dan eksploitasi kekuasaan bank dan sumber daya untuk memperkaya beberapa gelintir orang saja.
Pengawasan ini diperlukan untuk melindungi sistem pembayaran dari ketidakstabilan dan untuk meningkatkan efisiensi operasi pasar modal dan lembaga untuk mempercepat pembangunan. Ini membutuhkan kehati-hatian dan penegakan peraturan dengan cara pengawasan yang efektif. Bagaimanapun juga peraturan tidak boleh, terlalu ketat dan komprehensif sehingga meningkatkan biaya kepatuhan yang tak tertahankan dan juga mencekik inovasi dan kreativitas. Trade-off antara stabilitas dan efisiensi seharusnya tidak luput dari perhatian.
Namun, sebelum kita masuk ke pembahasan tentang jenis regulasi dan kerangka kerja pengawasan yang diperlukan bagi bank-bank Islam, diharapkan untuk meninjau keadaan terkini infrastruktur pengaturan dan pengawasan yang ada di sekitar dunia maupun di negara-negara Muslim. Sistem yang ada peraturan global dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori umum: tradisional, hibrida, dan muncul sistem kesatuan.
3.4.1 Pengawasan dan Pembinaan Bank Syariah di Indonesia
Pada dasarnya argumentasi pentingya pengaturan dan pengawasan perbankan syariah sama dengan perbankan konvensional. Secara mendasar terdapat dua perbedaan penting antara bank syariah dengan bank konvensional. Pertama adalah adanya tuntutan jaminan bahwa dalam kegiatan usahanya, bank tidak melanggar ketentuan syariah; dan kedua sebagai konsekuensi dari pelarangan instrumen bunga dan digantikan dengan sistem bagi hasil (baik pada sisi aktiva maupun passiva) maka karakteristik risiko dan sifat hubungan antara nasabah dengan bank terlihat dari akad-akad perbankan syariah. Kedua perbedaan pokok ini mengakibatkan perbedaan yang mendasar dalam struktur corporate governance dan sistem pengawasan perbankan syariah.
Sesuai dengan teori delegated monitoring, nasabah dan masyarakat pada umumnya tidak dapat dengan mudah melakukan monitoring dan pengawasan bank. Alasannya antara lain karena kurangnya kompetensi dan kemampuan, kesulitan untuk mengakses informasi tentang kinerja bank, serta tidak tersedianya waktu dan adanya masalah efisiensi untuk dapat melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan usaha bank. Oleh karena itulah peran pengawasan bank dilimpahkan kepada otoritas perbankan. Fungsi otoritas perbankan tersebut diformalkan melalui peraturan perundangan-undangan.
Pengawasan yang dilakukan BI meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung. BI mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan BI. BI melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. BI dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian BI transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan, sehingga membahayakan sistem perbankan dan perekonomian nasional.
Dalam menjalankan tanggung jawabnya, pengawas bank selain memenuhi prinsip-prinsip profesionalisme juga semestinya memiliki suatu keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasi (faith-driven conduct atau Waskat). Menurut nilai-nilai Islami unsur profesionalisme pengawas bank syariah terdiri dari sifat siddiq (jujur), tabligh (menyampaikan kebenaran dan senatiasa membina), amanah (bertanggungjawab), dan fathonah (memiliki skill dan pengetahuan yang mumpuni) yang dapat disingkat STAF.
Nilai-nilai islami yang pada dasarnya mendorong akuntabititas antara lain adalah:
(i) ma'iyatullah dan muraqabah, yaitu keyakinan bahwa Allah SWT senantiasa berada dekat dengan kita dan mengawasi setiap tindak tanduk yang dilakukan baik yang terlaksana maupun yang tersimpan di hati
(ii) muhasabah, perlu mawas diri bahwa kegiatan pengawasan yang dilakukan adalah menilai pihak lain namun perlu disadari bahwa amalan kita juga selalu dinilai oleh Allah SWT,
(iii) mas'uliyah, setiap yang dilakukan akan dimintakan pertanggung jawaban di akhirat kelak. Sejalan dengan hal itu pengawas dan pembina bank perlu bersikap hanif (cenderung kepada kebenaran) serta aktivitas pengawasan yang dilakukan adalah dalam rangka mencari kebenaran dan saling mengingatkan (tabayyun wa tausiyyah).
Kemaslahatan dari sistem yang diajarkan dalam syariah Islam semestinya dapat meningkatkan integritas pengawasan dan pembinaan bank syariah. Oleh karena itu upaya formulasi secara sistematis tentang etika pengawasan perbankan syariah, perlu dikembangkan dengan baik
3.4.2 Keunikan Bank Syariah
Fungsi dasar bank syariah sama dengan bank konvensional, sehingga prinsip umum pengaturan dan pengawasan bank berlaku pula bagi bank syariah. Namun adanya sejumlah perbedaan mendasar dalam operasional bank syariah menuntut adanya perbedaan pengawasan dan pengaturan bank syariah.
Perbedaan mendasar itu adalah :
perlunya jaminan pemenuhan ketaatan pada prinsip syariah dalam seluruh aktivitas bank
perbedaan karakteristik operasional, khususnya akibat dari pelarangan bunga yang digantikan dengan skema profit loss sharing dengan instrumen nisbah bagi hasil
3.4.3 Kerangka pengawasan dan pengendalian bank syariah
Sejumlah perangkat yang diperlukan untuk menciptakan bank yang sehat dan istiqomah antara lain adalah :
sistem pengendalian internal
fungsi manajemen risiko
peraturan peningkatan keterbukaan informasi
sistem akuntansi yang sesuai
mekanisme jaminan kepatuhan syariah, dan
audit eksternal (kesehatan keuangan dan kepatuhan syariah)
Implementasi dari perangkat pengawasan dan pengendalian tersebut memiliki sejumlah perbedaan pada bank syariah karena perbedaan sistem nilai dan operasinya. Langkah-langkah penting dalam menciptakan jaminan pemenuhan prinsip syariah.
aturan dan mekanisme pengesahan dari otoritas fatwa tentang kehalalan/kesesuaian produk dan jasa keuangan dengan prinsip syariah, dan
sistem pengawasan yang memantau transaksi keuangan bank sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas fatwa perbankan serta mekanisme penetapan opini syariah compliance
kodifikasi dan standarisasi akad keuangan syariah
Langkah penting untuk mengatasi masalah unik dari sistem bagi hasil (moral hazard, assymetric information)
penetapan good corporate governance
ketentuan disclosure dan transparansi keuangan
pengembangan skema insentif yang optimal
Sejumlah tantangan kedepan dalam rangka melengkapi tools yang diperlukan untuk menciptakan bank syariah yang sehat dan istiqomah
penyempurnaan regulasi dan panduan best practise
optimalisasi fungsi dan pembentukan lembaga penunjang
pengembangan/penerapan nilai syariah dan kode etik
edukasi publik dalam rangka mendorong consumer advocacy
pengembangan sistem dan mekanisme pengawasan syariah yang efektif
Keterbatasan pembinaan dan pengawasan bank oleh BI, mempunyai keterbatasan sebagai berikut :
tidak dimaksudkan untuk menggantikan tanggung jawab manajemen bank
tidak sepenuhnya menjamin bank tidak akan mengalami bangkrut
Regulasi dan standar perbankan syariah yang telah dihasilkan dalam rangka mendukung pelaksanaan operasional bank syariah yang berhati-hati dan istiqomah antara lain :
Dari sisi kelembagaan :
pendirian bank umum syariah
pendirian BPR syariah
pendirian kantor cabang syariah oleh bank konvensional
Dari sisi penerapan prinsip prudential banking :
penilaian kualitas asset
pembentukan cadangan penghapusan
Dari sisi pasar uang dan moneter :
GWM
Kliring
Pasar uang antar bank syariah
Fasilitas pembiayaan jangka pendek
Dari sisi penyediaan standar :
PSAK No. 59 dan PAPSI
Pedoman audit bank syariah
Laporan bank umum dan BPR syariah
PERBEDAAN MANAJEMEN PENGAWASAN BANK KONVENSIONAL
DAN BANK SYARIAH
4.1. Pengawasan Umum
Secara umum pada dasarnya pembinaan dan pengawasan pada perbankan syariah sama dengan pembinaan dan pengawasan pada bank konvensional, tetapi terdapat perbedaan dalam beberapa hal yakni:
Organisasi
Dalam bank islam terdapat perangkat yang disebut Dewan Syariah. Dewan Syariah tersebut harus terpisah dari Dewan Komisaris dan Dewan Direksi. Bank Indonesia tidak ikut campur terhadap fatwa Dewan Syariah sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perbankan yang berlaku dan asas-asas pengembangan perbankan yang sehat. Dapat ditambahkan bahwa pengawasan terhadap kemurnian Operasi Bank Bagi hasil sepenuhnya menjadi tanggung jawab Dewan Syariah beserta pemilik dan pengurus bank msing-masing. Dalam hal ini Bank Indonesia sebagai Pembina dan pengawas bank hanya menilai apakah kegiatannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip usaha bank yang sehat, termaksud perlindungan terhadap nasabah.
Perizinan
Adanya persyaratan tambahan bagi pendirian bank Islam yaitu, dalam Anggaran Dasar dan Rencana Kerja bank Islam harus dinyatakan dengan jelas mengenai rencana kegiatan usaha yang semata-mata berdasakan prinsip bagi hasil, jual beli dan adanya Dewan Syariah.
Kualitas aktiva produktif dan pembentukan cadangan
Kualitas aktiva produktif dan pembentukan cadangan penilaian terhadap kualitas aktiva produktif bank, erat kaitannya dengan penggolongan kolektibilitas aktiva produktif yang bersangkutan ke dalam kriteria lancer, kurang lancer, diragukan dan macet. Penetapan kriteria tersebut bagi bank konvensional antara lain didasarkan atas pembayaran bunga oleh nasabah, tetapi bagi bank islam yang beroperasi atas prinsip bagi hasil dan jual beli (tanpa bunga), maka ketentuan kolektibilitas yang berlaku bagi bank konvensional perlu dilakuakan penyesuaian khususnya mengenai penilaian kolektibilitas pemberian fasilitas pembiayaan.
Pelaporan
Pelaporan sesusai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 antara lain ditetapkan bahwa setiap bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan dan penjelasannya, serta laporan-laporan berkala lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan Bank Indonesia. Agar bank Islam dapat menyampaikan laporan-laporan tersebut sebagaimana bank konvensional, maka item-item dalam laporan Bank Islam perlu disesuaikan, namun sandi-sandinya tidak diubah.
4.2. Pengawan Khusus
Pengawasan umum terhadap bank Islam oleh Bank Indonesia diperlakukan sama dengan bank konvensional. Namun, pengawasan khususnya terhadap bank Islam dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah karena dari segi syariah compliance hingga saat ini belum ada satu peraturan yang mengatur kewenangan dan tugas BI. Memang Undang-undang perbankan secara umum mengatur norma maupun code of conduct bank, yang mungkin dipahami sebagai implementasi prinsip syariah, yaitu antara lain kewajiban bank Islam untuk menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah dalam memberikan pembiayaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Juga kewajiban bank islam untuk mempunyai keyakinan dan melakukan analisis yang mendalam berdasarkan iktikad baik, kemampuan, kesanggupan nasabah debitor dalam hal pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Ketentuan tersebut tidak memberikan arahan seberapa jauh BI dapat menilai dan bertindak dalam menentukan apakah produk jasa ataupun praktik bank islam, telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. maka diadakanlah "Dewan Pengawas Syariah". Dan Hingga saat ini kewenangan tersebut diberikan kepada DPS yang ada dalam bank-bank tersebut.
Perbedaan selanjutnya dari struktur organisasi yang sangat baik yang dilihat dari stiruktur pengamananya yaitu DPS (dewan pengawas syariah) yang bertugas sebagai pengawasan operasional bank dan produk-roduknya agar sesuai garis syara.
4.2.1 Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Bank syariah yang berbentuk perseroan terbatas, organisasinya mengacu pada ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Hal tersebut berarti bahwa dalam suatu bank syariah kekuasaan tertinggi ada pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pengurusan dilaksanakan oleh Direksi, dan pengawasan terhadap dewan Direksi dilaksanakan oleh Komisaris. Berdasarkan Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32 /34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Dewan Komisaris sekurang-kurangnya berjumlah dua orang dan masing-masing wajib memiliki pengalaman dan/atau pengetahuan di bidang perbankan. Perbedaannya dengan perseroan terbatas lainnya adalah bahwa dalam struktur organisasi bank syariah wajib ada sebuah lembaga yang disebut Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Dewan Syariah Nasional (DSN); Haiah al-Fatwa as-Syariah al-Wathaniah; adalah Dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk, jasa, dan kegiatan bank yang melakukan Kegiatan usaha Berdasarkan prinsip syariah.
Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia. Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturan/ketentuan untuk lembaga keuangan syariah. Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri atas para ulama, praktisi dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah. Anggota Dewan Syariah Nasional ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 (empat) tahun.
Adapun Tugas DSN adalah :
Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana;
mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan;
mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah. Badan Pelaksana Harian DSN adalah badan yang sehari-hari melaksanakan tugas Dewan Syariah Nasional;
mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Wewenang DSN adalah :
(i) Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait;
(ii) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia;
(iii) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah;
(iii) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri;
(iv) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional;
(v ) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
Dewan Pengawas Syariah (DPS); Haiah al-Muraqabah as-Syariah Adalah Dewan yang keanggotaannya direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional dan ditempatkan pada Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan prinsip syariah, dengan tugas dan kewenangan yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional. DPS melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan syariah.
Fungsi DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah adalah sebagai berikut:
(i) melakukan pengawasan secara periodik pada LKS yang berada di bawah pengawasannya;
(ii) berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan LKS kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN;
(iii) melaporkan perkembangan produk dan operasional LKS yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran;
(iv) merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.
Syarat wajib anggota DPS:
(a) integritas;
(b) kompetensi; dan
(c) reputasi keuangan.
Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan integritas, antara lain adalah pihak-pihak yang:
(a) memiliki akhlak dan moral yang baik;
(b) memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(c) memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat;
(d) tidak termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persayaratan kompetensi adalah pihak-pihak yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah mu'amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan atau keuangan secara umum.
Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan reputasi keuangan adalah pihak-pihak yang :
(a) tidak termasuk dalam kredit/pembiayaan macet;
(b) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS antara lain meliputi:
(a) memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional Bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN;
(b) menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan Bank;
(c) memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional Bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi Bank;
(d) mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN;
(e) menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia.
Ketua DPS adalah ketua Dewan Pengawas Syariah di sebuah bank syariah. Penunjukan ketua DPS dapat dilakukan oleh BUK yang memiliki UUS, Direktur UUS atau kesepakatan di antara para anggota DPS. Anggota DPS adalah anggota Dewan Pengawas Syariah di sebuah bank syariah.
Persetujuan atas permohonan calon anggota DPS diberikan berdasarkan pada antara lain: (a) penilaian terhadap komitmen calon anggota DPS dalam pengawasan kegiatan usaha UUS dan ketersediaan waktu; dan (b) wawancara terhadap calon anggota DPS.
Pengangkatan DPS dapat dilakukan oleh Komisaris BUK sepanjang telah diberikan kewenangan oleh rapat umum pemegang saham. Persetujuan Bank Indonesia terhadap anggota DPS berlaku setelah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau Komisaris BUK sepanjang telah diberikan kewenangan oleh rapat umum pemegang saham.
Pelaksanaan produk perbankan Islam dituangkan dalam bentuk akad. Semua akad harus diperiksa DPS terlebih dahulu, agar tidak menyimpang dari ketentuan syariah. Apabila ada akad yang belum difatwakan, DPS harus meminta fatwa terlebih dahulu kepada DSN. Sebelum ada persetujuan dari DSN, akad tersebut belum dapat dikeluarkan. Oleh Karena itu, harus ada batasan waktu bagi DSN untuk memutuskan produk tersebut sesuai atau tidak menurut syariah demi kelancaran dan perkembangan perbankan Islam yang pesat.
Fungsi pengawasan DPS berlangsung sejak produk tersebut akan berjalan hingga akad tersebut selesai. Ini berguna untuk menghindari penyimpangan yang sering terjadi pada saat akad tersebut dibuat, baik dari para pihak maupun dari pelaksanaan isi akad.
Pemberdayaan dan pengembangan system pengawasan dan audit kepatuhan syariah dipelopori oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic FinancialInstitutions (AAOIFI). Dalam standar DPS yang diterbitkan oleh AAOIFI ditentukan sebagai berikut:
1) Setiap pelaporan tahunan bank islam harus mencantumkan pendapat DPS bank yang menjelaskan kegiatan usaha bank sesuai dengan prinsip-prinsip syariah (opini syariah)
2) Adanya proses pengawasan dan audit yang aktif dari pihak DPS terhadap seluruh kegiatan usaha bank.
4.2.2 Kedudukan DPS dalam Bank Syariah
Dalam perbankan syariah kedudukan DPS sejajar dengan Dewan Komisaris. Tujuan dari peletakan DPS sejajar dengan Dewa Komisaris adalah dengan maksud untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh DPS kepada bamk yang bersangkutan. Antara DPS memiliki kesamaan tugas yaitu sebagai pelaksanana fungsi pengawasan bank. Dewan Komisaris bertugas untuk melakukan pengawasan internal bank supaya Dewan direksi tetap mengikuti kebijaksanaan perseroan dan ketentuan yang berlaku. Sedangkan DPS bertugas melakuakan pengawasan internal bank agar operasinal bank syariah yang bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai syariah.
4. 3. Audit Bank Syariah
Sebagaimana dipahami bahwa bisnis perbankan sarat dengan potensi terjadinya information asymmetry (Levine, 2003). Perbankan syariah bahkan memiliki potensi yang lebih tinggi menghadapi information asymmetry problem tersebut, karena karakter khas dalam proses bisnisnya (Archer dan Karim 1997; Chapra dan Ahmed, 2002; Li, 2003). Tidak mengherankan bila kemudian sejumlah pakar dan lembaga regulasi memberikan perhatian akan hal ini. AAOIFI (2002), misalnya telah menerbitkan Governance Standards for Islamic Financial Institutions (GSIFI) dan kemudin IFSB (2005) mengeluarkan Guiding Principles on Corporate Governance for Institutions Offering only Islamic Financial Services.
Dalam konteks negara kita, Bank Indonesia pun telah mengeluarkan PBI No. 11/-33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (BUS dan UUS). Peraturan ini antara lain menjadi pedoman untuk melakukan self assessment pelaksanaan GCG, laporan pelaksanaan GCG, dan tugas dan tanggungjawab DPS.
4.3.1 Model Audit Tata Kelola
Tidak sebagaimana dalam model audit konvensional yang dikenal secara luas dalam praktik audit keuangan dan audit operasional; governance audit (audit atas pelaksanaan tata kelola yang baik) akan difokuskan untuk menilai kewajaran (fairness) manajemen dalam menjalankan operasinya, dan mendapatkan keyakinan bahwa bisnis telah dijalankan secara benar (run properly) (Orlikoff dan Totten, 2002, Sunarsip, 2001). Dalam sebuah model governance audit, sejumlah fungsi audit dilaksanakan untuk melakukan peninjauan atas prosedur tata kelola dan kepatuhan atas pedoman governance dari sebuah organisasi ataupun entitas bisnis (Kotz, 1998; Briant, 2006). Menurut LoBue (2003), governance audit juga mencakup proses assessment atas fokus strategis dari sebuah organisasi. Proses ini termasuk menilai dan mengevaluasi praktek tata kelola yang dilakukan oleh Dewan Direksi, dan dokumen-dokumen terkait implementasi governance audit (LoBue, 2003).
Secara ringkas, governance audit akan dilakukan dalam lima tahap. Pertama, melakukan peninjauan atas praktek corporate governance. Kedua, melakukan wawancara kepada manajemen atas prosedur governance. Ketiga, melakukan komparasi atas standar dan tren industri. Keempat, mendapatkan informasi tambahan dalam pelaksanaan tata kelola, dan kelima, membuat rekomendasi atas hasil audit yang dilakukan.
Lebih jauh, governance audit atau audit tata kelola ini juga mencakup penilaian atas etika profesional, integritas dan nilai-nilai dalam sebuah entitas, termasuk akuntabilitas dari manajemen. Meyakini bahwa governace audit seharusnya dijalankan secara memadai dalam operasi bank syariah, berikut ini dipaparkan sebuah model governance audit bagi bank syariah .
Sebagaimana direkomendasikan oleh AAOIFI (2002) dan IFSB (2005), bank syariah seharusnya dilengkapi dengan sejumlah organ dan fungsi governance yakni: Dewan Pengawas Syariah (DPS), Internal Syariah Review (ISR) serta Governance Committee and Audit Committee. Organ tata kelola ini, bersama dengan auditor eksternal, Dewan Komisaris dan Dewan Direksi, memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan praktek tata kelola bank syariah ke arah yang lebih baik.
Governance Standard for Islamic Financial Institution (GSIFI) No. 4 menyatakan agar bank syariah membentuk sebuah Audit and Governance Committee (AAOIFI, 2002), sedangkan IFSB (2005) membedakan organ governance ini menjadi Audit Committee (Komite Audit) dan Governance Committee (Komite Tata Kelola). Pilihan untuk memisahkan ataupun menyatukan kedua organ governance ini pada dasarnya amat tergantung pada fungsi dan peran yang dibebankan pada organ tersebut. Komite Audit bertanggung jawab untuk mengoptimalkan peran eksternal audit dan memantau efektivitas fungsi internal audit. Sementara itu, Komite Tata Kelola bertanggung jawab atas keseluruhan mekanisme tata kelola di dalam bank syariah.4.3.2 Fungsi Audit Tata Kelola
Karena fungsi strategis yang dimainkan oleh Komite Tata Kelola, organ ini bertanggung jawab untuk menunjuk governance auditor eksternal untuk melaksanakan audit tata kelola, misalnya dalam rentang waktu 3 sampai 5 tahun. Penunjukan auditor tata kelola eksternal ini dilakukan mengingat posisi Governance Committee yang independen. Hasil-hasil governance audit ini sepatutnya dilaporkan kepada Governance Committe terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada Dewan Komisaris dan Dewan Direksi.
Untuk menjalankan fungsinya dengan baik, auditor tata kelola harus mendapat dukungan dan kerjasama dari manajemen bank syariah, mengingat rentang tugas yang dijalankannya cukup luas. Hal tersebut antara lain mencakup: pertama, menijau ulang kelayakan mekanisme corporate governance untuk memastikan kepatuhan bank syariah atas prinsip-prinsip syariah. Kedua, meninjau kewajaran dari kebijakan akuntansi yang diambil. Ketiga, meninjau kewajaran kebijakan disclosure dan transparansi dari penyajian laporan keuangan bank syariah. Keempat, memeriksa kewajaran atas perubahan kepemilikan dan cross-holding dari sebuah bank syariah.
Selanjutnya yang keenam, meninjau etika bisnis dan kode etik atas praktik corporate governance. Ketujuh, mengevaluasi kewajaran atas kebijakan risk management dan risiko usaha yang dihadapi oleh bank syariah. Kedelapan, mengevaluasi kewajaran atas penanganan kasus-kasus hukum yang dihadapi bank syariah.
Penting untuk disadari bahwa pelaksanaan governance audit tidak ditujukan untuk menemukan fraud (kecurangan) dalam manajemen bank syariah, tapi lebih dari itu fungsi audit ini akan menguatkan perusahaan dalam posisi strategis dalam bisnisnya (Kotz, 1998). Yang pada gilirannya akan menjadi pilar utama terciptanya perlakuan yang adil bagi seluruh stakeholder bank syariah melalui perbaikan transparansi dan akuntabilitas bisnis syariah.
5. KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan dari pemaparan pada makalah adalah sebagai berikut :
Bank merupakan industri yang harus diatur dan diawasi secara sangat ketat Krisis sektor perbankan yang kita alami beberapa waktu lalu, merupakan bukti tentang pentingnya pengaturan dan pengawasan perbankan. Besarnya kerugian yang ditanggung karena kegagalan sistem perbankan sangat besar dan berdampak luas bagi perekonomian..
Secara mendasar terdapat dua perbedaan penting antara bank syariah dengan bank konvensional. Pertama adalah adanya tuntutan jaminan bahwa dalam kegiatan usahanya, bank tidak melanggar ketentuan syariah; dan kedua sebagai konsekuensi dari pelarangan instrumen bunga dan digantikan dengan sistem bagi hasil maka karakteristik risiko dan sifat hubungan antara nasabah dengan bank terlihat dari akad-akad perbankan syariah. Kedua perbedaan pokok ini mengakibatkan perbedaan yang mendasar dalam struktur corporate governance dan sistem pengawasan perbankan syariah.
Fungsi dasar bank syariah sama dengan bank konvensional, sehingga prinsip umum pengaturan dan pengawasan bank berlaku pula bagi bank syariah. Namun adanya sejumlah perbedaan mendasar dalam operasional bank syariah menuntut adanya perbedaan pengawasan dan pengaturan bank syariah. Pengawasan umum terhadap bank Islam oleh Bank Indonesia diperlakukan sama dengan bank konvensional. Pengawasan khusus terhadap bank Islam dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah karena dari segi syariah compliance .
Bisnis perbankan sarat dengan potensi terjadinya information asymmetry . Perbankan syariah bahkan memiliki potensi yang lebih tinggi menghadapi information asymmetry problem tersebut, karena karakter khas dalam proses bisnisnya sehingga tidak mengherankan bila kemudian sejumlah pakar dan lembaga regulasi memberikan perhatian akan hal ini. Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI No. 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (BUS dan UUS). Peraturan ini antara lain menjadi pedoman untuk melakukan self assessment pelaksanaan GCG, laporan pelaksanaan GCG, dan tugas dan tanggungjawab DPS.
Daftar Pustaka
Abdul Ghafar Ismail, 2010, Money Islamic Banks and Real Economy, Cengage Learning Asia Ptd.Ltd.
Amin, Ma'ruf. 2007, Prospek Cerah Perbankan Syariah. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Sosial.
Archer, S., & Karim, R. A. A. (1997). Agency theory, corporate governance, and the accounting regulation of Islamic banks. Research in Accounting Regulation, Suppl. 1, 97 – 114
Chapra, M.U. and Ahmed, H. 2002, Corporate Governance in Islamic Financial Institutions, IRTI, Jeddah.
Gandapradja, Gunadi, 2004, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, Jakarta,Gramedia Pustaka Utama.
Kötz, H. (1998), Introduction to Comparative Law, 3rd. ed. trans. T. Weir (Oxford: OUP).
Orlikoff, James.E, Totten, Mary K, 2002, Hospital care; Hospital trustees; Governing Board; Hospital Administration; Quality Assurance, Health Care; Quality control
Paul L. Levine, Joseph G. Pearlman, 2003, "CREDIBILITY, AMBIGUITY AND ASYMMETRIC INFORMATION WITH WAGE STICKINESS, Wiley-Balcwell, The Mancester School.
Rivai, Veithsal, Prof.Dr. H dkk, 2007, Bank and Financial Institution Management, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
Robert M. LoBue, Is accounting at odds with corporate governance?, Source: EUROPEAN JOURNAL OF INTERNATIONAL MANAGEMENT Volume: 3 Issue: 1 Pages: 21-41 Published: 2009, 21p
Sumitro, Warkum. 2002, Asas-asas Perbankan Islam dan lembaga-lembaga Terkait, edisi 1, Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Sunarsip, 2001."Corporate Governance Audit : Paradigma Baru Profesi Akuntan dalam Mewujudkan Good Corporate Governance" dalam MediaAkuntansi No. 17/Th.VII/April-Mei 2001. Halaman II-VI
Umer Chapra, Tariqullah Khan, OCCASIONAL PAPER # 3, " Regulation and Supervision of Islamic Banks", Jeddah Saudi Arabia, 1421 H (2000).
Widyaningsih, dkk. 2005, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana prenada media.
Terimakasih telah membaca Manajemen Pengawasan Bank Syariah. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat
0 komentar: