Judul: Makalah ekologi
Penulis: L. Aprilita
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang "Pemerintahan Daerah" dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang "Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah" telah memberi kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahannya serta mengatur wilayahnya, baik dalam pengaturan sumber daya alam, sumber daya manusia maupun pengelolaan keuangan. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau biasa disebut dengan desentralisasi berimplikasi pada munculnya daerah otonom.Otonomi daerah khususnya di Kabupaten/Kota diharapkan dapat memberikan dampak positif karena daerah otonom dapat dengan leluasa mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang dimilikinya guna mensejahterakan masyarakatnya. Guna menuju kemandirian, sudah saatnya daerah otonom harus menggali semua potensi yang dimilikinya. Pada tahap awal, pemerintah Kabupaten/Kota harus mampu mengidentifikasi tiga pilar pengembangan wilayah yang dimilikinya yaitu potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya teknologi (Mehrtens dan Abdurahman, 2007).Selain dampak positif tersebut di atas, otonomi daerah juga dapat menimbulkan dampak negatif berupa ego sektoral daerah, birokrasi daerah yang terlalu tinggi serta euforia daerah yang merasa tidak memerlukan lagi pemerintah pusat ataupun daerah lain. Guna mengantisipasi dampak negatif tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendorong setiap Kabupaten/Kota untuk melakukan kerjasama antar wilayah/regional dalam rangka meningkatkan daya saingnya di perekonomian global.Guna mendorong terjadinya kerjasama antar daerah secara lebih efektif, maka diperlukan suatu kajian potensi masing-masing Kabupaten/Kota di wilayah dan keterkaitan antar sektor ekonomi serta keterkaitan antar daerah sehingga diharapkan dapat mendorong tumbuhnya ekonomi regional. Keterkaitan ekonomi pada dasarnya menggambarkan hubungan antara perekonomian suatu daerah dengan lingkungan sekitarnya dan eksternalitas aglomerasi dipandang sebagai faktor penentu yang penting dalam konsentrasi geografis kegiatan ekonomi di daerah perkotaan. Kaitan intrasektoral (kaitan antar perusahaan dalam sektor yang sama) dan kaitan antar sektor adalah suatu cara untuk melihat eksternalitas aglomerasi, baik yang dipicu oleh input (pemasok) ataupun output (pelanggan) (Kuncoro, 2002).
Senada dengan hal tersebut, Mehrtens dan Abdurahman (2007) menggambarkan bahwa faktor-faktor yang mendorong suatu kerjasama meliputi: faktor keterbatasan daerah (kebutuhan): hal ini dapat terjadi dalam konteks sumber daya manusia, alam, teknologi dan keuangan, faktor kesamaan kepentingan: adanya persamaan visi pembangunan dan memperbesar peluang memperoleh keuntungan, baik finansial maupun non-finansial, faktor sinergi antar daerah: tumbuhnya kesadaran bahwa dengan kerjasama antar daerah dapat meningkatkan dampak positif dari berbagai kegiatan pembangunan yang semula sendiri-sendiri menjadi suatu kekuatan regional.
Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah yang berjudul "Kerjasama Antar Kota Semarang dan Wilayah Sekitarnya" ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi, juga bertujuan untuk mengetahui potensi dan hubungan timbal balik antara Kota Semarang dan wilayah sekitarnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Wilayah dan Daerah
Wilayah memiliki pengertian suatu daerah geografis yang memiliki luas tertentu atau ada batas administrasi. Daerah (region) adalah lebih menunjuk kepada wilayah administrasi yang lebih luas dibandingkan dengan kota, dapat berupa daerah provinsi, kabupaten, kecamatan atau desa.
Pengertian daerah dapat dilihat dari beberapa disiplin ilmu yang menyangkut studi dalam bidang regional serta tergantung pada tujuan yang hendak dicapai dalam menganalisa suatu daerah. Sukirno (1981) menjelaskan bahwa dalam menganalisa wilayah dapat dibedakan dalam tiga pengertian yaitu:
Daerah atau wilayah adalah suatu ruang atau area geografis dipelbagai pelosok yang mempunyai kesamaaan sifat baik menurut kriteria sosial, ekonomi maupun politik yang dikenal dengan sebutan daerah homogen.
Perbatasan diantara pelbagai daerah ditentukan oleh tempat-tempat dimana pengaruh dari satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi digantikan dengan pengaruh dari pusat lainnya, daerah ini disebut daerah nodal.
Suatu daerah dibedakan menurut batas-batas administratif dalam suatu daerah atau wilayah.
2.2 Pembangunan Ekonomi Lokal dan Regional
Ilmu ekonomi pembangunan didefinisikan sebagai cabang ilmu ekonomi yang menganalisa masalah-masalah yang dihadapi oleh negara sedang berkembang dan mencari cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah ini agar negara-negara berkembang dapat membangun ekonominya lebih cepat lagi (Arsyad, 1999). Sedangkan ilmu ekonomi regional menurut Tarigan (2004) adalah cabang ilmu ekonomi yang dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi satu wilayah dengan wilayah lain. Ilmu regional tidak membahas kegiatan individu melainkan menganalisis suatu wilayah (atau bagian wilayah) secara keseluruhan atau melihat bebagai wilayah dengan potensinya yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah.Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa regional adalah wilayah yang melibatkan beberapa kabupaten atau kota. Jadi pembangunan regional menitikberatkan pada pembangunan yang melibatkan beberapa kabupaten/kota sedangkan pembangunan lokal hanya melibatkan satu kabupaten atau satu kota saja.
2.3 Keterkaitan Antar Wilayah
2.3.1 Kaitan Intrasektoral dan Antarsektor
Keterkaitan ekonomi pada dasarnya menggambarkan hubungan antara perekonomian suatu daerah dengan lingkungan sekitarnya dan eksternalitas aglomerasi dipandang sebagai faktor penentu yang penting dalam konsentrasi goegrafis kegiatan ekonomi di daerah perkotaan. Kaitan intrasektoral (kaitan antar perusahaan dalam sektor yang sama) dan kaitan antar sektor adalah suatu cara untuk melihat eksternalitas aglomerasi, baik yang dipicu oleh input (pemasok) ataupun output (pelanggan) (Kuncoro, 2002).
2.3.2. Kaitan Antar Daerah
Dalam analisis ekonomi regional harus disadari bahwa dalam suatu wilayah terdapat perbedaan yang menciptakan suatu hubungan yang unik antara suatu bagian dengan bagian lain dalam wilayah tersebut. Ada tempat-tempat dimana penduduk/kegiatan berkonsentrasi dan ada tempat dimana penduduk/kegiatan kurang terkonsentrasi. Hubungan antara kedua tempat tersebut yang oleh Tarigan (2005) dikatakan sebagai hubungan antara kota dengan wilayah belakangnya (hinterland). Lebih lanjut Tarigan menerangkan bahwa hubungan antara kota dan daerah belakangnya dapat dibedakan antara kota generatif, kota parasitif dan kota enclave.
Kota generatif adalah kota yang menjalankan bermacam-macam fungsi, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk daerah belakangnya sehingga bersifat saling menguntungkan/mengembangkan. Kota parasitif adalah kota yang tidak banyak berfungsi untuk menolong daerah belakangnya dan bahkan bisa mematikan daerah belakangnya. Kota parasitif umumnya adalah kota yang belum berkembang industrinya dan masih memiliki sifat daerah pertanian tetapi juga perkotaan sekaligus. Selain kedua bentuk hubungan tersebut, masih ada satu bentuk hubungan yang tidak menguntungkan daerah belakangnya yaitu kota yang bersifat enclave (tertutup). Kota ini seakan-akan terpisah sama sekali dari daerah sekitarnnya, ia tidak membutuhkan input dari daerah sekitarnya melainkan dari luar. Hal ini membuat daerah belakang itu makin ketinggalan dan keadaan antara kota dengan desa makin pincang. Untuk menghindari hal ini, daerah belakang perlu lebih didorong dengan melakukan kerjasama agar pertumbuhan daerah belakang bisa lebih sejajar dengan pertumbuhan kota.
Secara umum sebab-sebab perlunya suatu kerjasama antar daerah menurut Mehrtens dan Abdurahman (2007) dapat digambarkan sebagai berikut:
Faktor Keterbatasan Daerah (Kebutuhan): hal ini dapat terjadi dalam konteks sumber daya manusia, alam, teknologi dan keuangan, sehingga suatu kebersamaan dapat menutupi kelemahan dan mengisinya dengan kekuatan potensi daerah lainnya.
Faktor Kesamaan Kepentingan: adanya persamaan visi pembangunan dan memperbesar peluang memperoleh keuntungan, baik finansial maupun non-finansial untuk mencapainya.
Berkembangnya paradigma baru di masyarakat: perlunya pengembangan sistem perencanaan dan pembangunan komunikatif-partisipatif sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Menjawab kekhawatiran disintegrasi: dimana kerjasama dapat menjadi instrumen yang efektif dalam rangka menggalang persatuan dan kesatuan nasional (sinkronisasi dan harmonisasi).
Sinergi antar daerah: tumbuhnya kesadaran, bahwa dengan kerjasama antar daerah dapat meningkatkan dampak positif dari berbagai kegiatan pembangunan yang semula sendiri-sendiri menjadi suatu kekuatan regional.
Sebagai pendorong dalam mengefektifkan potensi dan menggalang kekuatan endogen dalam kegiatan pembangunan wilayah.
2.4 Gambaran Umum Kota Semarang
Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah yang memiliki luas 373,67km2. Kota Semarang berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Demak di timur, Kabupaten Semarang di selatan, dan Kabupaten Kendal di barat.
Daerah dataran rendah di Kota Semarang sangat sempit, yakni sekitar 4 km dari garis pantai. Dataran rendah ini dikenal dengan sebutan kota bawah. Kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir, dan di sejumlah kawasan, banjir ini disebabkan luapan air laut. Di sebelah selatan merupakan dataran tinggi, yang dikenal dengan sebutan kota atas, di antaranya meliputi Kecamatan Candi, Mijen, Gunungpati,Tembalang dan Banyumanik. Pusat pertumbuhan di Semarang sebagai pusat aktivitas dan aglomerasi penduduk muncul menjadi kota kecil baru, seperti di Semarang bagian atas tumbuhnya daerah Banyumanik sebagai pusat aktivitas dan aglomerasi penduduk Kota Semarang bagian atas menjadikan daerah ini cukup padat. Fasilitas umum dan sosial yang mendukung aktivitas penduduk dalam bekerja maupun sebagai tempat tinggal juga telah terpenuhi. Banyumanik menjadi pusat pertumbuhan baru di Semarang bagian atas, dikarenakan munculnya aglomerasi perumahan di daerah ini. Dahulunya Banyumanik hanya merupakan daerah sepi tempat tinggal penduduk Semarang yang bekerja di Semarang bawah (hanya sebagai dormitory town). Namun saat ini daerah ini menjadi pusat aktivitas dan pertumbuhan baru di Kota Semarang, dengan dukungan infrastruktur jalan dan aksessibilitas yang terjangkau (Anonim, 2013).BAB III
PEMBAHASAN
Kota Semarang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah. Sebagai ibu kota Provinsi, Kota Semarang merupakan pusat kegiatan perekonomian, pemerintahan, sosial dan budaya bagi wilayah lainnya di Provinsi Jawa Tengah. Berada di jalur utara Pulau Jawa yang merupakan penghubung Provinsi Jawa Timur dengan Provinsi Jawa Barat. Letak ini akan memberikan peluang di bidang perdagangan, jasa, pariwisata, atau kegiatan lain.
Kota Semarang yang berbatasan dengan Kendal dan Demak merupakan kawasan pantai yang dibudidayakan sebagai kawasan tambak serta menjadi daerah hilir/muara beberapa sungai besar. Di bagian Timur dan Tenggara, yang terdiri dari Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Blora, terdapat daerah rawan banjir yaitu di daerah Demak. Bagian Selatan, yang terdiri dari Kabupaten Temanggung, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Magelang, merupakan daerah pegunungan dan dataran tinggi yang sudah tidak aktif lagi, dengan puncaknya yaitu Gunung Ungaran. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang cukup subur, banyak mata air, hulu sungai serta tambang mineral.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan di Kota Semarang, Semarang bekerjasama dengan Kabupaten Grobogan, Kota Demak, serta Kabupaten Kendal. Dimana ketiga kota tersebut memiliki kawasan lahan sawah yang cukup luas sebesar 36,30%, 27,71%, dan 20,63%. Kota-kota tersebut juga kaya akan sumber daya mineral yang tediri dari bahan galian bangunan, industry, keramik, andesit, sirtu, dan tanah urug. Bahan galian yang paling besar yaitu batu gamping terdapat di Kabupaten Grobogan. Tanah liat terdapat di Kabupaten Grobogan dan Kendal. Bahan galian andesit terdapat di Kabupaten Kendal. Semua bahan galian ini layak tambang, dengan persyaratan penggalian harus dilakukan secara lateral dengan ketinggian yang teratur, menghindari lubang-lubang galian serta penambangannya harus memperhatikan fungsi kawasan dimana bahan galian tersebut berada.
Jumlah penduduk yang cukup banyak pada kota-kota ini menjadi potensi yang dapat dioptimalkan dalam mendukung perkembangan kawasan karena dapat menjadi tenaga kerja yang potensial. Jumlah penduduk usia produktif terbesar berada di Kota Semarang yang mencapai 83,84%, sedangkan pada daerah lain hanya sejumlah kurang dari 70%. Kepadatan yang lebih tinggi pada daerah yang menjadi pusat aktivitas seperti pada Kota Semarang ini menandakan bahwa daerah tersebut menjadi penarik bagi penduduk untuk datang dan melakukan aktivitas. Pergerakan penduduk yang cukup tinggi merupakan potensi dalam pengembangan wilayah karena secara otomatis akan membawa modal (uang) dan barang sehingga pertumbuhan ekonomi juga ikut berkembang.
Selain itu, kualitas sumber daya manusia dapat ditunjukkan oleh kualitas hidup yang merupakan penilaian kesejahteraan masyarakat dan tingkat kepuasannya. Untuk mengukur kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari keberhasilan pembangunan manusia, indikatornya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM atau Human Development Index (HDI) merupakan indeks gabungan antara Indeks Harapan Hidup, Indeks Komposit Pendidikan serta Indeks Daya Beli dan Indeks Harga Konsumen. Semakin tinggi angka IPM atau HDI suatu wilayah menunjukkan keadaan wilayah yang bersangkutan semakin baik. IPM paling rendah dan berada di bawah IPM Jawa Tengah terletak di Kabupaten Kendal (65,5) dan Kabupaten Grobogan (65,5), sedangkan IPM paling tinggi terletak di Kota Semarang yaitu sebesar 73,6.
Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya kemampuan masing-masing sektor ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa. Struktur ekonomi Kota Semarang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang didominasi oleh sektor Industri Pengolahan. Struktur ekonomi Kota Semarang didominasi oleh sektor Industri Pengolahan yang menyumbang sebesar 40,34% dari total PDRB, namun tidak boleh diabaikan begitu saja konstribusi sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang menyumbang pembentukan PDRB sebesar 17,73%. Selain di Kota Semarang, struktur ekonomi yang bertumpu pada sektor Industri Pengolahan adalah di Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang. Di Kabupaten Kendal kontribusi Industri Pengolahan sebesar 40,11%, sedangkan di Kabupaten Semarang, sektor industri dan pengolahan memberikan konstribusi sebesar 47,03%. Mengingat sektor Industri Pengolahan mempunyai nilai tambah yang tinggi dan menyerap tenaga kerja yang cukup besar, maka industri yang ada sekarang (terutama industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian jadi) perlu dikembangkan secara optimal dengan melalui pemberian intensif perpajakan atau kemudahan prosedur bagi pelaku usaha yang ingin mengembangkan usahanya.
Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan menggantungkan diri pada sektor pertanian yang masing-masing memiliki kontribusi lebih dari 40%. Ini menunjukkan bahwa kedua kabupaten tersebut merupakan wilayah agraris. Pada umumnya daerah agraris dalam pembentukan PDRB banyak bergantung pada alam, dan rata-rata pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan daerah industri. Sementara itu, struktur ekonomi Kota Salatiga didominasi oleh tiga sektor utama yaitu Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Industri dan Pengolahan serta sektor Jasa.Kondisi pemanfaatan ruang di wilayah kota-kota ini dipengaruhi oleh kondisi topografinya, yaitu meliputi daerah pesisir dengan pemanfaatan ruang sebagai kawasan budidaya perikanan atau tambak, kawasan pertanian dengan topografi yang relatif datar dan kawasan bukit atau pegunungan yang banyak dimanfaatkan untuk perkebunan dan kawasan lindung.Pada daerah pusat kota yang menjadi simpul aktivitas, guna lahan didominasi oleh guna lahan bangunan, sedangkan tanah sawah relatif tidak banyak.
Seperti halnya pemanfaatan lahan di Kota Semarang, pemanfaatan lahan di Kota Salatiga sangat dominan berupa pekarangan atau bangunan, yang pada semua kecamatan mencapai di atas 50%. Penggunaan lahan yang berupa lahan terbangun berada pada daerah pusat kota dan di sepanjang jalur regional, karena posisi Kota Salatiga yang merupakan kota transit. Kota Salatiga juga berfungsi sebagai wilayah konservasi dan daerah tangkapan air bagi daerah hilir, sehingga rencana pengembangan harus memperhatikan aspek ekologis dan daya dukung lahan.
Wilayah Kabupaten Kendal terbagi dalam dua bagian; bagian atas yang berupa dataran tinggi dengan dominasi berupa hutan dan tegalan yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan penyangga, serta bagian bawah yang berupa dataran rendah yang cenderung berfungsi sebagai wilayah pusat aktivitas serta wilayah yang berbatasan dengan Laut Jawa yang berkembang sebagai areal pertambakan. Pemanfaatan lahan di Kabupaten Kendal didominasi oleh lahan terbuka yaitu tanah sawah seluas 33,84%, serta lahan kering non terbangun. Guna lahan yang berupa hutan sebagai daerah konservasi terdapat pada daerah sebelah selatan yang berupa pegunungan.
Pemanfaatan lahan di Kabupaten Demak didominasi oleh tanah sawah seluas 56,23% dari luas wilayah. Guna lahan terbangun hanya seluas 15,02% dari luas keseluruhan dan wilayah yang berbatasan dengan Laut Jawa berkembang sebagai areal pertambakan. Perkembangan fisik di masa datang harus mempertimbangkan kondisi bahwa sebagian besar lahan Kabupaten Demak adalah sawah produktif, yang sebaiknya tidak dikonversi menjadi tanah kering.
Pemanfaatan lahan di Kabupaten Grobogan didominasi oleh tanah kering seluas 63,87%, sedangkan tanah sawah hanya terdapat sebesar 36,13%. Sebagian besar tanah kering berupa tegalan dan hutan, sedangkan sisanya berupa pekarangan atau bangunan. Wilayah yang berupa dataran rendah dan berfungsi sebagai kawasan budidaya terdapat pada bagian tengah wilayah kabupaten Grobogan, sedangkan wilayah pinggiran adalah kawasan penyangga dan kawasan lindung. Dengan banyaknya kawasan penyangga, maka pengembangan yang ada harus memperhatikan aspek ekologis agar sesuai dengan daya dukung lahan yang ada.
Potensi pemanfaatan ruang di wilayah ini ditunjukkan dengan peruntukan daya dukung lahan sebagai kawasan budidaya cukup luas. Hal ini merupakan potensi bagi ketersediaan cadangan lahan untuk mengantisipasi perkembangan fisik. Yang perlu diingat adalah perubahan guna lahan menjadi daerah terbangun harus memperhitungkan guna lahan sebelumnya dan tidak boleh mengkonversi lahan yang merupakan lahan pertanian subur serta lahan yang berfungsi sebagai penahan intrusi air laut. Perkembangan wilayah perkotaan yang cenderung berbentuk linier mengikuti jaringan jalan akan mempermudah akses pelayanan prasarana. Di sisi lain, kawasan yang bukan merupakan kawasan perkotaan dapat berkembang dengan berorientasi pada sektor agraris atau mengandalkan pariwisata. Di wilayah-wilayah ini terdapat simpul-simpul pergerakan berupa terminal dan sub terminal dimasing-masing kabupaten yang dijadikan sebagai titik awal dalam pergerakan barang dan jasa serta pergantian moda transportasi. Di Kabupaten Demak sistem transportasi sudah melayani sampai ke desa-desa dan ke sentra-sentra produksi pertanian, seperti rute Demak-Godong-Purwodadi. Di Kota Semarang terdapat pelabuhan laut skala nasional sehingga mempermudah pula hubungan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Selain pelabuhan di Kota Semarang, di Kabupaten Kendal nantinya juga akan dikembangkan Pelabuhan Samudra yang merupakan pelabuhan dengan skala internasional. Di bidang transportasi udara, telah tersedia Bandara Ahmad Yani di Kota Semarang sebagai bandar udara nasional yang menghubungkan kota-kota besar di Indonesia. Kedua fasilitas ini merupakan akses penghubung wilayah-wilayah tersebut menuju arus pergerakan internasional.
BAB IV
PENUTUP
4.1Kesimpulan
1. Wilayah Semarang dan sekitarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dalam rangka mendukung perekonomian Jawa Tengah, hal ini merupakan modal dasar bagi setiap Kabupaten/Kota di wilayah tersebut untuk bersinergi melakukan kerjasama yang saling menguntungkan membentuk satu kekuatan ekonomi dan sumber daya yang lebih luas.
2.Kajian tentang potensi ekonomi kewilayahan yaitu dengan melihat bagaimana keterkaitan antar sektor ekonomi serta mengetahui keterkaitan antar daerah sehingga dapat mewujudkan suatu kerjasama antar daerah yang lebih sistematis.
3.Potensi sumber daya yang sangat menonjol yang dimiliki oleh wilayah Semarang dan sekitarnya didukung oleh tiga hal yaitu:
a. Posisi kawasan yang sangat strategis yang didukung oleh Kota Semarang sebagai Ibu Kota Provinsi, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, memiliki akses pada pergerakan internasional serta merupakan salah satu kawasan pusat pengembangan.
b. Potensi sumber daya alam yang melimpah meliputi: potensi tambang, sumber air, potensi sektor pertanian dan kehutanan serta didukung oleh sektor industri yang cukup maju.
c. Potensi sumber daya manusia yang cukup besar, jumlah penduduk ± 5,8 juta jiwa atau 18% dari total populasi Jawa Tengah dengan penduduk usia produktif rata-rata 69,7%. Sektor utama yang menjadi mata pencaharian penduduk adalah Pertanian (32,9%), Perdagangan (22%) dan Industri (15,9%).
4. Sektor-sektor yang memilki peranan dalam memajukan perekonomian dan menjadi sektor basis di wilayah Semarang dan sekitarnya meliputi: sektor Pertanian yang menjadi sektor basis di Kabupaten Demak, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Grobogan; sektor Industri pengolahan merupakan sektor basis di Kota Semarang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang; sektor Pertambangan dan Penggalian merupakan sektor basis di Kabupaten Grobogan, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih merupakan sektor basis di Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Kendal. Sektor Bangunan merupakan sektor basis Kota Semarang dan Kabupaten Demak, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran merupakan sektor basis Kabupaten Semarang serta sektor Pengangkutan dan Komunikasi merupakan sektor basis Kota Semarang dan Kota Salatiga.
5. Keterkaitan antar sektor ekonomi secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Sektor Industri merupakan sektor yang paling berperan karena merupakan pemberi input bagi sektor-sektor lainnya. Selain itu sektor Industri juga merupakan penyerap output terbesar dari sektor lain.
b. Sektor Pertanian dan Industri memiliki keterkaitan langsung ke depan yang cukup besar, hal ini mengindikasikan terjadi potensi yang cukup besar bagi pengembangan industri pengolahan hasil pertanian.
6. Sedangkan keterkaitan antar daerah di wilayah Semarang dan sekitarnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Keterkaitan antar daerah yang cukup kuat terjadi antara Kota Semarang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang. Keterkaitan ini didukung oleh adanya sektor basis yang menjadi sektor unggulan di wilayah tersebut.b. Keterkaitan antar daerah juga terjadi pada sektor basis Pertanian, yaitu antara Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan.
c. Untuk mendorong terciptanya daya saing yang lebih besar, perlu dilakukan sinergitas keterkaitan antara daerah-daerah yang berbasis Industri dengan daerah-daerah yang berbasis Pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Semarang. Diakses tanggal 21 Oktober 2013.
Arsyad, Lincoln. 1999. Ekonomi Pembangunan. Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Yogyakarta:YKPN.
Kuncoro, Mudrajad. 2002. Analisis Spasial dan Regional. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Mehrtens, Jana Marie dan Benjamin Abdurahman. 2007. Regional Marketing, Buku Panduan untuk Manarik Investasi Melalui Aliansi Pembangunan Daerah. Jakarta: Konrad-Adenauer-Stiftung e.V.
Sukirno, Sadono. 1981. Beberapa Aspek Persoalan Dalam Pembangunan Daerah. Jakarta: FEUI.
Tarigan, Robinson. 2004. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
_______________. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Terimakasih telah membaca Makalah ekologi. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat
0 komentar: