Oktober 25, 2016

ISTINBATH HUKUM DALAM SYARH KITAB FATHUL BARI1

Judul: ISTINBATH HUKUM DALAM SYARH KITAB FATHUL BARI1
Penulis: Widia Diana


ISTINBATH HUKUM DALAM SYARH KITAB FATHUL BARI
DAN SUBULUS SALAM
(Metode Syarh Hadits dalam Masalah Udhhiyyah dan Khiyar)
Oleh: Fauzi Saleh
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry
ABSTRAK
Syarh hadits menggunakan metode yang unik dan tepat terutama dalam menjelaskan hadits – hadits yang secara dhahir terjadi ta'arudh (kandungan yang bertolak belakang antara satu dengan lainnya). Secara substantif tidak mungkin hadits tersebut bersifat kontradiktif karena sumbernya satu dan hakikat sebagai wahy ghay al-matlu. Karena itu, setiap hadith memiliki korelasi tekst dan konstek sehingga pemahamannya tidak bisa dipahami parsial terutama hal-hal yang tidak berhubungan dengan 'ibadah al-mahdhah. Fath al-Bari dan Subulussalam dapat dijadikan sampel kajian bagaimana kedua pensyarah dalam menjelaskan dua kasus yakni udhhiyyah dan khiyar.
Kata kunci: udhiyyah, khiyar, metode syarh
A. Pendahuluan
Sebagaimana pensyarah kitab hadits lainnya, Ahmad bin Ali bin Hajar al-'Asqalani dan Shan'ani, sebagai pensyarah Shahih al-Bukhari dan Bulughul Maram memiliki metode uraian yang berbeda, baik dari sistematika pembahasannya, cara menjelaskan cakupan maknanya, metode penyelesaian musykil haditsnya dan seterusnya.
Yang tidak kurang pentingnya, bagaimana seorang pensyarah menguraikan dan mengistinbath hukum yang dikandung dalam hadits. Di sini perlu dikaji apakah pensyarah melakukan metode komperatif, artinya ia mengangkap berbagai pendapat lintas mazhab kemudian mentarjihkannya, ataukah ia lebih cenderung kepada mazhab tertentu.
Penulis menganggap penting hal tersebut dengan tujuan melacak dan menilai kerangka metodologis syarah tersebut – dalam hal ini Fathul Bari dan Subulussalam– sehingga dapat memberikan gambaran umum terhadap kitab ini yang akan membantu dalam menganalisa masalah – masalah lain yang terkandung di dalamnya, mulai membahas objek bahasannya, bagaimana uraiannya dan apa kesimpulan dan manfaat yang dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Shahih al-Bukhari dengan syarahnya Fathul Bari dan Subulussalam sepatutnya untuk dilakukan kajian untuk menggapai hal-hal yang diharapkan di atas. Karena itulah, penulis mencoba membahas syarah ini dengan fokusnya pada masalah Udhhiyyah dan Khiyar. Beberapa bab penulis ambil yang dianggap representatif, yakni sejumlah hadits berkaitan dengan thaharah, selanjutnya, sejalan dengan fiqh hadits, penulis mencoba menguraikan bagaimana langkah-langkah yang digunakan Abadi dalam menerangkan lafazh ghumudh, kemudian pengertian dan kesimpulan hukum dari hadits tersebut. Juga kemungkinan adanya hadits-hadits yang ta'rudh dhahiran, bagaimana solusi yang diuraikannya, manakah yang didahulukan antara al-jama', al-naskh ataukah al-tarjih. Ini merupakan permasalahan yang berkenaan ilmu gharib al-hadits, bagian dari musykil al-hadits.
B. Sekilas Tentang Pengarang Fathul Bari dan Subulussalam
Fathul Bari dikarang merupakan syarah Shahih al-Bukhari yang dikarang oleh Ibn Hajar[1]. Nama lengkap beliau adalah Al-Hafiz Ibn Hajar Al-'Asqalani is Abul-Fadl, Shihabuddin Ahmad bin 'All bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Kinani AshShafi'i. Ibn Hajar Al-'Asqalani dilahirkan pada tanggal 10 Sha'ban, 773 H di Egypt dan di situ pula ia tumbuh dewasa dalam keadaan yatim, dan ayahnya adalah seorang ulama dan pedagang, yang meninggal tahun 777 H.
Umur sembilan tahun, ia sudah menghafal al-Qur'an dan juga al-Hawi, mukhtashar Ibn Hajib serta kitab-kitab lainnya. Untuk mendalami ilmu agama, ia musafir ke Malika. Di situ ia mendengar penjelasan para ulama. Ia mengagumi pengetahuan hadits dan mensupportnya untuk mendapatkan hadits tersebut pada syeik agung di Hijaz, Syam, Mesir dan tinggal bersama az-Zain al-Iraqi selama sepuluh tahun. Di samping itu, ia juga belajar bersama al-Baqillani, Ibn Al-Mulaqqin dan lainnya. [2]
Pada tahun 786 H, Ibn Hajar hijrah dari Mekkah ke Mesir dimana ia menghafal sejumlah buku seperti al- Umda al-hadith and juga Al-Haawi yang merupakan buku dalam mazhab al-Syafi'i. Juga menghafal Mukhtasir Al-Haajib yakni buku Ushul Fiqh .
Tentang buku-bukunya, Ibn Hajar memiliki sejumlah buku, yang paling kenal adalah Fathul Bari, syarh Shahih al-Bukhari, lainnya seperti Tahreeb wa-tahreeb, buku yang menjelaskan tentang sejumlah perawihadits dalam kitab al-Sittah. Buku-buku beliau berkisar tentang berbagai ilmu keislaman seperti hadits, tafsir, ulumul Qur'an. Pada hari selasa, 14 Dhulhijjah 852 Hijri, beliau meninggal dunia.[3]
Sementara al-Shan'ani, sebagai pensyarah Bulughul Maram, dilahirkan di kota Kahlan pada tahun 1099 H (1688 M). Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Isma'il bin Shalah bin Muhammad al-Hasani al-Kahlani al-Shan'ani Abu Ibrahim 'Izzuddin. Dari kota kelahirannya, ia hijrah ke Shan'a' bersama orang tuanya. Di situ ia mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu hadits. Ia wafat di kota Shan'a' pada tahun 1182 H (1768M).[4]
C. Kerangka Umum Fiqh al-Hadits
Di antara kerangka umum yang ditekankan dalam pembahasan Fiqh Hadits dari Fathuk Bari dan Subulussalam adalah pembahasan tentang musykil al-hadits. Metode penyelesaian musykil hadits yaitu; ilmu gharib al-hadits, ilmu ikhtilaf al-hadits dan ikhtilaf min jihah al-Mubah. [5]
Yang dimaksud dengan ilmu gharib al-hadits adalah Ibn Shalah berkata – sebagaimana dikutip Prof. Dr. Daniel Djuned, MA – bahwa Ilmu Gharib al-hadits adalah:
علم يعرفف به ما وقع في متون الأحاديث من الألفاظ الغامضة البعيدة عن الفهم لقلة استعمالها
Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy adalah: Ilmu yang digunakan untuk mengetahui kata-kata yang berbeda dari pengertian biasa dan pengertian tersebut tidak mudah diperoleh, karena kata-kata tersebut dari bahasa ganjil dari berbagai qabilah yang tidak sering lagi digunakan[6].
Yang dimaksud dengan ilmu ikhtilaf al-hadits adalah:
هو العلم الذي يبحث في اللأحاديث التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوفق بينهما كما يبحث في الأحاديث التي يشكل فهمها أو تصورها فيدفع إشكالها ويوضح حقيقتها
Pendekatan yang dilakukan terhadap hadits yang ta'arudh dhahiran dengan urutan: a. Pendekatan al-Taufiq atau al-Jam'u. b. al-Nasakh c. al-Tarjih. [7]
Ikhtilaf mubah menurut al-Syafi'ie adalah hadits-hadits mukhtalif yang mengandung hukum yang berbeda, sehingga salah satunya harus ditinggalkan. Ibn Taimiyah lebih jauh menjelaskan bahwa ada dua model amalan. Pertama, ulama membolehkan kedua-duanya, hanya saja yang satu lebih afdhal dari yang lain. Kedua, ulama memperselisihkan pengamalan salah satu antara keduanya. [8]
D. Pembahasan
Untuk melakukan komparasi antara dua model pensyarahan, antara Fathul Bari dan Subulussalam, maka pemakalah menfokus pada hadist tentang al-adhahi.
Udhhiyyah
Dalam Ibn Hajar, Fathul Bari
باب في أضحية النبي صلى الله عليه وسلم بكبشين أقرنين ويذكر سمينين
وقال يحيى بن سعيد سمعت أبا أمامة بن سهل قال: كنا نسمن الأضحية بالمدينة. وكان المسلمون يسمون
5553- حدثنا آدم بن أبي إياس حدثنا شعبة حدثنا عبد العزيز بن صهيب قال: سمعت أنس بن مالك رضي الله عنه قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بكبشين وأنا أصحي بكبشين
5554 – حدثنا قتيبة حدثنا عبد الوقات حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم انكفأ إلى كبشين أقرنين أملحين فذبحهما بيده
باتع وهيب عن أيوب . وقال إسماعيلوحاتم بن وردان: عن أيوب عن ابن سيرين عن أنس
5555- عمرو بن خالد حدثنا الليث عن يزيد عن أبي الخير "عن عقبة بن عامر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم أعطاه غنما يقسمها على صحابته ضحايا فبقي عتود فذكره للنبي صلىالله عليه وسلم فقال: ضح أنت به
Maksud dari bab adalah binatang sembelihan yang memiliki tandung seimbang. Dalam hadits tersebut terdapat beberapa kata yang dipandang ghumudh oleh pensyarah. Beliau mulai dengan lafazh kibasy. Yang dimaksud dengan kibasy yaitu kambing jantan, umur berapa saja.[9]
Samiinain sifat dari kibasy. Lafazh ini tidak dijelaskan lagi karena dianggap sudah ma'lum. Sifat tersebut – dalam penjelasan Ibn Hajar – dikuatkan lagi dengan hadist:
عن عبد الله بن محمد بن عقيل عن أبي سلمة عن عائشة أو عن أبي هريرة "أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أراد أن يضحي اشبرى كبشين عظيمين سمينين أقرنين أملحين موجوءين فذبح أحدهما عن محمد وآل محمد والآخر عن أمته من شهد الله بالتوحيد وله بالبلاغ"
Selanjutnya Ibn Hajar menjelaskan lafazh amlah sebagai lafazh ghumudh dan gharib lainnya. Yakni warna lyang ada putih dan hitam, namun warna putih lebih dominan, disebut pula dengan al-aghbar. Dia juga mengutip pernyataan al-Khattabi: (amlah) yakni warna putih yang disela-sela bulunya terdapat tingkatan warna hitam. Ada pula yang mengatakan putih murni, demikian pendapat al-'Arabiyy dan al-Syafi'iyyah, dimana mereka mengutamakan warna putih dalam penyembelihan kurban. Ada yang mengatakan: yang di atasnya bewarna merah. Pendapat lain mengatakan: binatang yang melihat (mata) bewarna hitam, yang berjalan (kaki) hitam, yang makan (mulut) hitam, yang duduk (pantat) hitam. Artinya tempat ini semua bewarna hitam dan selain itu putih.[10]
Terjadi berbeda pendapat tentang sifat-sifat hewan sembelihan: ada yang mengatakan yang enak dipandang, pendapat lain: yang berlemak dan banyak dagingnya. Yang dijadikan dalil adalah pilihan bilangan dalam penyembelihan. Karena itulah Pengikut al-Syafi'iyyah: sesungguhnya kurban 7 ekor kambing itu lebih afdhal daripada seorang unta. Karena darah yang mengalir itu lebih banyak, maka pahala bertambah banyak sesuai dengan banyaknya aliran darah. Dan barangsiapa yang hendak menyembelih lebih dari satu maka ia menyegerakan pelaksanaannya. Diriwayatkan dari ar-Riwayaani al-Syafi'ie disunatkan untuk memisah penyembelihan di antara hari-hari kurban. An-Nawawi berkata: lebih patut bagi orang miskin namun menyalahi sunnah. Dan hadits menunjukkan untuk menyembelih dua. Ini tidak berarti bahwa barangsiapa yang hendak menyembelih beberapa binatang lalu menyembelihnya 2 ekor pada hari pertama, selebihnya disembelih hari-hari setelahnya berarti menyalahi sunnah. Uraian paragraf ini menunjukkan ikhtilaf min jihah al-mubah. Masing-masing menjelaskan keafdhaliaan yang aneka ragam berdasarkan pemahaman mereka terhadap nash. Ada yang memandang segi kualitas dan ada pula segi kuantitas. Dalam uraian ini Ibn Hajar banyak mengulas dalam kalangan mazhab al-Syafi'ie, meskipun tidak mentarjihkan mana yang lebih kuat.[11]
Ikhtilaf mubah itu juga terlihat dalam uraian Ibn Hajar dengan mengutip pendapat lain berikut ini:
Hadits juga menunjukkan bahwa binatang jantan untuk kurban lebih utama daripada betina. Diriwayatkan dari al-Rafi'ie ada dua pendapat dari al-Syafi'ie. Pertama, apa yang disebutkan dalam al-Buwaithi tentang binatang jantan. Karena dagingnya lebih bagus. Inilah pendapat yang lebih shahih, tambah Ibn Hajar.
Pendapat yang kedua, binatang betina lebih afdhal. Al-Rafi'ie mengatakan bahwa hal tersebut disebut demikian pada bab "buruan" ketika mengukur harga. Yang betina lebih mahal harganya, maka tidak ditebus dengan hewan jantan. Atau yang dimaksud adalah betina yang belum beranak. Ibn al-'Arabiyy berkata: yang lebih benar adalah afdhalnya yang jantan daripada betina untuk kurban. Ada juga yang berpendapat: keduanya sama saja. Perbedaan di atas juga tidak diikuti pendapat Ibn Hajar. [12]
Ikhtilaf mubah berikutnya:
Hadits diatas juga menunjukkan sunat menyembelih yang punya tanduk. Ia lebih utama daripada yang tak bertanduk. Namun ulama sepakat bahwa ajam (yang tak bertanduk) pun boleh untuk kurban. Di sini juga ada perbedaan pendapat tentang binatang yang patah tanduknya.
Hadits menginformasikan sunnat bagi pekurban untuk menyembelihnya sendiri, disamping tetap menjaga agar binatang tersebut sesuai sifat dan warna yang disunatkan.[13]
Selanjutnya terdapat gharib al-Hadits berupa lafazh-lafazh yang ghumudh sebagai berikut:
Ghanam itu lebih umum, mencakup kambing ataupun biri-biri.
'ala shahabatihi mungkin dhamir itu kembali kepada Nabi Saw. Boleh juga kembali kepada aqibah. Yang penting, boleh berarti ghanam itu kepunyaan Nabi Saw dan memerintahkan untuk membagi-baginya sebagai tabarru', mungkin juga berarti al-fai, yang menjadi kecenderungan al-Qurthubi, dimana mengatakan tentang hadits di atas: seorang imam sewajarnya untuk membagi-bagikan kurban kepada orang yang tidak mampu, dari harta baitul mal. Ibn Baththal berkata: jika pembagian tersebut di antara orang-orang kaya, maka itu namanya fai, apabila dikhususkan bagi fakir, maka namanya zakat.[14]
Dalam hal ini, al-Bukhari menjelaskannya pada al-syarikat "bab qismat al-ghanam wa al-adl fiihaa". Seakan-akan beliau memahami bahwa Nabi Saw menjelaskan bahwa hasil itu diberikan kepada mereka dan tidak boleh diwakili. Ibn Hajar menegaskan pendapatnya: mungkin berarti Nabi Saw menyembelihnya untuk mereka, dibagikan kepada masing-masing.
Ghumud yang lain adalah:
'Atuud yakni anak biri, yang tumbuh, digembalai dan disembelih ketika sampai tahun. Ibn Baththal berkata: 'atuud yakni biri yang berumur 5 bulan.
Berikut ini, mencoba memberikan uraian terhadap hadits yang ta'aradh dhahiran.
Dhahhi bihi anta, tambahan al-Baihaqi dalam riwayatnya dari al-Laits "laa rukhshah fiihaa li ahadin ba'daka. Seakan-akan penulis menghendaki dengan menyebutkan hadits `aqabah – yakni kurbannya Nabi Saw satu kambing – sebagai istidlal bahwa hal tersebut bukanlah yang wajib, tapi pilihan. Artinya barangsiapa yang menyembelih satu juga boleh, apabila lebih dari satu itu lebih baik. Dan yang lebih afdhal adalah ittiba' , yakni menyembelih dua kibasy. Ulama yang mempertimbangkan banyaknya daging, seperti al-Syafi'ie: yang lebih afdhal adalah unta, kemudian domba, dan lembu. Ibn 'Arabiyy berkata: pendapat al-Syafi'i tersebut sejalan dengan Asyhab dari pengikut al-Malikiyyah. Tidak ada yang dapat seimbang dengan amalan Nabi Saw. Tapi mungkin berpegang dengan ucapan Ibn Umar ra, beliau Saw menyembelih di mushalla (tempat shalat), mungkin onta atau lainnya. Ia berkata: itu hal yang bersifat umum, dan berpegang pada yang sharih itu lebih utama, yakni kibasy.[15]
باب من ذبح الأضاحي
5558 – حدثنا آدم بن إياس حدثنا شعبة حدثنا قتادة عن أنس. قال: ضحى النبي صلى الله عليه وسلم بكشين أملحين ، فرأيته واضعا قدمه على صفاحهما يسمى ويكبر، فذبحهما بيده
Ibn Hajar mengawali uraiannya dengan penjelasan bab. Ia mengatakan, yang dimaksud dari bab tersebut: apakah disyaratkan pembelian oleh si pelaksana qurban ataukah itu yang lebih utama? Mereka sepakat boleh mewakilkannya dalam penyembelihan meskipun si pelaksana kurba mampu melaksanakan sendiri.[16]
Berikut ini Ibn Hajar mengutip tentang ragam riwayat yang kelihatannya ta'arudh dhahiran.
Menurut al-Malikiyah – jelasnya – ada riwayat yang menyatakan tidak boleh mewakili penyembelihan itu bagi yang mampu. Tapi kebanyakan ulama al-Malikiyah menyatakan hal tersebut makruh tapi disunatkan untuk menyaksikan. Makruh pula bagi orang yang berhaid, anak-anak atau kitabiyy (budak yang berusaha memerdekakan diri) untuk mewakili si pelaku kurban. Urutan tersebut juga menunjukkan yang paling baik di antara mereka untuk menggantikan (mewakilkan).
Ibn Hajar – dalam hal gharib al-hadits - selanjutnya menerangkan kata-kata dhahha. Ia mengatakan dalam Abu 'Uwanah tadi, lafazh tersebut dalam bentuk madhi, namun - katanya – dalam riwayat Hammam disebutkan dengan lafazh yudhahhi, dan itu menurutnya lebih jelas (adhhar) menunjukkan kontinyuitas Rasulullah dalam berkurban.
Penjelasan tersebut menggambarkan bagaimana Ibn Hajar teliti dalam memberi keterangan terhadap sebuah lafazh. Keterangan yang beliau berikan tidak hanya terfokus pada pemaknaan lafazh, tapi juga spesifikasi lafazh antara madhi dan mudhari dan seterusnya. Sehingga perbedaan sekecil apapun akan terlihat, itu semua menggambarkan qudwah Rasul Saw dalam hadits di atas sebagai contoh.
Bi kabsyain amlahain, kata Ibn Hajar, tambahannya dalam riwayat 'Uwanah dan Hammam, yang keduanya dari Qatadah: aqranain. Lafadh tersebut dijelaskan pada hadits sebelumnya.[17]
Termasuk dalam ghumud dalam : Fa ra aituhu waadhi`an qadamuhu `alaa shafaahihimaa artinya atas sisi binatang ketika sembelihnya. Al-shaffah maksudnya salah satu sisi dari wajah binatang sembelihan.
Di antara ta'awwul bi al-Qur'an dalam Yusamma wa yukabbar, di sini menunjukkan disunatkan takbir dengan mengucapkan beserta menyebutkan nama Allah. Di samping itu juga disunatkan meletakkan kaki di atas sisi leher binatang, sebelah kanan. Mereka (ulama) sependapat bahwa merebahkan binatang di atas sisi kirinya lalu meletakkan kaki si penyembelih supaya memudahkan si penyembelih menggerakkan pisau dengan kanannya dan memegang kepala binatang dengan tangan kirinya.[18]
Udhhiyyah
Dalam Shan'ani, Subulussalam
عن أنس بن مالك رضي لله عنه " أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يضحي بكبشين أملحين أقرنين، ويسمى ويكبر ويضع رجله على صفاحهما" وفي لفظهما" وفي لفظ "ذبحهما بيده" متفق عليه، وفي لفظ "سمينن" ولأبي عوانة في صحيحه "ثمينن" بالمثلثة بدل السن، وفي لفظ لمسلم ويقول "بسم الله الله أكبر"
Dalam hadits di atas, al-Shan'ani mengawali penjelasannya tentang kata-kata ghumudh: shafahihima. Ia mengutip pendapat Ibn Hajar dalam kitab al-Nihayah: shafhah kulli syay' artinya setiap sesuatu yang searah dengannya dan di sampingnya.[19]
Selanjutnya, kata-kata ghumudh lainnya: al-kibasy yaitu kambing yang mencapai dua tahun apabila sudah keluar gigi ruba'i, amlah bermakna putih murni. Ada juga yang berpendapat: maknanya putih yang bercampur dengan sedikit hitam. Pendapat lain: putih yang bercampur dengan merah. Pendapat yang lain lagi: yang ada warna putih dan hitam, tetapi warna putih lebih banyak, dan al-aqran yakni yang punya dua tanduk.
Kemudian al-Shan'ani menjelaskan tentang hukum yang dikandung dari hadits diatas. Ia mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan sunnat menyembelih yang bertanduk. Dan boleh juga binatang yang tidak bertanduk. Ulama berbeda pendapat tentang yang patah tanduknya. Jumhur – jelasnya – membolehkan, sedangkan al-Hadawiyah tidak membolehkannya bila tanduk yang hilang itu menyebabkan kematiannya. Gambaran ini menunjukkan ada ikhtilaf al-mubah.
Ulama sepakat disunatkan yang al-amlah. An-Nawawi – lanjutnya – berkata: sesungguhnya yang paling afdhal menurut sahabat adalah putih, kemudian kuning selanjutnya al-ghubara'. Lafadh 'al-ghubara' yakni yang tidak murni putihnya. Tingkat selanjutnya: al-balqa'. Lafadh 'al-balqa' yakni yang sebagian hitam dan sebgian putih. Yang terakhir adalah hitam. Hal ini menunjukkan adanya penjelasan gharibul hadits.
Shan'ani juga melakukan komparasi dengan hadits lain. Dalam hal ini ia mengutip hadits Aisyah yang berbunyi:
يطأ في سواد ويبرك في سواد وينظر في سواد
Ia menjelaskan hadits tersebut berarti bahwa binatang tersebut berkaki hitam, perut dan sekitar matanya hitam.
Secara eksplisit, ia menjelaskan pendapatnya:
Jika keutamaan pada warna dengan bersandarkan pada sembelihan Rasulullah Saw, maka secara dhahir dituntut untuk menyediakan binatang yang berwarna tertentu, tetapi menyembelih binatang yang sudah disepakati (kriterianya), mudah mendapatkannya. Maka tidak memberikan indikasi keutamaan satu warna dari warna lainnya. Penjelasan di sini terlihat Shan'ani memberikan keterangan terhadap ikhtilaf al-mubah. Sehingga ia menarik benang merah dari maksud hadits di atas.[20]
Lafadh: wa yusamma wa yukabbir itu ditafsirkan dengan lafazh muslim " bismillah wa Allahu akbar.
Adapun tempat letak kaki Nabi Saw berada pada sisi leher, yakni disisinya. Maka hendaknya menjadi tekanan yang pas agar tidak bergerak binatang sembelihan. Ini menunjukkan sunnat si pengurban untuk menyembelih sendiri.[21]
2- وله من حديث عائشة: أمر بكبش أقرن يطأ في سواد ويبرك في سواد وينظر في سواد فأتي به ليضحي به فقال لها: يا عائشة هلمي المدية، ثم قال: اشحذيها بحجر، ففعلت ، ثم قال: "اشحذيها بحجر" ففعلت، ثم أمذها وأخذه فأضجعه، ثم قال: بسم الله ، اللهم تقبل من محمد وآل محمد ومن أمة محمد" ثم صحى به.
Shan'ani juga memulai dengan menjelaskan lafazh ghumudh:
Asyhadza berarti mengasahkan, artinya mengasah sisi piisau dngan batu dan lainnya. Midyah=pisau besar
Dalil di atas mengandung dalil tentang sunnat untuk merebahkan binatang kurban, tidak menyembelihnya berdiri, tidak pula dalam kondisi duduk. Dalam kondisi demikian lebih lembut. Rebahnya hendaknya sebelah kiri, karena lebih mudah disembelih untuk mengambil pisau dengan kanan dan memegang kepalanya dengan kiri.[22]
Berikut ini al-Shan'ani menggunakan taawul bi al-Qur'an dalam hal berdoa, demikian penjelasannya:
Dalam hadits tersebut disunatkan untuk berdoa untuk diterima kurban dan amalan lainnya. Ucapan Ibrahim As ketika membangun Baitullah:
Rabbana taqabbal minna innaka antas sami'ul 'alim.
Taawul bi al-Qur'an selanjutnya juga kita dapatkan dalam keterangannya berikut ini:
Ibn Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw ketika menyembelih dan menghadapkannya ke kiblat: wajjahtu wajhiya (Qs. al-An'am: 79)
Ucapan Nabi: wa aali Muhammad dan pada lafazh 'an Muhammad wa aali Muhammad menunjukkan diberikan pahala kurban juga kepada keluarganya dan mereka ikut serta mendapatkan ganjaran. Juga indikasi sahnya mewakilkan terhadap orang lain dalam hal ketaatan, meskipun orang tersebut tidak memerintahkan atau mewasiatkan, maka sah menjadikan pahala amalannya kepada orang lain, baik itu shalat atau lainnya. Sebagaimana disebutkan pada hadits yang diriwayatkan Dar al-Quthni dari hadits Jabir:
Sesungguhnya seorang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya punya dua orang tua, saya berbuat baik ketika keduanya masih hidup, lalu bagaimana berbuat baik kepada keduanya setelah mereka meninggal? Nabi Saw menjawab: Sesungguhnya di antara al-birr setelah al-birr anda shalat untuk keduanya bersama shalatmu dan berpuasa untuk keduanya bersama puasamu.[23]
Pengutipan hadits ini mungkin merupakan suatu jawaban terhadap ikhtilaf yang terjadi mengenai doa, shalat, puasa dan seterusnya kepada orang yang telah meninggal.
7- وعن علي رضي الله عنه قال: أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نستشرف والأذن، ولانضحي بعوراء ولا مقابلة ولامدابرة ولاخرقاء ولاثرماء"
Al_Shan'ani menjelaskan beberapa mufradat yang ghamidhah:
Nastasyrif berarti kami menyelidiki (kebaikan) terhadap (mata dan telinga) supaya tidak terjadi kekurangan dan aib pada keduanya.[24]
Muqabalah binatang yang terpotong ujung telinganya, kharqaa yakni binatang yang terpotong telinganya. Tsarmaa yakni binatang yang gugur gigi keduanya, ada yang mengatakan: gigi kedua dan keempat, ada pula yang mengatakan: yang gugur giginya dari awal, hanya saja dilarang dari binatang semacam itu karena makannya.[25]
Hadits di atas merupakan dalil bahwa hanya boleh kecuali sifat yang disebutkan, demikian mazhab al-Hadawiyah. Imam Yahya berkata; boleh tapi makruh.
Lafazh ghumudh lainnya: Mashfarah yakni binatang yang kurus, ada yang mengatakan: yang putus telinganya. Atau yang ada telinganya hingga terlihat bagian dalamnya. Al-muta'shalah yang tidak memiliki tanduk dari dasarnya. Al-musyi'ah yakni tidak bersifat kelemahan. Al-Kasrah berasal dari kata al-kasirah (terpecah tanduknya).[26]
Adapun binatang yang terpotong pantatnya atau ekornya juga dibolehkan untuk dikorbankan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Majah dan al-Baihaqi dari hadits Abu Sa'id, ia berkata:
اشتريت كبشا لأضحي به فعدا الذئب فأخذ منه الألية فسألت النبي صلى الله عليه وآله وسلم فقال: ضح به
Selanjutnya Sha'ani mencoba mentarjih dengan mengatakan bahwa di antara perawinya adalah Jabir al-Ju'fi, dan gurunya Muhammad bin Qurdhah, majhul, hanya saja terdapat pendukung dalam riwayat al-Baihaqi. Selanjutnya dijadikan dalil oleh Ibn Taimiyah bahwa aib yang terjadi setelah ditentukan bahwa binatang tersebut untuk dikurbankan tidak akan menjadi masalah. Sementara al-Hadawiyyah mengganggap bahwa yang cacat pantatnya itu tidak sah dijadikan kurban.[27]
Dalam Nihayatul Muqtashid disebutkan:
Bahwa pengarang menyebutkan pada bab ini dua hadits hasan yang saling berlawanan. Al-Nasa'ie menyebutkan dari Abu Burdah: Sesungguhnya ia berkata: Ya Rasulullah, tidak membenci kekurangan di tanduk dan telinga. Maka Nabi Saw bersabda:
وما كرهته فدعه ولاتحرمه على غيرك
dan aku tidak membencinya maka tinggalkalah ia dan janganlah engkau haramkan bagi orang lain.
Kemudian ia menyebutkan hadits Ali Ra:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نستشرف العين
Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk memperhatikan mata.
Barangsiapa yang menguatkan hadits Abu Burdah, maka ia berkata: Tidak perlu diperhatikan kecuali empat cacat yang tadi dan yang lebih berat dari itu.
Barangsiapa yang menggunakan metode al-jam'u maka mereka memahami hadits Abu Burdah bermakna 'sedikit cacat' yang tidak begitu nyata, sementara hadits Ali terhadap cacat yang banyak lagi jelas.
Selanjutnya Shan'ani mengatakan bahwa para ulama membolehkan kurban dengan segalam macam binatang ternak. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang mana yang lebih afadhal. Menurut dhahir hadits menunjukkan bahwa ghanam itu lebih afdhal untuk berkurban daripada lainnya karena itu merupakan fi'il Nabi Saw dan perintahnya, meskipun dipahami hal tersebut sesuatu yang paling mudah bagi mereka. Ini juga merupakan metode al-jam'u terhadap hadits yang ta'aradha dhahiran
Selanjutnya ijma' menunjukkan bahwa tidak boleh berkurban selain binatang ternak kemlainkan apa yang diriwayatkan dari al-Hasan, berupa sapi liar, juga dari riwayat dari Asma', dimana ia berkata:
ضحينا مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم بالخيل
Dan juga riwayat dari Abu Hurairah dimana beliau menyembelih ayam jantan.
Khiyar
Dalam Ibn Hajar, Fathul Bari
Ibn Hajar dalam penjelasan terhadap al-Bukhari memulai dengan kutipan langsung:
2107- حدثنا صدقة أخبرنا عبد الوهاب قال: سمعت يحيى بن سعيد قال: سمعت نافعا عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن المتبايعين بالخيار في بيعهما مالم يتفرقا أو يكون البيع خيارا". قال نافع : وكان ابن عمر إذا اشترى شيئا يعجبه فارق صاحبه.
2108- حدثنا حفص بن عمر حدثنا همام عن قتادة عن أبي الخليل عن عبد الله بن الحارث عن حكيم بن حزام رضي الله عنه عن البي صلى الله عليه وسلم قال: البيعان بالخيار ما لم يتفرقا". وزاد أحمد حدثنا بهز قال: قال همام: فذكرت ذلك لأبي التياح فقال:كنت مع أبي الخليل لما حدثه عبد الله بن الحارث هذا الحديث.
Ibn Hajar mengawali dengan menjelaskan tentang judul:
باب كم يجوز الخيار
Ia mengatakan bahwa khiyar ada dua macam: khiyar majlis dan khiyar syarat. Ada pendapat lain yang menambahkan khiyar al-naqishah. Ibn Hajar membatasi pada Khiyar Syarat.
Ibn Hajar mengutip perkataan Ibn al-Munir: mungkin saja tidak ada pembatasan hari dalam hadits (tentang hal ini) tetapi perkara ini tergantung pada ragamnya barang yang menjadi objek transaksi. Ibn Hajar berkata: diriwayatkan al-Baihaqi melalui jalur `Ilqimah al-Gharwi dari Nafi' dari Ibn Umar marfu' : "Al-Khiyar tsalatsatul ayyam". Ini seolah-olah kesimpulan hadits yang diriwayatkan ashhabus sunan melalui jalur Muhammad bin Ishak dari Nafi' dalam Kisah Hibban bin Munqidzd. Ini juga hujjah Hanafi dan Syafi'I bahwa masa khiyar itu tiga hari.
Sementara Malik mengingkari pembatasan waktu hanya tiga hari. Meskipun kebiasaannya khiyar terjadi dalam masa itu. Jadi setiap barang itu disesuaikan masa khiyarnya. Binatang, pakaian misalnya cukup masa khiyar satu atau dua hari, budak sejum'at, dan rumah sebulan.[28]
Al-Auzai berkata: masa khiyar berlanjut hingga sebulan atau lebih sesuai dengan kebutuhan. Al-Tsauri berkata: khiyar tergantung pembeli dan masanya berlanjut hingga 10 hari atau lebih. [29]
Selanjutnya, Ibn Hajar hanya menerangkan makna mufradat al-mutabayiaini yaitu penjual beli. Ma lam yatafarraqa yang menurut Tsa'lab berarti berpisah baik ucapan atau diri pelaku jual beli. [30]
Ibn Hajar melanjutkan pada bab selanjutnya:
باب إذا لم يوقت الخيار هل يجوز البيع؟
2109- حدثنا أبو النعمان حدثنا حماد بن زيد حدثنا أيوب عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، أو يقول أحدهما لصاحبه اختر، وربما قال: أو يكون بيع خيار
Ibn Hajar menerangkan maksud bab ini adalah apabila penjual atau pembeli tidak menentukan waktu untuk khiyar atau waktu berlaku mutlak. Apa hukumnya jual beli itu.
Seolah-olah – kata Ibn Hajar – ini masih mengisyaratkan perbedaan yang lalu tentang masa khiyar syarat. Menurut al-Syafi'I dan Hanafi tidak lebih 3 hari, Abu Lali, Abu Yusuf, Muhammad, Ahmad, Ishak, Abu Tsaur dan lainnya berpendapat tidak ada ketetapan waktu, tapi jual beli boleh dan khiyar syarat berlaku hingga waktu yang telah ditentukannya. Demikian pula pendapat Ibn Munzir. Andaikata penjual dan pembeli mensyaratkan kiyar mutlak, menurut al-Auzai dan Ibn Abu Laila: Syarat itu batal dan jual beli boleh. Ats-Tsaur, al-Syafi'I dan Ashhab al-Ra'y berpendapat: jual beli batal juga.[31]
Pada bab berikutnya:
باب ((البيعان بالخيار ما لم يتفرقا))
2110 – حدثنا إسحاق أخبرنا حبان بن هلال قال: حدثنا شعبة قال: قتادة أخبرني عن صالح أبي الخليل عن عبد الله بن الحارث قال : سمعت حكيم بن حزام رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما، وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما
2111 – حدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن نافع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: المتبايعان كل واحد منهما بالخيار على صاحبه ما لم يتفرقا، إلا بيع الخيار))
Ibn Hajar menafsirkan kalimat
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا
dengan khiyar majlis. Selanjutnya untuk menjelaskannya, Ibn Hajr mengutip atsar yang lain seperti
للترمذي من طريق ابن فضيل عن يحيى بن سعيد "وكان ابن عمر إذا ابتاع بيعا وهو قاعد قام ليجب له"
Disamping itu masih ada beberapa atsar yang lain yang menjelaskan pengertian kalimat di atas.
Selanjutnya beliau menjelaskan kalimat: ma lam yatafarraqa dengan menyebutkan adanya pendapat ulama. Yaitu pisah badan itu adakah batas terakhir? Yang masyhur dan kuat – katanya – bahwa hal itu tergantung pada urf (kebiasaan).[32]
Kemudian ia menjelaskan lafazh: muhiqat barakatu baini hima yaitu kemungkinan terjadi penipuan dan dusta dalam jual beli sehingga hilang berkahnya. Kemugkinan lain adalah hal ini khusus kepada orang yang melakukan tadlis dan aib. Ia menyimpulkan bahwa hadits menunjukkan kelebihan jujur serta anjuran bersikap demikian. Juga cela dusta dan memerintahkan meninggalkannya. [33].
Selanjutnya lafazh: illaa bay' al-khiyar, maksudnya – katanya – tidak perlu perpisahan. Ibn Hajar ingin menguatnya dengan bab sebelumnya:
ما لم يتفرقا أو يقول أحدهما لصاحبه اختر
Ini merupakan dalil yang menetapkan adanya khiyar majlis. Meskipun – kata Ibn Hajar – Ibrahim al-Nakha'I berbeda pendapat tentang hal ini, dimana ia berkata: jual beli boleh meskipun sudah berpisah. Dikuatkan pula dengan riwayat Abu Sa'id bin Manshur:
إذا وجبت الصفقة فلا خيار له
Ini juga pendapat al-Malikiyyah kecuali Ibn Habib dan al-Hanafiah.
Ibn Hazm berkata: semua salaf berpendapat demikian kecuali Ibrahim saja. Ada pendapat yang mengatakan: ini mansukh dengan hadits:
المسلمون على شروطهم
Khiyar setelah akad membatalkan syarat. Hadits tahaluf (sumpah) ketika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli karenanya membutuhkan kepada sumpah. Dan itu memastikan adanya akad, andaikatanya khiyar ituterjadi tentu hilangnya akad. Sebagaimana firman Allah SWT:
وأشهدوا إذا تبايعتم)
"Penyaksian" itu perlu ketika adanya perpisahan tapi tidak melaksanakan hal-hal yang seharusnya. Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan adanya naskh. Karena naskh hanya ada dengan ihtimal. Penggabungan dua dalil di sini tidak mengharuskan kepada tarjih. Menurut Ibn Hajar, hadits-hadits masih bisa dilakukan al-jam'u tanpa harus takalluf (membuat-buat).[34]Ada riwayat yang mengatakan bahwa Malik mengamalkan sebalik yang diriwayatkan. Ibn Arabi berkata bahwa Malik berpendapat dengan khiyar syarat tanpa membatasi waktu tertentu.
Dan gharar yang diduganya memang ada dalamnya. Hakikatnya gharar ini akan sirna karena baik khiyar syarat maupun khiyar majlis itu memmungkan pelaku transaksi untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi. Ada yang mengatakan bahwa ini khabar ahad yang tidak diamalkan. Tetapi pendapat ini ditolak karena hakikatnya ia khabar masyhur yang harus dilaksanakan seperti qahqah dalam shalat dan wajib witir.[35] Ada pendapat lain: ini berlawanan dengan qiyas al-jali. Tapi ini dianggap tidak kuat karena berlawanan dengan nash.[36]Ada sebagian berpendapat: yang dimaksud dengan tafarruq dalam hadits yaitu tafarruq (putus) pembicaraan seperti pada akad nikah, ijarah dan memerdekakan budak. Ibn Hajar langsung meresponnya bahwa ini merupakan qiyas farigh, karena jual beli merupakan perpindahan milik dan manfaat. Ibn Hazm berkata: baik kita katakan tafarruq badan ataupun pembicaraan, namun hadits ini menetapkan adanya khiyar majlis.
Pendapat lain mengatakan: yang dimaksud dengan mutabayi'ani adalah mutasawamani (yang menawar). Ibn Hajar menolaknya, menurutnya arti itu adalah majaz, sedangkan memahami secara hakiki itu lebih cocok.[37]
Sebagian Hanafiah berpendapat: jual beli merupakan hal yang disyariatkan dan suatu ketentuan hukum, yang sifatnya lazim dan hukumnya boleh memiliki. Adapun mengakhirkan jual beli hingga berpisah kedua belah pihak itu tidak berdasarkan dalil, karena apabila sebabnya sempurna maka jelas hukumnya. Ibn Hajar menjawabnya: jual beli itu merupakan sebab membuat seseorang menyesal. Dan menyesal itu perlu untuk diselidiki. Karenya agama memberikan khiyar majlis supaya kedua belah pihak tidak terjadi penyesalan. [38]
Hadits lain berkenaan yang disyarahkan Ibn Hajar:
2112- حدثنا قتيبة حدثنا الليث عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: إذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعا، أو يخير أحدهما الآخر، فتبايعا على ذلك فقد وجب البيع، وإن تفرقا بعد أن يتبايعا ولم يترك واحد منهما البيع وجب البيع.
Hadits ini terdapat pada bab:
باب إذا خير أحدهما بعد البيع فقد وجب اليبع
Yakni apabila salah satunya melakukan khiyar setelah terjadi transaksi, maka transaksi dianggap sah, baik sebelum maupun sesudah terpisah. Hadits yang lain yang selafazh dengan hadits di atas:
إذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخاير ما لم يتفرقا.
Lafazh: wa kana jami'an itu sebagai penguat (ta'kid) terhadap tindakan tersebut. Au yukhayyir ahaduhuma al-akhar maka batallah khiyar.
Ulama berbeda pendapat tentang lafazh: la bay'a illa ba`da al-khiyar dalam hadtis Malik. Pendapat jumhur dan dikuatkan al-Syafi'I adalah: pengecualian berlaku khiyar hingga berpisah (tafarruq), maksudnya adalah keduanya jika memilih untuk melangsungkan jual beli sebelum berpisah maka jual beli ketika lazim, sementara tafarruq (berpisah) tidak menjadi pertimbangan lagi. Taqdir dari lafazh di atas:
إلا البيع الذي جرى فيه التخاير.
Al-Nawawi berkata: ulama-ulama sepakat bahwa untuk mentarjihkan tak'wil ini. Menganggap tidak orang yang menyamakan, serta menyatakan keliru yang mengatakannya. Dalam riwayat al-Laits dhahir sekali pentarjihan itu.[39]
Ada yang berpendapat bahwa itu merupakan istitsna' (pengecualian) dari habisnya khiyar dengan berpisah. Ada pula yang mengatakan: au yufarriq ahaduhuma al-akhar maksudnya adalah khiyar itu disyaratkan interval waktu tertentu. Mka tidak batal khiyar dengan berpisah bahkan tetap berlaku sehingga sampai interval waktu yang telah ditentukan. Demikian diriwayatkan Ibn Abdul Bar dai Abu Tsaur. Dan beliau mentarjih pendapat yang pertama karena sedikit yang diidhmarkan. Yang dikuatkan riwayat al-Nasa'I dari jalur Ismail dari Nafi' degnan lafazh: illaa an yakuna al-bay' kaana `an khiyar. Apabila jual beli itu tidak ada khiyar maka jual beli dianggap terlaksana. Ada yang berpendapat: ini merupakan pengecualian dari penetapan khiyar majlis. Maksudnya atau salah satunya berkhiyar, maka ia berkhiyar dalam khiyar majlis, degnan demikian khiyar tersebut dianggap tidak ada. Ini – menurut Ibn Hajar – termasuk kemungkinan pena'wilan yang sangat lemah. [40]
Ada pendapat yang lain: keduanya berhak khiyar selama belum berpisah kecuali sudah memastikan transaksi oleh satu satunya meskipu belum berpisha sekalipun. Kecuali jaul beli dengan syarat khiyar meskipun setelah berpisah. Demikian pendapat penakwil terdahulu.dikuatkan lagi riwayat Abdur Razak dari Sufyan dalam hadits yang disebutkan: illa bay' al-khiyar.[41]
Khiyar dalam
Shan'ani, Subulussalam
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: إذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعا، أو يخير أحدهما الآخر، فتبايعا على ذلك فقد وجب البيع، وإن تفرقا بعد أن يتبايعا ولم يترك واحد منهما البيع وجب البيع" متفق عليه واللفظ لمسلم
Shan'ani mengawali penjelasan dengan menyebutkan sepotong berupa kata-kata ghumudh dari hadits di atas[42]:
Idzaa tabaaya'aar rajulaani artinya terjadi akad antara kedua, tanpa ada tawar-menawar yang tanpa akad
Tafarraqaa artinya berpisah berbidan.
Beberapa hadits yang ta'aradhaa dhahiran yang mengakibatkan beberapa perbedaan pendapat sebagai berikut:
Fain khayyara ahaduhuma maksudnya apabila salah satunya mensyaratkan khiyar dalam waktu tertentu, maka khiyar itu tidak batal meskipun berpisah badan bahkan akan tetap berlaku hingga selesai masa khiyar yang disyaratkan itu.
Ada pula yang mengatakan bahwa maksud adalah apabila berkhiyar pembelian sebelum berpisah maka wajiblah (terjadi) transaksi itu. Hal itu diindikasikan oleh hadits lain:
فإن خير أحدهما الآخر فتبايعا على ذلك فقد وجب البيع
Hadits menunjukkan adanya khiyar majlis, dan ia berlangsung hingga berpisah badan.
Ulama berbeda pendapat tentang adanya khiyar tersebut, dua pendapat:
Pertama, adanya khiyar, demikian pendapat jama'ah sahabat, Ali, Ibn Abbas, Ibn Umar dan lainnya, demikian pendapat kebanyakan tabi'in, al-Syafi'ie, Ahmad, Ishaq, Imam Yahya[43]; mereka berkata:
Tafarruq (berpisah) yang membatalkan khiyar yaitu berpisah yang berlaku secara adat (kebiasaan). Dalam sebuah rumah yang kecil, (maka berpisah) dengan keluar salah satunya. Dalam rumah yang besar, (maka berpisah itu) dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dua atau tiga langkah. Ini diindikasikan dengan perbuatan Ibn Umar yang ma'ruf itu.
Apabila keduanya sama-sama tetap atau pergi maka khiyar itu tetap berlaku.
Kedua, Pendapat al-Hanafiyyah, Malik dan Imamiyyah: bahwa selesainya khiyar majlis bahkan ketika selesainya pembicaraan kedua pelaku akad itu. Tidak ada syarat kecuali apa yang disyaratkan, sebagai ta'awul bi al-Qur'an, mereka berpegang pada:
Firman Allah Swt:
عن تراض منكم (النساء: 29)
واشهدوا إذا تبايعتم (البقرة: 282)
Mereka berkata: yang menjadi fokus dalil meskipun terjadi setelah berpisah maka tidak menerapkan perintahnya:
وإن لم يصادف محله
Dan hadits
إذا اختلف البيعان فالقول قول البائع
Maka pendapat itu dijawab dengan
- hadits di atas sebagaimana pada khiyar syarat.
- Demikian pula hadits dan ayat yang keduanya dimaksudkan ketika akad dan tidak menafikan adanya khiyar majlis sebagaimanya tidak menafikan pula khiyar-khiyar lainnya.
Mereka merespon: hadits itu mansukh dengan hadits:
المسلمون على شروطهم
Sementara khiyar setelah lazimnya akad merusak syarat.
Dijawab: bahwa asal (hadits) di atas tidaklah mansukh dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain.
Mereka berkata: karena itu dari riwayat Malik, dan ia tidak mengamalkannya.
Dijawab: bahwa mukhalafah perawi tidak mengharuskan hadits itu tidak diamalkan, karena pengamalannya itu berdasarkan ijtihadnya. Dan sudah nampak mana yang kuat dalam pandangannya[44]
Penjelasan-penjelasn di atas, meskipun terlihat ada hadits yang menjadi pegangan masing-masing mazhab yang secara sepintas kelihatannya ta'arudh (ta'aradhaa dhahiran), tapi Shan'ani meskipun secara eksplisit tidak menyebutkan pendapatnya, namun ia mendukung pendapat pertama. Ia berusaha menggunakan teori jam'u untuk memberikan penjelasan bahwa hadits-hadits tersebut memberikan keterangan yang searah.
E. Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa uraian beliau diawali dengan penjelasan tentang mufradat ghamidhah, yang merupakan bagian pembahasan Ilmu Gharib al-Hadits baik karena lafazh muthlaq, mubham, atau pun musytarak antara pemahaman etimology dan terminology seperti dalam kasus udhhiyyah dan khiyar di atas.
Terhadap hadits-hadits yang ta'arudh dhahiran, mereka biasanya mengutip dua kelompok atau lebih disertai dengan hujjah yang diangkatnya. Bila jelas tarikhnya, maka cenderung untuk menggunakan pola naskh, namun banyak pula kategorisasi al-jam'u yang beliau kedepankan terutama, dengan cara kompromi tersebut, maka dipahami sebenarnya hadits-hadits tersebut tidak bertentangan tetapi hanya menunjukkan ikhtilaf al-mubah, seperti dalam masalah khiyar yang sudah dijelaskan di atas.
Ada pula hadits-hadits yang ta'arudh itu ia uraikan dengan mengangkat pendapat mazhab, ia tidak memberikan komentar apakah harus dijam'u, nasakh atau pun tarjih, tapi ia mengatakan bahwa kedua pendapat itu belum sempurna, selanjutnya ia mengajak pembaca untuk berpikir.
Bedanya Shan'ani dengan Ibn Hajar – menurut pemakalah – dalam hal ini, Ibn Hajar lebih tegas menyatakan pendapatnya dengan istilah yang digunakannya: qultu. Sementara Shan'ani hanya memaparkan pendapat mazhab yang ia cenderung, tanpa menyebutkan ketegasan pendapatnya sebagaimana yang dijelaskan dalam keterangan di atas.
Dari sample yang diangkat tadi, kelihatannya Shan'ani tidak cenderung untuk menguat suatu mazhab. Jelas sekali, cara kerjanya adalah dengan mengumpulkan semua adillah dan sekian pendapat yang kelihatannya bertolak belakang, dengan komparasi atara dalil-dalil yang ada, ia menyatakan cenderung terhadap satu pendapat, hanya saja secara kebetulan kadang kala kecenderungannya itu sesuai dengan pendapat salah satu mazhab.
Sementara Ibn Hajar lebih menguatkan pendapat mazhabnya – yakni mazhab Syafi'ie – dalam banyak hal. Ini dapat dilihat dalam keterangan di atas yakni dalam hal udhhiyyah (kurban). Ini tidak berarti dalam semua masalah, tapi kecenderungan itu kelihatannya ada.
Kelebihan Ibn Hajar dalam hal ini, ia mampu memberi penjelasan yang sangat detail dan teliti sehingga tidak melahirkan pertanyaan-pertanyaan – terutama bagi kaum awam – terhadap apa yang dijelaskan itu.
Wallahu a'lam bishhsawab
[1]Ibn Hajar bernama Ahmad bin Ali Bin Muhammad al-Kannani al-Syafi'I, Abu al-Fadl, Syihabuddin yang dikenal dengan Ibn Hajar al-Asqalani yang dinisbahkan kepada Asqalan di Palestina. Termasuk salah satu ulama ahli hadits dan sejarawan. Dilahirkan di Kairo, tahun 773 H – 1372 M, seorang yang menekuni sastra dan syair. Ia menghafal al-Qur'an kemudian mendalami hadits, ia mengembarfa ke Hijaz dan Yaman untuk belajar pada Syeikh-syeikh yang hebat. Ketika mencapai puncaknya, ia menjadi orang yang yang masyhur dan banyak ulama yanb belajar padanya, ia menjadi pembawa panji Islam pda masanya.
Ia pernah menjadi qadhi Mesir lebih dari 21 kali, kemudian ia berhenti. Ia mengajar hadits, tafsir dan fikih. Ia menghasilkan lebih 120 karya. Muridnya, al-Sakhawi, berkata: "karangan-karangantersebut tersebar sejak masa hidupnya, menjadi hadiah para raja dan menjadi buku-buku orang-oran g hebat". Di antara buku karangannya:
الدرر الكامنة، لسان الميزان – الإصابة في تمييز الصحابة – تهذيب التهذيب – أنباء الغمر بأنباء العمر – فتح الباري على شرح صحيح البخاري – طيوان الشعر – بلوغ المرام من جمع الأدلة الأحكام[1]
[2]http://www.dar-us-salam.com/a-hafizhajar.htm
[3]http://www.sunnahonline.com/ilm/seerah/0074.htm
[4]Al-Shan'ani, Subulussalam Syarh Bulughul Maram, Jilid I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Hayah, 1989), h. 8
[5] DR. Daniel Djuned, MA, Paradigma Baru Studi Hadis, Rekonstruksi Fiqh al Hadis, (Banda Aceh: Citra Karya, 2002), h. 68-73
[6] Ibid., h. 70
[7] Ibid., h. 77-108
[8] Ibid, h. 113-115
[9]Ibn Hajar, Fathul Bari bi Syarh al-Bukhari, Jilid 10, (Ain Syam: al-Fath lil A'lam al-Arabiyy, 2000), h. 10
[10]Ibn Hajar, Fathul Bari…h 11-12
[11]Ibid., h. 11-12
[12]Ibid., h. 11-12
[13]Ibn Hajar, h. 12
[14]Ibid., h. 12
[15]Ibn Hajar, h. 13
[16]Ibn Hajar, Fathul Bari bi Syarh al-Bukhari, Jilid 10, (Ain Syam: al-Fath lil A'lam al-Arabiyy, 2000), h. 20
[17]Ibn Hajar, …h. 21
[18]Ibid, h. 21
[19]al-Shan'ni, Jilid, 4, h. 185
[20]Ibid.
[21]al-Shan'ni, Jilid, 4, h. 185
[22]Ibdi., h. 186
[23]Subulussalam, h. 186
[24]Ibid.
[25]Ibid.
[26]Ibid.
[27]Subulussalam, h. 194
[28] Ibn Hajar, Fathul Bari..., Jilid IV, h. 410
[29] Ibid., h. 410
[30] Ibid., h. 411
[31] Ibid., h. 412
[32] Ibid., h. 414
[33] ibn Hajar h. 414
[34] Ibid.,, hl. 415
[35] Ibid., h. 415
[36] Ibid., h. 415
[37] Ibid., h. 415
[38] Ibid., 417
[39]Ibid.
[40] Ibid., 418
[41] Ibid., h. 419
[42]Shan'ani, Subulussalam…, Jilid III, h. 5
[43]Ibid., h. 6
[44]Ibid., h. 7


Download ISTINBATH HUKUM DALAM SYARH KITAB FATHUL BARI1.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca ISTINBATH HUKUM DALAM SYARH KITAB FATHUL BARI1. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: