September 21, 2016

Studi Implementasi Kebijakan PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 021 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM di kota Semarang

Judul: Studi Implementasi Kebijakan PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 021 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM di kota Semarang
Penulis: Bagus Ramadhan


Studi Implementasi Kebijakan PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 021 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM di kota Semarang
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Gas bumi merupakan salah satu sektor penting pada suatu negara, terkait dengan adanya kebutuhan akan energi dan kemajuan perekonomian bangsa. Berangkat dari semangat konstitusi kita pada pasal 33 UUD 1945, bahwa cabang produksi vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal ini pemerintah yang sejatinya menjadi aktor dalam pelaksanaan kebijakan - kebijakan yang terkait masalah penyediaan sumber – sumber penghidupan rakyat haruslah mampu melaksanakan tanggung jawabnya demi terciptanya suatu keadaan dimana rakyat dapat merasakan dampaknya atau dengan kata lain kebijakan yang telah ditetapkan harus mampu sesuai target dan tepat sasaran.
Pada dewasa ini masayarakat khususnya di Indonesia sudah mulai akrab dengan kata elpiji. Tidak hanya bagi kalangan atas saja, saat ini pun kalangan menengah kebawah sudah mulai akrab dengan elpiji. Elpiji saat ini dianggap sebagai generasi pengganti minyak tanah untuk menunjang kegiatan memasak. Gas elpiji sendiri merupakan gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas Propana (C3), Butana (C4) atau campuran keduanya (Mix LPG). LPG diperkenalkan oleh Pertamina pada tahun 1968. Selama ini masih banyak salah pengertian mengenai apa dan darimana sumber LPG diperoleh. Menurut arti harfiah kata, LPG merupakan singkatan dari Liquid Petroleum Gas yang artinya gas yang dicairkan pada tekanan tertentu yang diperoleh dari minyak bumi yang telah difraksionasi.Sehingga sumber utama penghasil LPG sebenarnya adalah minyak bumi, bukan gas bumi. LPG juga bisa dihasilkan dari gas bumi namun membutuhkan proses yang lebih rumit untuk mengolahnya menjadi LPG. (Perencanaan Sistem Distribusi LPG 3 Kilogram: Studi Kasus Kaltim, Girindra Anggoro P., Firmanto Hadi, S.T.,M.Sc)
Dengan adanya kebijakan yang dibuat pemerintah seperti mengalihkan penggunaan minyak tanah ke penggunaan gas elpiji sudah semestinya harus diselaraskan dengan penyediaan dan pendistribusian gas elpiji dengan baik. Pemerintah melakukan program konversi minyak tanah ke LPG dalam bentuk LPG 3kg. Pada awalnya LPG dipasarkan bagi kalangan terbatas dengan produk tabung12 kg dan 50 kg. Namun seiring terkait dengan permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan energi, dimana subsidi bahan bakar minyak tanah semakin lama semakin besar dan adanya arah kebijakan energi nasional yang baru, maka sejak tahun 2007 pemerintah melakukan program konversi minyak tanah ke LPG dalam bentuk LPG 3kg. Hal ini antara lain dilakukan untuk mereduksi subsidi minyak tanah yang semakin membengkak seiring dengan tingginya harga minyak dunia, menggantinya dengan subsidi LPG yang harganya relatif lebih murah. Akibat dari kebijakan tersebut, maka kemudian di pasar LPG muncul varian produk baru LPG yakni LPG 3 kg dengan harga subsidi yang dipastikan lebih murah dari LPG yang telah tersedia di pasar yaitu LPG 12 dan 50 kg yang harganya lebih mahal.. .Program Konversi Minyak Tanah ke LPG merupakan program pemerintahyang bertujuan untuk mengurangi subsidi BBM, dengan mengalihkan pemakaianminyak tanah ke LPG. Program ini diimplementasikan dengan membagikan paket tabung LPG beserta isinya, kompor gasnya kepada rumah tangga danusaha mikro pengguna minyak tanah. Untuk mengurangi dampak sosial atasdiberlakukannya program ini, pendistribusian LPG dilakukan oleh eks Agen danPangkalan Minyak Tanah yang diubah menjadi Agen dan Pangkalan Elpiji 3 kg Program ini ditugaskan kepada Pertamina, berkoordinasi dengan Departemen terkait,dan direncanakan pelaksanaannya secara bertahap antara tahun 2007 – 2010. Seiring perubahan tersebut, LPG kini menjadi perhatian banyak kalangan karena menjadi produk yang sangat dibutuhkan konsumen, sehingga permintaan naik cukup tajam sehingga harganya yang terus melambung dan pasokan sering terkendala dengan kelangkaan sebagaimana di beberapa wilayah, terutama untuk produk bersubsidi LPG 3 kg. Dalam hal ini, ditengarai selain konsumen minyak tanah yang beralih ke LPG juga terjadi peralihan konsumsi dari LPG jenis yang satu ke LPG yang lainnya. Kenaikan harga LPG 12 kg telah mendorong konsumen beralih mengkonsumsi LPG 3 kg yang sebenarnya merupakan komoditi khusus bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Berpindahnya masyarakat untuk mengkonsumsi LPG 3 kg menyebabkan permintaan LPG 3 kg tersebut meningkat sehingga menimbulkan kelangkaan LPG bersubsidi. Di sisi lain, pendistribusian LPG juga tersendat sehingga masyarakat menganggap Pemerintah tidak siap dalam menjalankan program konversi tersebut. Dengan munculnya persoalan yang diakibatkan varian produk dalam komoditi LPG, yakni produk LPG 3 kg yang mendapat subsidi dan LPG12 kg dan 50 kg yang tidak disubsidi dan dianggap sebagai produk murni milik pelaku usaha dalam hal ini Pertamina, maka kompleksitas permasalahan dalam industri LPG meningkat.(PENERAPAN MODEL SIMULASI SISTEM DINAMIS PADA ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN PERTAMINA TERHADAP PERFORMA PERUSAHAAN AGEN GAS LPG, Asri Kusumaningtyas, 2011).
Jalur ditribusi Gas Elpiji 3kg sebagaimana diatur dalam "Pedoman pencacahan dan Distribusi Elpiji 3 kg" mengikuti skema berikut:
Gambar 1.1
(Sumber http://gaselpiji.com/jalur-distribusi-elpiji.html)
Permasalahan dalam penyediaan dan distribusi tabung gas elpiji 3 kg ternyata sudah menjadi permasalahan yang kompleks. Dalam dekat ini permasalahan terjadi di daerah Semarang dan sekitarnya. Sejumlah warga di Kudus dan Jepara melaporkan ke Radio Idola tentang menghilangnya gas LPG 3 Kg di pasaran. Menurut Nur Kholis, warga desa Semat, Tahunan, Jepara, sudah lebih dari sebulan pasokan gas LPG 3 Kg ditokonya kosong. " Kosong sudah sebulan nih, saya Tanya distributor gak ada kepastian" ungkapnya Kepada Radio Idola. Tidak hanya di Tahunan, Jepara, kelangkaan LPG 3 Kg juga terjadi di wilayah Kudus, seperti daerah Wergu, Mlatiharjo, Jepangpakis, Loram dan Gulang. "Di tempat kami juga susah nyari LPG tiga kilo" ungkap Tony,warga Wergu,pendengar Radio Idola lainnya. Menanggapi menghilangnya gas LPG 3 Kg di sejumlah wilayah di Jepara dan Kudus, pihak Pertamina Region IV Jateng/DIY mengakui adanya kelangkaan LPG 3 Kg. Menurut Sales Representative Region 4 Pertamina Jateng/DIY, Tiara Thesaufi, sejak musim hujan awal bulan lalu terjadi peningkatan permintaan LPG 3 Kg di seluruh wilayah Jawa Tengah, hal ini disebabkan banyak warga yang semula menggunakan kayu untuk bahan bakar beralih ke LPG. " Musim hujan kayu bakar susah didapat, jadi banyak yang beralih ke LPG" ungkapnya. Kondisi ini ditambah dengan banyaknya pedagang gas LPG dadakan, yang memanfaatkan tingginya permintaan LPG 3 Kg ditengah masyarakat. Akibatnya, pasokan dari Distributor ke Agen langsung habis di beli pedagang "dadakan" tersebut sebelum sampai ke toko atau penjual lama. Atas kondisi ini, tambah Tiara pihaknya akan melakukan evaluasi, termasuk penambahan pasokan yang sebenarnya sudah dilakukan sejak awal bulan lalu. "Kita sudah tambah 10 hingga 15 persen, kalau memang masih kurang bisa kita tambah lagi" ujarnya. Dalam waktu dekat Pertamina akan kembali turun ke lapangan, untuk memastikan kebutuhan LPG 3 Kg di masyarakat. (Laporan Berita Radio Idola oleh : Sulis)
Kebijakan pemerintah yang mengalihkan penggunaan minyak tanah ke gas elpiji atau dengan kata lain menerapkan konversi minyak ke gas ini dilakukan untuk menversifikasikan energi dan upaya dalam penghematan BBM. Direktur BBM Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas (BPH Migas) Adi Subagyo mengatakan pemerintah mulai tahun 2007 berencana menerapkan kebijakan menarik kompor minyak tanah milik masyarakat untuk diganti dengan kompor gas elpiji. Kebijakan ini terkait upaya pemerintah mengalihkan subsidi minyak tanah ke elpiji. Tapi ini baru konsep dan kita akan bicarakan terlebih dahulu. Pemerintah pada tahap awal merencanakan program pengalihan minyak tanah ke elpiji di empat wilayah yakni DKI Jakarta, Batam, Bali dan Makassar. Pemilihan keempat wilayah itu karena memiliki ketersediaan infrastruktur pemanfaatan elpiji yang sudah lengkap. Tapi, ini masih konsep. Belum diputuskan. Sesuai konsep, harga minyak tanah di empat wilayah yang saat ini ditetapkan Rp 2.000,00 per liter secara otomatis akan dinaikkan. Sedangkan, di luar empat wilayah, harga minyak tanah tetap Rp 2.000,00 per liter. Mengenai waktu pelaksanaannya, pemerintah akan melaksanakan program secara bertahap dan setelah masyarakat benar-benar siap. Untuk menyukseskan pemakaian elpiji, pemerintah akan menyiapkan tabung elpiji ukuran kecil yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Jadi, elpijinya bukan pakai tabung yang besar kalau untuk masyarakat kecil, kita siapkan yang tiga kilogram. Ukuran tabung tiga kilogram (kg) ini ekuivalen sekira Rp 12.000,00. Dalam perhitungannya, penggunaan elpiji ini jauh lebih murah ketimbang minyak tanah. Satu kilogram elpiji setara dengan 3 liter minyak tanah. Saat ini harga elpiji Rp 4.250,00/kg dan minyak tanah Rp 2.000 ,00 per liter. Saya pikir ini masih bisa terjangkau oleh masyarakat kecil kita. Penggantian kompor minyak tanah ini akan bisa dilakukan secara bertahap yang akan dimulai tahun 2007. Saya pikir tidak lama lagi, kan tinggal enam bulan. Kita akan sosialisasikan ini terus karena masih ada masyarakat yang khawatir menggunakan elpiji. Ia mengakui rencana pengalihan subsidi ini karena kebijakan sebelumnya yakni penggantian minyak tanah dengan batu bara kurang begitu berhasil. Kalau batu bara agak sulit diterapkan, terlalu banyak kendalanya. Meski pemakaian elpiji digiatkan, ia menjamin, pemerintah akan tetap menjual minyak tanah, namun dengan harga keekonomian. Dengan harga minyak tanah yang mencapai tingkat keekonomiannya, diharapkan masyarakat tetap memilih elpiji karena disparitas harga yang besar. ("Minyak Tanah: Konversi ke Gas Elpiji", R.B Suryama, 2007).
Selain itu mengutamakan penggunaan gas elpiji ini juga dilakukan karena semakin menipisnya cadangan minyak yang dimiliki oleh negara. Menurut Media Data Riset pada tahun 2011 menyatakan, Menipisnya cadangan minyak mendorong pemerintah melakukan percepatan perubahan paradigma penggunaan energi di antaranya pemanfaatan gas untuk kebutuhan energi domestik meliputi gas untuk listrik dan industri pupuk domestik, program konversi minyak tanah ke LPG 3 Kg dan pengembangan gas kota. Di satu sisi, kegiatan investasi eksplorasi migas nasional cenderung menurun setiap tahunnya, sejak dimulainya pembahasan antara pemerintah dan DPR sampai diberlakukannya UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, di mana pada pasal 31 tercantum berbagai kewajiban pajak dan pungutan atas peralatan eksplorasi yang didatangkan dari luar negeri meski pihak investor belum menemukan minyak setetespun. Di samping itu, UU Migas tersebut berdampak pada panjang dan berantainya proses birokrasi yang harus dilalui dalam kegiatan investasi migas di Indonesia. Di sisi lain, UU No.22/2001, dan Kepres Nomor 57 Tahun 2002, berpotensi mengubah pola pengelolaan industri migas Indonesia, antara lain pembagian lebih tegas antara fungsi pemerintah, pengatur dan pelaku usaha migas, pemilahan rantai usaha dalam sejumlah kegiatan utama (unbundling) serta penekanan pada liberalisasi sisi hilir migas. Pasal 8 ayat 1 UU No.22/2001 dengan tegas menyatakan pemerintah mesti memprioritaskan pemanfaatan gas bagi kebutuhan konsumsi domestik. Sementara upaya percepatan diversifikasi dan konservasi energi harus segera terimplementasi, untuk meningkatkan kapasitas produksi migas nasional dibutuhkan dana investasi yang tidak sedikit, sementara arus investasi migas sebagian besar masih disumbang oleh non APBN.
Bahkan dalam melakukan penghematan BBM pemerintah juga mencoba berbagai macam alternatif seperti melakukan pengembangan GPC atau Gas Petroleum Condensat. Seperti yang juga dilansir dalam tulisan R.B. Suryama M. Sastra Fraksi PARTAI KEADILAN SEJAHTERA Anggota DPR RI yang berjudul "MINYAK TANAH: KONVERSI KE GAS ELPIJI'' Menurut Anggota Komisi VII DPR RI Wahyudin Munawir pada 3 Oktober 2006, mendorong pemerintah untuk mengembangkan Gasified Petroleum Condensat (GPC). Sumber energi alternatif hasil penelitian PT Pertamina ini dapat digunakan masyarakat sebagai bahan bakar untuk menggantikan minyak tanah (kerosin) dan LPG (liquid petroleum gas). Dalam rangka diversifikasi energi dan penghematan BBM, GPC baik untuk dikembangkan. Selain lebih murah, nantinya pemerintah pun tidak perlu mengimpor LPG untuk menggantikan kerosin. Secara teknis, GPC memiliki keunggulan lebih dari bahan bakar lainnya. Di samping nilai kalori yang tidak kalah besarnya dengan LPG (10.000 - 12.000 cal/gram), kualitas api pembakarannya juga sama dengan kualitas api LPG biru. Dan tingkat efisiensi pemakaian GPC lebih tinggi dari bahan bakar lainnya. Untuk memanaskan air sampai mendidih dalam volume yang sama, dibutuhkan jumlah berat GPC yang lebih sedikit dibandingkan LPG atau kerosin. Selain menghemat BBM, pemanfaatan GPC yang berbahan baku kondensat ini juga akan menghemat devisa negara. Karena dapat mengurangi impor BBM untuk konsumsi dalam negeri. Jika kita mengimpor kerosin sebanyak 30MBCD dengan selisih harga kerosin terhadap harga crude oil di pasar luar negeri sebesar US$ 10/bbl dan harga kondensat.
Dari usaha pemerintah tersebut dapat dilihat bahwa sejatinya masyarakat Indonesia haruslah mengedepankan penggunaan gas elpiji pada aktifitas kehidupannya. Upaya pemerintah ini selain dapat memversifikasi energi dan menghemat BBM juga untuk melakukan penghematan negara per tahunnya. Menurut Meneg PPN/Bapenas Paskah Suzeta mengatakan jika diversifikasi energi ini berhasil, negara bisa berhemat sekitar Rp 30 triliun per tahun. Misalnya, kalau bisa melakukan diversifikasi segera, dari anggaran subsidi minyak Rp 54 triliun pada tahun ini, anggaran akan tinggal Rp 24 triliun. Sumber energi alternatif di tanah air berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu diperlukan infrastruktur yang memadai untuk memanfaatkan energi alternatif seperti gas (elpiji). Pemerintah harus berani mengeluarkan modal besar untuk menyiapkan infrastruktur yang dibutuhkan. ("Minyak Tanah: Konversi ke Gas Elpiji", R.B Suryama, 2007).
Dari dasar permasalahan penerapan kebijakan konversi minyak ke gas penulis pada akhirnya mengambil suatu judul pada penelitian ini yaitu "Studi Implementasi Kebijakan PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 021 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM di kota Semarang" , karena masih banyaknya permasalahan yang terjadi dan apakah kebijakan konversi minyak ke gas ini sudah dapat berjalan bersamaan dengan penyediaan dan pendistribusian gas elpiji 3 kg serta untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat terkait dalam hal ini.



Download Studi Implementasi Kebijakan PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 021 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM di kota Semarang.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca Studi Implementasi Kebijakan PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 021 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN LIQUEFIED PETROLEUM GAS TABUNG 3 KILOGRAM di kota Semarang. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: