September 22, 2016

Sistem Manajemen Pencegahan Kebakaran Gedung Tinggi

Judul: Sistem Manajemen Pencegahan Kebakaran Gedung Tinggi
Penulis: Saesario Indrawan


Sistem Manajemen Pencegahan Kebakaran Gedung Tinggi
Karya Tulis Ilmiah yang ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan Sertifikasi Keahlian Ahli Utama K3 Konstruksi pada Asosiasi Ahli K3 Konstruksi Indonesia (A2K4-Indonesia)
Saesario Maulana Satya Indrawan, ST – © 2013

Daftar Isi
TOC \o "1-3" \h \z \u Kata Pengantar PAGEREF _Toc375479325 \h iiiBab I - Pendahuluan PAGEREF _Toc375479326 \h 1Bab II - Bahaya Akibat Kebakaran PAGEREF _Toc375479327 \h 4II.1. Ikhtisar PAGEREF _Toc375479328 \h 4II.2. Kategori Bahaya (Hazard Categories) PAGEREF _Toc375479329 \h 7II.3. Faktor Pencetus Risiko Kebakaran pada Bangunan Tinggi PAGEREF _Toc375479330 \h 9Bab III – Prinsip – prinsip Sistem Manajemen PAGEREF _Toc375479331 \h 13III.1. Ikhtisar PAGEREF _Toc375479332 \h 13III.2. Siklus Manajemen PAGEREF _Toc375479333 \h 14III.3. Kebijakan dan Pengorganisasian PAGEREF _Toc375479334 \h 16Bab IV - Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran PAGEREF _Toc375479335 \h 17IV.1. Ikhtisar PAGEREF _Toc375479336 \h 17IV.2. Identifikasi sumber bahaya (hazard identification) PAGEREF _Toc375479337 \h 18IV.3. Identifikasi orang – orang yang terkena dampak (People at risk) PAGEREF _Toc375479338 \h 19IV.4. Mengevaluasi dan Mengendalikan Risiko PAGEREF _Toc375479339 \h 20IV.5. Pencatatan Temuan (Records of Findings) PAGEREF _Toc375479342 \h 24III.6. Pengawasan dan Kaji Ulang (Monitoring and Review) PAGEREF _Toc375479346 \h 24Bab V – Kesimpulan PAGEREF _Toc375479348 \h 26Daftar Pustaka PAGEREF _Toc375479354 \h 27

Kata PengantarDewasa ini bangunan bertingkat tinggi sangat merebak pembangunannya terutama di kawasan perkotaan, baik sebagai hunian, perkantoran, pusat perbelanjaan maupun tempat rekreasi. Bangunan bertingkat tinggi tentu memiliki jumlah penghuni ataupun pengguna yang tidak sedikit apalagi jika bangunan tersebut berfungsi pula sebagai ruang publik. Dengan demikian keselamatan para penggunanya tentu harus diutamakan dan tidak dapat diabaikan.
Risiko yang sering muncul dalam pembangunan dan pengelolaan gedung bertingkat adalah bahaya kebakaran. Untuk itu kami menulis makalah dengan judul "Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung" sebagai syarat untuk kenaikan tingkat kualifikasi Ahli Madya K3 Konstruksi menjadi Ahli Utama K3 Konstruksi pada Asosiasi Ahli K3 Konstruksi Indonesia (A2K4-Indonesia) dan semoga juga dapat memberikan kontribusi untuk mengurangi risiko bahaya kebakaran pada bangunan gedung bertingkat.
Semarang, 18 Desember 2013
Saesario M.S. Indrawan, ST
Ahli Madya K3 Konstruksi
Bab I - PendahuluanApi dapat menjadi kawan sekaligus lawan bagi manusia. Dalam keadaan terkendali, api sangatlah membantu untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam hidup kita. Namun, apabila api ini tidak terkendali, maka api dapat menjadi sumber bencana yang mencelakakan bahkan bisa membawa kematian. Pada bangunan gedung bertingkat tinggi dimana akses untuk menyelamatkan diri adalah sedikit dan terbatas, maka perlu dilakukan tindakan – tindakan pencegahan bahaya kebakaran yang efektif dan efisien dan terintegrasi dalam satu sistem manajemen sehingga implementasi dan pembaharuannya dapat mengikuti kebutuhan yang ada.
Sebuah data resmi dari United States National Fire Protection Association (US NFPA) yang diterbitkan tahun 2008 menjelaskan tentang kerugian yang diakibatkan dari bencana kebakaran ini. Dari rata rata 350.000 kali bencana kebakaran di daerah perumahan dan perkantoran yang terjadi dalam setahun, 15.300 kali merupakan kejadian kebakaran di gedung-gedung bertingkat di seluruh Amerika serikat dengan rata rata 60 orang meninggal, 930 luka-luka dan menelan kerugian sebesar 52 juta dollar mengikuti bencana kebakaran di gedung gedung bertingkat tersebut. Hasil temuan menyatakan bahwa kebakaran di gedung bertingkat lebih mematikan dan merugikan dibandingkan dengan dari lokasi-lokasi lain dimana bencana kebakaran terjadi. Ditambah lagi penanganan kebakaran di lokasi gedung bertingkat lebih menyulitkan dan berisiko tinggi. Sebuah data dikutip dari National Academy of Sciences US (1986) mencatat bahwa 50% sampai 80% kematian karena kebakaran disebabkan oleh racun asap yang keluar dari bencana kebakaran.
Data lain dari Jurnal Suprapto (2008) yang didapatkan dari NFPA (USA) menjelaskan bahwa asap merupakan pembunuh terbesar dalam kejadian kebakaran. Sebanyak 72% korban kebakaran diakibatkan oleh asap. Dengan kecepatan asap berkisar antara 1.0 – 1.4 m/detik, maka dengan mudah asap dapat melampaui kecepatan jalan anak-anak, wanita hamil dan orang - orang yang memiliki keterbatasan (disabled people) pada saat dilakukan evakuasi. Fakta yang sama juga terjadi di Indonesia, dimana kejadian kebakaran di gedung bertingkat juga sering terjadi. Sebuah peristiwa kebakaran karaoke di Medan yang dimuat di Wacana Suara Merdeka terbit 5 Januari 2010 dimana menelan 20 orang korban tewas meskipun terjadi di dalam lokasi sebuah gedung berlantai empat saja. Diketahui sebagian besar korban tewas karena menghirup asap hasil kebakaran ketika mereka kesulitan mencari jalan keluar dari lokasi kebakaran di lantai tiga gedung tersebut.
Apabila bangunan sekelas Ruko saja apabila terbakar dapat menghasilkan kerugian yang sedemikian hebat, bagaimana halnya dengan bangunan tinggi (highrise building) atau bertingkat banyak (multi storey building) ?. Menurut definisinya "bangunan tinggi" adalah bangunan yang memiliki ketinggian lebih dari 40 meter dari permukaan tanah atau memiliki lebih dari 8 lantai. Semakin tinggi bangunan tentu semakin besar pula risiko akibat bahaya kebakaran. Jelas perlindungan terhadap bahaya kebakaran mutlak diperlukan pada bangunan tinggi.
Karena ketinggian dan luas bangunan yang biasanya cukup signifikan, maka penggunaan sistem pemadam kebakaran harus dipilih dengan tepat agar mudah dan praktis dalam penggunaannya. Sistem penaik kering (dry riser) mungkin tidak begitu efektif untuk digunakan pada gedung tinggi. Sesuai dengan banyaknya lantai, maka sistem pemadam kebakaran pun akan menambah beban pada biaya konstruksi maupun pemeliharaannya.

Gambar I.1 Sistem Pemipaan Dry Riser
Oleh karena sistem pemadam kebakaran merupakan komponen penting dalam menanggulangi bahaya kebakaran dan biaya instalasi serta perawatannya yang tidak sedikit maka sistem manajemen pencegahan bahaya kebakaran harus sudah dilaksanakan sejak dalam proses perancangan gedung tersebut. Dengan mempertimbangkan reka bentuk, bahan, dan akses masuk / keluar gedung, maka ketahanan gedung tersebut terhadap bahaya kebakaran dapat dipenuhi dengan biaya yang rasional.
Kelalaian dalam perancangan seringkali membuat gedung bertingkat menjadi perangkap maut bagi penghuninya. Telah banyak contoh kasus kematian yang diakibatkan oleh penghuni tidak dapat keluar dengan mudah karena ada teralis yang terpasang di jendela, ataupun karena pintu keluar yang tidak mudah dicapai dalam keadaan darurat. Selain dalam perencanaan, proses pembangunan pun tidak kalah pentingnya. Bahaya yang mungkin timbul pada saat konstruksi juga cukup besar, terutama dari penggunaan bahan – bahan yang mudah terbakar yang tidak dikendalikan dengan baik. Kasus sederhana yang sering terjadi adalah kebakaran akibat kelalaian pekerja yang membuang puntung rokok di tumpukan kayu kering bekas bekisting. Demikian pula pada masa penggunaan, bahaya bisa timbul akibat kurangnya pemeliharaan, adanya alih fungsi akses keluar / masuk, dan sebagainya. Apabila semua aspek ini ditinjau dan diintegrasikan ke dalam satu sistem manajemen, maka akan mempermudah dalam pencegahan bahaya kebakaran serta mengurangi kerugian yang ditimbulkan.

Gambar I.2 Evakuasi korban kebakaran
Bab II - Bahaya Akibat KebakaranII.1. IkhtisarTerjadinya api selalu bersumber pada tiga hal, yaitu: adanya pemantik (ignitor), adanya bahan bakar (fuel), dan adanya oksigen. Apabila ketiga hal ini ada secara bersamaan maka risiko terjadinya kebakaran menjadi semakin besar. Rata – rata ketiga hal tersebut selalu ada di dalam bangunan gedung.
Ada 5 produk hasil dari sebuah pembakaran yakni gas hasil pembakaran, nyala api (flame), panas (heat), asap (smoke), dan pengurangan kadar oksigen. Kelima produk pembakaran ini akan sangat berpengaruh secara fisiologis terhadap kehidupan. Namun yang paling penting adalah pengaruh terbakar dan keracunan. Penyelidikan terhadap kebakaran menunjukkan bahwa selama terjadi kebakaran dihasilkan sejumlah gas beracun, dengan tingkat toksisitas yang rendah sampai yang mematikan, antara lain karbon monoksida, karbondioksida, hidrogensulfida, sulfur- dioksida, ammonia, hidrogensianida, nitrogendioksida, acrylicaldehid, dan phosgene.
Terbakarnya bahan bakar dengan kandungan oksigen yang cukup, biasanya menghasilkan sesuatu yang terang yang disebut "nyala api" (flame). Dengan hembusan angin yang kencang nyala api ini dapat menyebar jauh dari sumber api itu sendiri dan mengakibatkan kebakaran di tempat yang lain serta apabila mengenai korban akan mengakibatkan luka bakar. Kebakaran yang terjadi di gedung perkantoran, rumah atau hotel, panas yang dihasilkan akan berpengaruh sekali terhadap kesehatan, dari yang ringan sampai meninggal dunia.
Terperangkap pada suatu ruang dengan panas tinggi akan menyebabkan tubuh mengalami dehidrasi hebat. Panas juga akan mengakibatkan meningkatnya denyut jantung secara drastis. Apabila pengaruh panas tersebut sudah tidak dapat diatasi lagi, maka si korban akan meninggal dunia. Asap, yang merupakan partikel-partikel kecil dalam ukuran mikron juga dapat sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Penyebaran asap yang lebih cepat dari sebaran kebakaran (fire spread) akan dapat berfungsi sebagai peringatan dini. Namun di sisi lain asap akan dapat menimbulkan kepanikan, stress dan kehilangan kontrol, sehingga menimbulkan kerugian sebelum kebakaran benar- benar menyebar.Partikel asap dalam jumlah yang cukup banyak,akan mengakibatkan iritasi di mata dan terpapar asap untuk jangka waktu yang lama mungkin akan mempengaruhi pernapasan. Munculnya gas beracun dan asap pada suatu ruangan yang terbakar akan menimbulkan kehilangan orientasi. Jika turun lebih rendah lagi ke angka 14-10 persen, korban mulai kehilangan kepercayaan diri dan menjadi sangat capai.Pada konsentrasi 10 sampai 6 persen, korban akan pingsan tak sadarkan diri. Selain nyawa manusia, kebakaran tentu juga akan membawa kerugian material.

II.2. Kategori Bahaya (Hazard Categories)Secara umum ada dua kategori bahaya (hazard) yang timbul karena bencana kebakaran:
Internal Hazard
Internal Hazard adalah bahaya yang berlaku di dalam sebuah bangunan. Bahaya ini terbagi lagi menjadi 2, yaitu:
1. Personal hazard : Bahaya yang berlaku bagi penghuni gedung tersebut
2. Damage hazard : Bahaya yang mengancam struktur bangunan maupun isi bangunan tersebut.
External Hazard (exposure hazard)
External Hazard adalah bahaya yang mengancam lingkungan / bangunan lain di sekitar bangunan yang terbakar.
Sebagaimana telah disinggung di bagian pendahuluan tulisan ini, risiko terjadinya bahaya kebakaran tentu akan naik seiring dengan ketinggian bangunan tersebut. Namun tentunya hal ini juga bergantung kepada fungsi bangunannya. Berdasarkan fungsi bangunannya, maka bahaya kebakaran dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
Extra Light Hazard : Fungsi bangunannya sebagai non-industrial, dimana jumlah kandungan bahan yang mudah terbakar adalah rendah.
Contoh : Rumah Sakit, Apartemen, Hotel, Museum, Perpustakaan, Perkantoran, Penjara, Bangunan Kampus, dsb
Ordinary Hazard : Fungsi bangunannya adalah sebagai area komersial dan industrial yang melibatkan namun tidak terbatas pada : pengendalian, pemrosesan, dan penyimpanan bahan mudah terbakar tetapi tidak mudah tersulut dan terbakar hebat ketika terpapar oleh api kecil. Bahaya ini terbagi atas 4 (empat) kategori berdasarkan risikonya :
Kategori I : Pemotongan daging (butchery), tempat fermentasi minuman (brewery), restoran, kafe, dsb.
Kategori II : Toko roti (bakery), toko obat / apotik (chemist), pekerjaan yang berhubungan dengan keteknikan, bengkel, pabrik gerabah, dsb.
Kategori III : Pabrik pesawat terbang (kecuali hangar), pabrik sepatu, pabrik karpet, toko serba ada (department store), tempat cuci – cetak foto, dsb.
Kategori IV : Pabrik kain, studio TV dan film, penyulingan alkohol (distillery), dsb.
Extra High Hazard : Fungsi bangunannya adalah sebagai area komersial dan industrial, dimana beban api (fire load) berada di atas ambang normal. Terbagi atas 2 (dua) kategori yaitu :
A. : bahan yang diolah merupakan bahan yang sangat mudah terbakar (highly flammable)
B. : Bahan yang diolah tidak mudah terbakar, namun tersimpan dalam jumlah yang besar
Contoh : Pabrik seluloid, kilang minyak (refinery), pabrik cat dan pengencer, gudang kayu, gudang wool, penyimpanan minyak dan benda cair mudah terbakar.
Dimungkinkan sebuah bangunan berkategori ordinary hazard, namun memiliki beban api yang tinggi maka dapat diklasifikasikan sebagai extra high hazard. Beban api (fire load) merujuk kepada jumlah bahan yang dapat terbakar yang tersimpan dalam satu bangunan.
II.3. Faktor Pencetus Risiko Kebakaran pada Bangunan TinggiBesarnya risiko bahaya kebakaran pada bangunan tinggi dapat diakibatkan oleh faktor teknis maupun non-teknis. Faktor teknis diantaranya adalah :
Bangunan yang tidak memiliki akses keluar / masuk yang mudah sehingga menyulitkan penggunanya untuk melarikan diri dalam keadaan darurat. Contoh: tidak memiliki tangga darurat, atau jalur evakuasi tertutup oleh tumpukan barang / material.
Bangunan yang tidak dilengkapi alat pemadam kebakaran ataupun tidak cukup (insufficient) dalam menyediakan peralatan pemadam kebakaran. Contoh: gedung tidak memiliki hydrant, tidak memiliki pemercik (sprinkler).
Bangunan yang dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran, namun tidak dilakukan pemeliharaan berkala sehingga alat pemadam tersebut tidak dapat difungsikan / berfungsi dengan baik dalam keadaan darurat. Contoh: ada hydrant namun tidak berfungsi, ada alarm kebakaran namun tidak dapat mendeteksi asap, disediakan alat pemadam api ringan (APAR) namun tekanan dalam tabungnya tidak memadai.
Bangunan yang tidak / kurang memiliki arahan / petunjuk / rambu yang memberikan informasi kepada penggunanya mengenai jalur – jalur evakuasi, perletakan peralatan pemadam api, maupun peringatan adanya bahan – bahan yang mudah terbakar, dan rambu lain yang relevan. Contoh: tidak ada penunjuk jalur – jalur evakuasi, minimnya petunjuk posisi alat pemadam api.
Bangunan yang desainnya mudah dalam menjalarkan api baik karena penggunaan bahannya maupun sifat desain struktur / arsitekturnya memungkinkan api untuk menjalar dengan cepat. Contoh: penggunaan unsur kayu pada arsitektur gedung, gedung memiliki struktur inti (core structure) dimana semua akses termasuk tangga & elevator berada pada pusat gedung sehingga menyulitkan evakuasi mereka yang tinggal di atas lantai yang terbakar, banyaknya shaft – shaft yang memungkinkan penyebaran api dengan cepat.
Bangunan yang memiliki terlalu banyak penghuni sehingga sulit bagi mereka untuk melarikan diri dalam keadaan darurat. Contoh: Rumah susun dengan penghuni melebihi kapasitas.
Bangunan yang dibuat dengan spesifikasi teknis lebih rendah dari standar yang berlaku. Contoh: penggunaan kabel / penghantar arus listrik dengan ukuran yang lebih kecil dari seharusnya, pemutus arus (circuit breaker) yang lebih besar dari yang seharusnya terpasang sehingga menyebabkan panas berlebih pada kawat penghantar.
Bangunan yang diubah fungsinya sehingga menjadi rentan dalam bahaya kebakaran. Contoh: bangunan sebagai rumah tinggal beralih fungsi menjadi bengkel.
Adapun faktor non-teknis kebanyakan diakibatkan oleh kelalaian manusia (human error) terutama yang berkenaan dengan penggunaan api seperti memasak, merokok, menyalakan lilin, menyalakan obat nyamuk bakar, dan lain sebagainya. Kelalaian tersebut pada umumnya disebabkan oleh:
Faktor Pengguna Gedung
Tidak tahu / kurang mengetahui prinsip dasar pencegahan / penanggulangan bahaya kebakaran.
Meletakkan barang-barang yang mudah terbakar tanpa menghiraukan norma-norma pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran.
Pemakaian listrik yang belebihan, melebihi kapasitas.
Menyalakan api ditempat terlarang / membuang puntung rokok sembarangan.
Adanya unsur kesengajaan.
Faktor Manajemen / Pengelola Gedung
Tidak ada / kurang komitmennya terhadap K3.
Kurang pengawasan terhadap kegiatan pengguna gedung.
Tidak ada standar kode yang dapat diandalkan atau penerapannya tidak tegas atau sengaja menggunakan barang – barang sub-standard dengan motif ekonomi.
Sistem penanggulangan kebakaran tidak memadai
Tidak dilakukan pelatihan penanggulangan bahaya kebakaran bagi pengguna gedung.
Sarana proteksi kebakaran tidak ada atau kurang
Semua risiko tersebut harus diidentifikasi kemudian dikendalikan sehingga jangan sampai timbul kerugian di saat terjadi bencana kebakaran.

Gambar I.2 Jalur Darurat yang rapi memudahkan pengguna gedung untuk menyelamatkan diri

Bab III – Prinsip – prinsip Sistem ManajemenIII.1. IkhtisarDalam beberapa tahun terakhir, telah banyak sistem manajemen dikembangkan yang mana beberapa diantaranya dapat digunakan sebagai panduan untuk membantu dalam penyusunan sistem manajemen pencegahan bahaya kebakaran pada gedung tinggi. Sebagai dasar sistem manajemen, biasanya digunakan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 dan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001. Badan – badan sertifikasi sistem manajemen mutu kemudian menciptakan OHSAS 18001 yaitu Occupational Health dan Safety Assessment Series yang bersesuaian dengan sistem manajemen ISO 9001 maupun ISO 14001.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Gedung Tinggi adalah bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan; tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan Penanggulangan Kebakaran dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Tujuan dari Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Gedung Tinggi adalah menyediakan suatu kerangka kerja untuk pengelolaan jangka pendek maupun jangka panjang tentang penanggulangan kebakaran, baik mengenai program – program, permasalahan dan lain-lain, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan persyaratan-persyaratan tempat kerja. Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Gedung Tinggi menjamin bahwa tempat kerja dirancang-bangun, didirikan dan dioperasikan dalam keadaan aman kebakakaran dan hasil-hasil produksi dikembangkan, diproduksi, diang­kut dan dipasarkan dengan memperhatikan faktor keselamatan dan aman kebakaran serta sumber-sumber alam dikelola secara aman dan berwawasan lingkungan.
III.2. Siklus ManajemenDalam sistem manajemen ada tahapan – tahapan yang dibuat untuk menjamin bahwa sistem manajemen tersebut tetap valid sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Siklus tersebut biasa dikenal dengan siklus PDCA yang merupakan singkatan dari Plan (perencanaan) – Do (pelaksanaan) – Check (pemeriksaan) – Act (pengambilan tindakan). Sistem manajemen pencegahan kebakaran gedung tinggi pun tidak lepas dari siklus ini. PDCA ini dijelaskan sebagai berikut:
Plan : Pada tahap ini, perencanaan sistem manajemen harus dibuat standarnya yang menggambarkan kesesuaian pada peraturan yang berlaku dan menghitung risiko – risiko yang mungkin terjadi serta mewujudkannya dalam pelaksanaan.
Do : Dalam tahap ini, semua tujuan (objectives) dan rencana (plan) yang telah dibuat harus diimplementasikan secara keseluruhan.
Check : Setelah tahap pelaksanaan, maka harus dikaji ulang keefektifannya dan diperiksa apakah ada penyimpangan pada pelaksanaan terhadap rencana yang telah disusun di awal serta pada peraturan yang berlaku.
Act : Apabila ada temuan yang berupa penyimpangan, maka harus segera diambil tindakan untuk memastikan agar pelaksanaan selalu ada pada koridor yang telah ditentukan. Apabila tidak ada temuan yang mengindikasikan penyimpangan, maka sebaiknya digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan (improving) sistem yang ada.

Gambar III.1. Siklus PDCA

III.3. Kebijakan dan PengorganisasianSebagai acuan awal maka harus ditetapkan kebijakan yang menjelaskan secara jelas akan maksud (intention) dari penyusunan suatu siste manajemen. Dalam pencegahan kebakaran atau yang berkenaan dengan keselamatan, maka kebijakan ini dikenal dengan Safety Policy (kebijakan keselamatan). Kebijakan ini akan menjadi standar kemana arah perusahaan dalam menerapkan sistem manajemen tersebut. Dalam hal gedung tinggi, maka penetapan kebijakan ini harus diambil oleh pengelola gedung, dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh pimpinan tertinggi (top management). Kebijakan ini kemudian harus disosialisasikan kepada semua pemangku kepentingan.
Dalam menyusun kebijakan keselamatan dapat menggunakan pola SMART yaitu Specific (khusus), Measurable (terukur), Achievable (dapat dicapai), Realistic (sesuai kenyataan), dan Time oriented (berorientasi waktu). Dengan demikian kebijakan tersebut dibuat sesuai dengan kepentingan pengelola gedung tersebut dan tidak sekedar menjiplak atau meniru kebijakan perusahaan lain. Kebijakan yang baik tentu harus dapat diukur pencapaiannya baik secara kualitatif dan/atau kuantitatif agar dapat diketahui sejauh mana kebijakan tersebut dapat dijalankan sesuai rencana oleh karena itu kebijakan tersebut juga harus dapat dicapai melalui cara – cara yang realistis dan berorientasi kepada waktu. Sedapat mungkin perlu disusun sistem yang membuat risiko dan biaya menjadi seimbang.
Setelah kebijakan disusun maka mulai dilaksanakan pengorganisasiannya, yaitu menetapkan siapa saja yang bertanggung jawab untuk kegiatan – kegiatan tertentu. Dalam pengorganisasian ini harus melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan untuk memastikan dalam proses pelaksanaannya tidak mendapat resistensi dari pihak – pihak yang merasa direpotkan dengan penerapan suatu sistem manajemen, disamping itu ada rasa memiliki terhadap sistem sehingga semua orang bersemangat untuk melaksanakan dan meraih semua tujuan yang telah ditetapkan. Dalam rangka pelaksanaan maka perlu disusun struktur organisasi yang jelas berikut deskripsi pekerjaan yang mendetail agar masing – masing orang yang terlibat tahu akan hak dan kewajibannya. Dengan penerapan sistem manajemen keselamatan ini diharapkan tercipta adanya Budaya Keselamatan (safety culture) yang pada akhirnya akan dapat mengurangi beban biaya yang dikeluarkan untuk menciptakan keselamatan kerja karena masing – masing pemangku kepentingan sudah sadar akan kewajibannya dalam menjaga keselamatan kerja.

Gambar III.2. Faktor yang dapat menciptakan budaya keselamatan
Bab IV - Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya KebakaranIV.1. IkhtisarPenerapan Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran dimulai dari identifikasi sumber bahaya (hazard identification) dimana semua kemungkinan penyebab terjadinya kebakaran diidentifikasi. Tahap selanjutnya adalah penilaian risiko (risk assesment) yaitu dari semua skenario bencana yang diakibatkan oleh sumber penyebab kebakaran dinilai dampak keparahannya (severity rate) terhadap manusia, harta benda, dan lingkungan di sekitar terjadinya bencana terhadap probabilitas kekerapan (frequency) terjadinya bencana tersebut. Pengendalian risiko (risk control) kemudian dilakukan atas skenario – skenario mana saja yang mungkin terjadi. Pada umumnya berdasarkan asas Pareto, apabila skenario terburuk dapat dikendalikan risikonya maka skenario dengan tingkat keparahan di bawahnya dapat tereliminasi.
Namun pada kasus – kasus tertentu sebaiknya dibuat pengendalian risiko dengan lebih mendetail terutama bila menyangkut keselamatan orang banyak (public safety) ataupun pada bangunan – bangunan yang khusus seperti sekolah, rumah sakit, panti jompo, dan hotel disebabkan oleh pengguna bangunannya yang memiliki karakteristik khusus. Semua metode pencegahan bahaya kebakaran ini harus direncanakan, dilaksanaan, dimonitor dan dikaji ulang secara berkala untuk memastikan bahwa metode tersebut masih relevan dengan keadaan suatu gedung.
IV.2. Identifikasi sumber bahaya (hazard identification)Dari ketiga sumber penyebab api, pemantik dan bahan bakar bisa saja berasal dari bagian dari gedung itu sendiri sementara oksigen hampir selalu tersedia karena merupakan bagian dari udara yang ada di sekitar kita. Pada bangunan gedung sumber api atau pemantik (source of ignition) yang umum adalah:
Api terbuka (naked flame) seperti: nyala lilin, puntung rokok, korek api, kompor gas, alat las menggunakan gas, dsb.
Permukaan panas (hot surfaces) seperti: pemanas, boiler, lampu halogen, dsb.
Gesekan (friction) seperti: V-belt, kumparan motor, dsb.
Pekerjaan yang membutuhkan panas (hot work) seperti: mengelas, menggerinda, memotong dengan alat las.
Percikan api (sparks) seperti: listrik statis, hubungan arus pendek (short circuit), dsb.
Kesengajaan (arson) yaitu dengan sengaja melakukan pembakaran / sabotase.
Sumber bahan bakar (fuel) pada dasarnya adalah semua benda yang dapat terbakar. Beberapa contohnya antara lain:
Benda padat : kain, kayu, kertas, busa, plastik, dsb.
Benda cair : minyak tanah, spiritus, bahan pelarut seperti aseton, alkohol, dsb.
Benda gas : LPG, asetilen
Identifikasi sumber bahaya tidak sekedar mencantumkan bahaya yang nyata, namun juga harus mengikut-sertakan sumber – sumber bahaya yang sifatnya potensial seperti kemungkinan suatu material mengeluarkan asap beracun ketika terbakar.
IV.3. Identifikasi orang – orang yang terkena dampak (People at risk)Apabila sampai terjadi kebakaran, maka bahaya yang paling besar adalah apabila api, panas, dan asap menyebar / menjalar ke bagian – bagian lain dari gedung. Asap biasanya yang paling cepat dan mudah menyebar dan dapat mengganggu orang – orang lain yang sedang berusaha untuk menyelamatkan diri. Bahan – bahan tertentu dapat menimbulkan asap beracun apabila terbakar dan hal ini tentu memperburuk keadaan evakuasi.
Apabila sebuah gedung tidak memiliki akses darurat yang cukup atau api membesar dengan cepat dan tidak terkendali sebelum dapat diketahui maka penghuni gedung dapat terjebak dan dapat menjadi korban, baik dari api itu sendiri, maupun dari hawa panas dan asap yang terjadi.
Untuk itu dalam sebuah asesmen terhadap bahaya kebakaran perlu juga dipertimbangkan hal – hal berikut ini:
Kemungkinan api membesar dan menjalar termasuk hawa panas dan asap yang dihasilkan. Harus diingat bahwa bahan bakar tertentu dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dan asap yang lebih membahayakan dari bahan yang lainnya.
Jumlah orang yang terdampak, termasuk pengelola gedung, pengunjung, maupun orang – orang lain yang mungkin ada di dalam gedung tersebut.
Pengaturan pemberitahuan tentang adanya kebakaran kepada seluruh pengguna gedung.
Akses bagi pengguna gedung untuk menyelamatkan diri, dan akses bagi petugas pemadam kebakaran untuk masuk pada saat terjadi kebakaran.
IV.4. Mengevaluasi dan Mengendalikan RisikoSegera setelah sumber bahaya dan orang – orang yang terdampak diketahui dan diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah mengevaluasi efek dari setiap sumber bahaya dengan memperhitungkan cara – cara pengendalian risiko yang sudah ada. Setelah hal ini dilaksanakan, maka harus ditentukan apakah cara – cara pengendalian risiko yang telah ada tersebut masih memadai atau harus diperbaiki untuk mengurangi risiko sehingga berada pada ambang yang dapat diterima.
Pada dasarnya ada dua langkah yang dapat diambil untuk mengendalikan risiko bahaya kebakaran. Langkah – langkah tersebut adalah :
1. Pencegahan Pasif : Pencegahan pasif adalah upaya untuk mencegah kebakaran dengan memanfaatkan rekabentuk suatu gedung untuk mencegah timbulnya api atau menghambat penyebaran api. Langkah ini harus diambil pada saat perencanaan suatu gedung dengan jalan antara lain:
Memberikan jarak yang cukup antar gedung untuk mencegah penjalaran api.
Membuat sistem struktur yang mempersulit terjadinya penjalaran api.
Menggunakan bahan – bahan yang tidak mudah terbakar dan menjalarkan api atau setidaknya memilih bahan yang tidak mendatangkan bahaya lain seperti hawa panas yang tinggi ataupun asap beracun sekiranya bahan tersebut terbakar.
Sistem penghawaan yang baik sehingga memudahkan gas maupun asap untuk segera keluar dari gedung dan tidak memperburuk risiko saat terjadi kebakaran.
Penyediaan jalur evakuasi yang memadai.
2. Pencegahan Aktif : Pencegahan secara aktif yaitu dengan menyediakan alat – alat pemadam kebakaran dan pencegahan kebakaran pada suatu gedung. Peralatan tambahan tersebut dapat berupa tanda bahaya kebakaran (fire alarm), pendeteksi asap (smoke detector), keran hydrant, pemercik (sprinkler), dsb.
Dalam menetapkan langkah untuk mencegah bahaya kebakaran sebaiknya mengikuti cara – cara dibawah ini agar diperoleh langkah yang paling efektif dan efisien :
1. Eliminasi : Menghilangkan secara total sumber – sumber bahaya yang mengancam. Misalnya dengan memindahkan sumber bahan bakar atau sumber pemantik ke tempat lain.
2. Subsitusi : Mengganti sumber bahaya dengan bahan lain sehingga menghilangkan atau setidaknya mengurangi risiko yang timbul, misalnya dengan mengganti bahan yang mudah terbakar dengan bahan lain yang sulit terbakar, atau mengganti bahan bakar dengan bahan bakar yang lambat terbakar (slow burning fuel)
3. Regulasi : Melakukan kontrol secara ketat terhadap barang – barang yang mudah terbakar ataupun menerapkan prosedur operasi standar dalam penggunaan bahan – bahan yang menjadi sumber bahaya dan ketika berada di dalam keadaan bahaya. Misalnya penggunaan sistem LOTO (lock out and tag out) pada katup – katup gas, mengadakan pelatihan penanggulangan bahaya kebakaran yang wajib diikuti oleh pengguna gedung.
4. Proteksi : Melakukan perlindungan terhadap bahaya kebakaran dengan menyediakan alat pencegah kebakaran dan alat pelindung diri pada gedung. Misalnya dengan pemasangan hydrant, pemasangan APAR, dan lain sebagainya.
Dalam menghilangkan risiko langkah – langkah tersebut dapat dipilih yang paling sesuai atau bisa jadi ada lebih dari satu langkah untuk mencegah terjadinya kebakaran yang disebabkan oleh satu jenis sumber bahaya tertentu. Apabila terlihat adanya satu kekurangan dalam upaya pencegahan kebakaran, maka langkah – langkah untuk memperbaiki kekurangan tersebut harus diambil termasuk penentuan siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan tersebut dan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan perbaikan sehingga tercapai risiko yang dapat dikendalikan dan dalam ambang yang dapat diterima.Apabila sebuah gedung relatif baru dan modern, maka pada umumnya sistem manajemen pencegahan kebakaran telah diimplementasikan. Namun tidak menutup kemungkinan sistem tersebut diaplikasikan pada gedung – gedung tua yang dibangun sebelum undang – undang atau peraturan tentang pencegahan bahaya kebakaran dibuat. Apabila gedung tersebut termasuk di dalam gedung dengan risiko kebakaran yang cukup tinggi maka perlu dibuat rencana mitigasi bencana harus dibuat dengan lebih mendetail.IV.5. Pencatatan Temuan (Records of Findings)Apabila dalam penerapan sistem manajemen pencegahan bahaya kebakaran gedung ditemukan sesuatu yang harus menjadi perhatian, maka temuan tersebut harus dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan. Sistem manajeman pencegahan bahaya kebakaran harus dapat diakses oleh semua orang terutama bagi mereka yang memiliki risiko terkena dampaknya.
Temuan tersebut harus mengindikasikan apakah langkah – langkah yang ditempuh sudah memadai dalam pencegahan bahaya kebakaran, dan apabila belum apakah sudah ada usaha untuk memperbaikinya, siapa yang bertanggung jawab, dan kapan tenggat waktu perbaikan terhadap sistem tersebut harus sudah selesai dilaksanakan.Metode – metode pencegahan kebakaran, dan informasi – informasi penting mengenai cara – cara evakuasi harus tersedia dan dapat diketahui oleh semua orang, misalnya dengan membuat peta evakuasi yang diletakkan pada tempat – tempat yang mudah dilihat, peletakan APAR / hydrant pada lokasi – lokasi yang mudah dijangkau dsb.III.6. Pengawasan dan Kaji Ulang (Monitoring and Review)Sistem manajemen pencegahan kebakaran terutama langkah – langkah pencegahan, pemadaman api, dan evakuasi harus selalu dimonitor. Sebaiknya selalu dilakukan uji coba dan dikaji ulang hasilnya secara berkala untuk memastikan kehandalan sistem tersebut. Bisa jadi karena tuntutan perkembangan jaman, sebuah gedung mengalami alih fungsi, atau ada bahan pemantik maupun bahan bakar baru yang belum tercakup di dalam sistem tersebut.

Bab V – KesimpulanDari uraian di depan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem manajemen pencegahan kebakaran gedung tinggi sangat berguna untuk menurunkan risiko terjadinya korban baik manusia maupun harta benda. Untuk itu penerapannya dilaksanakan sebagai berikut:Pencegahan sebaiknya dimulai dari tahap paling awal, yaitu ketika sebuah gedung direncanakan. Dengan merencanakan sistem pencegahan pasif tentu dapat mengurangi biaya pemasangan proteksi kebakaran selain itu juga dapat meningkatkan efektifitasnya.Peran pemerintah sebagai instansi yang mengeluarkan ijin mendirikan bangunan harus ditingkatkan. Tidak hanya sekedar memeriksa gambar yang diajukan namun juga harus melakukan inspeksi terhadap gedung selama dan setelah selesai masa pembangunan agar menjamin bangunan tersebut tetap memiliki sistem proteksi yang memadai.Pengelola gedung harus bersikap pro-aktif, dimulai dari manajemen puncak sampai dengan level pekerja yang paling bawah. Pelibatan pengguna / penghuni gedung mutlak dilakukan untuk memastikan sistem bekerja dengan baik.Penerapan sistem tidak akan berhasil bila identifikasi bahaya tidak lengkap, juga apabila prosedur – prosedur serta seluruh piranti pemadaman api tidak pernah dirawat, diperiksa, dan dimutakhirkan.Daftar PustakaAmbar Kristiyanto (2012), Evaluasi Sistem Manajemen Kebakaran Gedung Rektorat Universitas Brawijaya, Erudio Vol. 1 No. 1 Desember 2012
Andrew Furness, Martin Muckett (2007) Introduction to Fire Safety Management, Oxford, Elsevier.
Arief Setyawan, Endo Wijaya Kartika, Studi Eksploratif Tingkat Kesadaran Penghuni Gedung Bertingkat Terhadap Bahaya Kebakaran: Studi Kasus di Universitas Kristen Petra Surabaya, Surabaya, Univ. Kristen Petra.
BPSI Safety Training (2008), Sistem Manajemen Penanggulangan Kebakaran, Jakarta, BPSI.
London Fire Brigade (2013), Fire Assessment in Building, London, London Fire Brigade.Ministry of Justice (2013), Fire Safety Planning for Construction and Demolition Sites, Victoria, Emergency Management British Columbia.Muhadi (2008), Pencegahan Resiko Kebakaran Gedung: Peran Dan Tindakan Pusat Layanan Kebakaran Dan Pertolongan Département Rhone, Thesis, Semarang, Universitas Diponegoro.
National Fire Protection Association (2013), High-Rise Building Fires and Fire Safety, Boston, NFPA.
Pemprov DKI (1992), Perda DKI no. 3 Tahun 1992 tentang Penanggulangan Bahaya Kebakaran dalam Wilayah Khusus Ibukota Jakarta, Jakarta, Setda Pemprov DKI.
Yahya Mohd. Yatim (1999), Bahaya Kebakaran dan Tindakan Pencegahan Kebakaran pada Bangunan Tinggi - Jurnal Alam Bina, Skudai, Universiti Teknologi Malaysia.


Download Sistem Manajemen Pencegahan Kebakaran Gedung Tinggi.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca Sistem Manajemen Pencegahan Kebakaran Gedung Tinggi. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: