Judul: Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia: Konsep, Pencapaian dan Agenda Kedepan
Penulis: Oswar Mungkasa
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia:
Konsep, Pencapaian dan Agenda Kedepan
Oleh Oswar Mungkasa
Pengantar
Pelaksanaan konsep desentralisasi dan otonomi daerah telah berlangsung lama bahkan sejak sebelum kemerdekaan, dan mencapai puncaknya pada era reformasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan yang kemudian direvisi masing-masing menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Walaupun demikian, penerapan konsep desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia sampai saat ini dianggap masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Masih ditemukan banyak kelemahan dalam pelaksanaannya, baik dari kelengkapan regulasi, kesiapan pemerintah daerah, maupun penerimaan masyarakat sendiri.
Terlepas dari itu semua, desentralisasi dan otonomi daerah telah menjadi suatu keniscayaan dengan mempertimbangkan amanat UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia yang telah menegaskan hal tersebut. Dengan demikian, menjadi lebih berharga kemudian meninjau kembali pencapaian selama ini dan merumuskan agenda desentralisasi dan otonomi ke depan. Dengan keterbatasan yang ada, tulisan ini pada intinya mencoba merumuskan agenda tersebut.
Secara umum, pembahasan terbagi dalam 3 (tiga) bagian besar yaitu menyajikan konsep desentralisasi dan otonomi daerah dan pencapaiannya, untuk kemudian diakhiri dengan rumusan agenda ke depan.
B.Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Konsep dan Penerapannya
B.1Pengertian dan Filosofi
Secara formal, berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004).
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation of authority. Dengan demikian, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi. Berbeda ketika pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator. Sebagai konsekuensinya bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud. Semua beralih menjadi tanggungjawab daerah otonom, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat
Walaupun demikian, menurut Devas (1997), pengertian dan penafsiran terhadap desentralisasi ternyata sangat beragam, dan pendekatan terhadap desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain. Tetapi, secara umum definisi dan ruang lingkup desentralisasi selama ini banyak diacu adalah pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999), bahwa desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta. Sebagai pembanding, baik juga mengacu pendapat Turner dan Hulme (1997) yang berpendapat bahwa desentralisasi di dalam sebuah negara mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani.
Desentralisasi merupakan alat mencapai tujuan pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan yang lebih demokratis.
Menurut Suwandi (2005), filosofi dari otonomi daerah adalah (i) eksistensi pemerintah daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis; (ii) setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan demokrasi; (iii) kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik; (iv) pelayanan pubik dapat bersifat pelayanan dasar maupun bersifat pengembangan sektor unggulan.
B.2Tujuan Desentralisasi
Terdapat 3 (tiga) tujuan desentralisasi , yaitu (i) tujuan politik, untuk menciptakan suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratik berbasis pada kedaulatan rakyat. Diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, dan legislatif secara langsung oleh rakyat; (ii) tujuan administrasi, agar pemerintahan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah dan bermitra dengan DPRD dapat menjalankan fungsinya untuk memaksimalkan nilai 4E yakni efektifitas, efisiensi, equity (kesetaraan), dan ekonomi; (iii) tujuan sosial ekonomi, mewujudkan pendayagunaan modal sosial, modal intelektual dan modal finansial masyarakat agar tercipta kesejahteraan masyarakat secara luas (Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2010).
B.3Faktor Pendorong
Beberapa faktor mendorong terjadinya desentralisasi khususnya di negara berkembang antara lain berupa (i) kemunduran dalam pembangunan ekonomi, (ii) tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, (iii) tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara (Asia Selatan dan Bosnia), serta (iv) kegagalan pemerintah sentralistik memberikan pelayanan publik yang efektif (Siddik, 2002). Selain itu berkembangnya sistem multi partai di Afrika, membaiknya demokrasi di Amerika Latin, transisi dari sistem ekonomi terpimpin ke sistem ekonomi pasar di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet (Litvak dkk, 1998)
B.4Elemen Dasar
Otonomi daerah mempunyai 7 (tujuh) elemen dasar, yaitu kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik dan pengawasan (Suwandi, 2005).
B.5Kategori Desentralisasi
Rondinelli (1989) mengklasifikasikan desentralisasi berdasar tujuannya menjadi empat bentuk, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi pasar, dan desentralisasi administratif.
Desentralisasi potitik, digunakan oleh pakar ilmu politik yang menaruh perhatian di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil untuk mengidentifikasi transfer kewenangan pengambilan keputusan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah atau kepada masyarakat atau kepada lembaga perwakilan rakyat.
Dengan demikian desentralisasi politik juga melimpahkan kewenangan pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, mendorong masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat bawahan merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara independen, tanpa intervensi dan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
Desentralisasi politik bertujuan memberikan kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan kepada masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh masyarakat sehingga dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan dan implementasi kebijakan. Biasanya desentralisasi dalam bidang politik merupakan bagian dan upaya demokratisasi sistem pemerintahan.
Desentralisasi pasar, umumnya digunakan oleh para ekonom untuk menganalisis dan melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui mekanisme pasar yang sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar barang-barang dan pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan menengah, kelompok masyarakat, koperasi, dan asosiasi swasta sukarela. desentralisasi ekonomi, bertujuan lebih memberikan tanggungjawab yang berkaitan sektor publik ke sektor swasta.
Desentralisasi administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli hukum dan pakar administrasi publik untuk menggambarkan hierarki dan distribusi kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit pemerintah non pusat (sub-national government). Desentralisasi administratif, memiliki tiga bentuk utama yaitu dekonsentrasi, delegasi dan devolusi, bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan efektif dan efisien
Desentralisasi fiskal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana, meliputi (Pakpahan, 2006) pembiayaan mandiri, dan pemulihan biaya dalam pelayanan publik, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat, transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil, kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah
B.6Pertimbangan Utama Pentingnya Desentralisasi
Beberapa ahli seperti Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995) menyatakan bahwa pelayanan publik paling efisien ketika diselenggarakan di tingkatan terdekat dengan masyarakat karena (i) pemerintah lokal sangat memahami kebutuhan masyarakatnya; (ii) pemerintah lokal efisien dalam penggunaan dana masyarakat; dan (iii) persaingan antardaerah akan meningkatkan inovasi.
Model Tiebout (1956) dengan ungkapannya "love it or leave it" menekankan bahwa pilihan masyarakat akan selalu dilakukan untuk memenuhi preferensinya dengan mempertimbangkan kualitas pelayanan dan besaran pajak yang harus dibayar. Ketika preferensi tidak terpenuhi maka pilihannya adalah pergi atau tetap tinggal dan berusaha merubah kondisi yang ada melalui DPRD (Hyman, 1993). Model ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan tercapainya efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal sehingga pasar barang publik lokal bersifat persaingan sempurna (Tresch, 1981; Aronson, 1985; Stiglitz, 1988).
Alasan teoritis yang paling sering dikemukakan tentang pentingnya desentralisasi adalah untuk mempertahankan efisiensi alokasi ketika berhadapan dengan beragam preferensi terhadap barang publik lokal (Musgrave, 1983; Oates, 1972; Tiebout, 1956). Masalah timbul berkaitan dengan koordinasi, yang pada dasarnya mahal (Breton dan Scott, 1978) ketika limpahan antardaerah menjadi penting, termasuk stabilisasi dan distribusi (Tresch, 1978) (Litvak, 1998).
Walaupun demikian, masih banyak ketidaksepakatan, baik teoritis maupun empiris, tentang desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi (Martinez-Vazquez dan McNab, 1997; Zhang dan Zou, 1998), termasuk juga efektifitas distribusi. Beberapa analis menyatakan bahwa pemerintah lokal mencapai tujuan lebih efektif dibanding pusat (Pauly, 1973), sementara lainnya menyatakan bahwa distribusi oleh pusat dibutuhkan untuk keefektifan (Musgrave, 1983) dan menghadapi bias oleh elite lokal (Wilensky, 1974; Inman dan Rubienfield, 1997). Selain itu, pandangan lain menjelaskan bahwa sebaik apapun usaha pemerintah lokal dalam konteks distribusi, maka mereka akan dihadang oleh mobilitas sumber daya dan keterbukaan ekonomi lokal (Buchanan dan Wagner, 1971).
Sementara alasan ekonomi desentralisasi adalah untuk memperbaiki kemampuan bersaing pemerintah yaitu pemerintah lokal berusaha memenuhi keinginan masyarakat (Breton, 1996; Salmon, 1987). Hanya terdapat sedikit bukti empiris terhadap ide ini.
Melalui desentralisasi, kesejahteraan masyarakat di daerah akan lebih cepat terwujud karena pemerintah daerah akan lebih fleksibel bertindak dalam respons perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi juga lebih melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan ketimbang menunggu keputusan dari pemerintah pusat sehingga kehidupan demokrasi lebih terwujud, lebih memberi ruang untuk berkreasi dan berinovasi, dan menghasilkan semangat kerja, komitmen dan produktivitas yang lebih tinggi (Osborne dan Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998). Selain itu, preferensi penduduk lebih terakomodasikan (Oates 1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999), tingkat akuntabilitas ditingkat lokal akan menjadi lebih baik karena lebih mudah mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah daerah terhadap dewan perwakilan setempat (Peterson, 1997), manajemen fiskal menjadi lebih baik (Meinzen-Dick, Knox and Gregorio 1999), dan tingkat pertumbuhan ekonomi dan jaminan pasar akan menjadi lebih baik (Wibbels 2000). Pendek kata, cukup banyak literatur sangat optimis bahwa tingkat efisiensi menjadi lebih baik, tingkat korupsi juga akan berkurang (Fisman, dkk. 2002), dan akan terjadi peningkatan demokratisasi dan partisipasi (Crook and Manor 1998).
B.7Pembelajaran Penerapan Desentralisasi di Mancanegara
Desentralisasi dapat berdampak pada mobilisasi sumber daya, stabilitas ekonomi makro, penyediaan layanan, dan kesetaraan (equity). Potensi ketidakstabilan ekonomi makro oleh desentralisasi menjadi perhatian (Prud'homme, 1995; Tanzi, 1996; Ter-Minassian, 1997). Pada negara yang telah terdesentralisasi, menjadi suatu hal yang biasa ketika terjadi kaitan antara desentralisasi dan ketidakseimbangan fiskal di tingkat lokal (Wallich, 1994). Setidaknya tiga studi Bank Dunia membuktikan hal ini.
Desentralisasi dapat mempengaruhi kesetaraan (equity) penduduk (interpersonal) melalui kebijakan pembiayaan publik, pajak, dan desain transfer antarpemerintah. Jika kebijakan pembiayaan publik mengarah pada penyediaan layanan pada penduduk kaya, beban pajak lebih besar pada penduduk miskin, dan desain transfer mengabaikan penduduk miskin maka kesetaraan akan terganggu (Litvak, 1998). Sementara desentralisasi dapat mempengaruhi kestabilan ekonomi makro, ketika terjadi defisit pada anggaran pemerintah lokal.
Tidak hanya itu saja, menurut Utomo (2010), berdasar pembelajaran pelaksanaan desentralisasi di seluruh dunia, dampak lainnya dapat berupa pencegahan dan pemberantasan korupsi (Arikan 2004; Fjeldstad 2004; Fisman 2002), pengurangan kemiskinan (Braathen 2008; Crook 2001; UNDP 2000; Moore dan Putzel 1999), peningkatan kualitas pelayanan (World Bank 2001; Kolehmainen-Aitken 1999; McLean 1999, Dillinger 1994), memperkuat akuntabilitas (World Bank, 2000), resolusi konflik (Sasaoka 2007), ataupun pemberdayaan masyarakat (Brinkerhoff 2006). Namun, dampak negatif desentralisasi juga terpantau berupa kesenjangan wilayah, memunculkan egoisme kedaerahan dan klientilisme, atau menggelembungkan struktur birokrasi (Cornelius 1999; Fox and Aranda 1996; Rodden 2000; Rodden and Wibbels 2002; Stein 1998, dikutip dari Falleti 2004). Kajian Treisman (2000), Oyono (2004) mengungkapkan hal seperti kinerja pemerintah daerah tidak meningkat, partisipasi dan demokratisasi juga tidak membaik. Justru meningkatkan kesempatan untuk 'rent-seeking' dan korupsi. Dengan demikian, desentralisasi memiliki dua wajah, positif dan negatif.
Dua wajah desentralisasi juga diungkapkan oleh Burki, Perry dan Dillinger (1999). Dari sisi kemanfaatan, desentralisasi dapat lebih tepat meningkatkan efisiensi dan daya tanggap pemerintah melalui pemenuhan layanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi rakyat. Selain itu, desentralisasi dapat membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antarpemerintah daerah untuk mencapai kepuasan masyarakat yang lebih tinggi. Namun di sisi lain, kualitas pelayanan publik sering menjadi korban karena transfer kewenangan sering disalahartikan atau disalahgunakan oleh elite lokal yang relatif kurang memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan (Utomo, 2010).
C.Penerapan dan Pencapaian Desentralisasi di Indonesia
C.1Sejarah dan Latar Belakang
C.1.1Masa Sebelum Kemerdekaan
Pada tahun 1903 Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Desentralisatie wet yang merupakan dasar hukum pertama berkaitan dengan desentralisasi di Indonesia. Saat itulah Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Undang-undang ini hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja.
Sebelum Tahun 1903, seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah yang disebut 'Swapraja' yang diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone (Kausar, 2008).
Perbedaan sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU Tahun 1903 terletak pada eksistensi Dewan Daerah. Sebelum itu, tidak terdapat sama sekali otonomi pemerintahan daerah. Semua unit pemerintah bersifat administratif atas dasar prinsip dekonsentrasi. Setelah UU Tahun 1903 diterbitkan, didirikanlah Dewan Daerah pada unit-unit pemerintahan tertentu, di mana mereka diberikan kewenangan menggali pendapatan daerah guna membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh setempat, namun Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat Pemerintah Pusat (Kausar, 2008).
Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada pejabat-pejabat Belanda yang bekerja di Indonesia, dilakukan tahun 1922 dan kemudian diteruskan oleh Tentara Pendudukan Jepang pada saat Perang Dunia II (Hardjosoekarto, 2008).
C.1.2Masa Sebelum Reformasi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,diterbitkan pada 23 Nopember 1945, merupakan undang-undang pertama yang mengatur mengenai pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada masa ini, otonomi diberikan kepada daerah adalah otonomi yang lebih luas dari jaman penjajahan.
Sistem pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang ini adalah dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggota diangkat oleh Pemerintah Pusat. Untuk menjalankan roda pemerintahan daerah, Komite memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin Kepala Daerah.Kepala daerah menjalankan dua fungsi yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena itu kendatipun kehendak desentralisasi cukup nyata, pelaksanaan dekonsentrasi sangat dominan (Kausar, 2008). Namun tidak tersedianya penjelasan dari undang-undang ini menimbulkan kesimpangsiuran dalam penafsirannya. Untuk itu, Kementeraian Dalam Negeri menyiapkan penjelasan tertulis.
Selanjutnya, dilakukan revisi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, yag diterbitkan pada 10 Juli 1948, yang menekankan otonomi sebanyak-banyaknya. Selain itu, hal lainnya yang tercantum dalam undang-undang ini bahwa hanya dikenal satu bentuk satuan pemerintahan tingkat daerah yaitu pemerintahan daerah otonom, titik berat otonomi pada desa, susunan pemerintahan daerah menjadi hanya 3 tingkatan (dari sebelumnya 5), yaitu propinsi, kabupaten/kotamadya, dan desa/kota kecil (Tamin, 2012). Walaupun demikian, undang-undang ini lebih menekankan praktek demokrasi parlementer sesuai dengan sistem pemerintahan saat itu, dan kontrol pemerintah pusat kepada daerah masih sangat kuat. (Hardjosoekarto, 2008).
Terjadinya perubahan ketatanegaraan menjadi Negara Kesatuan Repubik Indonesia dibawah UUD Sementara 1950, melahirkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, yang menekankan sistem otonomi riil yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan nyata dari daerah. Namun, Kepala Daerah sama sekali tidak bertanggung jawab kepada Pemerintahan Pusat. Karena itu terjadi dualisme kepemimpinan, yaitu kepala daerah disatu sisi, dan pejabat pusat yang ditempatkan di daerah di sisi lain. Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1957 tidak berjalan lancar, bahkan mendapat tantangan kuat dari berbagai pihak.
Tidak lama kemudian, negara kembali ke dasar ketatanegaraan UUD 1945, yang ditindaklanjuti dengan penetapan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 pada 16 Nopember 1959, yang menekankan desentralisasi beralih kepada kontrol pemerintahan pusat yang kuat terhadap pemerintahan daerah (Hardjosoekarto, 2008). Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat (Kausar, 2008).
Penpres ini pun kemudian dianggap tidak sesuai Pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki pengaturan melalui undang-undang. Selanjutnya ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. Sekali lagi arus balik terjadi dengan dikeluarkannya UU 18/1965. Keadaan politik waktu itu menunjukkan bahwa partai-partai mendapatkan kembali kekuasaan setelah masa sulit pada tahun 1950-an. Berdasarkan UU 18/1965, para eksekutif daerah diperbolehkan menjadi anggota partai. Berdasarkan ketentuan ini tumbuh loyalitas ganda Kepala Daerah yang tidak saja kepada Pemerintah Pusat tetapi juga kepada partai. Pada undang-undang ini lah diperkenalkan istilah propinsi, kabupaten dan kecamatan.
Pada masa ini terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan tuntutan pendirian daerah otonomi tingkat III yang berbasis pada Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan Parpol untuk mendapatkan dukungan politis dari grass-roots (Kausar, 2008).
Namun kemudian undang-undang ini direvisi karena dianggap memberi otonomi seluas-luasnya, yang seharusnya berupa otonomi nyata dan bertanggungjawab. Hal inilah yang mendasari lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, yang juga mengatur pemerintahan daerah berdasar dekonsentrasi, selain memberi titik berat otonomi daerah pada kabupaten/kotamadya. Namun demikian, unsur sentralisasi lebih menonjol dari unsur desentralisasi (Tamin, 2012).
Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah). DPRD mempunyai kewenangan melakukan pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan akhir ada di tangan Pusat. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut pada satu sisi telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain, kondisi telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan otonominya, seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan, kelembagaan, personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah (Kausar, 2008). Undang-Undang ini lah yang paling lama berlakunya sampai sebelum masa reformasi
Sementara itu, dibidang Perimbangan Keuangan sejak tahun 1956 telah dikeluarkan UU Nomor 23 Tahun 1956. Tetapi UU ini tidak dapat diberlakukan dengan baik oleh karena beberapa sebab, selain sebab-sebab teknikal juga sebab-sebab politis (Hardjosoekarto, 2008).
C.1.3Pasca Reformasi
Dimulainya otonomi daerah pada era reformasi di Indonesia ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang secara resmi dicanangkan per 1 Januari 2001. Sebagian ahli menyebut tahap ini sebagai fase pertama.
Memasuki era reformasi, yang ditandai dengan kuatnya desakan perubahan secara signifikan terhadap hubungan pusat dan daerah, bisa dipastikan bahwa UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, menurut Pratikno (1999), digunakan untuk memuat dua misi utama, yaitu pertama, memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi di tingkat daerah. Ini diwujudkan dengan 'desentralisasi politik' dari pusat kepada daerah dan memberikan kesempatan dan kepuasan politik kepada masyarakat daerah untuk menikmati simbol utama demokrasi lokal (misalnya pemilihan Kepala Daerah). Kemudian, kedua, memuaskan daerah-daerah kaya sumber daya alam yang "memberontak" dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati sumber daya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
Secara umum terdapat perbedaan fundamental dengan Undang-Undang sebelumnya diantaranya, yaitu (i) dipisahkannya Kepala Daerah dengan DPRD; (ii) otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten dan daerah kota; (iii) daerah propinsi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administrasi yang melaksanakan kewenangan pusat. Daerah propinsi bukan atasan dari daerah kabupaten dan daerah kota; (iv) penyelenggaraan asas dekonsentrasi hanya pada tingkat propinsi. (Tamin, 2012).
Hoessein (2002) menjelaskan dengan panjang lebar perihal perubahan dalam
UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang tergolong perubahan yang radikal atau drastik dan bukan perubahan yang gradual. Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan yang menyertai reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian reformasi yang pemah terjadi sebelumnya. Dibandingkan dengan reformasi pemerintahan daerah di berbagai negara berkembang lainnya pun reformasi pemerintahan daerah di Indonesia masih tergolong sangat besar. Reformasi pemerintahan daerah di Indonesia tergolong big bang approach. Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut dapat disimak dari pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah yang terjadi sebagai berikut
Structural efficiency model yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal ditinggalkan dan dianut local democracy model yang menekankan, nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pula pergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi;
dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser model organisasi yang hirarkis dan bengkak ke model organisasi yang datar dan langsing;
hubungan antara Dati II dengan Dati I yang semula dependent dan subordinate kini hubungan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi menjadi independent dan coordinate. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan dari dianutnya integrated prefectoral system yang utuh ke integrated prefectoral system yang parsial hanya pada tataran provinsi. Dianutnya integrated prefectoral system pada propinsi dengan peran ganda Gubemur sebagai KDH dan Wakil Pemerintah dimaksudkan untuk mengintegrasikan kembali daerah otonom yang secara desentral memiliki karakteristik keterpisahan;
distribusi urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang semula dianut ultra-vires doctrine dengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti dengan general competence atau open end arrangement yang merinci fungsi pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan Provinsi;
pengawasan Pemerintah terhadap daerah otonom yang sernula cenderung koersif bergeser ke persuasif agar diskresi dan prakarsa daerah otonom lebih tersalurkan. Konsekuensinya, pengawasan Pemerintah terhadap kebijakan Daerah yang semula secara preventif dan represif, kini hanya secara represif;
dalam keuangan daerah otonom, terjadi pergeseran dari pengutamaan specific grant ke block grant;
konsep Pemerintah Daerah yang semula mencakup KDH dan DPRD menurut UU No. 5 Tahun 1974 kini konsep tersebut hanya merujuk kepada KDH dan Perangkat Daerah, sedangkan DPRD berada di luar Pemerintah Daerah. KDH yang semula tidak akuntabel terhadap DPRD kini diciptakan akuntabel;
hubungan Pemerintah dan daerah otonom yang selama UU No. 5 Tahun 1974 bersifat searah dari atas ke bawah diganti dengan model hubungan yang bersifat resiprokal.
Pada masa ini juga dikeluarkannya UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Selanjutnya bola salju otonomi daerah bergulir dan memasuki fase kedua yang ditandai dengan diterbitkannya 3 (tiga) Undang-Undang terkait dengan keuangan Negara yaitu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Walaupun usianya masih baru, namun telah banyak kritik ditujukan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 ini, diantaranya menurut Haris (2001) adalah (i) ambivalensi propinsi sebagai daerah otonom dan wilayah administrasi; (ii) bias daerah kaya sumber daya alam; (iii) tidak ada mekanisme konstitusional bagi masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan lokal sehingga peluang munculnya kembali penyalahgunaan kekuasaan didaerah terbuka lebar. Sementara Hoessein (2002) dan Suwandi (2001) menjabarkan terjadinya inkonsistensi antarbab (Hardjosoekarto, 2008).
Setidaknya terdapat dua hal yang mendorong perlunya dilakukan revisi terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25 tahun 1999, yaitu
Pertama, pemerintah pusat tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, terdapat ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah "putra daerah" mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena "putra daerah" itu begitu meruak di berbagai daerah.
Selain itu, terdapat potensi permasalahan, antara lain (i) terjadinya konflik kewenangan seperti di Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi lainnya; (ii) Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (iii) rekruitmen, pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme, pendekatan kedaerahan didahulukan; (iv) sarana dan prasarana organisasi terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (v) manajemen pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan) mendasar; (vi) dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula berbagai ekses antara lain peningkatan PAD yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas daerah dan penerimaan sah lainnya yang belum dioptimalkan; (vii) standar pelayanan minimum yang belum terumuskan dengan baik; dan (viii) DPRD dalam sistem perwakilan (baru) menjadi sangat berkuasa, Kepala Daerah (eksekutif) tersandera oleh Laporan Pertanggungjawaban (Kausar, 2008).
Berbagai pengalaman dan pembelajaran yang ditemui sepanjang 5 tahun pelaksanaan otonomi daerah ini yang kemudian mendorong dilakukannya penyempurnaan terhadap regulasi yang ada, sehingga diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang masing-masing merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Tahapan ini disebut sebagai fase ketiga.
Secara garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 didasarkan untuk penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan UUD 1945, Ketetapan dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan dengan undang-undang bidang politik dan undang-undang lainnya. Di samping itu juga melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menimbulkan permasalahan, menyebabkan penafsiran ganda dan belum lengkap. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang tersebut secara substansial mengubah beberapa paradigma penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontinum bukan bersifat dikotomis. Dalam pembentukan daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mengatur persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin terselenggaranya pelayanan secara optimal.
Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian urusan yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang dapat dikelola bersama antara pusat, provinsi, atau pun kabupaten/Kota. Pembagian urusan ini diatur dalam pasal 11 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian urusan pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa.
Dalam urusan bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.
Selanjutnya agar penyediaan pelayanan kepada masyarakat mampu memenuhi ukuran kelayakan minimal, pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah harus berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Berdasarkan konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu, maka berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005.
Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui fungsi legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.
Banyak perbedaan diantara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, diantaranya
(i) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sepertinya mengadopsi kembali rumusan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menyatakan otonomi daerah adalah hak sekaligus juga kewajiban daerah otonom. Sementara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya menyatakan sebagai kewenangan saja;
(ii) Menurut Mochtar (2012), salah satu perbedaan signifikannya adalah dalam perubahan paradigma dalam pelimpahan kewenangan/urusan antara pemerintah pusat dan daerah. Perubahan paradigma tersebut diwakili oleh penggunaan nomenklatur "kewenangan" pada UU Nomor 22 Tahun 1999 (pasal 7) sedangkan UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan nomenklatur "urusan" (pasal 10).
Antara pembagian kewenangan dengan pembagian urusan jelas terdapat perbedaan yang mendasar. Secara yuridis, yang diartikan dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah isi dari kewenangan itu sendiri.Pola yang dikembangkan UU Nomor 22 Tahun 1999 adalah pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah, yang telah ditentukan kewenangan pemerintah, kewenangan propinsi dan kewenangan Kabupaten/Kota adalah kewenangan yang tidak temasuk kewenangan pemerintah dan propinsi. Dalam konteks ini UU Nomor 22 Tahun 1999 tidak memberi ruang kepada pemerintah pusat untuk mencampuri urusan yang telah menjadi kewenangan Propinsi, Kabupaten dan Kota. Propinsi tidak pula dapat mencampuri urusan-urusan Kabupaten/Kota.
Titik tekan UU 22/1999 adalah pada kewenangan, yang menentukan apa-apa yang akan menjadi isi dari kewenangannya. Pola ini merangsang kreativitas dan prakarsa daerah menggali berbagai aktifitas dan gagasan guna mewujudkan pelayanan publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sedangkan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang diatur adalah pembagian urusan pemerintahan yang dituangkan khusus untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, titik penekanannya adalah pada pembagian urusan maka kewenangan daerah hanya sebatas urusan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan bertambah apabila ada penyerahan dari pemerintah. Artinya, kewenangan daerah bertambah hanya jika ada penyerahan urusan. UU Nomor 32 Tahun 2004 masih memaknai desentralisasi sebagai penyerahan wewenang, tetapi sesungguhnya hanya penyerahan urusan. Dan atas urusan yang diserahkan kepada daerah itu diberikan rambu-rambu yang tidak mudah untuk dikelola daerah dengan leluasa sebagai urusan rumah tangga sendiri.
Secara umum, Hossein (2002) membagi periodisasi kebijakan desentralisasi sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang dalam setidaknya 7 periode sebagaimana disarikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Periodisasi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia
Kurun Waktu Prinsip Otonomi dan Landasan Yuridis
1903 Sentralisasi
Decentralisatie Wet 1903;
Local Radenordonantie No.181 Thn 1905
1942-1945 Sentralisasi
Osamu Sirei No.27 Thn 2602 (1942)
1945-1959 Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
UU No.1 Tahun 1945
UU No.22 Tahun 1948
UU No.1 Tahun 1957
1959-1966 Otoriter, Sentralistik,Dekonsentrasi
Penpres No.18/1959
UU No.18/1965
1966 -1969/1971 Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
TAP MPRS No.21/1966
1971-1998 Otoriter, Sentralistik, Dekonsentrasi
TAP MPR No.IV/1973
UU No.5/1974
UU No.5/1979
1998- sekarang Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
TAP MPR No.IV/1998
UU No.22/1999
UU No.25/1999
UU No.32/2004
UU No.33/2004
Sumber: Diadopsi dari Hossein, 2002
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa, sampai kini, setidaknya telah dihasilkan tujuh undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004.
C.2Otonomi Daerah dalam UUD 1945
UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia sejak awal telah menegaskan dianutnya prinsip otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu tercermin dalam amanat Pasal 18 UUD 1945 Sebelum Perubahan mengenai pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan adanya daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) dan pada daerah-daerah tersebut akan diadakan badan perwakilan sehingga pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Walaupun secara tegas UUD 1945 menghendaki adanya otonomi daerah, namun praktik penyelenggaraannya mengalami pasang surut. Bahkan kita pernah mengalami puncak-puncak sentralisasi seperti pada masa diterapkannya demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan Presiden Soekarno. Di awal Orde Baru, pemikiran pentingnya otonomi daerah sempat menguat dan menjadi salah satu kebijakan yang dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-Luasnya Kepada Daerah. Namun idealisme tersebut kembali pupus oleh kebijakan konsolidasi kekuasaan Orde Baru yang mengarah kepada sentralisasi yang diwujudkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Tuntutan pemberian otonomi daerah kemudian menjadi bagian dari agenda demokratisasi di era reformasi hingga lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Kembalinya otonomi daerah tidak hanya diwujudkan dalam bentuk hukum undang-undang, tetapi juga ditegaskan dalam UUD 1945 melalui perubahan yang dilakukan oleh MPR. Ketentuan tentang pemerintahan daerah yang semula hanya diatur dalam satu pasal tanpa ayat (Pasal 18), diperinci pengaturannya menjadi 3 Pasal (Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B), yang berisi 11 ayat.
Dalam UUD 1945, perubahan tersebut diatur yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota, juga ditentukan bahwa masing-masing daerah tersebut mempunyai pemerintahan daerah yang mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Untuk melaksanakan otonomi tersebut pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain (misalnya keputusan gubernur atau keputusan bupati/walikota).
C.3Desentralisasi Fiskal di Indonesia
C.3.1Pentingnya Desentralisasi Fiskal
Menurut Sidik (2002), tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat menjamin: (i) Kesinambungan kebijakan fiskal (fiskal sustainability) dalam konteks kebijakan ekonomi makro; (ii) Mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance) dan ketimpangan antara pusat dengan daerah (vertical imbalance) untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan pemerintah daerah; (iii) Dapat memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional; (iv) Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah; (v) Memperbaiki keseimbangan fiskal antar daerah dan memastikan adanya pelayanan yang berkualitas di setiap daerah; dan (vi) Menciptakan kesejahteraan sosial (social welfare) bagi masyarakat.
C.3.2Periodisasi
Sejarah sistem transfer di Indonesia dapat dibagi dalam 3 masa yaitu (i) periode sebelum Subsidi Daerah Otonom (SDO) (1945-1972), (ii) periode SDO; (iii) periode DAU.
Periode sebelum SDO
Periode ini terbagi dalam tiga bagian. Pertama (1945-1956). Pemerintah bertujuan memastikan pemerintah daerah mempunyai kemampuan untuk membiayai defisit mereka dengan subsidi pemerintah. Terbukti kemudian bahwa tujuan ini tidak tercapai. Kedua (1956-1964). Pemerintah memperkenalkan skema bagi hasil pajak. Pemerintah daerah mendapat porsi tertentu dari penerimaan pajak pemerintah. Ketiga (1965-1974). Pemerintah mengganti skema yang ada dengan subsidi langsungyang didasarkan pada kebutuhan pembayaran gaji oleh pemerintah daerah. Skema ini dikenal dengan sistem subsidi antarpemerintah yang kemudian menjadi dasar dari subsidi daerah otonom (SDO). Pada saat yang sama, pemerintah juga menggunakan beberapa skema yang lain seperti kontribusi pemerintah pada pemda, beberapa tipe dana bantuan pembangunan, dan bagi hasil sumber daya hutan, dan sewa lahan pertambangan.
Periode SDO (1972-2001).
SDO pertama kali diimplementasikan pada 1972/1973. SDO ditujukan untuk pembayaran gaji pegawai lokal. SDO bersifat mengikat dan ditujukan untuk mendukung kegiatan rutin. Untuk kegiatan pembangunan disediakan INPRES yang ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Terdapat berbagai bentuk INPRES, baik berbentuk dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus. SDO dan INPRES bertahan sampai diperkenalkannya DAU pada tahun 2001.
Periode DAU.
Desentralisasi fiskal di Indonesia mulai berkembang setelah tahun 1970-an dan dipuncaki pada tahun 1999 ketika dalam setahun Indonesia menjadi negara paling terdesentralisasi di dunia. Sumbangan pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah bertambah dua kali lipat dari tahun 2000 ke 2001. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran di berbagai kalangan. Walaupun kemudian ternyata berlangsung dengan baik.
Perubahan tersebut tercantum dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut, sistem desentralisasi fiskal di Indonesia terdiri dari tiga sistem transfer antarpemerintah yaitu (i) bagi hasil sumber daya alam, pajak pendapatan perorangan dan properti; (ii) Dana Alokasi Umum (DAU); (iii) Dana Alokasi Khusus (DAK).
C.3.3Implikasi UU Nomor 33 Tahun 2004
Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi dan desentralisasi, pemerintah telah melakukan revisi atas UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004.
Menurut UU Nomor 25 Tahun 1999 tersebut, sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang sah. PAD terdiri dari komponen Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam yang dibagikan kepada daerah berdasarkan presentase tertentu. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, terjadi revisi mengenai dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, kini menjadi bagian dari DBH. DAK merupakan dana yang berasal dari APBN dan dialokasikan kepada daerah yang dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan khusus daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Menurut UU tersebut, pengaturan pembiayaan daerah dilakukan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD. Oleh karenanya, kepala daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.
UU Nomor 33 Tahun 2004 mengubah pola bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan berlaku hingga saat ini. Subsidi Daerah Otonom dan Dana Inpres dihapuskan dan diganti dengan DAU. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, DAU bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal imbalance). Jumlah DAU yang dibagikan minimal 26% dari penerimaan dalam negeri dan akan dibagikan kepada seluruh propinsi dan kabupaten/kota menurut suatu rumusan. Dalam UU tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa kriteria DAU didasarkan pada dua faktor penting, yakni kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi perekonomian daerah (fiscal capacity). Kemampuan fiskal yang dimaksud adalah kemampuan anggaran pemerintah yang bersangkutan dalam membiayai pemerintahannya, meliputi PAD, PPB, Bagi Hasil, PPh orang pribadi, Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PDRB, potensi SDM. Sedangkan besarnya kebutuhan daerah (fiscal needs) dilihat dari jumlah penduduknya, luas wilayah, keadaan geografis, dan tingkat kemakmuran masyarakat dengan memperhatikan kelompok miskin. Celah fiskal (fiscal gap), yang merupakan dasar penentuan DAU, adalah selisih antara fiscal capacity dengan fiscal needs. Dengan kata lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah lebih besar dari potensi penerimaan daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU akan lebih kecil kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal relatif besar. Sebaliknya perolehan DAU yang lebih besar akan diberikan kepada daerah-daerah dengan kemampuan fiskal relatif kecil. Dengan adanya konsep ini, beberapa daerah khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penurunan kemampuan daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, selain menggunakan formula fiscal gap perhitungan DAU juga menggunakan faktor penyeimbang yang terdiri dari: (a) lumpsum yang berasal dari sejumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara merata kepada seluruh daerah yang besarnya tergantung pada kemampuan keuangan negara; (b) transfer dari pemerintah pusat yang dialokasikan secara proporsional dari kebutuhan gaji pegawai masing-masing daerah. Dengan adanya faktor penyeimbang, alokasi DAU kepada daerah ditentukan dengan perhitungan formula fiscal gap dan faktor penyeimbang.
Dengan begitu, kemampuan fiskal merupakan isu penting dan strategis, karena di masa mendatang pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi bahkan melepaskan ketergantungannya secara finansial kepada pemerintah pusat. Perlu dimengerti, karena tingkat ketergantungan finansial tersebut mempunyai hubungan terbalik dengan tingkat perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka untuk mengurangi ketergantungan finansial tersebut pemerintah daerah harus merancang dan menetapkan berbagai skim peningkatan PAD. Secara umum skim peningkatan PAD meliputi:
Intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah dalam bentuk pajak atau retribusi.
Eksplorasi sumber daya alam
Skema pembentukan capital (capital formation) atau investasi daerah melalui penggalangan dana atau menarik investor.
Dari ketiga pilihan kebijakan ini, tampaknya skim menarik investor merupakan pilihan yang paling bersifat sustainable dan mempunyai multiplier effect yang bermanfaat, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan. Pilihan intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah, baik secara langsung maupu secara tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya high cost economy yang mengarah pada tekanan inflasi, sedangkan pilihan kedua, terutama jika sumber daya yang tersedia bersifat tak-terbarukan (non-renewable), akan terbentur pada persoalan keberlanjutan.
C.4Kinerja dan Dampak
Sejak dicanangkannya otonomi daerah pada tahun 2000, melalui diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terbentuk daerah otonom baru sebanyak 205 buah yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 Kota. Dengan perkataan lain terjadi peningkatan 64% dari jumlah daerah otonom tahun 1998 atau secara rata rata dalam satu tahun lahir 20 daerah otonom baru Sehingga daerah otonom menjadi sebanyak 524 unit (propinsi, kabupaten, kota) (Kemendagri, 2010). Selengkapnya pada Tabel 2.
Hasil evaluasi efektifitas pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum mencapai tujuan yang hakiki dari otonomi daerah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesimpulan ini merupakan hasil kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas pada tahun 2011.
Tabel 2 Perkembangan Jumlah Daerah Otonom antara Tahun 1999 – 2010 JUMLAH DAERAH OTONOM 1999 PERUBAHAN 2010 Jumlah provinsi 26 7 33 Jumlah kabupaten 234 164 398 jumlah kota 59 34 93 Jumlah Total Daerah Otonom(*) 319 205 524 Sumber: Harmantyo, 2011.
(*) Angka ini tidak termasuk provinsi DKI Jakarta dan 6 daerah administratif.
Adapun indikator pengukuran efektifitas pelaksanaan otonomi daerah yang dipergunakan adalah sebagai berikut.
Angka Kemiskinan. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah daerah yang berada di bawah garis kemiskinan tidak berkurang.
Kualitas SDM. Kualitas sumber daya manusia masih belum memadai.
Pemenuhan hak dasar. Masih banyak anak-anak putus sekolah, diskriminasi layanan kesehatan masih banyak dijumpai. Berdasar data BPS, pada tahun 2009 masih banyak propinsi dengan indeks pembangunan manusia (IPM) jauh dibawah rata-rata nasional yaitu 19 propinsi.
Lapangan kerja dan angka pengangguran. Angka pengangguran masih cukup tinggi.
Pengembangan infrastruktur seperti jalan, penerangan dan air minum. Kondisi jalan dengan kualitas rusak berat, rusak ringan, dan tidak mantap jumlahnya masih signifikan. Masih terdapat sekitar 7 persen desa yang belum terlayani listrik. Masih sekitar 70 juta penduduk belum mendapat layanan air minum, bahkan perilaku buang air besar (BAB) masih dilakukan oleh sekitar 60 juta penduduk.
Pemberdayaan ekonomi. Upaya penciptaan lapangan pekerjaan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Kualitas pengelolaan pemerintahan berdasar prinsip Kepemerintahan yang Baik (Good Governance). Manurut hasil riset Booz-Allen dan Hamilton pada tahun 1999, menunjukkan bahwa Indonesia masih masuk dalam kategori poor governance. Tertinggal dibanding Negara Asia Tenggara lainnya.
Terlepas dari perdebatan tentang dampak positip dan negatip dari otonomi daerah, setidaknya berbagai kalangan mempercayai terdapat banyak hal positip dari penerapan konsep otonomi daerah di Indonesia, diantaranya (i) semakin meningkatnya tingkat kemandirian dan kemampuan daerah dalam mengelola pembangunan ekonomi daerahnya, ditunjukkan dari terjadinya perencanaan ekonomi daerah yang lebih mempertimbangkan aspirasi masyarakat di daerah (bottom-up planning), peningkatan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan; (ii) perkembangan perekonomian yang signifikan, ditandai dengan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, serta semakin membaiknya fungsi intermediasi bank umum. Walaupun secara regional masih terdapat propinsi justru memperoleh dampak negatif.
Sementara hasil kajian IRDA (2002) menunjukkan desentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi penting, yaitu (i) meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal; (ii) perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka meningkatkan kualitas pelayanan publik; dan (iii) pemerintah daerah saling bekerjasama dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang sama-sama mereka hadapi. Walaupun demikian, SMERU (2002) mengungkap fakta banyaknya daerah yang memberlakukan berbagai pungutan baru yang berpotensi menghambat iklim investasi dan gairah bisnis lokal (Utomo, 2010).
Di sisi lain, dampak negatif juga terjadi diantaranya (i) banyak kebocoran (korupsi) dan penggunaan anggaran yang tidak efisien dan efektif; (ii) terbukanya potensi kegaduhan yang disebabkan oleh ketidaksiapan daerah dan ketidaklengkapan desain regulasi untuk mengimplementasikan proses desentralisasi, berupa desentralisasi KKN dan duplikasi Perda yang justru berlawanan dengan spirit otonomi daerah. Jika sebelumnya watak KKN lebih bersifat vertikal dengan institusi di atas mengambil bagian yang paling besar, maka sejak era otonomi watak KKN lebih bersifat horizontal dengan setiap lini penyelenggara pemerintah (daerah) mengambil bagian yang sama. Contoh lainnya, pemerintah daerah mencoba meningkatkan penerimaan daerah akibat orientasi kepada PAD yang berlebihan. Masalahnya adalah, peningkatan PAD tersebut dibarengi dengan kebijakan-kebijakan duplikatif sehingga sangat memberatkan masyarakat dan pelaku ekonomi pada khususnya. Sebagian besar Perda-perda tersebut dianggap menjadi penyebab munculnya high cost economy (ekonomi biaya tinggi) sehingga tidak mendukung upaya peningkatan iklim usaha di Indonesia, baik dalam bentuk pajak, retribusi, maupun non-pungutan. Pada kasus ini tentu saja pemerintah daerah telah berperan sebagai pencari rente (Rent-Seeker) (Sari dkk, 2012).
Temuan lain oleh Hidayat (2003), bahwa kebijakan desentralisasi juga tak luput dari serangkaian permasalahan seperti munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya oligarki politik oleh elit lokal maupun gejala pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat.
C.5Isu, Tantangan dan Kendala
Memperhatikan pengalaman pelaksanaan otonomi daerah, dapat dikategorikan beberapa isu utama yang perlu mendapat perhatian, diantaranya adalah.
Tumpang tindih regulasi sektoral dan desentralisasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
Berdasarkan kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas (2011), terdapat 87 regulasi sektoral yang mengatur 31 urusan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Setidaknya 29 bidang urusan diantaranya tumpang tindih. Lihat Tabel berikut
Tabel 3.
Peraturan Perundangan pada 31 Sektor yang Terkait dengan Desentralisasi
Sumber: Direktorat Otonomi Daerah Bappenas, 2011
Ditengarai beberapa faktor menjadi penyebab tumpang tindihnya regulasi sektoral yaitu (i) pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksana-annya; (ii) kebijakan instansi pusat saling bertentangan; (iii) benturan antara wewenang instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis; (iv) perbedaan antara peraturan perundangan dengan yurispudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (Direktorat Otonomi Daerah, 2011).
Pelaksanaan otonomi daerah belum efektif
Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata. Namun berdasar hasil kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas (2011), ternyata pelaksanaan otonomi daerah belum berhasil meningkatkan kesejahteraan secara signifikan.
Ekstensifikasi sumber pendapatan Daerah yang berlebihan
Salah satu konsekuensi otonomi daerah adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan, berupa pembayaran gaji pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah, penyelenggaraan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan.
Langkah yang dilakukan adalah melalui pola tradisional dengan mengintensifkan dan mengekstensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Pola ini menjadi sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship). Malah kemudian timbul masalah ketika pemerintah daerah terlalu bersemangat memungut pajak dan retribusi. Sebagai ilustrasi, salah satu pemerintah daerah menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk, dengan anggapan label tersebut dikategorikan sebagai iklan. Hal ini terlihat kurang rasional karena label produk sejatinya berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk (Sari dkk., 2012).
Langkah ekstensifikasi pajak daerah akan menimbulkan beban yang terlalu besar buat masyarakat umum dan pelaku ekonomi yang pada akhirnya berujung pada meningkatnya beban masyarakat secara tidak proporsional dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi daerah.
Belum optimalnya hasil pemekaran daerah
Pemekaran wilayah merupakan salah satu dampak ikutan dari penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia, bahkan terlihat bahwa pertambahan wilayah administratif kabupaten/kota hasil pemekaran bertambah secara signifikan sejak dimulainya kebijakan desentralisasi ini.
Kegiatan pemekaran wilayah sendiri awalnya diwadahi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembentukan Daerah Otonom Baru, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Otonom, yang kemudian direvisi menjadi PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Namun dengan banyaknya daerah otonom baru, berdampak terhadap semakin besarnya dana pembangunan daerah otonom baru yang dialokasikan dari APBN. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2002 dialokasikan DAU sebesar Rp. 1.33 triliun, tahun 2003 sebesar Rp. 2.6 triliun dan pada tahun 2010 sebesar Rp. 47.9 triliun. (Harmantyo, 2011).
Berdasar kajian Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (2010), terdapat sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan penataan daerah di Indonesia, yaitu (i) desain kebijakan sangat kental dengan pola pikir 'inward looking' sehingga penataan daerah diterjemahkan hanya sebagai pembentukan daerah otonom baru; (ii) bersifat parsial, sehingga kepentingan per daerah yang menjadi acuan.
Dilain pihak, ditemui fakta bahwa pemekaran wilayah tersebut terlihat tidak disiapkan dengan baik sehingga ditemui kabupaten baru yang hanya berpenduduk 12 ribu jiwa. Disamping persoalan adanya ketimpangan antara besarnya dana yang dialokasikan dengan hasil yang dicapai dalam pembangunan daerah otonom baru serta munculnya konflik horisontal yang cenderung semakin meningkat, yang ternyata masalah di atas juga disebabkan oleh lemahnya aturan persyaratan dan penahapan pembentukan daerah otonom baru. Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu mengeluarkan kebijakan penghentian sementara (moratorium) pemekaran daerah sekaligus berupaya melakukan penyempurnaan aturan pemekaran daerah, salah satu diantaranya menyempurnakan ketentuan persyaratan minimal untuk daerah otonom baru. Walaupun saat ini telah dimulai lagi proses pemekaran daerah, namun menjadi suatu pekerjaan rumah membenahi daerah pemekaran yang belum optimal kinerjanya.
Kondisi SDM aparatur pemerintahan dan legislatif yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
Sebagaimana dipahami bahwa aparatur pemerintah daerah menduduki peranan yang sangat vital dalam keseluruhan proses penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila di katakan bahwa keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat bergantung kepada kemampuan aparaturnya. Sementara berdasar fakta pencapaian otonomi daerah, hanya 20 % pemerintah daerah mampu menyelenggarakan otonomi daerah dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah. Ditengarai rendahnya pencapaian ini banyak ditentukan oleh kapasitas dan integritas sumber daya manusia yang masih jauh dari memadai.
Beberapa faktor menyumbang pada terjadinya kondisi ini, yaitu (a) masih rendahnya profesionalitas birokrasi, disebabkan antara lain pola rekruitmen yang belum sempurna (menyangkut perencanaan kebutuhan dan seleksi); (ii) pola pembinaan karir yang belum mempunyai aturan yang jelas dan pasti, sehingga mempengaruhi terhadap semangat dan budaya kerja birokrasi; (iii) masih kuatnya pengaruh kekuatan politik pada birokrasi daerah, sehingga loyalitas aparatur pemerintah cenderung lebih kuat kepada kekuatan politik dari pada kepentingan masyarakat
Partisipasi Masyarakat masih belum memadai
Masyarakat menjadi salah satu faktor penting bagi setiap kebijakan yang diberlakukan, karena masyarakat sesungguhnya adalah pelaku utama, yang langsung "bersentuhan" atau berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Oleh karenanya keterlibatan masyarakat menjadi suatu keniscayaan. Secara umum, keterlibatan masyarakat dalam proses implementasi Otonomi Daerah belum terlihat jelas. Kondisi ini bermuara pada masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang otonomi daerah. Bahkan pemahaman masyarakat cenderung bertentangan dengan jiwa otonomi daerah. Sebagai ilustrasi, pada beberapa daerah, nelayan daerah lain tidak boleh menangkap ikan di luar daerahnya (Sari dkk., 2012).
Korupsi di Daerah makin marak
Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Beberapa bentuk korupsi yang masih terjadi diantaranya (i) penggelembungan nilai barang dan jasa pada proses pengadaan barang dan jasa; (ii) Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah); (iii) pungutan liar dalam penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya; (iv) pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo); (v) pemberian bantuan fiktif; (vi) penyelewengan dana proyek; (vi) penyelenggaraan proyek fiktif; (vii) Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran (Sari dkk., 2012)
Kesalahpersepsian terhadap keberhasilan otonomi daerah yang diukur dengan kemampuan keuangan daerah
Keberhasilan otonomi daerah seringkali dipersepsikan sebagai keberhasilan suatu daerah hanya dalam aspek kemampuan keuangan daerah. Akibatnya konsep "urusan" lebih dikaitkan dengan "keuangan", yaitu hak daerah untuk menggali sumber keuangan dan bukan untuk memberikan pelayanan. Akibatnya, terjadi perebutan urusan antartingkatan pemerintahan dengan justifikasinya masing-masing yang bermuara pada terlantarnya pelayanan masyarakat.
D.Agenda ke Depan
Memperhatikan isu utama dalam pelaksanaan otonomi daerah yang telah banyak mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, dibutuhkan langkah nyata dalam menanggapi isu dimaksud. Beberapa agenda yang dipandang perlu dan segera untuk dilakukan adalah.
Penyusunan Desain Besar Otonomi Daerah Tahun 2015-2025
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah telah berlangsung lama, namun pelaksanaannya masih terkesan berubah-uban bahkan pada era reformasi perubahan regulasi terkait otonomi daerah berlangsung dalam waktu yang singkat. Sebagai ilustrasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya efektif selama 5 tahun dan direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Untuk itu, perlu disiapkan langkah penyiapan naskah akademik dengan melibatkan berbagai pihak. Desain Besar ini akan dilengkapi dengan peta jalan yang sekaligus merupakan masukan bagi penyusunan RPJMN Tahun 2015-2019.
Penyempurnaan regulasi otonomi daerah dan sinkronisasi dengan regulasi sektoral terkait
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian isu terdahulu bahwa salah satu faktor yang berpengaruh signifikan terhadap hasil pelaksanaan otonomi daerah adalah keberadaan regulasi sektoral, yang ketika tumpang tindih akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, agenda utama yang perlu dilakukan adalah sinkronisasi keseluruhan regulasi terkait otonomi daerah, baik sektoral maupun yang terkait langsung dengan otonomi daerah, termasuk regulasi di pusat (undang-undang, PP, permen, juklak, juknis, maupun daerah (perda). Sebagai konsekuensi logisnya, undang-undang otonomi daerah kemungkinan besar juga akan direvisi.
Berdasar penelitian dan diskusi yang diselenggarakan Program Pascasarjana S2 Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada selama tahun 2008-2009, disepakati terdapat beberapa isu yang belum mampu dijawab oleh desain desentralisasi saat ini, yaitu:
Ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinisi dan kabupaten/kota yang berakibat pada perbedaan interprestasi, tumpang tindih, dan tarik‐menarik kewenangan antarlevel pemerintahan (pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah provinsi dengan kabupaten/kota);
Kerancuan yang terjadi menyusul model susunan pemerintahan yang menempatkan provinsi sebagai daerah otonom sebagaimana kabupaten/kota, padahal wilayah provinsi meliputi wilayah kabupaten/kota, dan pada saat bersamaan juga merupakan wakil pemerintah pusat di daerah;
Situasi pembuatan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah yang cenderung terpecah‐pecah sehingga menghasilkan peraturan perundang‐undangan yang saling bertentangan atau tidak tepat sasaran, baik dalam lingkup nasional maupun lokal
Kecenderungan pemerintah nasional tidak melakukan penyesuaian kelembagaan dengan rezim desentralisasi sehingga yang terjadi justru "pembengkakan" struktur kelembagaan di pusat;
Pembagian kewenangan menjadi urusan wajib dan urusan pilihan yang belum jelas dan cenderung seragam untuk seluruh daerah sehingga menimbulkan banyak kesulitan karena tak seluruhnya sesuai dengan karaktersitik dan kebutuhan daerah, dan;
Banyaknya urusan pemerintahan yang menyaratkan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria), dimana kelambanan di kementerian sektoral dalam mengeluarkan NSPK berimbas pada tidak adanya standar kualitas penyelenggaran urusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Walaupun ada keleluasaan bagi daerah untukbergerak sebelum NPSK keluar, namun sangat sedikit daerah yang berinovasi untuk menetapkan sendiri kualitas pelayanan publiknya (Dwipayana, 2011).
Salah satu masukan terkait revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berasal dari Hakim Konstutusi Akil Mochtar (2012), yang menyatakan bahwa sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Proglenas) 2010, UU Nomor 32 Tahun 2004 akan direvisi menjadi tiga Rancangan Undang-Undang (RUU): RUU tentang Pemerintahan Daerah, RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan RUU tentang Desa.
Untuk itu, menurut Mochtar (2012), setidaknya terdapat 22 isu strategis yang dirumuskan dalam RUU Pemerintahan Daerah antara lain: (1) pembentukan daerah otonom; (2) pembagian urusan pemerintahan; (3) daerah berciri kepulauan; (4) pemilihan kepala daerah; (5) peran gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah; (6) Muspida; (7) perangkat daerah; (8) kecamatan; (9) aparatur daerah; (10) peraturan daerah; (11) pembangunan daerah; (12) keuangan daerah; (13) pelayanan publik; (14) partisipasi masyarakat; (15) kawasan perkotaan; (16) kawasan khusus; (17) kerjasama antardaerah; (18) desa; (19) pembinaan dan pengawasan; (20) tindakan hukum terhadap aparatur Pemda; (21) inovasi daerah; (22) dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD).
Peningkatan kualitas proses perencanaan pembangunan daerah
Pembangunan daerah yang berkualitas masih sulit dicapai, ketika proses perencanaan pembangunan daerah belum mendapat perhatian. Untuk itu, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah peningkatan kualitas para pimpinan dan staf perencana melalui pendidikan dan pelatihan perencanaan berkala, dan peningkatan kualitas rapat koordinasi wilayah., pembenahan sistem informasi, peningkatan kualitas data, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara berkala dan tepat waktu.
Peningkatan kualitas pengendalian program melalui pengembangan sistem informasi otonomi daerah yang menerapkan manajemen pengetahuan
Salah satu kelemahan pelaksanaan otonomi daerah adalah tidak terpantaunya kegiatan secara memadai, yang terutama diakibatkan oleh kesulitan mengakses data pencapaian. Akibatnya hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah menjadi kurang berkualitas. Untuk itu, perlu dikembangkan konsep manajemen pengetahuan yang pada intinya menjaga aliran data dan informasi mulai dari pengumpulan data dasar, pengolahan, pendistribusian dan bahkan meningkatkan data dan informasi tersebut menjadi pengetahuan. Beberapa hal yang akan tercakup adalah sistem informasi, mekanisme monitoring dan evaluasi, ketersediaan akses bagi semua., pusat informasi di tiap daerah.
Pembenahan proses pemekaran daerah melalui penyusunan Desain Besar Penataan daerah
Sebagaimana telah diketahui bahwa pemekaran daerah ternyata pada akhirnya tidak mendukung tujuan pelaksanaan otonomi daerah, bahkan pada titik tertentu menjadi beban bagi pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, dibutuhkan suatu grand design (desain besar) yang dapat menjadi suatu acuan bagi langkah pemekaran daerah.
Saat ini telah tersedia suatu makalah kebijakan bertema Desain Besar Penataan Daerah di Indonesia, yang merupakan hasil kolaborasi berbagai pihak dengan dikoordinasikan bersama oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform). Menjadi agenda pemerintah selanjutnya untuk mereview dan menginternalisasikan Desain Besar ini kedalam Desain Besar Otonomi Daerah dan regulasi terkait khususnya undang-undang otonomi daerah
Beberapa ide utama dalam dokumen ini diantaranya adalah
terdapat 4 (empat) elemen dasar penataan daerah, yaitu (a) pembentukan daerajh persiapan sebagai tahap awal sebelum ditetapkan sebagai daerah otonom; (b) penggabungan dan penyesuaian daerah otonom; (c) penataan daerah yang memiliki karakteristik khusus; (d) penetapan estimasi jumlah maksimal daerah otonom di Indonesia tahun 2010-2025 (selengkapnya pada Tabel 4 );
nilai dasar pembentukan daerah otonom terdiri atas efisiensi administrasi (daya saing daerah dan skala ekonomi dan jumlah beban propinsi) dan efektifitas administrasi (rentang kendali, aksesibilitas dan potensi wilayah), demokrasi pemerintahan (aspirasi dan kendali masyarakat, keterwakilan), dan ketahanan nasional.
Untuk melihat jumlah ideal dari propinsi, kabupaten/kota, digunakan 7 (tujuh) formulasi dari berbagai sudut pandang, yaitu (i) administrasi publik, yaitu meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintahan dan mengaktualisasikan representasi lokal; (ii) manajemen pemerintahan, dengan pertimbangan jumlah penduduk, luas wilayah, dan rentang kendali; (iii) manajemen keuangan; (iv) demografi, dengan pertimbangan kepadatan penduduk, persebaran dan etnis; (v) geografi, yaitu hidrologi, perairan kepulauan, topografi, ekologi; (vi) pertahanan dan keamanan, yaitu geografi, demografi, sumber daya alam/buatan, kondisi sosial ekonomi; (vii) sosial ekonomi, yaitu agama, budaya, tingkat kemakmuran.
Tabel 4 Estimasi Jumlah Maksimal Kabupaten/Kota di Indonesia (2010-2025) Daerah otonom 2010 Penambahan 2025(*) Jumlah provinsi 33 11 44 Jumlah kabupaten/kota 491 54 545 Jumlah daerah otonom 524 65 589 (*) Diolah berdasarkan estimasi tim Desertada Kemendagri (2010)
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembenahan birokrasi daerah melalui reformasi birokrasi
Fenomena rendahnya kualitas sumber daya manusia di daerah yang telah berlangsung lama perlu segera dihentikan,. Dimulai dengan penyusunan sistem kepegawaian daerah yang berisi pola rekrutmen, penjenjangan karir, sistem insentif/disinsentif, sistem pendidikan pegawai, dan lainnya, yang dipadu dengan pengembangan reformasi birokrasi di daerah. Dimungkinkan juga pertukaran data dan informasi secara aktif diantara pemerintah daerah.
Perubahan dalam penyelenggaran Birokrasi pemerintah Daerah harus mengacu pada prinsip:
Birokrasi Pemerintah Daerah harus mampu mengarahkan dalam mengupayakan terwujudnya potensi dan inisiatif masyarakat dalam mengatasi permasalahan atau tuntutan kebutuhannya .
Birokrasi Pemerintah Daerah harus mampu bersaing dalam memberikan pelayanan (Delivery of Services) dengan menumbuhkan efisiensi, inovasi dan motivasi serta prestasi.
Birokrasi Pemerintah Daerah harus mengupayakan bagaimana menjelaskan kehendak atau keinginan pemerintahan kepada masyarakat daripada mengatur masyarakat untuk tidak berbuat hal-hal yang tidak diinginkan oleh pemerintah
Penyelenggaraan pemerintahan yang berorientasi kepada dampak hasil bukan atas bahan masukan yang diperlukan
Penyelenggara pemerintahan yang berorientasi pada upaya memenuhi kcbutuhan masyarakat bukan kepada kepentingan dan data prosedur birokrasi pemerintahan.
Penvelenggaraan pemerintahan harus memiliki wawasan dan pandangan kewirausahaan.
Penyelenggaraan pemerintahan lebih memanfaatkan dan berorientasi kepada kekuatan mekanisme pasar dalam upaya mengarahkan (fasilitatif) prakarsa dan gerak perubahan masyarakat.
Pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pemantauan dan evaluasi secara partisipatif
Selama ini proses desentralisasi dan otonomi daerah terlalu focus pada aspek kepemerintahan, dengan melupakan bahwa filosofi otonomi daerah diantaranya adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses ini. Akibatnya masyarakat hanya menjadi obyek. Untuk itu, dibutuhkan upaya bertahap untuk mulai melibatkan masyarakat dimulai dengan melakukan sosialisasi secara intensif, menyelenggarakan dengan pendapat publik, melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan evaluasi secara partisipatif. Dengan demikian diharapkan dukungan masyarakat akan membantu meningkatkan kualitas otonomi daerah.
Pengembangan alternatif sumber pembiayaan pemerintah daerah
Kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah dalam memperoleh sumber pembiayaan di daerah perlu disikapi dengan menyiapkan terobosan alternative pembiayaan. Diantara yang dapat dilakukan adalah efisiensi anggaran, revitalisasi perusahaan daerah, dan kerjasama dengan swasta.
Pembenahan forum komunikasi otonomi daerah
Pelaksanaan otonomi daerah menjadi kepentingan semua pihak, sehingga keterlibatan pemangku kepentingan menjadi suatu keniscayaan. Untuk itu, dibutuhkan suatu forum yang dapat membantu mengakomodasi semua kepentingan, baik pemerintah, dan pihak di luar pemerintah termasuk masyarakat. Forum yang ada selama ini dapat dioptimalkan perannya dalam meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan.
Daftar Pustaka
A.Regulasi
Undang-Undang RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang RI No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang RI No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
B.Buku
Litvak, Jenny; Junaid Ahmad, Richard Bird. Rethinking Decentralization in Developing Countries. The World Bank, Washington, 1998.
Turner, Mark dan Hulme, David. Governance, Administration and Development Making the State Work. Macmillan Press Ltd., London, 1997.
C.Artikel dan Makalah
Bambang Brodjonegoro dan Jorge Martinez-Vazquez. An Analysis of Indonesia's Transfer System: Recent Performance and Future Prospects. Makalah pada Konperensi bertema Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?, 2002.
Devas, Nick. Indonesia: What do we mean by decentralization? dalam Public Administration and Development Journal, Vol. 17, 1997.
Dwipayana, Ari. Menata Desain Desentralisasi Indonesia. Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011.
Hardjosoekarto, Sudarsono. Hubungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta, 2008.
Harmantyo, Djoko. Desentralisasi, Otonomi, Pemekaran Daerah dan Pola Perkembangan Wilayah di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional dan PIT-IGI tanggal 21-23 Oktober 2011 di Bali.
Hoessein, Bhenyamin. Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Disampaikan pada Diskusi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Jangka Panjang. Jakarta, 2002.
Jatmiko, Agung. Perencanaan dan Analisis Pembangunan Daerah. Format Baru Otonomi Daerah:Menuju Daerah Membangun?. Magister Ekonomika Pembangunan, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gajah Mada, 2010.
Kausar. Perjalanan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Jakarta, 2008.
Mochtar, M. Akil. Permasalahan Aktual Penerapan Kebijakan Otonomi Daerah. Disampaikan pada Seminar "Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Kabupaten Tana Tidung Tahun 2011 pada tanggal 14 Januari 2012.
Ragawino, Bewa. Desentralisasi dalam Kerangka Otonomi Daerah di Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pajajaran, Bandung, 2003.
Sari, Dwi Yunita dkk. Permasalahan yang Timbul dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Program Studi S1 Akuntansi. Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, 2012
Sidik, Machfud. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai Pelaksanaan Desentralisasi fiskal (Antara Teori dan Apliksinya di Indonesia). Makalah pada seminar Setahun Implementasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta 13 Maret 2002.
Tamin, Boy Yendra. Kilasan Perkembangan Otonomi (Pemerintahan) Daerah di Indonesia. Tanpa tahun.
Utomo, Tri Widodo. Kebijakan Desentralisasi dan Implementasi Otonomi Daerah di Kalimantan Timur, 2010.
D.Laporan dan Hasil Kajian
Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Pemetaan dan Evaluasi Efektivitas Regulasi Sektoral dan Desentralisasi terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Info Kajian Bappenas Vol. 8 No. 2 Desember 2011.
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012-2013. Memperkuat Perekonomian Domestik bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat. Jakarta, 2012.
Partnership for Governance Reform in Indonesia. Desain Besar Penataan Daerah di Indonesia Tahun 2010-2025. Partnership Policy Paper No. 1/2011. Jakarta, 2011.
World Development Report 1999/2000. Chapter Five Decentralization: Rethinking Government.
E.Blog
Proses Otonomi Daerah di Indonesia, tanpa tahun.
http://dhanielalu.blog.com.
Terimakasih telah membaca Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia: Konsep, Pencapaian dan Agenda Kedepan. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat
0 komentar: