Desember 17, 2016

Konsep Dasar Budaya, Perubahan Sosial, dan Masyarakat Desa

Judul: Konsep Dasar Budaya, Perubahan Sosial, dan Masyarakat Desa
Penulis: Paskalius Taboen


Konsep Dasar Budaya, Perubahan Sosial, dan Masyarakat Desa
Oleh: Paskalius Taboen
Pendahuluan
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan, yang dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan hanya akan dapat ditemukan oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat pada waktu yang lampau. Seseorang yang tidak sempat menelaah susunan dan kehidupan masyarakat desa di Indonesia misalnya akan berpendapat bahwa masyarakat tersebut statis, tidak maju, dan tidak berubah. Pernyataan demikian didasarkan pada pandangan sepintas yang tentu saja kurang mendalam dan kurang teliti karena tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa. Orang-orang desa sudah mengenal perdagangan, alat transportasi modern, bahkan dapat mengikuti berita-berita mengenai daerah lain melalui radio, televisi, dan sebagainya yang kesemuanya belum dikenal sebelumnya.
Masyarakat dan kebudayaan manusia di manapun selalu berada dalam keadaan berubah. Pada masyarakat-masyarakat dengan kebudayaan primitif, yang hidup terisolasi jauh dari berbagai jalur hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain di luar dunianya sendiri, perubahan yang terjadi dalam keadaan lambat. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat berkebudayaan primitif tersebut, biasanya telah terjadi karena adanya sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan itu sendiri, yaitu karena perubahan dalam hal jumlah dan komposisi penduduknya dan karena perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup.
Sedangkan dalam masyarakat-masyarakat yang hidupnya tidak terisolasi dari atau yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat-masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara cepat dibandingkan dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat berkebudayaan primitif seperti tersebut di atas. Perubahan yang terjadi secara lebih cepat tersebut, disamping karena faktor-faktor perubahan jumlah dan komposisi penduduk serta perubahan lingkungan hidup juga telah disebabkan oleh adanya difusi atau adanya penyebaran kebudayaan lain ke dalam masyarakat yang bersangkutan, penemuan-penemuan baru khususnya penemuan-penemuan teknologi dan inovasi.
Para sosiologi pernah mengadakan klasifikasi antara masyarakat-masyarakat statis dan dinamis. Masyarakat yang statis adalah masyarakat yang sedikit sekali mengalami perubahan dan berjalan lambat. Masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang mengalami berbagai perubahan dengan cepat.Jadi setiap masyarakat, pada suatu masa dapat dianggap sebagai masyarakat yang statis. Sedangkan pada masyarakat yang lainya, dianggap sebagai masyarakat yang dinamis.
Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan (progress) namun dapat pula berarti kemunduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.
Untuk menganalisa secara ilmiah tentang gejala-gejala dan kejadian sosial budaya di masyarakat sebagai proses-proses yang sedang berjalan atau bergeser kita memerlukan beberapa konsep. konsep-konsep tersebut sangat perlu untuk menganalisa proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan serta dalam sebuah penelitian antropologi dan sosiologi yang disebut socio-cultural change.
Konsep Kebudayaan
Secara estimologis, kata "kebudayaan" berasal dari bahasa Sansekerta Buddhayaha yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang berarti akal atau budi, sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan, kesanggupan. Dengan demikian, kebudayaan secara gamblang dapat di artikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan kesanggupan atau kekuatan budi dan akal yang dimiliki manusia untuk menghadapi segala kesulitan berkenaan dengan tata cara tertentu dalam kehidupan.
Koentjaraningrat (2004) menjelaskan, kebudayaan adalah seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan kebudayaan merupakan kebiasaan/cara-cara yang di lakukan oleh manusia secara terus-menerus dan atau di ulang dengan pola yang teratur, sehingga membentuk cara berperilaku maupun bertindak. Kebudayaan haruslah memuat unsur-unsur yang memang mencakup dan menunjukan isi utama dari kebudayaan yakni: memuat sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, terakhir sistem teknologi dan peralatan.
Diantara unsur-unsur kebudayaan yang telah disebutkan terdapat pembagian antara unsur yang paling mudah dipengaruhi kebudayaan lain hingga unsur yang paling sukar untuk berubah dan diganti dengan unsur-unsur serupa dari kebudayaan-kebudayaan lain. Keadaan ini sebenanrnya menunjukan bahwa seiring perkembangan ilmu pengetahuan, tehknologi, dan kebudayaan luar, individu maupun kelompok berhadapan langsung dengan tantangan dan pengaruh besar yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan termasuk nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku antar kelompok dalam masyarakat. Ketujuh unsur kebudayaan universal telah mewakili seluruh kebudayaan mahkluk manusia di manapun juga baik di perkotaan atau pedesaan, yang memuat ruang lingkup serta isi dari kebudayaan itu.
Koentjaraningrat (2004) menjelaskan, terdapat pranata dalam kebudayaan masyarakat manusia. Pranata merupakan sistem norma dan tata kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Lebih lanjut, Koenjtaraningrat (2004) menjelaskan, unsur-unsur pranata merujuk pada unsur-unsur pada kebudayaan yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga unsur-unsur tersebut menjelaskan kelakuan berpola yang diperlihatkan masyarakat. Dengan demikian, pranata berfungsi sebagai prinsip-prinsip dominan yang diterapkan masyarakat dalam hal berhubungan dengan sesama berangkat dari nilai-budaya, norma, aturan-aturan yang berkembang.
Terdapat delapan pranata yang ada dalam masyarakat yakni: domestic institution (mengenai sistem kebutuhan kehidupan kekerabatan), economic institution (mengenai sistem kebutuhan hidup untuk memproduksi, mendistribusi, dan konsumsi), educational institution (mengenai sistem kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia), scientific institution (mengenai sistem kebutuhan ilmiah manusia untuk menyelami alam semesta dan sekelilingnya), aesthetic and recreational institution (mengenai sistem kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahannya dan untuk rekreasi), religious institution (mengenai sistem kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib), political institution (mengenai sistem untuk mengatur kehidupan berkelompok/bernegara), somatic institution (mengenai sistem kebutuhan jasmaniah dari manusia). Koentjaraningrat (2004) kembali menjelaskan, meskipun penggolongan tersebut tidak memuaskan karena tidak mencakup segala pranata yang ada dalam masyarakat, namun antar-satu aspek atau lebih bisa saling berkaitan dan menjelaskan suatu aktivitas manusia/masyarakat. Misalnya: pertambangan adalah suatu sistem hubungan antara pemilik modal, pemilik tanah, dan penggarap tanah, yang pada dasarnya sebagai aktivitas produksi dianggap economic institution, tetapi juga sebagai hubungan antara penguasa dan rakyat sebagai political institution.
Kebudayaan sangat erat hubungan nya dengan masyarakat. Herskovits dan Bronislaw (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013), mereka mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu (Cultural-Determinism). Dengan kata lain, kebudayaan merupakan sesuatu yang di wariskan turun-temurun dari satu generasi kepada generasi lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Terlepas dari semua itu, kebudayaan dapat diartikan sebagai fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku dan tindakan manusia yang menghayatinya dalam setiap aktivitas kehidupan, karena kebudayaan menyatu dan mendarah daging dalam diri manusia.
Berbicara tentang kebudayaan juga tidak bisa terlepas dari peradaban (civilazation) karena kebudayaan merupakan prasayarat bagi pengembangan peradaban -jika peradaban di maknai sebagai budaya tinggi (high culture)- yang meliputi tata cara yang memungkinkan berlangsungnya pergaulan sosial masyarakat sebagai yang lancar dan sesuai dengan norma kesopanan yang berlaku dalam masyarakat. Koentjaraningrat (2004) menyatakan, bahwa istilah peradaban dipakai untuk menjelaskan keberadaan perkembangan kebudayaan suatu masyarakat yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Sulasman dan Gumilar (2013) menyatakankan, suatu kebudayaan tidak dapat eksis tanpa masyarakat, begitu juga sebaliknya, sehingga konsep kebudayaan tersebut telah melahirkan suatu kenyataan bahwa kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi: (1) konsep kebudayaan yang bersifat materialistis, yangmendefenisikan kebudayaan sebagai sistem hasil adaptasi di lingkungan alam atau sistem untuk mempertahankan kehidupan masyarakat; dan, (2) konsep kebudayaan bersifat idealistis, yang memandang semua fenomena eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal.
Menurut J.J Hoenigman (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013), wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga yakni: gagasan,aktivitas, dan artefak.
Gagasan (wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepalaatau alam pikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasannya dalam bentuk tulisan, lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
Wujud ideal dapat pula disebut sebagai ideologi. Istilah ideologi mengacu pada kawasan ideasional dalam suatu budaya. Dengan demikian, istilah ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau waswasan tentang dunia, etos, dan semacamnya.
Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Sebagai perwujudan gagasan dalam kebudayaan,aktivitas (perilaku) dibagi menjadi perilaku verbal (lisan dan tulisan) dan nonverbal (artefak dan alam). Wujud perilaku sering berbentuk sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri atas aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifat konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. Sistem sosial terkait pula dengan struktur sosial. Struktur sosial merupakan konfigurasi (penggabungan) kelompok-kelompok yang unggul/dominan yang merupakan seperangkat norma atau aturan.
Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, berupa benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya palingkonkret di antara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah pada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak). Sebagai perwujudan gagasan dalam kebudayaan, perilaku dibagi menjadi perilaku verbal dan nonverbal. Keduanya membentuk kebudayaan material. Materi yang dimaksud adalah meliputi benda tak bergerakyang disebut artefak.
Eliot (dalam Jenks, 2013) mengungkapkan, pandangannya mengenai kebudayaan yang memiliki stratifikasi, sehingga kebudayaan dalam masyarakat yang satu dengan yang lainnya tidak atau agak bersifat kurang egaliter. Ada tiga strata kebudayaan yang dirumuskan, yaitu individu, kelompok, dan keseluruhan masyarakat. Kita tidak bisa menggunakan standar-standar yang ada dalam salah satu strata tersebut untuk diberlakukan pada kedua strata yang lain, demikian juga seterusnya karena budaya individu, kelompok, dan masyarakat relatif berbeda dan justru bertolak belakang. Dengan demikian, tiap orang hanya dapat mencapai standar budaya pada levelnya sendiri. Jadi, sama sekali tidak tepat jika kita mencoba mendidik kelompok mayoritas untuk memahami kebudayaan kelompok minoritas.
Teori Kebudayaan
Kebudayaan Sebagai Sistem dengan Pendekatan Struktur Fungsional
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam menganalisis masyarakat dan kebudayaan umat manusia adalah pendekatan fungsionalisme dan struktural fungsionalisme. Ritzer (2010) menyatakan, penganut teori fungsional memang memandang segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat tertentu serba fungsional dalam artian positif dan negatif. Sulasman dan Gumilar (2013) mengatakan, Pendekatan ini muncul di dasari oleh pemikiran bahwa manusia sepanjang hayatnya dipengaruhi oleh pemikiran dan tindakan orang sekitarnya, sehingga manusia tidak pernah mampu sepenuhnya menentukan pilihan tindakan, sikap, atau perilaku tanpa mempertimbangkan orang lain.
Menurut Ritzer (2010), perspektif struktural fungsional memandang bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling berintegrasi dalam suatu keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu unsur dari sistem sosial akan berdampak pada unsur yang lainnya. Pendapat Sulasman dan Gumilar (2013) menguatkan asumsi dasar dariperspektif ini, bahwa setiap bagian atau struktur pada sistem sosial bersifat fungsional terhadap bagian dan struktur lainnya.
Comte (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013) mengemukakankonsep statik sosial, bahwa dalam bentuk kehidupan sosial terdapat hubungan yang saling berkaitan dan saling bergantung satu sama lain. Masyarakat diibaratkan sebagai suatu organisme yang terdiri atas strruktur dan fungsi. Masyarakat terdiri atas bagian-bagian yang saling berinteraksi dan mempunyai fungsi-fungsi tersendiri dalam menciptakan keseimbangan. Statik sosial akan menentukan tata tertib sosial dalam organisme masyarakat.
Spencer (dalam Martono, 2012) mengemukakan, bahwa masyarakat dibentuk dari organisme hidup. Spencer mengatakan bahwa antara masyarakat (sistem sosial) dan organisme hidup (sistem biologi) terdapat perbedaan dan kesamaan. Spancer (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013) mengatakan bahwa masyarakat ataupun organisme akan meengalami pertumbuhan. Keduanya juga akan mengalami pertambahan dari segi ukurannya sehingga struktur tubuh-sosial (social body) ataupun tubuh organisme (living body) juga mengalami pertambahan. Oleh karena itu, semakin besar suatu struktur sosial, semakin banyak bagian yang ada didalamnya. Perubahan yang terjadi dalam suatu sistem organisme ataupun sistem sosial akan mengakibatkan perubahan pada bagian-bagian lainnya yang pada akhirnya terjadi dalam sebuah sistem secara keseluruhan.
Dari uraian di atas, tampak bahwa masyarakat merupakan sistem yang dibentuk oleh bagian-bagian menyatu menjadi suatu keseluruhan. Sistem sosial hanya dapat dipahami dari sisi kelangsungan struktur khusus yangmemiliki fungsi memapankan keseluruhan sistem dan sistem tersebut dihadapkan pada persyaratan tertentu apabila ingin tetap berlangsung artinya fungsi struktur harus harus ditentukan dengan kebutuhannya.
Kebudayaan tidak dapat lagi diartikan sebagai warisan perilaku simbolik yang menjadikan manusia sebagai manusia, atau warisan yang diberikan kepada individu-individu dalam masyarakat tertentu. Di Jerman abad ke 19 telah tercipta suatu hubungan harmonis antara kebudayaan sebagai suatu ide intelektual dan kebudayaan sebagai ciri fundamental suatu masyarakat atau disebut juga sebagai suatu etos. Konsepsi tentang hukum, tujuan agama, filsafat, tema-tema sastra, corak seni telah dipelajari untuk melihat ciri fundamental suatu masyarakat. Ketika penekanan pada bidang intelektual, seni dan moral berjalan, ide kebudayaan diterapkan dalam masyarakat secara keseluruhan. Pada saat itu penggunaan istilah kebudayaan dan peradaban dipergunakan secara bergantian, penggunaan istilah itu mencirikan masyarakat telah berkembang dari tingkat yang lebih rendah ketingkat yang lebih tinggi. Kebudayaan menunjukan prestasi manusia mengembangkan kapasitas berpikir dan kemampuan menggunakan alat sebagai kepanjangan tangan. Dalam perkembangan selanjutnya penggunaan istilah peradaban dan kebudayaan telah dipisahkan. Peradaban mengandung makna evaluasi, dan kebudayaan menunjukan kepada perbedaan cara hidup masyarakat apapun bentuknya.
Teori Kebudayaan
Teori evolusioner dan ekologis mengenai kebudayaan
Perspektif teori evolusioner dan ekologis beranggapan, bahwa kebudayaan merupakan sistem adaptasi. Pengembangan pemikiran ini berasal dari kalangan ilmuan di Michigan dan Columbia. Pemikiran yang dipelopori oleh Leslie White dan kemudian dikembangkan oleh para ilmuwan antropologi dan sosiologi, seperti Sahlins, Rappaport, Vayda, Harris, Carneiro serta Binford, Longacre, Sanders, Price dari Maggers.
Menurut aliran ini kebudayaan dipandang sebagai sistem pola perilaku yang disalurkan secara sosial guna menghubungkan masyarakat dengan lingkungan ekologisnya. Menurut pendapat Marvin Harris, kebudayaan adalah pola perilaku yang berhubungan dengan kelompok, adat kebiasaan atau cara hidup suatu bangsa. Sedangkan menurut Meggers, kebudayaan adalah proses penyesuaian manusia dengan lingkungan melalui dengan dibimbing oleh ketentuan seleksi alamiah sebagaimana dalam mengatur adaptasi biologis, yang selalu berubah menuju equilibrium.
Apabila terjadi gangguan pada equilibrium oleh berbagai perubah perubahan seperti perubahan lingkungan yang bersifat fisik, demografis, teknologi atau sistem lainnya, maka kebudayaan terpengaruh mengikurti perubahan. Misalnya teknologi, ekonomi dan unsur-unsur organisasi sosial lain yang langsung terikat dengan perubahan tersebut. Disinilah kebudayaan bersifat adaptif.
Nilai suatu kebudayaan adalah keyakinan yang dipegang secara luas oleh masyarakat. Dari nilai ini lahirlah peradaban (civilization). Karena itu dapat dikatakan bahwa kebudayaan ditandai oleh nilai yang mendukungnya, dengan dilengkapi oleh norma sosial yang merupakan pengen dali langsung dalam berperilaku adaptif.
Perkembangan paling terbaru dari pandangan ini adalah analisis Rappaport yang mengungkapkan, bahwa siklus ibadah suku Tsembaga Maring sebagai komponen-komponen dari sistem penyesuaian. Sistem ibadah dan pengetahuan kebudayaan tentang kesucian memainkan fungsi penting dalam adaptasi kebudayaan.
Teori idealisme mengenai kebudayaan
Pada sisi lain sejumlah antropolog memandang kebudayaan sebagai sistem idealisme. Ada tiga pendekatan teori ini yaitu: (1) kebudayaan sebagai sistem kognisi, (2) kebudayaan sebagai sistem struktural; (3) dan kebudayaan sebagai sistem simbolik.
Kebudayaan sebagai sistem kognisi
Dalam kajian antropolog terdapat aliran antropologi kognitif seperti dikenal (ethnoscience, semantic ethnography). Pandangan, bahwa kebudayaan sebagai sistem pengetahuan terlihat dari pernyataan Goodenough, yang menyatakan: Kebudayaan suatu masyarakat terdiri dari apapun yang ia untuk dapat diketahui dan dipercaya dalam melangsungkan pekerjaan yang tertentu dengan cara yang dapat diterima para anggotanya.
Kebudayaan bukanlah suatu gejala materi; ia terdiri dari benda-benda, orang perilaku atau emosi, tetapi lebih merupakan suatu organisasi. Kebudayaan merupakan bentuk hal-hal yang ada di dalam ingatan orang-orang. Contohnya: mereka mengamati, menghubungkan dari menginterpretasinya.
Kebudayaan terdiri dari standar untuk memutuskan apa untuk memutuskan apa yang mungkin untuk memutuskan apa yang kita rasakan mengenai hal ini untuk memutuskan apa yang akan dilakukan mengenai hal ini, dan untuk memutuskan bagaimana akan melakukannya. Kebudayaan secara epistemologis berada di dalam bidang yang sama dengan bahasa, yang dalam aliran humanis holistik bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur budaya universal. Di dalam konseptualisasi ini, bahasa adalah suatu subsistem kebudayaan. Para peneliti antropologi kognitif berharap dan beranggapan, bahwa metode linguistik berikut model-modelnya tetap menjadi bidang kajian kebudayaan.
Kebudayaan sebagai sistem struktural
Pendekatan strukturalis telah dilakukan oleh para ilmuwan sosial yang terlatih dalam tradisi Anglo-Amerika, salah seorang tokohnya adalah Talcot Parsons. Kebadayaan dianggap sebagi pola-pola perilaku yang berperan sebagai struktur sosial, yang menyajikan norma-norma yang harus dilaksanakan dalam proses sosial.
Proses sosial yang dilaksanakan oleh setiap individu berdasarkan kepada peran-peran dalam posisi atau status yang di embanya secara struktural. Posisi atau kedudukan berkhirarki semakin tinggi semakin sedikit, namun semakin besar tanggung jawabnya. Sedangkan derivasinya semakin kebawah semakin banya dan semakin spesifik, karena itu sangsi dan tanggung jawabnya semakin kecil.
Kebudayaan sebagai sistem simbolik
Dalam karyanya Levy-Strauss, memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang disalurkan dan merupakan kreasi akal kumulatif. Ia berusaha menemukannya dalam mitos, seni, hubungan kekeluargaan, bahasa. Lingkungan fisik manusia telah meyediakan bahan mentah untuk dikembangkan melalui penalaran dalam pola yang berbeda, namun secara formal sama.
Akal menentukan tatanan yang dipola secara kultural. Levy-Strauss lebih peduli terhadap kebudayaan daripada suatu kebudayaan. Ia memandang mitologi Indian Amerika sebagai pola yang tumpang tindih dan saling berkaitan. Hal ini lebih penting dari organisasi kognitif pendukung kebudayaan, bahkan lebih penting dari batas-batas bahasa dan adat kebiasaan yang membedakan masyarakat yang satu dengan yang lain. Pendekatan ini berhubungan, tetapi berbeda dari pendekatan kognitif. Geert (1971) memandang pandangan kognitif Goodenough dan para teoretisi etnografi baru bersifat reduksionistik dan formalistik.
Makna tidak berada dalam kepala manusia. Simbol dan makna disalurkan diantara, bukan di dalam, mereka. Ia memandang kebudayaan sebagai semiotik. Mempelajari kebudayaan berarti mempelajari makna. Masalah antropologi adalah masalah interpretasi, bukan ―penguraian, dalam hal ini― deskripsi yang tertanam kuat dalam kekayaan kehidupan sosial kontekstual. Geertz tidak memiliki optimisme ethnoscience. Ia tidak berniat memformalkan kebudayaan sebagai bahasa. Ia tidak sefasih Levy-Strauss dalam melakukan decoding, yaitu menginterpretasikan kebudayaan secara lambat dan sulit. Dalam hubungan ini, Geertz, menggambarkan masalah analisis kebudayaan adalah persoalan kebebasan yang ditentukan seperti antar hubungan, teluk maupun jembatan.
Citra yang benar, bila kita harus memiliki citra mengenai organisasi kebudayaan, bukanlah jaring laba-laba ataupun tumpukan pasir, melainkan ia lebih cenderung sebagai ikan gurita yang alat perabanya sebagian besar diintegrasikan secara terpisah, secara syaraf kurang berhubungan yang satu dengan yang lain, dan dengan apa yang ada pada ikan gurita. Menurut Shneider, kebudayaan menggunakan sistem lambang (simbol) dan makna.
Analisis kebudayaan sebagai sistem simbol dapat dilakukan secara bermanfaat terlepas dari kognisi sebenarnya yang dapat dilihat sebagai peristiwa dan perilaku. Hubungan simbol dan peristiwa menurutnya sangat penting, karena dengan hubungan itu dapat menemukan bagaimana susunan kebudayaan dihasilkan, aturan yang mengatur perubahan mereka dan bagaimana mereka berhubungan secara sitematis dengan kondisi dan situasi kehidupan yang sesungguhnya.
Pembedaan antara tingkat normatif dan tingkat kebudayaan yang dilakukan Schneider penting secara konseptual. Oleh karena itu, perkataanya perlu dikutip secara panjang lebar. Schneider, mengemukakan bahwa sistem normatif dipusatkan kepada ego dan sangat tepat bagi pembuatan keputusan atau model interaksi dari analisis kebudayaan.
Analisis kebudayaan dipusatkan kepada sistem kebudayaan dengan mengambil posisi manusia berhadapan dengan dunianya. Analisis kebudayaan dapat menelusuri hubungan antara simbol, dasar pemikiran dan asas suatu sistem kebudayaan dengan baik, sehingga interpretasi kebudayaan berbeda dari interpretasi lembaga-lembaga lainnya.
Analisis kebudayaan yang murni tidak terkontaminasi oleh sistem sosialnya. Setelah tugas ini logis, maka dilakukan penelusuran antara hubungan bidang kebudayaan, sosial dan psikologi.
Konsep Perubahan Sosial Budaya
Menurut Herper (dalam Martono, 2012), perubahan sosial didefenisikan sebagai pergantian (perubahan) yang signifikan mengenai sturktur sosial dalam kurun waktu tertentu. Perubahan di dalam struktur ini mengandung beberapa tipe perubahan struktur sosial, yaitu: pertama, perubahan dalam personal (individu) yang berhubungan dengan perubahan-perubahan peran dan individu-individu baru dalamsejarah kehidupan manusia yang berkaitan dengan keberadaan struktur. Perubahan dalam tipe ini bersifat gradual (bertahap) dan tidak terlalu banyak unsur-unsur baru maupun unsur-unsur yang hilang; kedua, perubahan dalam bagian-bagian struktur sosial masyarakat. Perubahan ini misalnya terjadidalam perubahan alur kerja lembaga atau pranata masyarakat; ketiga, perubahan dalam fungsi-fungsi struktur, berkaitan dengan apa yang dilakukan masyarakat dan bagaimana masyarakat tersebut melakukannya; keempat, perubahan dalam bentuk struktur yang berbeda. Contohya dalam kebudayaan telah terjadi penyebaran (difusi) nilai-nilai kepercayaan (sistem keyakinan) baru yang memengaruhi secara langsung maupun tidak sistem adat-istiadat; kelima, kemunculan struktur baru, yangmerupakan peristiwa munculnya struktur baru untukmenggantikan struktur sebelumnya. Contoh: akulturasi budaya.
Menurut Martono (2012) perubahan sosial dan perubahan kebudayaan hanya dapat dibedakan dengan membedakan secara tegas pengertian antara masyarakat dan kebudayaan sehingga, terdapat perbedaan mendasar antara perubahan sosial dan perubahan budaya; perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan sosial meliputi perubahan dalam perbedaan usia, tingkat kelahiran, dan penurunan rasa kekeluargaan antar anggota masyarakat sebagai akibat terjadinya arus urbanisasi dan modernisasi. Sedangkan perubahan budaya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan sosial bermasyarakat seperti kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, aturan-aturan hidup berorganisasi, mata pencaharian, kepercayaan, bahkan penggunaan bahasa dalam berkomunikasi.
Menurut Soemardjan dan Soemardi (dalam Arkanudin, 2011) menjelaskan, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sedikit banyak mempengaruhi struktur masyarakat itu sendiri sehingga, perubahan sosial pada hakekatnya adalah perubahan masyarakat itu sendiri. Perubahan pada masyarakatakan memberi dampak langsung kepada sistem kelembagaan yang ada. Perubahan sosial sebagai bagian dari cultural masyarakat akan mengarahkannya kepada keadaan yang baikatau bahkan buruk.
Perubahan sebagai sebuah proses di masyarakat, akan mengalami kondisi dimana ada sebuah penyesuaian oleh masyarakat terhadap unsur-unsur baru yang mempengaruhi unsur-unsur lama. Penyesuaian (akomodasi) yang terjadi dapat cenderung membentuk pertahankan budaya lama, menciptakan budaya baru hasil dari akulturasi, atau justru terjadi suatu peleburan budaya baru yang lebih dominan pada masyarakat. Perubahan perlu beberapa dorongan untuk menuju perubahan yang diharapkan. Untuk mendukung hadirnya perubahan tersebut, diperluan dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini ulasan lengkapnya.
Faktor internal
Faktor internal lebih cenderung dipengaruhi oleh dorongan dari masyarakat itu sendiri untuk bersedia melakukan perubahan. Perubahan pada proses masyarakat dan budaya perlu adanya beberapa inovasi, pertentangan masyarakat, pertambahan dan pengurangan penduduk, serta adanya gerakan sosial.
Inovasi
Pebemuan-penemuan baru yang berupa teknologi dapat mengubah cara individu berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan teknologi juga dapat mengurangi jumlah kebutuhan tenaga kerja di sektor bindustri karena tenaga manusia telah digantikan oleh yang menyebabkan proses produksi semakin efektif dan efisien.
Bertambah dan berkurangnya masyarakat
Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan perubahan jumlah dan persebaran wilayah permukiman. Wilayah permukiman yang semula terpusat pada satu wilayah kekerabatan (misalnya desa) akan berubah atau terpancar karena faktor pekerjaan. Berkurangnya penduduk juga akan menyebabkan perubahan sosial budaya.
Gerakan sosial
Gerakan sosial muncul karena ada pertentangan yang terjadi antar kelompok masyarakat yang saling berbeda. Ciri khas dari gerakan sosial munculnya "pemberontakan" atau revolusi. Terjadinya "pemberontakan" tentu saja akan melahirkan berbagi perubahan; kelompok yang tergabung dalam gerakan sosial akan memaksakan tuntutannya, berjuang dengan cara-cara relatifradikal, dan sebagainya hingga menyebabkan suatu perubahan.
Adanya pertentangan di masyarakat
Proses perubahan sosial dapat terjadi sebagai akibat adanya pertentangan dalam masyarakat. Pertentangan atau konflik sosial dapat terjadi manakala ada perbedaan kepentingan atau terjadi ketimpangan sosial. Sebagaimana kita ketahui, ketimpangan sosial akan dapat kita temukan dalam setiap masyarakat, hal ini lebih disebabkan setiap individu memiliki kemampuan yang tidak sama dalam meraih sumber daya yang ada, serta perbedaan kepentingan akan menyebabkan munculnya berbagai konflik sosial.
Faktor eksternal
Faktor eksternal merupakan dorongan atau "tekanan" dari luar kelompok masyarakat atau individu. Faktor luar biasanya masuk tanpa disadari, direncanakan (ada unsur kesengajaan pihak adalam untuk memasukkan faktir dari luar). Perubahan yang terjadi akibat pengaruh luar bisa di sebabkan oleh lingkungan fisik, transformasi nilai kebudayaan lain, dan terjadinya peperangan.
Lingkungan fisik
Bencana alam atau kondisi fisik terkadang memaksa masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah kelahirannya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan lingkungan yang baru tersebut. Hal ini kemungkinan besar juga dapat memengaruhi perubahan pada struktur dan pola kelembagaannya.
Di sisi lain, pembangunan sarana dan prasarana fisik juga sangat memengaruhi perubahan aktivitas masyarakat. Salah satunya adalah terbukanya kesempatan bagi masyarakat yang tinggal di daerah terisolir untuk "membuka diri" dan menikmati beberapa fasilitas yang berada di luar daerahnya.
Kebudayaan lain
Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain, membuat interaksi antara dua kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan perubahan. Jika pengaruh suatu kebudayaan dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut demonstration effect. Jika pengaruh suatu kebudayaan saling menolak, maka disebut cultural animosity. Jika suatu kebudayaan mempunyai taraf yang lebih tinggi dari kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh unsur-unsur kebudayaan baru tersebut.
Terjadinya peperangan
Peristiwa peperangan, perang saudara maupun perang antar negara dapat menyebabkan perubahan, karena pihak yang menang biasanya akan dapat memaksakan ideologi dan kebudayaannya kepada pihak yang kalah. Tentu saja dampak besar dari peperangan akan merubah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang mencoba membangun kembali puing-puing kehidupan yang relatif hancur.
Teori Perubahan Sosio-Kultur
Secara individu dan komunal, manusia dihadapkan pada proses perubahan, langsung maupun tidak langsung. Begitu pula yang terjadi di masyarakat, Masyarakat senantiasa dihadapkan pada pola yang berbeda antara generasi satu terhadap generasi lain. Laksana sebuah peristiwa yang sulit untuk dibendung keberadaannya, perubahan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan, individual maupun kolektif. Perubahan masyarakat terkait erat dengan kebudayaannya, serta saling memengaruhi. Dapat dikatakan bahwa perubahan merupakan karakteristik umum dari semua kebudayaan dan masyarakat.
Dinamika perubahan yang terjadi pada masyarakat senantiasa melahirkan sesuatu yangbaru dalam kehidupannya. Akan tetapi, tingkat perubahan tersebut akan mengalami perbedaan satu sama lain. Sulasman dan Gumilar (2013) menyatakan, hal ini disebabkan oleh sosiokultur yang ada di masyarakat berbeda satu dengan yang lainnya. Perubahan dapat menentukan keberadaan suatu masyarakat, apakah akan muncul mengikuti arus perubahan ataupun mengalami penurunan yang diakibatkan ketidakpastian sumber daya manusia, karakter sosiokultur yang tidakmendukung, dan faktor-faktor lainnya.
Lauer (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013) menyatakan, bahwa perubahan perubahan sosial merupakan prasayarat untuk memahami struktur masyarakat sebagai setiap yang berada dalam keseimbangan dan mencoba menganalisis aspek sosial dari sistem itu dan mengakui bahwa keseimbangan itu hanya dapat dipertahankan melalui perubahan tertentu. Proses perubahan bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti akulturasi, asimilasi, dan difusi. Perubahan kebudayaan terjadi melalui mekanisme yang berbeda-beda. Salah satu faktor yang memengaruhi perubahan kebudayaan yang banyak menjadi perhatian para ahli adalah adanya penemuan dan gejala persebaran unsur-unsur kebudayaan baru. Sulasman dan Gumilar (2013) menyatakan, untuk mengenali karakterisitik unsur kebudayaan dan perubahan kebudayaan terdapat beberapa teori diantaranya adalah teori evolusi dan difusi.
Teori Evolusi
Perubahan sosio-kultur pada suatu masyarakat merupakan keniscayaan dan tidak dapat dielakan, disebabkan oleh adanuya perubahan pada masyarakat. Perubahan ini dapat dikatakan sebagai salah satu cara dari suatu masyarakat untuk bertahan (survive) atau mempertahankan diri. Oleh karena itu, masyarakat tidak pernah statis, selalu dinamis berubah dari suatu keadaan ke keadaan lainnya yang disebabkan oleh berbagai faktor. Perubahan ini dimaksudkan sebagai wujud tanggapan manusia terhadap tantangan lingkungannya.
Menurut Tylor (dalam Sulasman dan Gumilar , 2013) kebudayaan manusia dalam sejarah evolusinya berjalan melalui tiga tahap perkembangan dan masing-masing tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan teknologi yang mereka gunakan, ketiga tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut adalah savagery, barbarian, dan civilization. Pada tahappertamaa (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan cara berburu dan meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka ciptakan dari benda-benda yang ada disekitar mereka. Berkembang kemudian menuju tahap kedua (barbarian) yang ditandai dengan mulainya manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai memahami cara menanam, mereka berpikir untuk menjaga agar tanaman tersebut dapat dipelihara dan dimanfaatkan hasil sehingga mereka mulai hidup menetap. Tahap kedua ini juga ditandai dengan perkembangan peralatan mereka dariyang semula dengan kayu atau tulangdan batu menjadi terbuat dari logam. Selanjutnya, berkembang menjaditahap ketiga (civilization) atau peradaban yang ditandai dengan pengenalan manusia dengan tulisan, kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun bangunan-bangunan besar yangsebelumnya belum pernah ada. Di tahap ketiga ini pun akan terjadi lagi suatu proses evolusi dalam masyarakat dan memiliki kompleksitas.
Evolusi budaya merupakan proses perubahan budaya dari waktu kewaktu dan dari satu wilayah kewilayah yang lain beserta interaksi dan saling keterpengaruhan satu sama lainnya. Fakta tentang evolusi budaya tersebut dapat diamati dalam banyak hal, seperti perubahan norma, bahasa, teknologi, gaya hidup hingga ke dinamika dalam sistem ekonomi.
Harus disadari bahwa sistem sosial tersusun atas banyak individu yang secara aktif berinteraksi dan saling memengaruhi satu sama lain, saling bertukar informasi dan kemudian menstransmisikannya satu sama lain, baik intra maupun inter-generasi. Dalam keadaan sesungguhnya sistem sosial relatif terbuka, yang beradaptasi dengan kondisi lingkungannya dan kemudian berubah secara dinamis dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan tersebut.
Evolusi kultur harus dilihat sebagai pola dinamis dengan menyadari bahwa dasarnya kultur terdiri atas sistem bertingkat yang di dalamnya mengandung berbagai elemen kultur tertentu yang senantiasa berubah secara dinamis, dan perubahan ini terjadi karena adanya proses asimilasi, akulturasi, komunikasi maupun interaksi antar individu. Sulasman dan Gumilar (2013)menjelaskan, Evolusi menggambarkan bahwa perubahan kebudayaan terjadi secara perlahan-lahan dan bertahap. Setiap masyarakat mengalami proses evolusi yang berbeda-beda sehingga evolusi budaya dapat dijelaskan melalui dua teori yakni evolusi universal dan evolusi kebudayaan multilinier.
Evolusi universal
Menurut White (dalam Sulasman dan Gumilar , 2013), kebudayaan yang ada dalam masyarakat merupakan dampak atau hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan teknologi yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase perkembangannya. Dengan rumusan yang disebutnya sebagai "hukum" evolusi kebudayaan ini, White (dalam Sulasman dan Gumilar , 2013) sampai pada sebuah kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi kebudayaan dalam sebuah komunitas merupakan hasil dari mengemukanya perubahan dalam sistem yang melakukan transformasi energi dengan bantuan teknologi yang ada saat itu.
Menurut White ((dalam Sulasman dan Gumilar, 2013) teori evolusi bersifat objektif, menurutnya pada dasarnya setiap kebudayaan adalah sistem yang melakukan transformasi energi. White menyebutnya sebagi sebuah "hukum" evolusi kebudayaan, rumusnya yaitu C = E x T. Penjelasannya adalah Cmerupakan kebudayaan (culture), E adalah energi (energy), dan T adalah teknologi (technology). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori mengenai evolusi kebudayaan ini terdapat beberapa konsep baru "thermodinamika" (sistem yang melakukan transformasi energi), energi dan transformasi.
Evolusi kebudayaan multilinier
Teori evolusi multilinier digunakan untuk mengkaji perbedaan dan kesamaan suatu budaya dengan cara memperbandingkan antara tuntunan perkembangan kebudayaan yang sejalan yang terdapat di tempat-tempat terpisah. Menurut Steward (dalam Sulasman dan Gumilar , 2013) bahwa tidak berjalannya perkembangan kebudayaan dalam sebuah komunitas, disebabkan karena suku / masyarakat tertentu telah mengalami penyesuaian atau beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal dan menetap dalam keseharian mereka.
Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan erat dengan kondisi lingkungan, bahwa setiap kebudayaan memiliki culture core, berupa teknologi dan organisasi kerja. Dengan demikian, terjadinya evolusi dalm sebuah kebudayaan ditentukan oleh adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan dan lingkungan yang ada di dalamnya. Pokok pikiran dari teori evolusi multilinier adalah bahwa kebudayaan yang memiliki inti kebudayaan yang kurang lebih sama akan berevolusi mengikuti suatu rangkaian evolusi yang sama meskipun berbeda dalam detail spesifiknya.
Teori Difusi
Difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya migrasi manusia.Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, di kemudian hari akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih.
Akibat pengaruh kemajuan teknologi-komunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan bersifat multikultural. Dengan adanya penelitian difusi, maka akan terungkap segala bentuk kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi pengkajian difusi terhadap kebudayaan manusia bukan pada aspek historis budaya tersebut, melainkan pada letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia.
Seperti telah disebutkan pada paparan mengenai lanjutan teori evolusi sepeninggal Tylor dan Morgan bahwa teori evolusi mendapat dua jenis kritikan yang salah satunya menentang keras pandangan teori tersebut. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini dilontarkan pertama kali oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949), dua orang ahli antropologi asal Inggris.
Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan sejarah serta benda-benda arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka namakan Heliolithic Theory. Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini, peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau merupakan hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini kemudian bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh seperti India, Indonesia dan Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut dengan 'putra-putra dewa matahari' ini melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai tempat tersebut dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti emas, perak dan permata.
Konsep Masyarakat Desa
Yuliati dan purnomo (2003) menjelaskan, desa merupakan satuan terkecil daripemerintahan negara kita sejak zaman kerajaan hingga penjajahan dan kemerdekaan. Hingga saat ini pun bentuk pemerintahan desa masih tetapmeski dalam administrasi dan perkembangannya semakin banyak. Sebagai kesatuan pemerintahan terkecil, desa merupakan kesatuan wilayah yang sangat mandiri. Mengenai bentuk dan jenis dan jenis desa serta model kepemimpinan Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan model kepemimpinan komunitas dan desa merupakan miniaturnya.
Kesatuan hukum adat di desa dapat kita lihat melalui berbagai kegiatan kolektif dan norma yang dikembangkan. Norma diatur dan dikembangkan oleh beberapa elit desa yang biasanya merupakan tokoh masyarakat dan memegang peranan sebagai opini leader desa. Golongan ini biasanya adalah keturunan pendiri desa merupakan kesatuan adat terkecil dimana pola interaksi masyarakatnya relatif memiliki hubungan yang erat dalam ekonomi maupun hubungan sosial.
Kita mengenal desa selalu dipimpin oleh kepala desa atau lurah yang dipilih oleh masyarakatnya. Untuk desa tertentu biasanya ibukota kecamatan kepemimpinan tidak dipilih namun ditunjuk oleh bupati desa dan disebut kelurahan. Sebuah masyarakat dapat berkembang menjadi desa membutuhkan waktu lama dengan berbagai tahap perkembangan. Menurut Kusnaedi (dalam Yuliati dan purnomo, 2003) ada empat tahapan pembentukan desa yakni tahap pembentukan kelompok yang mempunyai kepentingan sama baik lahir maupun batin (unity comunity), tahap pembentukan kesatuan hukum (unity normatif), tahap kesatuan organisasi atau kepemimpinan (unity leadership) dan tahap pembentukan kesatuan wilayah (unity geografis). Dengan tahapan seperti itu,maka kita dapat membayangkan bahwa desa merupakan sebuah perjalanan lama dari sebuah masyarakat.
Masyarakat desa menurut Yuliati dan purnomo (2003), adalah masyarakat yang dinamis danmerupakan komunitas unik. Kesejukan, ketenangan, kedamaian, dan jaminan kebahagian merupakan pandangan umum dari kehidupan desa. Tentu saja Yuliati dan purnomo (2003) mengkonfirmasi, bahwa pandangan itu keliru apabila kita faham atau tahu betul apa sebenarnya yang melingkupi kehidupan desa saat ini. Beban sosial dan tuntutan lingkungan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika kehidupan desa, kerap menjadi tekanan bagi masyarakat apabila tidak dapat mencapainya.
Sistem religi masyarakat desa dalam perkembangannya masih kental dengan budaya animisme, meski saat ini telah terjadi pergeseran yang cukup besar pada beberapa desa dengan adanya kemajuan teknologi. Namun pada beberapa ritual tertentu budaya takluk pada alam ini masih menyelimuti penduduk desa.
Sistem organisasi kemasyarakatan di desa sangat beragam, baik yang terkait dengan kegiatan ekonomi, kegiatan politik maupun kegiatan kerukunan dan gotong royong. Eratnya hubungan antar penduduk dan kebiasaan gotong royong yang besar merupakan ciri utama kehidupan di sana.
Selain sistem organisasi, sistem lain yang sangat mendominasi perilaku masyarakat desaadalah sistem pengetahuannya. Perkembangan sistem pengetahuan desa merupakan hasil kajian sejarah masyarakat itu sendiri sebagai akibat perkembangan internalnya dan pengaruh eksternal. Sistem pengetahuan desa biasanya terkait dengan kebiasaaan masyarakat dalam melangsungkan kehidupannya.
Di pedesaan, bahasa merupakan unsur kebudayaan yang penting bagi kelanjutan kebudayaannya. Dengan bahasa berbagai ilmu pengetahuan lokal desa dan berbagai kekayaan cerita tentang kehidupan dapat diturunkan kepada penerus kebudayaan. Mitos dan kekayaan imajinasi masyarakat desa tertuang indah dalam bahasa meski kadang merupakan sesuatu yang sulit dipahami bahkan jauh dari sebuah realita, akan tetapi tidak dapat kita pungkiri bahasa merupakan alat pelestari kekayaan khasanah nilai luhur masyarakat desa.
Hal menarik dalam memahami masyarakat desa adalah sistem mata pencahariannya. Pertanian adalah ciri khas utama meski saat ini banyak desa-desa yangtelah mengalami pergeseran. Sifat usaha-tani yang sarat dengan risiko, kepastian alam yang sulit dikendalikan serta pasar yang sering tidak memihak pada petani menyebabkan sistem mata pencahariannya hampir sulit untuk berkembang.
Mosher (dalam, Yuliati dan purnomo, 2003) mengungkapkan bahwa kebanyakan keputusan petani mengenai pertanian masih diambil dalam kedudukannya sebagai anggota dari sebuah keluarga, sehubungan dengan hasratnya untuk melakukan apa yang dapat dilakukannya untuk anggota keluarganya. Dipihak lain Soentoro(dalam Yuliati dan purnomo, 2003) mengemukakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin terbuka kesempatan mereka untuk memilih pekerjaan dari berbagai alternatif pekerrjaan.
Dalam kenyataannya secara umum desa memang selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Cepat-lambatnya atau besar-kecilnya perubahan dan perkembangan yang terjadi tergantung pada banyak faktor, antara lain tergantung- kepada potensi wilayah yang bersangkutan.Perubahan itu secara umum cenderung mengarah ke sifat-sifat perkotaan. Namun, tidak semua perubahan dan perkembangan yang terjadi di desa itu dapat disimpulkan sebagai proses pengkotaan (proses perubahan desa menjadi kota). Proses perubahan itu seringkali hanya merupakan proses perubahan biasa saja, yang hakekatnya secara umum terjadi di semua kelompok masyarakat. Menurut Roland L. Warren, proses perubahan yang menunjukkan terjadinya metamorpose dari desa menjadi kota hanya dapat disimak lewat adanya gejala yang disebut great change.
Indikator dari adanya great change ini adalah:
Division of labor, yakni bila pada desa itu telah menunjukkan tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok kerja yang berbeda-beda tetapi saling ada ketergantungan atau jalinan.
Munculnya diferensiasi kepentingan dan asosiasi.
Semakin bertambahnya hubungan yang sistemik dengan masyarakat yang lebih luas.
Muncul dan berkembangnya fenomena birokratisasi dan impersonalisasi dalam kegiatan usaha;
Pengalihan fungsi-fungsi ke lembagaan bidang usaha yang menguntungkan.
Adanya proses penerapan gaya hidup perkotaan.
Adanya proses perubahan nilai-nilai (Roland L. Warren, 1963: 54).
Yang sering diulas dalam berbagai pembahasan adalah konsepurbanasasi dalam artian pergeseran penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi dalam artian ini banyak diulas berkaitan dengan kerugian-kerugian yang dialami desa jika penduduknya bermigrasi ke kota. Desa akan kehilangan para penduduknya dan itu menyebabkan desa semakin sulit berkembang. Disamping itu ada pula gejala urbanisasi yang tidak permanen. Artinya, para migran tersebut tidak secara permanen menetap di kota. Jika tidak ada peluang lagi bekerja di kota, mereka akan kembali ke desa. Di desapun meski mereka lebih merasakan sebagai seorang warga desa, namun selalu siap untuk bergerak ke kota apabila menemukan peluang pekerjaan di kota.
Perubahan kultural (kebudayaan) adalah perubahan kebudayaan masyarakat desa dari pola tradisional menjadi bersifat modern. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kebudayaan desa yang awalnya bersifat tradisional mulai dari alat yang digunakan, ideologi, pendidikan, sedikit demi sedikit menjadi berkembang ke arah yang lebih modern.
Yang menjadi titik tolak utama pengertian pola kebudayaan tradisional adalah yang dikemukakan oleh Paul H. Landis an Everett M. Rogers. Seperti telah diuraikan dalam bab tersebut, nurut Paul H. Landis keberadaan pola kebudayaan tradisional tentukan oleh tiga faktor. Ketiga faktor itu adalah:
a. Sejauh mana ketergantungan masyarakat terhadap alam,
b. Bagaimana tingkat teknologi nya.
c. Bagaimana sistem. produksinya.
Pola kebudayaan tradisional akan tetap eksis apabila masyarakat desa memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap alam, namun dengan tingkat teknologi yang tinggi, dan produksi yang hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ini berarti bahwa apabila ketergantungan terhadap alam berkurang atau bahkan hilang, tingkat teknologinya tinggi, dan produksi ditujukan untuk mengejar keuntungan (profit orientecl), maka kebudayaan tradisional menjadi kehilangan dasar eksistensinya Dan hal tersebut menunjukkan perubahan cultural pada masyarakat desa yang sudah terlihat.
Selain hal tersebut meningkatnya teknologi pada masyarakat desa juga menunjukkan semakin berubahnya kebudayaan di desa, yang awalnya menggunakan alat pertanian yang sederhana, sekarang mulai maju dengan menggunakan teknologi-teknologi modern. Hal ini tidak buruk karena dapat semakin memajukan desa kearah modern. Akan tetapi masih ada kendala dalam memajukan desa kea rah modern. Hal ini disebabkan karena cara hidup modern menuntut biaya tinggi. Sebaliknya, cara hidup tradisional adalah merupakan cara hidup yang relatif murah. Oleh karena itu, sekalipun misalnya penduduk telah mendapatkan dan menyerap pengetahuan baru dan budaya modern, namun pengaruhnya hanya sebatas sikap dan pandangan hidup saja. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan hidup modern karena masalah struktural, yakni karena mereka termasuk golongan miskin yang rendah tingkat keberdayaannya.
Lembaga adalah sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan dalam suatu masyarakat. Dalam kaitan ini kelembagaan adalah sebagai wujud dari suatu tindakan bersama (Collective action). Jadi jika suatu masyarakat menginginkan suatu kebutuhan baru dan beragam maka secara otomatis lembaga lama akan tidak berfungsi lagi.
Seperti telah dijelaskan di atas, secara umum lembaga diartikan sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam suatu masyarakat. Kelembagaan dalam kaftan ini adalah tindakan bersama (collective action) yang memiliki pola atau tertib yang jelas dalam upaya untuk mencapai tujuan atau kebutuhan tertentu. ini berarti bahwa kelembagaan yang ada dalam suatu masyarakat eksistensinya ditentukan oleh sifat dan ragam kebutuhan yang adadalam suatu masyarakat. Dengan demikian apabila dalam masyarakat muncul kebutuhan-kebutuhan baru yang semakin meluas dan beragam, maka lembaga-lembaga lama menjadi kurang dapat berfungsi. 
Sebagai konsekuensinya, lembaga-lembaga baru yang instrumental bagi pemenuhan kebutuhan baru itu semakin dituntut keberadaannya. Munculnya lembaga-lembaga baru di desa-desa belum tentu rupakan tanggapan dari kebutuhan-kebutuhan baru yang berkembang di tengah masyarakat itu. Lembaga-lembaga baru dapat sajamuncul berdasarkan program-program pembangunan yang diadakan oleh Pemerintah. Sebagai contoh di Indonesia terdapat seiurnfah mbaga baru seperti LSD/LKMD, BUD, KUD, LMD, BPD, dan bagainya. Badan-badan lain di luar Pemerintah juga ikut menyumbang hadirnya lembaga-lembaga baru itu, seperti misalnya berbagai lembaga dari berbagai LSM yang bergerak di pedesaan.
Daftar Bacaan
- Gumilar & Sulasman. 2013. Teori-teori Kebudayaan: dari teori hingga aplikasi, Bandung: Pustaka setia.
- Jenks, Chris. 2013. Culture (Culture Study), Yogyakarta: Pustaka pelajar.
- Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Martono, Nanang. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial: perspektif klasik, modern, posmodern, dan poskolonial, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
- Ritzer, George. 2010. Sociologi: A Multiple Paradigm Science, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
-Yayuk & Purnomo. 2003. Sosiologi Pedesaan, Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.




Download Konsep Dasar Budaya, Perubahan Sosial, dan Masyarakat Desa .docx

Download Now



Terimakasih telah membaca Konsep Dasar Budaya, Perubahan Sosial, dan Masyarakat Desa . Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: