Oktober 22, 2016

tugas kelompok pelanggaran HAM pasca G 30 S/PKI

Judul: tugas kelompok pelanggaran HAM pasca G 30 S/PKI
Penulis: Silvia Kumalasari


MAKALAH HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TRAGEDI KEMANUSIAAN PASCA GERAKAN 30 SEPTEMBER TAHUN 1965 (G30S/PKI)
181927581915
DISUSUN OLEH :Dwi Rahmawati ( 8111412028)
Muhammad Ricky Fauzi( 8111412028)
Silvia Kumalasari( 8111412028 )
Annisa Rizky Amalia( 8111412029 )
Fandilla Susanti( 8111412037 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu  keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Hak asasi manusia   melingkupi antara lain hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negara. Hak asasi tidak sebatas pada kebebasan berpendapat ataupun berorganisasi, tetapi juga menyangkut pemenuhan hak atas keyakinan, hak atas pangan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, rasa aman, penghidupan yang layak, dan lain-lain. Kesemuanya tersebut tidak hanya merupakan tugas Negara/pemerintah tetapi juga seluruh warga negara untuk memastikan bahwa hak tersebut dapat dipenuhi secara konsisten dan berkesinambungan.Peristiwa 'pemberontakan PKI' pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan 30 September (G30 S/PKI) merupakan peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan berencana menjadikan Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan dilakukan PKI saat itu memakan korban 7 orang jendral dikalangan angkatan darat di Jakarta dan dua orang di Yogyakarta. Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa Kita tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya peristiwa 1965 tidak hanya menimbulkan korban dari kalangan Angkatan Darat (AD) tapi juga ribuan rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai peristiwa tersebut karena dianggap terkait dengan PKI. Mereka yang haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, di buang, diasingkan, di anggap bukan manusia, dan berbagai macam perlakuan yang dapat disebut sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).Pelanggaran HAM merupakan perbuatan orang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja atau tidak atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi / menghalangi / membatasi / mencabut HAM orang / kelompok orang yang dijamin oleh UU dan tidak mendapat / dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 (G 30 S/PKI -1965) telah menelan korban ratusan ribu jiwa, bahkan terdapat laporan bahwa korban jauh lebih banyak dari itu. Peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 yang merupakan salah satu" lembaran hitam" dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia memang terdapat berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tetapi sangat sulit untuk diungkapkan soalnya terkait institusi-isntitusi negara waktu itu. Bahkan peristiwa tersebut juga kononnya merupakan bagian dari skenario Blok barat dalam konteks merangkul Indonesia supaya menjauhi Blok Timur,sehingga tidak bisa dipungkiri peristiwa G 30 S/PKI 1965 melibatkan agen-agen asing.
Meskipun sudah demikian berkibarnya PKI dan ormas-ormasnya, yang seringkali melakukan berbagai kejahatan sehingga menimbulkan berbagai kerusuhan di berbagai wilayah Indonesia. Namun Presiden Soekarno waktu itu tidak pernah merencanakan untuk membubarkannya, maka PKI menjadi organisasi terbesar di dunia dengan berbagai ormasnya . Kebesarannya itu membuatnya sangat arogan, yang secara terang-terangan mengancam Ormas (organisasi masyarakat) lainnya terutama yang berseberangan politik dan ideologi dengan PKI. PKI pimpinan DN Aidit menggelorakan gerkan progresif revolusioner dengan menjarah lahan-lahan lalu membagi-bagikannya kepada rakyat, sebagai cara-cara untuk meraih dukungan masyarakat.Memang sangat disayangkan sebab setelah pemberontahan G 30 S/PKI tahun 1965 berhasil ditumpas, lalu terjadilah berbagai gerakan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia tanpa bisa dikendalikan, ataupun disinyalir terdapat suatu "pembiaran" sehingga terjadilah "Tragedi Kemanusian" tersebut. Meskipun tidak terbantahkan sudah terjadi pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965, banyak warga masyarakat terjerumus karena ketidak tahuannya mereka karena kemiskinannya dengan mudah direkruit dengan mengiming-ngiming bantuan lahan dan perlengkapan pertaniannya secara gratis  , ataupun  ormas-ormas PKI itu setiap menjelang Ramadhan mereka bagi-bagikan daging secara gratis pula kepada rakyat. Jadi rakyat yang memang saat itu sedang terpuruk karena krisis ekonomi yang amat parah, dengan mudah menerima pemberian mereka dengan hanya membubuhkan tandatangannya saja di sebuah buku yang sudah disediakan sebelumnya.Tetapi setelah PKI bisa ditumpas, maka rakyat yang ikut menandatangi sebagai bukti menerima pemberian dari ormas-ormas PKI tersebut semua ditangkap, digiring kesuatu tempat dan dieksekusi disana. Bahkan terdapat diantara rakyat sebelum dieksekusi  disuruh menggali kuburannya sendiri, dan banyak juga dibantai didepan keluarganya sendiri. Berbagai kejahatan, kekejian memang terjadi waktu itu, namun sangat sulit jika hendak diusut oleh pengadilan Indonesia. Tetapi jika Mahkamah Internasional seperti ICC, yang besar kemungkinannya bisa mengusut masalah tersebut. Hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM itu memang sangat sulit untuk menyeret para pelakunya ke pengadilan di Indonesia, akan tetapi Komnas HAM bisa saja mengajukannya ke Mahkamah Hukum Internasuional ataupun ke Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC).
Rumasan Masalah
Apakah penyebab terjadinya peristiwa G 30S/PKI ?Bagaimanakah proses terjadinya peristiwa sampai pada penumpasan G 30S/PKI ?
Bagaimana pelanggaran-pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan setelah peristiwa G 30S/PKI ?
Mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966 pasca terjadinya peristiwa G 30S/PKI ?
BAB II
PEMBAHASAN
Penyebab Terjadinya Peristiwa G 30S/PKI
A.  Penyusupan ke Dalam Organisasi Sosial Politik
Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak awal kemerdekaan senantiasa ingin merebut pemerintahan indonesia. Selain merebut pemerintahan, mereka juga ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan Marxisme – Leninisme. Upaya mewujudkan tujuan itu telah terlihat sejak pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1948. Pemberontakan itu dapat digagalkan, tetapi belum dapat ditumpas secara tuntas karena Pemerintahan RI menghadapi Militer II Belanda. pada tahun 1950-an, PKI kembali bangkit. Dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI menjadi partai terbesar nomor 4 di Indonesia.Pada upacara peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan Pidato yang berjudul " Penemuan Kembali Revolusi Kita". Pidato Presiden itu kemudian disahkan menjadi Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN)  yang diberi nama Manifesto Politik (Manipol).
Semenjak Manipol dikumandangkan menjadi GBHN, Presiden Soekarno lambat laun mengambil alih berbgai wewenang yang seharusnya berada ditangan MPRS dan DPR-GR. Demokrasi yang seharusnya dipimpin oleh permusyawaratan kemudian diubah menjadi Demokrasi Terpimpin. Penyelewengan – penyelewengan di bidang ketatanegaraan lambat laun menjerumuskan negara ke arah penyimpangan. Pandangan hidup bangsa Inonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara berangsur – angsur diabaikan dan lebih menekankan kepada Nasakom. Semakin lama PKI merasa semakin kuat karna program – programnya menjadi bagian dari program pemerintah.
Untuk menunjukan kekuatannya PKI berpura – pura menerima Pancasila dan UUD '45. Akan tetapi kemudian mereka mengatakan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu dan kalau semua sudah bersatu, PKI tidak memerlukan Pancasila lagi.Tindakan PKI itu tentu saja menggelisahkan kalangan yang setia kepada Pancasila. Partai Murba mencoba menentang PKI, tetapi PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno untuk membubarkan Murba. PKI juga melakukan penyusupan pada tubuh PMI sehingga mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PNI dibawah pimpinan Ali Sostroamidjojo disusupi oleh tokoh PKI Ir.Surachman. PNI Osa-Usep dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja.
Untuk menyusup kedalam tubuh ABRI dan Organisasi sosial politik lain, Ketua Comite Central PKI, D.N. Aidit, membentuk sebuah  Biro Khusus. Selain mengadakan penyusupan, tugas Biro Khusus, juga mempersiapkan pemberontakan. Usaha Biro Khusus ini cukup berhasil, terbukti dari adanya beberpa anggota ABRI yang mendukung dan terlibat dalam pemberontakan G 30 S/PKI. Anggota ABRI yang terlibat PKI adalat Letnan Kolonel Untung, Brigjen Soepardjo, Kolonel Latif, dan lain – lain.
PKI juga menginkan agar organisasi yang ada dalam pengaruhnya, seperti Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan Wanita indonesia (Gerwani) dipersenjatai dan diberi latihan kemiliteran, terutama mereka yang ikut sukarelawan Dwikora. Pada setia kesempatan, tokoh PKI senantiasa menyampaikan usul kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan Ke-V. Akan tetapi usul PKI itu selalu, mendapat tantangan dari ABRI. Mentri Koordinator (Menko) Hankam Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jendral A.H Nasution, Mentri Panglima Angkatan Darat, Jendral A. Yani, dan pimpinan ABRI lainnya yang setia kepada Pancasila menolak dengan tegas usulan tersebut.
B.  Fitnah Dilakukan oleh PKI
Disamping melakukan penyusupan kedalam tubuh organisasi lawanya, PKI juga melakukan fitnah keberbagai organisasi politik dan organisasi massa sebagi teror untuk melumpuhkan kekuatan lawanya. Fitnah yang paling jahat tuduhan Pki tentang adanya Dewan Jendral dalam tubuh Angkatan Darat. Dewan Jendral itu bertugas menilai kebijakan politik Presiden Soekarno. Mereka menunjuk adanya sebuah dokumen yang disebut  Document Gilchrist. Gilchrist adalah duta besar inggris untuk RI saat itu. Dokumenini menyatakan bahwa seolah – olah Dewan Jendral yang ada pada Angkatan Darat mempunyai hubungan dengan CIA (Central Intelligence Agency) atau Dinas Rahasia Amerika Serikat dan mempunyai maksud akan melakukan perebutan kekuasaan.
Wakil Perdana Mentri I (Waperdam I), Dr. Soebandrio, membawa "Dokumen" untuk ke Istana Merdeka dan melaporkannya kepda Presiden Soekarno. Setelah membawa dokumen itu, Presiden segera memanggil semua panglima Angkatan. Dalam pertemuan itu Men/Pangad,Letnan Jendal Achmad Yani, menjelaskan bahwa Angkatan Darat tidak ada Dewan Jendral seperti yang dimaksudkan oleh PKI. Oleh karena itu, ABRI/TNI-AD membantah keras fitnah yang dilontarkan oleh PKI. Men/Pangad menambahakan bahwa yang ada dilingkungan TNI-AD ialah Wanjati, yaitu Dewan yang menilai anggota perwira TNI-AD (Kolonel) yang dapat dipromosikan mendapat jabatan tinggi 
C. Persiapan Pembrontakan
Pada bulan Juli dan Agustus 1965, kesehatan Presiden Soekarno menurun dan mendapat pemeriksaan tim dokter dari RRC dan dokter Indonesia. Menurut analisis dokter, keadan presiden sangat gawat. Mengetahui situasi demikian, tokoh – tokoh PKI, seperti Nyoto dan Aidit yang sedang berada diluar negeri segera kembali ke indonesia untuk melakukan persiapan pemberontakan. Mereka khawatir, apabila keadaan bertambah kritis, ABRI akan mengambil tindakan terhadap PKI dan ormasnya.
Aidit memerintahakan Biro Khusus PKI untuk membuat suatu rencana gerakan. Sejak awal September 1965, mereka semakin sering mengadakan rapat rahasia dengan beberapa oknum ABRI yang telah dipengaruhi komunisme untuk membahas rencana pemberontakan. Rencana gerakan yang dibuat oleh Biro Khusus itu disetujui oleh Aidit. Selanjutnya, pimpinan Biro Khusus segera menghubungi perwira – perwira ABRI yang telah dibina untuk mempersiapka diri melaksanakan gerakannya.
Sebagai pendukung gerakan yang akan dilakukan, PKI mengadakan latihan militer bagi anggota – anggotanya didaerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Latiham dilakukan dengan berkedok melatih para sukarelawan dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Sampai akhir September 1965, didesa Lubang Buaya telah dilatih kurang lebih 3.000 orang anggota PKI dan organisasi bawahannya 
Terjadinya Peristiwa sampai pada Penumpasan G 30S/PKI
Pemberontakan G 30S/PKI
Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965, PKI mulai mengadakan penculikan dan pembunuhan terhadap para pemimpin tinggi atau pejabat teras TNI-AD.
 Dalam aksinya jatuh korban enam perira tinggi dan seorang perwira pertama angkatan darat yang dianiaya dan dibunuh oleh PKI, dibawa ke Lubang Buaya. Setelah puasmenganiaya, perwira yang masih hidup dimasukan kedalam sumur tua yang terletak disana. Perwira TNI-AD yang menjadi korban tersebut adalah berikut:
Letnan Jendral Achmad Yani, Mentri atau Panglima Angkatan Darat.
Mayor Jendral R. Suprapto, Deputi II Panglima Angkatan Darat.
Mayor Jendral Haryono Mas Tirtodarmo, Deputi III Panglima Darat.
Mayor Jendral Siswondo Parman, Asisten I Panglima Angkatan Darat.
Brigadir Jendral Donald Izacus Panjaitan, Asiten IV Panglima Angkatan Darat.
Letna Satu Piere A. Tendean, Ajudan Menko Hankam Kasab. 
Dalam gerakan penculikan itu, Jendral Abdul Haris Nasution, Mentri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, berhasil meloloskan diri dari penculikan. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani, dan Ajudannya, Letnan Satu Piere Tendean, tewan dibunuh oleh PKI. Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang sedangt bertugas jaga dirumah Waperdam II, Dr. J. Leimena, tetangga Jendral Nasution, juga tewas ketika akan melawan gerombolan penculik Jendral Nasution.
Politik luar negrri bebas aktif dialihkan menjadi politik luar negeri yang memihak Blok Timur (Blok Komunis). Puncak semua kebijakan itu adalah G 30 S/PKI. Peristiwa itu menyebabkan gugurnya tujuh patriiot bangsa yang dibunuh secara kejam oleh PKI.Penumpasan G 30 S/PKI
Hanya sehari setelah PKI mencetuskan pemberontakannya, penumpasan terhadap mereka pun dimulai. Penumpasan PKI dimulai di Jakarta kemudian Penumpasan di daerah – daerah.
Penumpasan PKI di Jakarta.
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, G 30 S/PKI masih menguasai studio RRI dan Kantor Telekomunikasi. Melalui RRI, Letnan Kolonel Untung mengumumkan dekrit pembentukan  Dewan Revolusi sebagai sumber kekuasaan negara dan mendemisionerkan Kabinet Dwikora. Upaya PKI untuk merebut pemerintahan RI tersebut segera dihadang oleh kekuatan yang setia kepada Pancasila dan senantiasa waspada terhadap tindakan PKI. Di Jakarta, kekuatan itu berada dibawah Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), Mayor Jendral Soeharto. Setelah mengetahui bahwa negara dalam keadaan bahaya, Panglima Kostrad bertindak dengan cepat untuk memulihkan kekuasaan pemerintahan di ibu kota.
Tindakan yang pertama diambilnya adalah engadakan koordinasi. Ia mencoba menghubungi Presiden Soekarno, tetapi tidak berhasil. Koordinasi kemudian dilanjutkan dengan menghubungi Menteri/Panglima Angkatan Laut dan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Menteri/Panglima Angkatan Udara tidak berhasil dihubungi, karena mereka memihak kepada PKI. Setelah melakukan koordinasi, Pangkostrad memutuskan untuk segera mengadakan penumpasan terhadap pemberontak.Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Dalam waktu singkat ABRI yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soeharto berhasil menyelamatkan Republik Indonesia dari ancaman komunisme. Hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa Pancasila mampu membuktikan diri sebagai kekuatan yang besar dan dijunjung tinggi oleh bangsa indonesia. Malam harinya, melalui RRI, Mayor Jendral Soeharto menjelaskan kepada rakyat Indonesia tentang adanya perebutan kekuasaan negara oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Tiga Puluh September. Ia juga menambahkan bahwa masyarakat diharapkan tenang dan waspada.
Pidato itu mematahkan semangat para pemberontak. Setelah keadaan ibu kota dapat dikuasai kembali, penumpasan langsung ditujukan kebasis uatama G 30 S/PKIyang berada disekitar dipangkalan udara Halim Perdanakusuma. Tanpa mengalami kesulitan, pada pagi hari, tanggal 2 Oktober 1965, Pangkalan Udara Halim Perdanakusumadapat dikuasai.Selanjutnya, ABRI mengadakan pencarian terhadap perwira – perwira Angkatan Drat yang diculik oleh PKI ke kampung Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pencarian ketempat itu dilakukan atas petunjuk seorang polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman mengetahui tempat itu karena sebelumnaya ia memang ikut tawanan oleh PKI dan dibawa ketempat itu. Akan tetapi, ia berhasil melarikan diri.
Di desa Lubang Buaya itulah jenazah para perwira tinggi angkatan darat itu dikubur dalam sebuah sumur tua yang bergaris tengah kurang dari satu meter dengan kedalaman 12 meter. Luka – luka yang terdapat pada jenazah itu menunjukan bahwa mereka disiksa dengan kejam sebelum dibunuh. Pengangkatan jenazah dilakukan pada tanggal 4 Oktober. Keesokan harinya, bertepatan di Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965, para perwira Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para korban di anugerahi Pahlawan Revolusi dan diberikan kenaikkan pangkat satu tingkat lebih tinggi secara anumerta.Untuk penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI dan pemulihan keamanan akibat pemberontakan itu, pemerintah membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Mayor Jendral Soeharto ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib. 
Penumpasan di Daerah – Daerah
Keadaan di Jawa Tengah juag gawat karena ditempati ini PKI juga melakukan pemberontakan dengan kekuatan bersenjata, seperti halnya di Jakarta. Di Semarang, Kolonel Suhirman, Asisten l Kodam VII/Diponegoro, menyatakan dukungannya kepada pemberontak G 30 S/PKI. Pemberontak G 30 S/PKI menguasai Markas Kodam VII/Diponegorodan dijadikan sebagai pusat gerakan.Di Yogyakarta, pemberontak G 30 S/PKI menculik Komandan Korem 072/Pamungkas, Kolonel Katamso, dan Kepala Staf Korem 072, Letnan Kolonel Sugiono. Kedua Perwira itu dibunuh dengan kejam.Pengumuman RRI Jakata bahwa Jakarta telah dikuasai kembali oleh ABRI menimbulkan dampakyang besar. Untuk menumpas dan membersihkan sisa – sisa G 30 S/PKI secara lebih intensif Mayor Jendral Soeharto mengirim pasukan RPKAD dibawah pipinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Pasukan G 30 S/PKI di Jawa Tengah mulai patah semangat. Akhirnya, pimpian pemberontak di Semarang, Kolonel Suhirman, dan kawan – kawannya melarikan diri keluar kota. Kesatuan yang mendukung PKI dapat diinsyafkan.Selanjutnya, satu demi satu kota – kota yang tadinya dikuasai oleh pemberontak G 30 S/PKI berhasil direbut kembali. Sejak tanggal 5 Oktober 1965 secara fisik militer keamanan dalam jajaran Kodam VII/Diponegoro telah pulih kembali. Akan tetapi, setelah kekuatan militer PKI dapat dihacurkan, di Jawa Tengah timbul gerakan pengacauan berupa sabotase dan pembunuhan yang dilakukan oleh massa PKI terhadap rakyat. Berkat kerja sama ABRI dan rakyat, keamanan dan ketertiban dapat dijaga.
Sementara itu, pemimpin – pemimpin PKI yang belum tertangkap berusaha mengadakan konsolidasi. Mereka mempersiapkan pemberontakan bersejata dengan dukungan para petani. Untuk melaksanakan rencan itu, secar diam – diam dan rahasia mereka menyusun kompro – kompro (komite proyek) sebagai basis kembalinya PKI. Salah satu kompro yang paling besar adalah Kompro Blitar Selatan. Di sini PKI berhasil mempengaruhi rakyat. Namun, ABRI segera mencium usaha PKI itu. Penumpasan terhadap Kompro Blitar Selatan dilakukan dengan sebuah operasi yang dinamakan  Operasi Trisula sejak tanggal 3 Juli 1968. Operasi itu berhasil membongkar basis pertahanan PKI.Penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI di tempat – tempat lain di Indonesia dilakukan dengan melakukan operasi teritorial. Usaha penangkapan terhadap tokoh – tokoh PKI dilakukan karena umumnya pendukung G 30 S/PKI tidak sempat melakukan gerakan perebutan kekuasaan. Di daerah Jawa Timur dan Bali memang terjadi kekacauan penculikan dan pembunuhan, tetapi dalam waktu singkat keadaan dapat ditertibkan kembali.Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik…Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan…Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Soviet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.
Penyelesaian aspek politik mengenai pemberontakan G 30 S/PKI akan ditangani secara langsung oleh Presiden Soekarno. Namun, karena berlarut – larut dan tidak ada ketegasan timbullah aksi – aksi yang menuntut penyelesaian secara politis bagi mereka yang terlibat G 30 S/PKI. Pada tanggal 26 Oktober 1965, semua kekuatan yang anti komunis mengkokohkan diri dalam satu barisan, yaitu Front Pancasila. Setelah itu, muncul gelombang demonstrasi yang menuntut agar PKI dibubarkan. Aksi – aksi itu dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda, mahasiswa dan pelajar. Dan akhirnya G 30 S/PKI dapat di tumpas dan Indonesia memasuki Orde Baru. 
Pelanggaran-Pelanggaran Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Setelah Peristiwa G30S/PKI
Gerakan 30 September (G 30S/ PKI )  di bawah pimpinan Letkol Untung (G 30S/Untung) yang melakukan aksinya dengan penahanan dan pembunuhan para jendral AD pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, sudah berakhir pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah dihancurkan oleh pasukan  Suharto. Kemudian Presiden Soekarno membentuk Mahmilub yang berwewenang mengadili mereka yang tersangkut dalam gerakan tersebut.
Setelah G 30S/PKI habis riwayatnya, di sepanjang tahun 1965-1966 di beberapa daerah Indonesia terjadi banyak kejadian pembunuhan, penahanan, penghilangan dengan paksa, penganiayaan secara massal tanpa melalui proses hukum terhadap orang-orang yang didakwa anggota PKI serta pendukungnya dan para Soekarnoist. Semua peristiwa tindak pidana inilah yang  disebut kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-1966.
Masalah hukum/HAM, yang timbul setelah dihancurkannya G30S/Untung ialah masalah yang berkaitan terjadinya pembunuhan, penahanan, penghilangan paksa, penganiayaan secara massal pada 1965-1966 tanpa melalui proses hukum, yang korbannya antara 500.000 sampai 3 juta manusia yang tidak tahu apa-apa tentang G 30S/PKI, baik yang berkaitan dengan warganegara Indonesia di tanah air mau pun di luar negeri (yang tanpa proseur hukum dicabut paspornya).
Setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan: "Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di Pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka.
Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Cina" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat. Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965-1966 Pasca Terjadinya Peristiwa G30S/PKI
Penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya konstitusional dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang Undang (RUU) dinilai perlu diupayakan agar semua masalah pelanggaran tersebut memiliki kejelasan hukum, untuk selanjutnya menjadi modal penting dalam menata masa depan bangsa dan negara tercinta ini. Menurut UU No. 26/2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal.
Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan pengaduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk satu KPP HAM untuk melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung.
Kedua, DPR kemudian membahas  hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian      membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk pengadilan Ham ad-hoc.
Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc.
Sebagaimana tertuang dalam UU RI Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 7 menjelaskan, bahwa yang termasuk pelanggaran HAM berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 8 selanjutnya menjelaskan, kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, agama, dengan cara; Membunuh anggota kelompok; Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sementara itu, dalam pasal 9 disebutkan, bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa; Pembunuhan; Pemusnahan; Perbudakan; Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; Perampasan kebebasan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; Penyiksaan; Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterelisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut Hukum Internasional; Penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid.
Pada tahun 2008 dalam struktur Komnas HAM dibentuk Tim ad hoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966.  Komnas HAM sesuai tugas serta wewenangnya dan berdasar prosedur hukum yang berlaku berkewajiban melakukan penyelidikan tentang  dugaan adanya pelanggaran HAM berat 1965-1966. Kewajiban tersebut seharusnya sudah dijalankan oleh penegak hukum pada awal kejadian tanpa diulur-ulur sampai 48 tahun lamanya. Tenggang waktu yang begitu lama tentu menyukarkan tugas Komnas HAM dalam penyelidikan. Dalam jangka kerja 5 tahun Komnas HAM berhasil mengumpulkan data-data  dan menyimpulkan terdapatnya indikasi-indikasi adanya pelanggaran HAM berat di tahun 1965-1966.
Kesimpulan Komnas HAM tersebut bersama rekomendasinya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung agar ditindak-lanjuti ke tahap penyidikan. Komnas HAM menyimpulkan telah menemukan cukup bukti adanya dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan pasca peristiwa G30S PKI. Terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM yang berat sebagai berikut, satu pembunuhan pasal 7b, pemusnahan pasal 7b, dan pasal 9b UU 26 tahun 2000 kemudian perbudakan, pengusiran, penyiksaan, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik pemerkosaan dan penghilangan orang secara paksa.
Dalam proses  ini tidak diperlukan pembuktian siapa dalang G 30S/PKI. Dan sama sekali tidak diperlukan pembuktian apakah PKI memberontak atau tidak. Yang diperlukan ialah data-data pembuktian ada tidaknya pelanggaran HAM berat 1965-1966, tidak pandang siapa pun pelakunya dan siapa pun korbannya. Temuan hasil penyelidikan Komnas HAM yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung inilah  merupakan bukti tahap awal yang akan ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung dalam proses penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966.
Penyelesaian kedua masalah (G 30S/PKI dan Kasus Pelanggaran HAM berat 1965-1966) berjalan pada jalur masing-masing. Yang dituntut para korban pelanggaran HAM berat 1965-1966 adalah penegakan kebenaran dan keadilan yang manusiawi baginya. Kasus tersebut dituntaskan melalui Pengadilan ad Hoc atau berdasarkan UU Rekonsiliasi. Sedang penyelesaian masalah orang-orang  yang tersangkut G 30S/PKI adalah masalah yang menjadi wewenang Mahmilub.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu  keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Peristiwa 'pemberontakan PKI' pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan 30 September (G30 S/PKI) merupakan peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan berencana menjadikan Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan dilakukan PKI saat itu memakan korban 7 orang jendral dikalangan angkatan darat di Jakarta dan dua orang di Yogyakarta. Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa Kita tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya peristiwa 1965 tidak hanya menimbulkan korban dari kalangan Angkatan Darat (AD) tapi juga ribuan rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai peristiwa tersebut karena dianggap terkait dengan PKI. Mereka yang haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, di buang, diasingkan, di anggap bukan manusia, dan berbagai macam perlakuan yang dapat disebut sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).Setelah G 30S/PKI habis riwayatnya, di sepanjang tahun 1965-1966 di beberapa daerah Indonesia terjadi banyak kejadian pembunuhan, penahanan, penghilangan dengan paksa, penganiayaan secara massal tanpa melalui proses hukum terhadap orang-orang yang didakwa anggota PKI serta pendukungnya dan para Soekarnoist. Semua peristiwa tindak pidana inilah yang  disebut kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-1966.
Pada tahun 2008 dalam struktur Komnas HAM dibentuk Tim ad hoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966.  Komnas HAM sesuai tugas serta wewenangnya dan berdasar prosedur hukum yang berlaku berkewajiban melakukan penyelidikan tentang  dugaan adanya pelanggaran HAM berat 1965-1966.
Penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu Menurut UU No. 26/2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan pengaduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk satu KPP HAM untuk melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kedua, DPR kemudian membahas  hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian      membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk pengadilan Ham ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc.Penyelesaian masalah (G 30S/PKI dan Kasus Pelanggaran HAM berat 1965-1966) berjalan pada jalur masing-masing. Yang dituntut para korban pelanggaran HAM berat 1965-1966 adalah penegakan kebenaran dan keadilan yang manusiawi baginya. Kasus tersebut dituntaskan melalui Pengadilan ad Hoc atau berdasarkan UU Rekonsiliasi. Sedang penyelesaian masalah orang-orang  yang tersangkut G 30S/PKI adalah masalah yang menjadi wewenang Mahmilub.
Saran
Telah kita ketahui bahwa G 30 S/PKI berusaha merebut kekuasaan negara dengan kekerasan. Tidakan yang mereka lakukan menimbulkan bencana nasional karena membawa korban, diantaranya adalah Pahlawan Revolusi. Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan keampuhan pancasila sebagai ideologi bangsa, dalam waktu singkat pemberontakan dapat ditumpas dan tokoh – tokohnya ditangkap. Itu berarti paham komunis dan kekejamanya tidak dapat diterima oleh bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila membuktikan dirinya sebagai kekuatan besar yang memiliki nilai – nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.
Selain itu dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pasca terjadinya peristiwa G30S/PKI di sepanjang tahun 1965-1966 dalam kejadian pembunuhan, penahanan, penghilangan dengan paksa, penganiayaan terhadap orang-orang yang dianggap atau didakwa anggota PKI serta pendukungnya dan para Soekarnoist secara massal ini seharusnya diproses melalui proses hukum yang jelas. Hal inilah yang harus ditegakkan oleh aparat yang berwenang untuk melindungi hak-hak asasi warga negaranya guna menciptakan negara hukum yang diamanatkan oleh konstitusi negara kita. perlunya negara menerapkan Demokrasi dalam arti sesungguhnya, dimana peralihan kekuasaan negara dapat berlangsung dengan aman dan damai tanpa korban jiwa sama sekali. Apa yang terjadi pada 1965, kalau benar sebuah pelanggaran HAM  berat, hal itu disebabkan budaya politik sebagian masyarakat kita yang masih membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Doktrin "tujuan menghalalkan cara" yang dianut kaum Komunis, menjadi awal pelanggaran HAM berat.
Nampaknya pembenahan tidak hanya dilakukan dalam kubu pemerintahan saja, tetapi perlu adanya pembenahan dalam diri pemuda. Dari mempersiapkan moral, mental, dan intelektual. Yang bisa diterapkan sesuai dengan era saat ini adalah adanya pendidikan karakter. Dari segi moral, pendidikan karakter merupakan salah satu tolok ukur membentuk kepribadian bangsa yang luhur. Akan membentuk mental yang tangguh dan tahan dengan berbagai bentuk penyelewengan.Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dengan generasi muda. Bisa dalam bentuk forum diskusi yang terprogram dengan baik. Harus diubah penyaluran aspirasi lewat demonstrasi yang pada akhirnya ricuh. Kita bisa terapkan forum diskusi, misalnya dalam setiap propinsi dihadirkan wakil-wakil pemuda yang membahas permasalahan yang terkait dengan ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dengan keinginan masyarakat. Atau secara sederhana dalam lingkup daerah, adanya diskusi terbuka di setiap kabupaten. Hal-hal seperti itu perlu dibiasakan untuk menumbuhkan sikap demokrasi dalam lingkup wilayah kecil hingga lingkup pemerintahan negara Indonesia.Ke depannya, sejarah mengenai tragedi 1965 jangan hanya dimaknai sebagai catatan yang kelam dari bangsa Indonesia. Tetapi harus dijadikan landasan berpikir untuk melakukan perubahan oleh para kaum muda sebagai bentuk kecintaan pada negara. Selain itu, tragedi 1965 akan membawa bangsa Indonesia lebih menghargai sejarah berkat generasi mudanya yang mau ikut serta dalam pembangunan nasional. Berawal dari sejarah inilah kaum muda Indonesia akan siap dan mampu mewujudkan negara yang demokratis, menjunjung tinggi HAM dari pemerintahan di daerah hingga pemerintahan pusat.

DAFTAR PUSTAKA
Lorimer, Lomren. 1999. Negara dan Bangsa, Jakarta: Widya Dana M.C, Rickles. 1999. Sejarah Modern Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University 
Drs. C.T.R.Kansil,SH. 1992. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta : Erlangga 
As'ad Djamhari, Saleh. 1979. Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI (1945 Sekarang). Cet. Ke-2. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI
Pour, Julius. 2011.       Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta.
Roosa, John, 2008. Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Hasta Mitra. Jakarta
http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/31/g30spki-dalam-berbagai-versi/
http://macsman.wordpress.com/tag/sejarah-g-30-spki/


Download tugas kelompok pelanggaran HAM pasca G 30 S/PKI.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca tugas kelompok pelanggaran HAM pasca G 30 S/PKI. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: