Oktober 05, 2016

Profan dalam Cerpen Kambing Karya Joni Ariadinata

Judul: Profan dalam Cerpen Kambing Karya Joni Ariadinata
Penulis: Kadafi Muammar


Profan dalam Cerpen Kambing Karya Joni Ariadinata
Latar Belakang
Teringat pada perkataan seorang dosen di dalam kelas, "banyak orang berkurban, tapi hanya sedikit yang mau berkorban". Ini salah satu selenting pendapat terkait dalam melihat fenomena umat muslim di Indonesia menyambut Hari Raya Idul Adha dengan berhaji dan menyembelih hewan kurban. Ritual ini dilakukan setiap tahunnya oleh kaum muslimin tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di seluruh dunia. Yang menarik adalah mendapati adanya kritik terhadap realitas sosial di tengah masyarakat Indonesia khususnya menyambut perayaan ini lewat karya sastra. Hal ini yang mendorong penulis untuk memilih cerpen Kambing karya Joni Ariadinata untuk kemudian dibaca dengan perspektif dekonstruksi Derrida.
Cerpen Kambing merupakan cerita berbingkai. Cerita pertama adalah cerita ruh seekor kambing sembelihan yang ditolak masuk ke dalam surga. Cerita kedua yang kemudian menggambarkan bagaimana peristiwa penyembelihan kambing itu yang penuh dengan intrik, negoisiasi-negosiasi, dan suap. Dari cerita kedua ini terlihat alasan penolakan kambing tersebut ke dalam surga pada cerita pertama sehingga tampak hubungan kausal dari keduanya. Dari sini pula terlihat idealisme pengarang lewat cerpen yang ditulisnya.
Pembacaan dekonstruksi merupakan pembacaan terhadap ideologi yang dapat diterapkan pada karya sastra. Lewat pembacaan dekonstruksi, kekakuan ideologi dalam dikotomi antara yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima berusaha diruntuhkan dari oposisi-oposisinya. Sehingga pencapaian akhir dari pembacaan ini adalah untuk menemukan inkonsistensi dan paradoksial yang terdapat dalam teks itu sendiri. Maka lewat pembacaan ini, penulis berusaha menelisik kedua hal tersebut dari cerpen Kambing karya Joni Ariadinata.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang makalah ini, maka masalah yang hendak dibahas dari penelitian ini adalah bentuk inkonsistensi dan paradoksial konsep transendental dalam cerpen Kambing karya Joni Ariadianata.
Dekonstruksi
Tugas dekonstruksi tidak semata-mata membongkar, tapi juga menginskripsikannya kembali dengan cara lain. Seperti yang Derrida katakan tugas dekonstruksi adalah membongkar (deconstruire) struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendinskripsikannya kembali dengan cara lain. Cara mendinskripsikannya dengan memanfaatkan penanda bukan sebagai kunci transendental yang akan membuka pintu gerbang jalan kebenaran, tapi digunakan sebagai bricoleur atau alat-nya si pemikir alat yang positif.
Derrida mengatakan fonosentrisme-logosentrisme berkaitan dengan sentrisme itu sendiri yakni hasrat manusia untuk menempatkan kehadiran yang "sentral" di titik berangkat dan titik akhir. Ia mengatakan hasrat pada pusat, tekanan yang memberi otoritas, inilah yang melahirkan konsep oposisi hierarkis. Pengertian yang lebih tinggi kedudukannya dalam oposisi tersebut masuk dalam kategori kehadiran dan logos, sementara pengertian yang lebih rendah berfungsi mendefinisikan statusnya dan berarti kemunduran.
Sistem pemikiran yang mendasarkan diri pada suatu dasar, landasan, atau prinsip dasar sebagai "pemikiran metafisik". Prinsip dasar tersebut sering didefinisikan berdasarkan apa yang ditolak, dengan semacam "oposisi biner" pada konsep yang lain. Prinsip tersebut dan "oposisi biner" yang dinyatakannya selalu dapat didekonstruksi. Cara pandang agak mirip ideologi dan ideologi menarik batas yang tegas di antara oposisi konseptual, seperti kebenaran dan kekeliruan, bermakna dan tidak bermakna, pusat dan pinggiran disebut oposisi biner. Dalam oposisi biner, yang satu superior dan satunya inferior, yang satu lebih dominan atau mendominasi yang lain, maskulin lebih dominan dari feminin, dan Barat lebih dominan dari Timur. Derrida berusaha mendekonstruksi/membongkar hierarki yang terdapat dalam oposisi biner tersebut.
Oposisi biner adalah sebuah konsep menarik yang dikemukakan oleh para filsuf mengenai pola pengenalan manusia terhadap simbol dan makna akan kata. Bagaimana kita menetukan tolak ukur akan sesuatu dikarenakan oposisi biner. Konsep ini adalah penjelasan mengenai suatu yang selalu memiliki lawan maka akan terbentuk nilai dan makna sesungguhnya. Artinya adalah metode ini dapat menunjuk pada satu pengertian tergantung pada pengertian yang lain.
Oposisi biner di dalam bahasa adalah hal yang tak terelakkan. Tarik ulur selalu terjadi dan bentuk penyamaran oposisi biner atau penggugatannya justru malah akan menafikan pembedaan yang memang diperlukan di dalam bahasa sebagai bagian dari pembentuk realitas; bukan di dalam konteks marjinalisasi namun karena kebutuhan akan pembentukan realitas. Penggugatan oposisi biner dapat diartikan justru akan mengaburkan dan menafikan pembedaan sebagai unsur pembentuk realitas dan akibatnya malah bisa chaos yang muncul.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dekonstruksi merupakan sebuah metode pembacaan sebuah teks yang dengan begitu cermatnya sehingga perbedaan-perbedaan konseptual yang dijadikan pengarang sebagai sandaran teks menjadi terbukti gagal atas dasar penggunaannya yang inkosisten dan paradoksial dalam teks secara keseluruhan. Atau dengan kata lain, teks dilihat gagal atas dasar kriteria yang dibuat teks itu sendiri.
Pembacaan secara dekonstruktif tidak memiliki pengandaian teleologis seperti yang biasa diharapkan oleh banyak orang. Tidak ada makna yang ingin ditangkap. Setelah sebuah teks didekonstruksi, yang ada hanyalah permainan dan permainan belaka, yang tidak mengarah pada kepada satu tujuan atau referens, tetapi menyebar ke segala arah. Dengan kata lain, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menghentikanmenyebarnya penafsiran-penafsiran baru yang sewaktu-waktu dapat mencuat tanpa disangka-sangka dari sebuah teks. Dalam pembacaan dekonstruktif, makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran.
Persoalan lain dalam dekonstruksi adalah penggembosan terhadap narasi besar (grandnarative). Sesuatu yang telah berlaku lama, tertata, kemudian muncul sesuatu yang baru yang menolak atau bahkan sama sekali bertolak belakang dengan apa yang selama ini sudah tertanam kokoh, baik di bidang sosial, politik, agama, budaya, begitu juga dalam sastra. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya karya-karya sastra yang mendobrak pola-pola 'baku' yang berlaku dalam penulisan sebuah karya sastra selama ini, baik mengenai tokoh, tema, setting, peristiwa, logika cerita, dan lain sebagainya. Dari susunan rapi dan tertata itu, dekonstruksi mendobrak atau "merusak" konstruksi untuk menghasilakan konstruksi baru. Hal ini perlu dipahami, karena perkembangan mutakhir juga banyak karya-karya sastra yang "lari" dari struktur. Tidak sedikit pula tipografi-tipografi puisi yang sulit dimengerti, apalagi sering muncul puisi gelap, puisi mini kata, puisi tanpa kata dan sebagainya.
Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan . Metafora mewakili salah satu cara dari penyusunan wacana dan secara kuat mempengaruhi pemahaman teks berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks metaforis yang disusun oleh penulis. Dekonstruksi bias terjadi pada teks itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah teks.
Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi Derrida pun kemudian menggunakan istilah "trace" sebagai konsep dalam menelusuri makna. Trace (jejak) bersifat misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus dan memberi energi pada aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.
Pengarang di dalam mengemukakan perasaannya sering tidak secara langsung. Kadang-kadang lewat peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol. Disinilah letak pentingnya pengalaman dan pengetahuan pembaca untuk bias menangkap pesan tersebut. Dalam pembahasan berikut akan dipakai tahap-tahap dekonstruksi sebagai berikut :
1.Menentukan unit wacana yang mampu menimbulkan kebuntuan.
2.Unit tadi disejajarkan atau dipertentangkan dengan unit lain di dalam wacana yang sama (retrospektif) maupun di luar teks (prospektif). Dari sini makna akan diperoleh sampai sejauh mana kebuntuan itu ditemukan dan dipecahkan.
Analisis Makna Intertekstual dalam Cerpen Kambing
Pertama-tama yang dilakukan dalam menganalisis cerpen Kambing adalah melihat judul dan narasi. Oposisi ini selalu ada dalam tiap penceritaan. Judul selalu diposisikan sebagai kepala, sedangkan narasi sebagai tubuh. Dalam oposisi ini, kepala selalu dianggap lebih tinggi dibandingkan tubuh. Cerpen ini mengambil judul dari binatang yang dijadikan sembelihan dalam narasi yaitu kambing. Kisah kambing ini hanya sedikit pada awal dan akhir narasi. Kambing tertolak masuk surganya para binatang karena akibat kesalahan manusia. Hal ini diceritakan lebih panjang lebar dalam pertengahan narasi bagaimana dia dibeli dan kemudian menjadi binatang sembelihan.
Pembacaan secara dekonstruksi tidak lagi melihat judul sebagai pusat, dan narasi sepenuhnya mengikuti pada pusat ini. Namun judul lebih dianggap sebagai sebuah metafora yang memudahkan penceritaan, yang bersifat interdependensi karena di dalam judul ini terdapat cerita dan dalam cerita ini pula terdapat judul. Kambing tidak menjadi fokus penceritaan karena di dalam cerita juga terdapat hiruk-pikuk manusia. Sebagai metafora maka akan terlihat judul yang umum ini tidak hanya dimaknai secara denotatif bahwa judul Kambing adalah kambing yang disembelih. Namun pemaknaannya dapat berkembang, bahwa manusia-manusia dalam cerita juga menampakkan sifat-sifat kebinatangan. Hal ini dapat dihubungkan dengan ayat Al Qur'an; "mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi". Kesesatan manusia dalam beribadah (menyembelih kurban) adalah bentuk kesesatan yang menjatuhkan manusia itu dalam derajat yang sama seperti hewan ternak.
Sekarang terdapat dua oposisi antara manusia dan binatang (dalam hal ini kambing). Secara struktural, manusia lebih tinggi dibandingkan binatang. Manusia yang menjadikan binatang sebagai objek dalam penceritaan. Namun bila berdasarkan penjelasan sebelumnya, pengarang mencoba menunjukkan posisi binatang yang lebih tinggi dibandingkan manusia karena intrik-intriknya yang mengandung kesesatan. Beberapa kesesatan itu berupa patungan kambing untuk kurban, mark-up harga beli kambing, penjatahan bagian-bagian tertentu dari daging sembelihan khusus buat panitia kurban, dan fitnah buat Ustad Mariot. Hal ini pulalah yang menyebabkan kambing sebagai binatang yang disembelih tidak diterima di surga dan kambing itu tak dapat berbuat apa-apa.
Namun terdapat inkonsistensi terhadap oposisi ini, karena kambing yang dijadikan binatang kurban juga memiliki sifat-sifat "manusiawi" seperti rasa bangga terhadap fisiknya, rasa ikhlas ketika disembelih, harapan untuk masuk surga, dan ketika di depan pintu surga kambing itu dapat berbicara layaknya manusia. Bahkan kalau dihadapkan dengan teks Al-Qur'an terkait hewan kurban yang naik ke surga, seperti firman Allah berikut ini: "Daging-daging unta darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya". Bila yang direferenkan bahwa ruh kambing yang naik ke surga maka akan ada pertentangan jelas dengan ayat ini. Dan apabila ruh kambing ini dianggap sebagai manifestasi ketakwaan manusia, maka akan muncul pertentangan baru lagi dalam oposisi ini. Karena ruh dan jasad seringkali ada dalam satu kesatuan namun tetap dikotomikan. Kadang pula terjadi oposisi biner yang sifatnya hirarki antara ruh dan jasad. Ruh menempati posisi yang lebih tinggi dibanding jasad. Ruh pula yang kembali ke Pencipta sedangkan jasad membusuk di bumi. Sehingga batasan antara manusia dan binatang dalam cerpen ini tidak lagi jelas. Manusia bersifat binatang dan binatang seperti manusia.
Oposisi lain yang ada dalam cerpen ini adalah Tuhan dan makhluk (malaikat/manusia/binatang). Tuhan yang disembah, yang menciptakan bumi dan isinya serta aturan-aturannya, dan yang menentukan masuk surga atau tidak. Tuhan tidak muncul secara langsung tetapi lewat kehadiran malaikat, seperti dalam kutipan berikut ini:
Seorang malaikat penjaga dengan tegas berkata: "Tuhan telah berkata kepadamu, lewat perantara aku, bahwa kamu ditolak untuk memasuki surga".
Tuhan tidak berkata layaknya makhluk, dan posisi malaikat menjadi makhluk yang menyampaikannya ke makhluk lain, dalam cerita ini kepada kambing. Posisi Tuhan menjadi superior terhadap makhluk ciptaanNya. Sedangkan makhluk entah itu manusia, malaikat dan binatang menjadi inferior Tuhan. Malaikat menjalankan fungsinya dengan menjadi pembantu Tuhan menjaga surga dan menyampaikan keputusanNya. Manusia beribadah atas nama Tuhan. Begitu pun kambing yang memakan rumput dengan mengucap bismillah terlebih dahulu. Semua tunduk kepada Tuhan, bahkan ketika Tuhan memutuskan untuk tidak memasukkan kambing ke dalam surga. Namun terdapat pertentangan oposisi ini pada akhir penceritaan dalam kutipan berikut ini:
Demikian ia tak pernah paham, bahwa keputusan Tuhan atas nasibnya yang gemilang, lantaran terhalang oleh kemarahan seorang lelaki. Begitulah malaikat penjaga surga itu menceritakan, tentang seorang lelaki miskin yang tiba-tiba beringas. "Ia adalah lelaki miskin yang menenteng kepala penuh darah dari pintu rumahnya. Lelaki itu kemudian berteriak dan menyebut kepala kambing itu dengan sebutan "kepala kambing haram". Dan dengan bengis melemparkannya ke tengah orang-orang".
Posisi Tuhan sebagai penentu masuk-tidaknya ke dalam surga dipengaruhi oleh kemarahan seorang manusia, yang dimarginalkan oleh orang-orang di sekelilingnya. Bila dipandang Tuhan sebagai pembuat aturan, maka penentu halal-haram suatu benda/hal adalah Tuhan. Bila ditelusuri fikih tentang daging kurban, hal-hal yang lepas dari syarat sah kurban hanya dianggap daging sembelihan biasa, bukan jadi kurban. Maka terjadi pertentangan siapa yang kemudian menjadi penentu dalam keharaman daging sembelihan tersebut. Sedangkan Tuhan dalam narasi mendasarkan pada kemarahan lelaki itu sehingga ruh kambing ditolak masuk surga. Sehingga keabsolutan Tuhan sebagai penentu keputusan, menjadi tidak absolut lagi karena butuh terhadap hal lain untuk mempengaruhi keputusanNya. Idealnya ketika Tuhan dianggap sebagai pusat, dominan, Maha Tahu maka harusnya cukup percaya dengan pengetahuan dan pertimbangannya sendiri untuk menerima makhlukNya di surga.
Oposisi lain yang juga terdapat dalam teks ini adalah oposisi yang implisit (oposisi yang hanya menyebutkan satu satuan dengan mengimplisitkan satuan lainnya) yaitu beriman dan tidak beriman. Haji Dulroji sebagai kepala panitia kurban kampung Darjeling dalam hal ini menanggap dirinya adalah beriman, begitupun orang-orang yang mengikuti dirinya karena telah melakukan kurban. Kurban sebagai manifestasi keberimanan seseorang terhadap Tuhan. Sedangkan Ustad Mariot yang seorang diri menolak kurban kambing patungan itu menjadi orang yang tidak beriman. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut:
...kurban itu yang penting adalah binatang. Binatang itu sekarang sudah ada, yaitu hasil patungan kita, warga yang beriman. Untuk itu, marilah sebelum kita bunuh, kita berdoa pake bahasa kita!
Terdapat beberapa oposisi di sini, yaitu beriman >< tidak beriman dengan sub-oposisi yaitu berkurban><tidak berkurban, Haji Dulroji><Ustad Mariot, kolektif><individu, bahasa Indonesia><bahasa Arab, kaya><miskin, dan gembira><marah. Sub-oposisi ini kelihatannya netral atau tidak memiliki hirarki. Namun bila ditelusuri, keberimanan seseorang itu dilihat dari apakah dia berkurban. Haji Dulroji berkurban sedangkan Ustad Mariot tidak berkurban. Haji Dulroji juga mengajak orang lain untuk patungan dalam kurban kambing itu, dan hanya Ustad Mariot yang tidak turut dalam patungan itu. Doa yang digunakan saat menyembelih adalah bahasa Indonesia bukan bahasa Arab seperti yang biasa dilafalkan Ustad Mariot. Ustad Mariot dianggap miskin karena tidak berkurban. Dan hanya Ustad Mariot pula yang merasa marah ketika dirinya mendapat jatah kepala kambing dari sembelihan itu. Keterikatan itu sehingga dapat ditarik satu garis lurus, beriman=kurban=Haji Dulroji=kolektif=bahasa Indonesia=kaya=gembira adalah satu oposisi yang berada lebih tinggi dibanding tidak beriman=tidak berkurban=Ustad Mariot=individu=bahasa Arab=miskin=marah.
Tetapi keberimanan itu yang ditolak oleh Tuhan dengan menolak ruh kambing masuk ke dalam surga. Justru Tuhan berpihak pada Ustad Mariot yang miskin, tidak berkurban dan dengan keadaan hati marah. Sehingga batas antara iman dan tidak beriman dengan melihat sub-oposisi berkurban dan tidak berkurban justru inkonsisten. Sama pula kalau kita berpegang pada demokrasi, bahwa suara terbanyak adalah suara Tuhan, maka yang terjadi di cerpen ini justru kurban yang dilakukan secara kolektif itu yang ditolak. Dalam hal niat atau doa yang sering dilafalkan dalam bahasa Arab diganti dengan bahasa Indonesia pun demikian. Padahal segala sesuatu dalam ibadah ditentukan niat.
Pada dasarnya, oleh pengarang oposisi ini mungkin hendak membalikkan pemahaman yang mapan di tengah masyarakat muslim (yang demokratis) di Indonesia. Namun pembalikan ini dengann sendirinya menyejajarkan bahkan menghapus makna keberimanan itu sendiri. Keinginan untuk beribadah dengan melakukan kurban, tidak lagi berarti di hadapan Tuhan. Kalaupun tidak diterima sebagai daging kurban, maka tetap dianggap sebagai sembelihan biasa, yang masih halal dikonsumsi manusia. Kalaupun berkaitan dengan pahala, meski tidak sederajat dengan pahala berkurban, setidaknya di dalam sembelihan itu ada nilai sedekah, yang tetap bernilai. Bahkan bila dilihat dari segi ibadah, kurban hanya merupakan ibadah yang sifatnya sunnah, bukan ibadah wajib yang dapat menjadi faktor penentu keimanan seseorang seperti sholat, puasa Ramadhan, dan zakat misalnya. Sehingga ketika faktor berkurban menjadi titik tolak iman-tidaknya seseorang secara langsung menurunkan nilai iman sementara di sisi lain menaikkan ibadah sunnah, yang secara tidak langsung menimbulkan kontradiksi di dalamnya.
Oposisi berikutnya adalah kepala >< tubuh. Kepala hampir selalu berada di atas. Berperan menentukan apa-apa yang harus dilakukan oleh anggota tubuh. Sehingga dapat mudah dipahami secara hirarki oposisi ini. Dalam narasi cerpen, terlihat Haji Dulroji bertindak sebagai kepala panitia kurban. Dia selalu dominan dalam penentuan pelaksanaan, dari pengarahan kegiatan hingga pada keputusan penting lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut ini:
..."Tak perlu," Haji Dulroji merebut mikropon yang dipegang Solsoleh...
..."Kepada Haji Dulroji. Ulama kepala panitia kurban...
..."Sodara Murod, apakah sudah siap membunuh binatang?" kembali Haji Dulroji memberi perintah. "Tak usah diumumkan. Tuhan toh sudah tahu siapa yang beriman dan siapa yang tidak."...
...Maka, demi melihat kegawatan muka-muka panitia inti yang mendadak terdiam, dengan bijak akhirnya Haji Dulroji mengambil keputusan penting. Sebuah keputusan yang diyakini semua pihak berdasarkan ilham yang datang dari Tuhan.
"Kalau begitu, kita kirim kepala kambing!"..
Sehingga jelas, Haji Dulroji bertindak sebagai kepala, yang dominan terhadap warga lain. Padahal orang-orang yang ada dalam kepanitiaan adalah orang yang ikut menyumbang dalam pembelian kambing, dimana Haji Dulroji adalah penyumbang paling kecil yaitu lima ribu rupiah. Maka status haji yang melekat pada Haji Dulroji menjadi faktor utama dalam mendudukkannya sebagai kepala. Sedangkan warga lain meski menyumbang lebih banyak menerima menjadi inferior karena tidak memiliki status haji. Dengan status keagamaan ini, maka status keagamaan lainnya yaitu ustad juga ikut menjadi inferior karena dimarginalkan perannya oleh Haji Dulroji, seperti pemanggilan Usthaaadd kepada Ustad Mariot yang mengimplikasikan perendahan.
Namun oposisi kepala><tubuh tidak serta merta stabil dalam teks. Karena pada kutipan terakhir yang dibahas sebelumnya terlihat pemberian kepala kambing sebagai bentuk hinaan buat Ustad Mariot. Seluruh panitia bahkan kepala dusun hanya meminta bagian-bagian tertentu dari tubuh sembelihan. Haji Dulroji bahkan hanya meminta daging saja karena alasan darah rendah. Bahkan ada yang secara langsung menyampaikan untuk ditambahkan alat kelamin kambing untuk jatahnya. Tidak ada orang yang berminat sama sekali terhadap kepala kambing. Justru orang yang tidak berkurban, bahkan yang menentang patungan kambing itu, oleh Haji Dulroji sendiri diputuskan diberi kepala kambing. Di sinilah adanya pembalikan oposisi terhadap kepala dan tubuh.
Peletakan oposisi Haji Dulroji sebagai kepala yang meninggikan posisinya terhadap warga lain dan Ustad Mariot, lalu pembalikan terhadap oposisi kepala><tubuh pada kambing sembelihan menunjukkan adanya inkonsistensi oposisi dalam teks. Terlebih dengan adanya penolakan kepala kambing oleh Ustad Mariot menunjukkan adanya resistensi yang marjinal, miskin dan seorang diri terhadap yang dominan, kaya dan kolektif, seperti dalam kutipan berikut:
"Ia adalah lelaki miskin yang menenteng kepala penuh darah dari pintu rumahnya. Lelaki itu kemudian berteriak dan menyebut kepala kambing itu dengan sebutan "kepala kambing haram". Dan dengan bengis melemparkannya ke tengah orang-orang".
Sehingga keruntuhan oposisi yang terdapat teks terjadi dengan sendirinya. Hal ini karena adanya beberapa hal saling bertentangan dari teks itu sendiri. Tidak ada lagi batasan yang jelas antara kepala dan bagian bawah dari kepala. Begitu pula perlawanan yang rendah terhadap yang tinggi, yang individu terhadap kolektif, menjadi faktor penting sehingga ruh kambing ditolak masuk surga. Semakin menguatkan keruntuhan hirarki oposisi yang ada dalam cerita ini sendiri.
Kesimpulan
Penggunaan simbol-simbol agama pada cerpen Kambing karya Joni Ariadinata sengaja dimunculkan sebagai kritik sosial terhadap fenomena kaum muslimin di Indonesia. Dalam konteks ini, pengarang mencoba menyindir negoisasi-negoisasi terhadap perintah Tuhan yang sering dilakukan di tengah masyarakat. Ketika beribadah orang hanya lebih mementingkan permukaannya semata, yang penting berkurban, tidak lagi penting apa yang ada dibalik ibadah itu. Memposisisikan bentuk (permukaan) dibanding isi (hikmah). Inilah yang hendak dibalik pengarang dalam teks cerpen Kambing dengan mengangkat isi (hikmah) dari ibadah. Namun tetap yang terjadi kemudian adalah inkonsistensi dan paradoksial dari teks itu sendiri. Bahkan penggunaan simbol agama ini juga bertabrakan dengan teks-teks lain dari agama Islam seperti beberapa ayat dalam Al Qur'an yang telah dibahas sebelumnya. Sehingga dekonstruksi yang dilakukan teks juga bertentangan sendiri terhadap sandaran teksnya.

Daftar Pustaka
Al-Fayyadl, Muhammad. 2006. Derrida. Yogyakarta: Lkis.
Faruk. 2008. Pascastrukturalisme :Teori, Implikasi, Metodologi, Dan Contoh Analisis. Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional.
.........., 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarup, Madam. 2008. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme. Yogyakarta: Percetakan Jala Sutra.
.........., 2008. Post-Structuralism and Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis (terj. Medhy Aginta Hidayat). Yogyakarta: Jendela.
Buletin Jum'at, At-Tauhid. Edisi 38 Tahun 10 (terbit Jum'at, 3 Oktober 2014).


Download Profan dalam Cerpen Kambing Karya Joni Ariadinata.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca Profan dalam Cerpen Kambing Karya Joni Ariadinata. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: