Oktober 09, 2016

Makalah Teori Psikologi Pendidikan

Judul: Makalah Teori Psikologi Pendidikan
Penulis: Khairil Anam


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
  Proses pendidikan merupakan hal yang sangat kompleks, yang didalamnya terlibat banyak unsur yang saling terkait, mulai dari guru, siswa, sarana, metode, strategi, media dan lain-lain.  Pendidikan bukan saja bicara tentang hasil, tapi lebih kompleks lagi, sebenarnya pendidikan berkaitan dengan bagaimana proses untuk mencapai hasil. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kretif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari sini terlihat bahwa ada banyak tujuan yang ingin dicapai dengan berlangsungnya proses pendidikan yang diwujudkan dari pembelajaran di kelas.
Proses pembelajaran di kelas melibatkan guru sebagai pengajar dan siswa sebagai pelajar. Seiring dengan pesatnya perkembangan pendidikan, pendidikan Indonesia saat ini menginginkan pembelajaran yang menempatkan guru tidak lagi sepenuhnya sebagai sumber dari segala sumber belajar, namun guru diharapkan menjadi fasilitator bagi proses belajar siswa. Siswa tidak lagi mencawan akan apa yang disampaikan guru, tapi sebaliknya siswa sebagai individu aktif.
Siswa berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi kemampuan /intelegensi, suku/ras, agama,  kehidupan ekonomi dan social, latar belakang keluarga, dan lain-lain. Perbedaan ini tidak seharusnya menjadi jurang perkembangan siswa di sekolah, namun sebaliknya perbedaan ini membutuhkan penanganan khusus dari guru baik secara klasikal, maupun individual. Guru diharapkan mampu menciptakan kondisi lingkungan belajar yang kondusif, yang memungkinkan siswa untuk bisa mengembangkan seluruh kemampuan/potensi  yang ada dalam dirinya, baik dari segi kemampuan intelegensi (IQ), emosional (EQ)siswa, dan spriritual (SQ)
Guru sebagai seorang pemimpin kelas, yang memiliki hak prerogative untuk mengatur pembelajaran, memegang peran penting serta tugas dan tanggung jawab yang berat. Bukanlah perkara mudah untuk mengatur seseorang bertindak sesuai dengan yang kita inginkan, karena perbedaan yang kita miliki. Guru tidak bisa sepenuhnya mengarahkan siswa, mengelola kelas untuk bertindak sesuai dengan arahan guru. Ada siswa yang patuh, yang mau mengikuti petunjuk guru, dan sebaliknya ada beberapa siswa (yang mungkin dalam jumlah kecil dari anggota kelas) yang tidak mau mendengarkan/peduli dengan arahan guru dan tidak serius dalam belajar. Hal-hal semacam ini tentu menjadi masalah bagi guru. Karena itulah sesuai dengan amanah undang-undang, setiap guru hendaknya memiliki empat kompetensi, keempat kompetensi inilah yang akan menjadi modal bagi guru untuk mengelola dan melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Empat kompetensi tersebut adalah kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi professional.
Penguasaan secara penuh empat kompetensi tersebut, bukanlah hal yang mudah, ini menuntut guru untuk terus berkembang dan belajar agar bisa menghadapi berbagai persoalan yang ditemui guru di lapangan, terutama bagi pendidik. Seorang pendidik diharapkan mampu menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif dan menjadi fasilitator yang baik bagi proses pembelajaran di sekolah.
Mengingat begitu banyaknya keanekaragaman pada siswa, baik dari latar belakang keluarga, social, ekonomi, motivasi, kemampuan/intelgensi dan lain-lain, maka seorang guru memerlukan trik dan cara khusus untuk menghadapi dan membantu siswa belajar. Salah satunya adalah dengan mengetahui berbagai model, pendekatan dan teori-teori belajar. Maka pertanyaannya adalah apakah guru-guru kita saat ini, terutama guru dengan label pendidik professional, benar-benar sudah menguasai ini dalam melaksanakan pelajaran dan mendidik siswanya.
Berdasarkan fenomena dan masalah-masalah ini, seorang pendidik seharusnya memiliki pengetahuan lebih tentang berbagai cara yang dapat membantu siswa belajar. Sesuai dengan perannnya sebagai fasilitator, seharusnya pendidik mengetahui dan memfasilitasi cara yang mempermudah siswa untuk belajar, salah satunya dengan memanfaatkan teori belajar.  Dengan mengetahui teori belajar diharapkan dapat membantu guru untuk mengembangkan potensi siswa, dan memberikan cara-cara yang tepat untuk mengatasi perbedaan/keanekaragaman kemampuan, sifat dan perilaku siswa dalam proses belajar. Oleh karena itu, mengingat begitu pentingnya teori belajar bagi guru dalam pembelajaran, maka kami membuat makalah ini dengan judul "Teori-teori Belajar dalam Perspektif Psikologi"
Dengan adanya teori belajar dan pembelajaran guru bisa memanfaatkan teori belajar dan pembelajaran untuk menjadi guru yang professional.  Misalnya dalam merumuskan tujuan pembelajaran yang tepat, memilih strategi yang sesuai, memberikan bimbingan atau konseling, memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik, menciptakan iklim belajar yang kondusif, berinteraksi dengan siswa secara tepat dan memberi penilaian secara adil terhadap hasil pembelajaran.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan makalah ini secara umum adalah untuk menjelaskan Teori-teori Belajar dalam Perspektif Psikologi.
Sedangkan tujuan khususnya adalah :Menguraikan Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Behaviorisme
Menguraikan Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Kognitifisme
Menguraikan Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Humanisme
Menguraikan Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Konstruktivisme
Merumuskan aplikasi Teori Psikologi Behaviorisme, Kognitifisme, Humanisme, dan Pendekatan Konstruktivisme dalam Belajar Pembelajaran
Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini bersifat deskriptif. Bahan-bahan yang diperoleh melalui kajian dari berbagai sumber yang relevan diolah dan dideskripsikan kembali untuk menjelaskan tujuan penulisan makalah ini sebagaimana yang tertuang pada tujuan umum dan tujuan khusus di atas.
Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah memahami makalah ini, maka dikembangkan dalam sistematika sebagai berikut:
BAB IPendahuluan yang meliputi latar belakang, tujuan penulisan, metode dan sistematika penulisan
Bab II Pembahasan sebagai inti makalah disusun sebagai berikut:
Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Behaviorisme serta Aplikasinya dalam Belajar Pembelajaran
Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Kognitifisme serta Aplikasinya dalam Belajar Pembelajaran
Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Humanisme serta Aplikasinya dalam Belajar Pembelajaran
Prinsip Dasar dan Konsep Psikologi Konstruktivisme serta Aplikasinya dalam Belajar Pembelajaran
Bab III Penutup yang berisi kesimpulan hasil pembahasan pada BAB II.
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI BEHAVIORISME
Konsep dan Asumsi Dasar
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang pertama kali dicetuskan oleh Gage dan Berliner yang selanjutnya dipopulerkan oleh Jhon B. Waston pada tahun 1913. Dalam perkembangannya muncullah beberapa ahli lain yang mendukung teori ini, seperti: Thorndike,  Skinner, Clark Hull, Edwin Guthrie. Teori behaviorisme yang pada awalnya merupakan salah satu aliran dalam psikologi selanjutnya berkembang dan berpengaruh dalam dunia pendidikan dan pembelajaran. Berdasarkan susunan katanya, behaviorisme terdiri dari dua kata "Behave" yang berarti berperilaku dan "Isme" yang berarti aliran, sehingga jelas bahwa penekanannya pada tingkah laku.
Walaupun teori ini didukung oleh beberapa ahli dengan teorinya masing-masing, namun secara umum terdapat prinsip-prinsip dan asumsi dasar yang sama, khususnya terkait dengan belajar. Pertama, aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Seseorang dikatakan belajar jika terjadi perubahan tingkah laku. Kedua, teori ini dalam memandang manusia hanya pada sisi jasmaniah saja, sehingga mengabaikan aspek-aspek mental rohaniah seperti kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam belajar. Ketiga, teori ini dikenal dengan model hubungan antara Stimulus (S) dan Respon (R) dalam belajar. Maksudnya belajar merupakan akibat adanya interaksi antara Stimulus dan Respon (Slavin, 2000). Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon merupakan rekasi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Keempat, teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Tokoh-tokoh dalam Teori Belajar Behaviorisme
Ada beberapa tokoh yang telah menghasilkan teori-teori dalam aliran behaviorisme antara lain adalah: Tordinke dengan teori Connectionism, Ivan Pavlov dengan teori Classical Conditioning, dan B.F Skinner dengan teori Operant Conditioning. Berikut ini akan diuraikan masing-masing teori tersebut yang merujuk pada buku Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan sebagai rujukan utama dan buku-buku lainnya sebagai penunjang.
Teori Connectionism : S-R menurut Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat, sedangkan respon adalah tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Untuk menguji teorinya, Thorndike melakukan ekserimen pada kucing. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) tersebut diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah "trial and error learning atau selecting and connecting learning" dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut:
Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip dari hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Teori Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov (1849-1936)
Classic conditioning (pengkondisian) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi pipi pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang sinar merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.
Melalui eksperimen tersebut Pavlov menunjukkan bahwa belajar dapat mempengaruhi perilaku seseorang menghasilkan hokum-hukum belajar, diantaranya :Law Of Respondent Conditioning yakni hokum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simutan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks stimulus lainnya meningkat.
Law Of Respondent Extinction yakni hokum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent Conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce, maka kekuatannya akan menurun.
Teori Operant Conditioning menurut Burrhus Frederic Skinner (1904-1990)
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana dan dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.
Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respons yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respons tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah.
Sebab, setiap alat yang dipergunakan perlu penjelasan lagi, demikian  seterusnya. Dari semua pendukung Teori behavioristik, Teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berpogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerpkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner. Dari eksperimen yang dilakukan B.F Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hokum-hukum belajar, diantaranya :Law Of Operant Conditioning yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
Law Of Operant Extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan turun bahkan musnah.
Pengaplikasian dalam Belajar Pembelajaran
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara "benar" sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
TEORI KOGNITIF
Konsep dan Asumi Dasar
Menjelang berakhirnya tahun 1950-an banyak kritik yang muncul terhadap behaviorisme. Kognitivisme tidak seluruhnya menolak gagasan behaviorisme, namun lebih cenderung pada perluasannya. Pakar psikologi kognitif modern berpendapat bahwa belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah.
Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar. Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses belajar terjadi karena ada varasziabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Teori Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikolog perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata-skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.
Prinsip kognitif banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu
Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks
Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian
Tokoh-tokoh dalam Teori Belajar Kognitivisme
Jean Piaget (1975)
Menurut Jean Piaget salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni: 1) asimilasi, 2) akomodasi, dan 3) equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam bentuk siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Tanpa adanya proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi ini, perkembangan kognitif seseorang akan tersendat dan berjalan tak teratur.
Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa, yang dalam hal ini Piaget membaginya menjadi empat tahap, yaitu: tahap sensori-motor (ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun), tahap pra-operasional (2-7 tahun), tahap operasional konkret (7-14 tahun), tahap operasional formal (14 tahun lebih).
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori-motor tentu lain dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (praoperasional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi (operasional kongkret dan operasioanl formal). Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berpikirnya. Dalam kaitan ini seorang guru seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan anak didiknya ini, serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
Ausubel (1968)
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut "pengatur kemajuan (belajar)" (Advance Organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepda siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mancangkup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa " Advance Organizers" dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni:
Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa
Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa "saat ini" dengan apa yang "akan" dipelajari siswa sedemikian rupa sehingga
Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Oleh karena itu, pengetahuan guru terhadap isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi , yang menurut Ausubel "sangat abstrak, umum dan inklusif", yang mewadahi apa yang akan diajarkan. Selain itu, logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berpikir yang baik, maka guru akan kesulitan memilah-milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan meteri demi materi ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami.
Brunner (1960)
Bruner mengusulkan teorinya yang disebut free discovery learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan sutau aturan (termasuk konsep, teori, definisi dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain siswa dibimbing secara induktif untuk memahami sutau kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran, misalnya siswa pertama-tama tidak menghafal definisi kata kejujuran, tetapi memperlajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata "kejujuran".
Disamping itu, Bruner mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas. Menurut pandangan Bruner, bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat perskriptif. Misalnya, teori belajar memprediksikan berapa usia maksimum seseorang anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan penjumlahan.
Pengaplikasian dalam Belajar Pembelajaran
Dalam teori kognitivisme, belajar merupakan keterlibatan penguasaan atau penataan kembali struktur kognitif dimana seseorang memproses dan menyimpan informasi. Belajar juga merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yang diterima disesuaikan dengan struktur kogniitf yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Teori ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar.
Dengan memahami konsep belajar demikian, maka evaluasi yang dilakukan pun berbeda dengan behaviorisme. Dalam behavioristme evaluasi dilakukan setelah pembelajaran selesai dan bersifat individu, namun dalam kognitivisme ini evaluasi dilakukan tidak harus menunggu materi pembelajaran selesai dengan kata lain ditengah-tengah kegiatan pembelajaran guru sudah bisa melakukan proses evaluasi. Jawaban yang dibutuhkan pun tidak terbatas pada satu jawaban pasti akan tetapi siswa dapat lebih kreatif menjabarkan pengetahuan yang dimilikinya selama ini.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002:18) "belajar merupakan hal yang kompleks. Kekompakan tersebut dapat dipandang dari dua subyek yaitu siswa dan guru". Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses. Siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar. Dari segi guru, proses belajar tersebut tampak sebagai perilaku belajar tentang suatu hal. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidaknya proses belajar.
Konsekuensinya proses pembelajaran harus lebih memberi ruang yang luas agar siswa mengembangkan kualitas intelektualnya. Secara umum proses pembelajaran harus didasarkan atas asumsi umum:
Proses pembelajaran adalah suatu realitas sistem. Artinya, keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh satu aspek/faktor saja, tetapi lebih ditentukan secara simultan dan komprehensif dari berbagai faktor yang ada.
Proses pembelajaran adalah realitas kultural/natural. Yaitu dalam proses pembelajaran tidak diperlukan adanya berbagai paksaan dengan dalih membentuk kedisiplinan.
Pengembangan materi harus benar-benar dilakukan secara kontekstual dan relevan dengan realitas kehidupan peserta didik. Proses belajar tidak harus di dalam ruang atau gedung. Wilayah pembelajaran bisa dimana saja selama peserta didik mampu melaksanakan proses untuk mengembangkan daya analisis terhadap realitas.
Metode pembelajaran tidak dilakukan secara monoton, metode yang bervariasi merupakan tuntutan mutlak dalam proses pembelajaran.
Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena dengan mengaktifkan siswa, maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalamandapat terjadi dengan baik.
Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
Pembelajaran harus memperhatikan perbedaan individual siswa, faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berfikir, pengetahuan awal dan sebagainya.
TEORI HUMANISTIK
Konsep dan Asumi Dasar
Pada teori Humanistik ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori inilah yang paling abstrak dan mendekati dengan dunia filsafat daripada dunia pendidikan.
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya "isi" dari proses belajar, dalam kenyataanya teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang kita amati dalam dunia keseharian.
Belajar harus berhulu dan bermuara  pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan  kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian.
Teori belajar humanisme dalam pendidikan lebih menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Keterampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya dan bias dikatakan memanusiakan manusia.
Tokoh-tokoh Utama
Arthur Combs
Arthur Combs et al. (1974) menjelaskan bagaimana perserpsi ahli-ahli psikologi dalam memandang tingkah laku. Untuk mengerti tingkah laku manusia, yang terpenting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat dati sudut pandangannya.
Salah satu dari pandangan Humanistik adalah perasaan, persepsi, kepercayaan, dan tujuan tingkah laku inner (dari dalam) yang membuat orang berbeda dari orang lain. Untuk mengerti orang lain, adalah melihat dunia sebagai dia lihat, dan untuk menentukan bagaimana orang berpikir, merasa tentang dia atau tentang dunianya. Combs menyatakan bahwa tingkah laku menyimpang adalah "akibat yang tidak ingin dilakukan, tetapi dia tahu bahwa dia harus me;akukan"
Maslow
Maslow (1968) berpendapat bahwa ada hierarki kebutuhan manusia. Kenutuhan untuk tingkat yang paling rendah, yaitu untuk bisa survive atau mempertahankan hidup dan rasa aman, dan ini adalah kebutuhan yang paling penting. Tetapi, jika manusia secara fisik terpenuhi kebutuhannya dan merasa aman, ,ereka akan distimuli untuk kebutuhan yang lebih tinggi lagi, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan dicintai dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok itu terpenuhi orang akan kembali mencari kebutuhan yang lebih tinggi lagi, prestasi intelektua;, penghargaan estetis dan akhirnya self-actualization.
Rogers
Rogers (1969,1983) adalah ahi psikologi humanistik yang mempunyai ide-ide yang mempengaruhi pendidikan dan penerapannya. Melalui bukunya yang sangat populer Freedom to Learn and Freedom to Learn for the 80's, dia menganjurkan pendekatan pendidikan sebaiknya mencoba membuat belajar dan mengajar lebih manusiawi, lebih personal, dan berarti.
Pendekatan Rogers dapat dimengerti dari prinsip-prinsip penting belajar Humanistik yang diidentifikasikan sebagai sentral dan filsafat pendidikannya.
Keinginan untuk belajar (The Desire to Learn)
Rogers percaya manusia secara wajar mempunyai keinginan untuk belajar, keinginan ini dapat dilihar dengan keingintahuan yang sangat dari seorang anak ketika dia menjelajahi (meng-explore) lingkungannya. Keingintahuan anak yang sudah melekat atau sudah menjadi sifatnya untuk belajar adalah asumsi dasar yang penting untuk pendidikan humanistik.dalam pandangan humanistik, anak diberi kebebasan untuk memuaskan keingintahuan merek, untuk menemukan diri mereka sendiri, serta apa yang penting dan berarti tentang dunia yang mengelilingi mereka.
Orientasi ini sangat berlawanan dengan kelas tradisonal, di mana guru atau kurikulum menentukan apa yang harus siswa pelajari.
Belajar secara signifikan (Significant Learning)
Jenis belajar ini tidak sulit ditemukan. Pikiran siswa yang belajar dengan cepat untuk menggunakan komputer agar bisa menikmati permainan, atay siswa yang cepat belajar untuk menghitung uang kembaliannya ketika membeli sesuatu. Kedua conto tadi menunjukkan bahwa belajar mempunyai tujuan dan kenyataannya dimotivasi oleh kebutuhan untuk tahu.
Belajar tanpa ancaman (Learning without Threat)
Bahwa belajar yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai suatu lingkungan yang bebas dari ancaman. Proses belajar dipertinggi ketika siswa sapat menguji kemampuan mereka, mencoba pengalaman baru, bahkan membuat kesalahan tanpa mengalami rasa sakit hati karena kritik dan celaan.
Belajar atas inisiatif sendiri (Self-initiated Learning)
Untuk Teori Humanistik, belajar akan paling signifikan dan meresap ketika belajar itu atas inisiatifnya sendiri, dan ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar sendiri. Dengan memilih pengarahan dari orang yang sedang belajar sendiri, akan memberi motivasi tinggi dan kesempata kepada siswa untuk belajar bagaimana balajar. penguasaan mata pelajaran tidak diragukan lagi pentingnya, tetapi tidak lebih penting daripada kemampuan untuk menentukan sumber, merumuska masalah, menguji hipotesis dan menilai hasil belajar. Belajar atas inisiatif sendiri dengan memusatkam perhatian siswa pada program belajar hasilnya amat baik.
Belajar dan berubah (Learning and Change)
Prinsip akhir bahwa Rogers telah mengidentifikasi bahwa belajar yang paling bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar. Rogers mencatat bahwa siswa pada masa lalu belajar satu set fakta ilmu statistic dan ide-ide. Dunia menjadi lambat untuk berubah dan apa yang dipelajari di sekolah cukup untuk memenuhi tuntutan waktu. Sekarang, perubahan adalah fakta hidup.
Pengetahuan berada dalam keadaan yang terus berubah secara konsistan. Belajar seperti waktu yang lalu tidak cukup lama untuk memungkinkan seseorang akan sukse dalam dunia modern. Apa yang dibutuhkan sekarang, menuut Rogers, adalah individu yang mampu belajar dan lingkungan yang berubah.
Pengaplikasian dalam Belajar Pembelajaran
Satu strategi yang disarankan rogers adalah memberi siswa dengan berbagai macam sumber yang dapat mendukung dan membimbing pengalaman belajar mereka. Sumber-sumber meliputi materi pengajaran yang biasam seperti buku, bimbingan referensi dan alat-alat bantu listrik (misalnya kalkulator, komputer). Sumber dapat juga meliputi oran, seperti anggota masyarakat yang mempunyai suatu bidang minat atau ahli yang bersedia mengungkapkan pengalaman-pengalaman kepada siswa. Guru-guru dapat juga sebagai sumber dengan pengetahuan dan pengalaman keterampilang yang tersedia yntuk siswa jika diperlukan.
Strategi lain yang disarankan adalah perr-tutoring siswa yang mengajar siswa lain. Banyak bukti yang menunjukkan bhwa pengalaman ini berguna untuk keduanya, siswa yang mengajar maupun yang diajar.
Akhirnya, Rogers adalah pengajur yang kuat pada penemuan dan penyelidikan, di mana siswa mencari jawaban terhadappertanyaan yang riil, mrmbuat penemuan autonomus (bebas), dan menjadi pencetus dalam belajar atas inisiatifnya sendiri.
Psikologi Humanistik dan Pengajaran
Pendidikan setara (Confluent education)
George Brown(1971) mengembangkan pusat pendidikan di Universitas California, Santa Barbara, di mana guru belajar mengintegrasikan pengalaman afektif fengan belajar kognitif di kelas. Brown menyebutkn pendidikan setara (confluent education) ini cara menarik untuk melibatkan diri siswa dalam mata pelajaran. Contoh dari ini adalah pengajaran Inggris pada siswa umur 12 tahun tentang buku yang berjudul Red Badge Of Courage.
Guru mengembangkan latihan ini, siswanya mendapatkan pengertian mendalam tentang novel itu, tetapi memperoleh kesadaran antarpribadi yang lebih besar dengan mendiskusikan konsep tentang keberanian, keteguhan hati, dan kerakutan mereka sendiri. Beberapa dari latihan dikembangkan untuk satu unit seperti di bawah ini.
Mewawancari seseorang yang tahu tentang perang,
Mendengarkan lagu-lagu perang, menulus secara bebas hubungan pikiran dan perasaan yang membangkitkan kenangan, dan kemudian mengungkapkan kepada kelompoknya,
Mendiskusikan apakah perang itu tak terelakkan, dan
Membandingkan perang sipil dengan Perang Dunia II.
Novel ini mengambil arti pribadi ketika siswa mulai berpikir bagaimana mereka harus bereaksi terhadap suatu situasi yang sama.
Pendidikan terbuka (Open education)
Karena bingung akan apa yang terjadi sebenernya terlibat dalam pendidikan terbuka, Welberg dan Thomas (1972) meninjau kepustakaan yang relevan pada pendidikan terbuka, memecahnya ke dalam empat komponen, dan menudian mencari sumber lain ke berbagai pendidikan terbuka yang terkemuka. Mereka membuat delapan tema sebagai berikut.
Syarat-syarat belajar (Provisions for Learning)
Memanipulasi persediaan bahan perlajaran untuj memenuhi keanekaragaman dan luasnya mata pelajaran. Anak-anak bergerak bebas dikelas. Mendorong untuk bercakap-cakap. Tidak dipisahkan ke dalam kelompok dengan menggunakan skor tes.
Manusiawi, hormat, terbuka, dan hangat (Humanness, Respect, Opennes, and Warmth)
Menggunakan bahan pelajaran yang dibuat siswa. Guru berhadapan dengan tingkah laku siswa yang berrmasalah dengan berkomunikasi dengan anak tanpa melibatkan kelompok.
Mendiagnosis kejadian selama pelajaran
Siswa mengoreksi pekerjaan mereka sendiri. Guru nengobservasi dan menanyakan pertanyaan. Secara individual. Tidak ada tes atau buku tugas.
Pengajaran. Secara individual. Tidak ada tes atau buku tugas.
Penilaian
Guru mengambil catatan. Secara individual. Beberapa tes formal
Mencari kesempatan untuk menumbuhkan profesionalisme (Search for Opportunitiess for Propessional Growth)
Guru menggunakan bantuan orang lain. Guru bekerja dengan teman sejawat
Presepsi guru tentang dirinya (Self-Perception of Taecher)
Guru mencoba untuk menyompan semua presepsi tentang anak-anak di dalam pengamatannya dan memonitor pekerjaan mereka.
Mengasumsikan anak-anak dan proses belajar (Assumption about children and the Learning Process)
Suasana kelas hangat dan diterima. Anak-anak terlihat dengan apa yang sedang mereka kerjakan
Walberg dan Thombs (1972) menemukan kelas terbuka berbeda dengan kelas tradisonal pada empat dari delapan kriteria : syarat-syarat belajar, manusiawi, diagnosis, pengajaran, dan penilaian.
TEORI KONSTRUKTIVISME
Konsep dan Asumi Dasar
Konstruktivisme sebagai filsafat belajar pertama kali sudah terungkap dalam tulisan ahli filsafat (Giambatista Visco, 1710) yang mengemukakan bahwa orang hanya dapat benar-benar memahami apa yang dikonstruksikannya sendiri. Namun yang pertama mengembangkan dan mempopulerkan filsafat ini dalam pembelajaran adalah Jean Piaget.
Ide dasar lahirnya filsafat belajar konstruktivisme merupakan kritik terhadap teori belajar Behaviorisme yang sangat mendominasi pada waktu itu. Secara umum menurut teori Behaviorisme, orang yang belajar adalah orang yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu, oleh sebab itu para pengajar harus dapat mentransfer pengetahuan kepada orang yang belajar. Namun, dari beberapa hasil penelitian pendidikan sains pada tahun-tahun terakhir telah mengungkapkan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran seseorang. Pandangan terakhir inilah yang dianut oleh konstruktivisme. Maka proses pendidikan dalam pandangan ini perlu membangun kemandirian anak untuk mengelola pola pikir secara terarah.
Asumsi dasar teori konstruktivisme tentang belajar adalah bahwa setiap orang pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan atau bekal awal tentang sesuatu yang akan dipelajari. Pembelajaran pada intinya adalah bagaimana mengembangkan atau mengkonstruksi (membangun) pengetahuan atau bekal awal yang sudah dimiliki tersebut menjadi sebuah pengetahuan baru dan utuh. Hal ini sejalan dengan pendapat Yatim Riyanto yang mengatakan bahwa tujuan pembelajaran konstruktivisme ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata yang mendorong si belajar untuk berfikir dan berfikir ulang lalu mendemostrasikannya.
Asumsi-asumsi dasar dari kontruktivisme seperti yang diungkap oleh Merril (1991) adalah sebagai berikut :
Pengetahun di kontruktiviskan oleh pengalaman
Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata
Belajar adalah sebuah proses aktif, dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman.
Pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makna, saling berbagi tentang prespektif ganda dan perubahan refresantasi mental melalui pembelajaran kolaboratif
Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaiaan autentitik)
Sementara itu Driver and Bell dalam Hamzah (2008) mengemukakan karakteristik pembeljaran kontruktivisme, (i) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (ii) belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (iii) pemngetahuan bukan sesuatu yang datang dari luasr merupakan dikonstruksi melalui personal, (iv) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan melainkan melibatkan situasi lingkungan belajar, (v) kurikulum bukanlah sesuatu hal yang dipelajari, melainkan seperangkat materi dan sumber.
Ada sejumlah prinsip-prinsip pemandu dalam konstruktivisme :Belajar merupakan pencarian makna. Oleh sebab itu pembelajaran harus dimulai dengan isu-isu yang mengakomodasi siswa untuk secara aktif mengkonstruk makna.
Pemaknaan memerlukan pemahaman bahwa keseluruhan (Wholes) itu sama pentingnya seperti bagian-bagiannya. Sedangkan bagian-bagian harus dipahami dalam konteks keseluruhan. Oleh karena itu, proses pembelajaran berfokus terutama pada konsep-konsep primer dan bukan kepada fakta-faktanya.
Supaya dapat mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang dipergunakan siswa terkait bagaimana cara pandang mereka tentang dunia serta asumsi-asumsi yang disusun yang menunjang model mental tersebut.
Tujuan pembelajaran adalah bagaimana setiap individu mengkonstruksi makna, tidak sekedar mengingat jawaban apa yang benar dan menolak makna orang lain. Karena pendidikan pada fitrahnya memang antar disiplin, satu-satunya cara yang meyakinkan untuk mengukur hasil pembelajaran adalah melakukan penilaian terhadap bagian-bagain proses pembelajaran, menjamin bahwa setiap siswa akan memperoleh informasi tentang kualitas pembelajarannya.
Seringkali konsep ini dianggap perkembangan dari konsep kognitivisme, sehingga banyak sumber yang menganggap hanya ada dua varian pokok teori perkembangan atau teori psikologi yang mempengaruhi teori belajar, yaitu behaviorisme dan konstruktivisme. Banyak ahli yang telah berkecimpung dalam aliran konstruktivisme ini, dan boleh dikatakan aliran atau pandangan ini banyak mewarnai pandangan tentang pembelajaran, metode-metodenya, filsafat-filsafatnya, dan konsep-konsep lainnya yang berkembang pesat sejak tahun 1980-an sampai saat ini.
Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. Setiap kita akan menciptakan hukum dan model mental kita sendiri, yang kita pergunakan untuk menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman. Belajar, dengan demikian semata- mata sebagai suatu proses pengaturan model mental seseorang untuk mengakomodasi pengalaman-pengalaman baru.
Kontutivisme melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang (given) dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil dari kontrukvisme (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetuan bukanlah gamabran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu kontruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Ia membnetuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989, dalam Suparno, 1997:18).
Konstruktivis percaya bahwa pembelajar mengkontstuk sendiri realitasnya atau paling tidak menerjemahknnya berlandaskan prespsi tentang pengalmannya, sehingga pengetahuan individu adalah sebuah fungsi dari pengalman sebelumnya, juga struktur mentalnya, yang kemudian digunaknnya untuk menerjemahkan objek-objek serta kejadian-kejadian baru. Para ahli yang berkecimpung pada aliran ini adalah. Brunner, Ullrick, Neissel, Goodman, Kant, Kuhn, Dewey dan Habermas. Akan tetapi yang berperan besar, yaitu karya dari Jean Piaget, yan gkemudian diterejmahkan dan dikembangkan oleh Ernste Von Glasserfeld. Sebelum pengembangan oleh si Von tadi, buah karya Piaget ini belum banyak dikenal di Amerika Utara.
Tokoh-tokoh Utama
Istilah konstruktivisme sendiri sebenarnya sudah dapat dilacak dalam karya Bartlett (1932), kemudian juga Mark Baldwin yang secara lebih rinci diperdalam oleh Jean Piaget, kemudian konsep belajar ini disebarluaskandi Amerika Utara (meliputi Amerika Serikat dan Kanada) oleh Ernest Von Glasersfeld. Namun, konsep terkait dengan konstruktivisme (walau saat itu belum mempergunakan istilah konstruktivisme) bahkan sudah diungkap oleh Giambattista Vico pada tahun 1710, yang mengatakan bahwa "mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu" . Ini berarti bahwa seseorang itu dapat dikatakan mengetahui sesuatu, baru jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu, mungkin beberapa kali da nada penerimaan dalam struktur kognitifnya, sebagai hasil proses berpikirnya (proses of mind) tentang apa sesungguhnya sesuatu itu. Jadi sesuatu itu telah diketahuinya karena telah dikonstruksikan dalam pikirannya. Sementara itu sejumlah ahli lain berpendapat bahwa kontrktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme, oleh sebab itu dapat dima'lumi jika tokoh pragmatism, John Dewey yang terkenal dengna konsep belajar dengna melakukan ( learning by doing), dikategorikan sebagai ahli pendukung kontruktivisme.
Pengaplikasian dalam Belajar Pembelajaran
Dalam teorinya, konstruktivisme menuntut peran guru agar mampu menyediakan suasana dimana para siswa mendisain dan mengarahkan kegiatan belajar itu lebih banyak dari pada mengiginkan siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan. Oleh sebab itu harus dapat diupayakan bagaimana siswa dapat bekerja memecahkan masalah, menentukan segala sesuatu untuk dirinya sendiri, serta berusaha dengan ide-ide. Salah satu peran penting guru dalam mengajar adalah bagaimana memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri harus memanjat anak tangga tersebut.
Dengan demikian, mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada pendidik yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitaor ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut: (Suparno, 1997: 65-66):
Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinakan pesrta didik ikut bertanggungjawab dalam membuat disain, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama seorang pendidik.
Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari, membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berfikir peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung belajar peserta didik. Pendidik hendaknya menyemangati peserta didik dan bukan sebaliknya. Pendidik perlu menyediakan pengalaman konflik. Pengalaman konflik ini dapat berwujud pengalaman anomaly yang bertentangan dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini akan menantang peserta didik untuk berpikir secara mendalam.
Memonitor, mengevaluasi dan menunjukan apakah pemikiran peserta didik itu berjalan atau tidak. Pendidik menunjukan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Pendidik membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik.
Karena itulah diperlukan keahlian seorang pendidik yang mampu menyelam kehidupan dan dunia peserta didik. Dalam Kuantum Teaching dinyatakan bahwa setiap interaksi dengan siswa setiap rancangan kurikulum, dan setiap metode instruksional dibangun di atas prinsip "bawalah dunia mereka ke dunia kita" dan "hantarkan dunia kita ke dunia mereka" (Bobbi De Porter). Melalui pendekatan anatar guru dan siswa, maka pesan pembelajaran akan dengan mudah ditransformasikan ke benak siswa.
Secara umum perbedaan antara pembelajaran tradisonal dengan pembelajaran yang berdasarkan teori konstruktivisme dapat dilihat pada table berikut ini.
PEMBELAJARAN TRADISIONAL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Kurikulum diajarkan secara part to whole dengan penekanan pada basic skill Disampaikan secara whole to part dengan penekanan pada big con-cept
Secara letak mengacu pada kurikulum untuk mencapai nilai yang tinggi Mempengaruhi siswa untuk bertanya guna mencapai nilai yang tinggi
Aktivitas kurikulum menitikberatkan pada buku teks dan pekerjaan siswa Aktivitas kurikulum menitikberatkan pada sumber data dan rekayasa materi
Siswa diperlakukan atau dipandang sebagai "kertas kosong" yang hanya diisi dengan informasi oleh guru-guru Siswa diperlakukan sebagai pemikir dengan menampilkan teori-teori tentang dunia
Guru pada umumnya bertindak sebagai orang yang hanya memberi perintah dan penyebaran informasi kepada siswa Guru bertindak sebagai orang yang mampu berinteraksi, sebagai moderator dengan lingkungannya terhadap siswa
Guru berusaha mengoreksi jawaban siswa yang benar untuk menerangkan pelajaran kepada siswa Guru berusaha memperoleh pendapat atau pandangan siswa agar bisa memahami konsep-konsep yang disampaikan untuk digunakan sebagai pelajaran berikutnya.
Evaluasi belajar siswa dilakukan secara terpisah oleh guru dan secara keseluruhan dapat diuji hanya melalui tes Evaluasi hasil belajar siswa adalah inter wofen (menjalin imajinasi dengan kebenaran) melalui usaha observasi oleh guru terhadap pekerjaan siswa
Dari tujuan tentang konstruktivisme dalam pembelajaran, pada dasarnya ada beberapa tujuan yang ingin diwujudkan anatara lain:
Memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggungjawab siswa itu sendiri,
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri jawabannya,
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau pemahaman konsep secara lenkap.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri
Konstruktivis bukan sebuah teori yang bersih dari kekurangan. Teori ini juga terbatas pada ruang dan waktu dalam pengaplikasiannya. Ada beberapa kendala yang mungkin timbul dalam penerapan teori ini.
Sulit mengubah keyakinan guru yang sudah terstruktur bertahun-tahun menggunakan pendekatan tradisional
Guru konstruktivis dituntut lebih kreatif dalam merencenakan pelajaran dan memilih atau menggunakan media
Pendekatan konstruktivis menuntut perubahan siswa yang mungkin belum bisa diterima oleh otoritas pendidik dalam waktu dekat
Fleksibilitas kurikulum mungkin masih sulit diterima oleh guru yang terbiasa dengan kurikulum yang terkontrol
Siswa dan orang tua mungkin imemerluykan waktu beradaptasi dengan proses belajar dan mengajar yang baru

BAB III
PENUTUP
Rangkuman
Secara umum terdapat prinsip-prinsip dalam teori belajar behaviorimse Pertama, aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Seseorang dikatakan belajar jika terjadi perubahan tingkah laku. Kedua, teori ini dalam memandang manusia hanya pada sisi jasmaniah saja, sehingga mengabaikan aspek-aspek mental rohaniah seperti kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam belajar. Ketiga, teori ini dikenal dengan model hubungan antara Stimulus (S) dan Respon (R) dalam belajar. Maksudnya belajar merupakan akibat adanya interaksi antara Stimulus dan Respon (Slavin, 2000). Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon merupakan rekasi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Keempat, teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Prinsip kognitif banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada perancangan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu
Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks
Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian
Pada teori Humanistik ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori inilah yang paling abstrak dan mendekati dengan dunia filsafat daripada dunia pendidikan.
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya "isi" dari proses belajar, dalam kenyataanya teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang kita amati dalam dunia keseharian. Belajar harus berhulu dan bermuara  pada manusia itu sendiri.
Ide dasar lahirnya filsafat belajar konstruktivisme merupakan kritik terhadap teori belajar Behaviorisme yang sangat mendominasi pada waktu itu. Secara umum menurut teori Behaviorisme, orang yang belajar adalah orang yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu, oleh sebab itu para pengajar harus dapat mentransfer pengetahuan kepada orang yang belajar. Namun, dari beberapa hasil penelitian pendidikan sains pada tahun-tahun terakhir telah mengungkapkan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran seseorang. Pandangan terakhir inilah yang dianut oleh konstruktivisme. Maka proses pendidikan dalam pandangan ini perlu membangun kemandirian anak untuk mengelola pola pikir secara terarah.
Asumsi dasar teori konstruktivisme tentang belajar adalah bahwa setiap orang pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan atau bekal awal tentang sesuatu yang akan dipelajari. Pembelajaran pada intinya adalah bagaimana mengembangkan atau mengkonstruksi (membangun) pengetahuan atau bekal awal yang sudah dimiliki tersebut menjadi sebuah pengetahuan baru dan utuh. Hal ini sejalan dengan pendapat Yatim Riyanto yang mengatakan bahwa tujuan pembelajaran konstruktivisme ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata yang mendorong si belajar untuk berfikir dan berfikir ulang lalu mendemostrasikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ratna Yudhawati, S.Psi., M.Psi.,Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan, PT Prestasi Pustakarya, Jakarta, 2011
Dra. Eveline Siregar, Mpd. Teori Belajar dan Pembelajaran, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2008
Ratna Yudhawati, S.Psi., M.Psi.,Teori-teori Dasar Psikologi Pendidikan, PT Prestasi Pustakarya, Jakarta, 2011
Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2008
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd., Paradigma Baru Pembelajaran, Kencana, Jakarta, 2009
Sutarjo Adisusilo, J.R., Pembelajaran Nilai Karakter, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2012Dr. M. Sukardjo, Landasan pendidikan Konsep dan Aplikasinya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009


Download Makalah Teori Psikologi Pendidikan.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca Makalah Teori Psikologi Pendidikan. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: