Oktober 06, 2016

(Makalah) NAFAS FILSAFAT PROFETIK DALAM FILSAFAT ISLAM KONTEMPORER SAYYED HUSSEIN NASR

Judul: (Makalah) NAFAS FILSAFAT PROFETIK DALAM FILSAFAT ISLAM KONTEMPORER SAYYED HUSSEIN NASR
Penulis: Brenkhi Yuhana Purwa


NAFAS FILSAFAT PROFETIK
DALAM FILSAFAT ISLAM KONTEMPORER
SAYYED HUSSEIN NASR

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Oleh
Brenkhi Yuhana Purwa 13010213410015
Desi Wulandari 13010213410025
Dwi Nur Cahyani Sri K 13010213410002
Lilis Khusniati 13010213410016
PROGRAM MAGISTER ILMU SUSASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan zaman adalah hal yang tidak dapat dihentikan. Perkembangan zaman merubah segala aspek kehidupan, mulai dari agama, ilmu pengetahuan, serta aspek sosial budaya. Pada aspek agama, perkembangannya dimulai sejak manusia mempertanyakan hakikat keberadaannya. Hal ini pula yang mendasari perkembangan ilmu filsafat. Sehingga pencarian atas jati diri dan penciptaan manusia, tidak lepas dari agama. Tujuan filsafat mencari kebenaran, sedang tujuan agama adalah menuntun manusia hidup berdasarkan kebenaran tersebut.
Perkembangan zaman membuat pergeseran paradigm tentang agama. Semenjak lahirnya peradaban modern ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pioneer terkemuka, maka rasionalisme-empirisme menjadi landasan analisa yang begitu dominan dan mencapai puncaknya pada positivisme, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan disertai dengan penemuan ilmiah berkembang pesat. Ini karena filsafat modern menekankan pada anthroposentris dengan kebebasan manusia berkreativitas untuk menentukan hidupnya tidak tergantung pada kekuatan supernatural (Tuhan) sebagaimana pada abad pertengahan yang teosentris. Dengan positivisme, ukuran kebenaran adalah sesuai dengan apa yang bisa diverifikasi dan sesuai dengan fakta-fakta yang bisa diukur. Sesuatu yang tidak sesuai dengan paradigma Positivisme dianggapnya tidak benar, termasuk agama, metafisika maupun etika.
Sayyed Hussein Nasr menawarkan kembali tradisionalisme atau ortodoksi sebagai solusi beragama, demi mempertahankan apa yang dibawa dan disampaikan oleh nabi. Ia berpandangan bahwa memahami tradisi secara lebih baik perlu adanya pembahasan tentang hubungan tradisi dengan agama. Agama memiliki akar yang "mengikat" (dari bahasa latin religere). Religio adalah pengikat antara manusia dan langit dengan melibatkan keseluruhan wujudnya, sementara tradio berkaitan dengan realitas. Agama dapat dikatakan sebagai asal-usul tradisi.
Nasr mengusung gagasan tradisionalisme yang membawa misi yang dinamakan "hikmah abadi" (Parennial Philosophy atau Sophia Perennis). Gagasan ini adalah respon kritis terhadap tren pluralism agama yang muncul di era modern sebagai upaya memberikan solusi teo-filosofis bagi problem pluralitas agama.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut.
Bagaimana pemikiran Sayyed Hussein Nasr yang berkaitan dengan dunia modern?
Bagaimana nilai filsafat profetik Sayyed Hussein Nasr diterapkan dalam filsafat Islam kontemporer?
Tinjauan Pustaka
Dalam beberapa artikel yang menulis tentang Sayyed Hussein Nasr ditemukan garis besar pemikiran Nasr. Satu diantaranya ditulis oleh Dr. Anis Malik Toha dalam artikel berjudul Sayyed Hossein Nasr, Mengusung "Tradisionalisme" Membangun Pluralisme Agama. Dalam artikel ini Anis menulis tentang pamikiran Nasr yang mengusung hikmah abadi sebagai landasan dalam menjembatani perbedaan agama. Pandangan Nasr ini dipengaruhi oleh beberapa gurunya yaitu Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy, dan Frithjof Schuon. Menurut Nasr, begitu juga para pendahulunya, "tradisionalisme" ini berakar pada "filsafat perennial", yang berpandangan bahwa hakikatnya adalah universal dan telah ada sejak dahulu kala (immemorial) (diambil dari Aldous Huxley: The Parennial Philosophy, 1961:9).
Masih dalam artikel tersebut di atas, disebutkan bahwa bagi kaum tradisionalis istilah tradisi sudah mengalami perkembangan, atau lebih tepatnya variasi dalam makna sebagaimana dijelaskan Guenon atau yang didefinisikan oleh muridnya, Nasr. Tradisi adalah;
"realitas-realitas atau prinsip-prinsip dasar ketuhanan yang asli yang diwahyukan kepada seluruh manusia dan segenap alam lewat perantara para rasul, nabi, avatara, atau Logos, atau perantara-perantara yang lain, dengan berbagai cabang prinsip tersebut dan aplikasinya dalam berbagai bidang – termasuk hokum, bangunan sosial, seni, symbol, dan berbagai macam ilmu…" (diambil dari Nasr: Knowledge and the Sacred: 67-68).
Dengan demikian "tradisi" adalah kebalikan dari "modernism" dan "sekularisme".
Menurut Nasr pluralitas agama merupakan aspek yang penting dan sangat krusial bagi kehidupan religius dan spiritual manusia masa kini. Lebih lanjut ia berkata: sesunggungnya, jika ada dimensi kehidupan beragama dan spiritual manusia modern yang memang benar-benar baru dan signifikan, maka ia adalah kehadiran dunia-dunia sacral yang lain, bukan sebagai fakta dan fenomena arkeologis atau historis, tapi sebagai realitas agama (Nasr, Knowledge and the Sacred: 292).
Masalah yang diusung dalam artikel Anis ini berkaitan dengan pluralism agama yang diangkat oleh Nasr. Masalah yang timbul dari pluralism agama yang oleh Nasr dianggap sebagai kehendak Tuhan, sebagai konsekuensi logisnya, semua agama adalah benar dan absah untuk diikuti. Khusus yang menyangkut Kristen, dalam hal ini Nasr menyatakan:
"Jika hal ini hanyalah sebuah kesilapan, bagaimana Tuhan dengan kebajikan dan keadilanNya yang tak terbatas dapat membiarkan salah satu agama besar dunia di mana di dalamnya berjuta-juta manusia telah mencari keselamatan, untuk tersesat selama dua ribu tahun? Apakah ini hanya sekedar sebuah kesilapan? Masalah ini merupakan suatu pertanyaan teologis yang sangat penting untuk dipertimbangkan.
Jadi saya yakin bahwa…itu semua memang dikehendaki Tuhan." (Interview Nasr dengan Adnan Aslan yang dimuat dalam appendix bukunya Religious Pluralism, dengan judul Religions and the Concept of the Ultimate: 262).
Dalam konteks pandangan tradisional terhadap keberagaman agama ini, pertanyaan tentang superioritas agama tertentu di atas yang lain secara teoretis menjadi tidak relevan. Sebab semua agama adalah orisinil dan berasal dari sumber yang sama. Dan oleh sebab itu Nasr berpendapat bahwa memeluk atau mengimani agama apa saja, kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya secara sempurna berarti memeluk dan mengimani semua agama. Maka dari itu tiada tindakan yang lebih sia-sia dan lebih berbahaya daripada upaya-upaya menciptakan sinkretisme yang dipilih-pilih dari berbagai agama untuk sekedar mencapai universalisme (Nasr, Knowledge and the Sacred: 296).
Menurut Aslan dalam artikel Anis, konsep pluralism yang dikembangkan kaum tradisionalis boleh jadi bisa merangkul seluruh agama dalam suasana yang sacral, tetapi selama ia meyakini keabsahan seluruh bentuk tradisi, maka tidak akan mampu memberikan solusi apapun terhadap konflik-konflik antar agama baik yang berkenaan dengan akidah maupun moral-etika (Aslan, Religious Pluralism: 128-129).
Artikel lain yang menulis tentang pemikiran Nasr adalah artikel yang ditulis oleh Dr. Hamzah Harun Al-Rasyid, MA, yang berjudul Pemikiran Islam Sayyid Hossein Nasr. Dalam artikel ini Hamzah menulis tentang pemikiran Nasr yang berkenaan dengan agama Islam. Nasr berpandangan bahwa tradisi akan selalu mengimplikasikan adanya ortodisi, bahkan lebih tua dari itu, ortodoksi tidak dapat dipisahkan dari keduanya. Ortodoksi sebagai hakikat kebenaran dan kaitannya dengan homogenitas formal dunia tradisional. Artinya ortodoksi merupakan doktrin yang terkandung dalam ajaran-ajaran suci, karena mempunyai nilai kebenaran dengan dunia tradisional merupakan kebenaran itu sendiri.
Masih dalam artikel Hamzah, Nasr menjelaskan bahwa dalam semua agama terdapat dua hal esensial yang merupakan dasar agama; pertama yang membedakan antara yang mutlak dan yang nisbi. Kedua, metode untuk mendekatkan diri kepada yang nyata dan mutlak serta hidup dengan kehendaknya menjadi tujuan dari arti bagi eksistensi manusia. Nasr menjadikan agama sebagai pangkal segala level dan dimensi berbagai ajaran yang merujuk pada tingkatan spiritual dan intelektual. Secara garis besar, tingkatan ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu eksoterik dan dimensi esoteric. Eksoterik mengatur keseluruhan hidup manusia secara tradisional sedangkan esoteric berkaitan dengan kebutuhan spiritual dan intelektual mereka yang ingin mencari Tuhan. Nasr menjelaskan dalam Islam, ada syariah sebagai perwujudan eksoterik dan thariqah sebagai perwujudan esoteric.
Secara garis besar, artikel Hamzah mengungkap kritik Nasr dalam menanggapi kehidupan modern dan perkembangan Islam di dalamnya, serta mengusung Islam tradisional untuk mempertahankan ajaran agama Islam yang sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk suci yang tak lain adalah manusia tradisional, menurut Nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal maupun pusat.
Artikel lain yang ditulis oleh Zackary Markwith adalah resensi dari buku karangan Nasr yang berjudul Islam in the Modern World: Challenge by the West, Threatened by Fundamentalist, Keeping Faith with Tradition. Sesuai dengan judulnya artikel ini mengulas bagaimana Islam tradisional yang dipahami oleh Nasr bertahan dalam dunia modern, yang berbenturan dengan Barat dan Islam fundamentalis. Kebanyakan non-muslim dan sekularis di Barat menganggap bahwa modernisasi dunia muslim dan pengurangan peran Islam dalam ranah public dan privat akan mengurangi atau meredakan ekstremis, di mana hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.
Dalam Islam in the Modern World, Nasr meninjau berbagai perwujudan dari modernism Islam dan fundamentalisme dan berhati-hati untuk menawarkan tinjauan yang perbedaannya tipis dari fenomena-fenomena ini, yang bertentangan dengan pembagian gambaran dalam dua cabang yang rapi yang akan membagi dunia muslim dalam kategori muslim baik dan muslim buruk. Modernism Islami dan fundamentalisme adalah reaksi terhadap pengurangan sosial, politik dan kekuatan militer dari kerajaan dan Negara muslim ketika dihadapkan dengan bangkit dan gencarnya filsafat Barat, sains, teknologi, militer, serta ekspansi komersial.
Resensi tersebut mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi muslim secara internal maupun eksternal yang dikemukakan oleh Nasr dalam bukunya tersebut. Dalam bukunya tersebut dijelaskan pula tradisi-tradisi atau akar ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi melalui Al Quran dan Sunnah. Tidak hanya itu, Nasr juga membahas tentang laki-laki dan perempuan dalam perspektif Islam, serta bagaimana muslim berinteraksi dalam sosial berdasarkan syariah. Menurut Nasr, dalam bukunya tersebut, bahwa jihad itu penting dalam kaitannya membangun pribadi dan masyarakat. Jihad disini berakar dari jihad dalam diri sendiri, yaitu melawan hawa nafsu, untuk selanjutnya menjadikan dunia di sekitarnya lebih baik. Apabila muslim tradisional dipahami dan dipraktekan, muslim berdasarkan hukum Islam untuk melindungi kehidupan, harta, dan martabat dari non-muslim dan yang tidak melaluo pertempuran; mereka memperkuat pengetahuan, kesalehan dan kebajikan dengan mengikuti Al Quran dan Sunnah, dan mempunyai jalan pada prinsip-prinsip metafisika melalui spiritualitas Islami, filsafat dan seni.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sayyed Hussein Nasr
Sebelum lebih jauh membahas pemikiran Nasr dalam filsafat kontemporer, terlebih dahulu perlu kita kenal profilnya, untuk lebih memahami jalan pikiran yang ia kemukakan. Sayyed Hussein Nasr dilahirkan pada tanggal 7 April 1933 di kota Teheran, Iran. Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nasr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan pendidik pada masa dinasti Qajar. Nasr hidup dalam dua tradisi, Islam tradisional dan modernitas Barat. Ia dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi'ah. Ia sempat memperoleh pendidikan Barat modern di Institut Teknologi Massachusetts dan Universitas Harvard.
Pendidikan dasarnya dimulai di Teheran dan selanjutnya oleh ayahnya ia dikirim ke Qum untuk bekerja dengan sejumlah ulama besar Iran, termasuk At-Thabataba'i untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawuf dan menghafal Al Quran dan syair-syair klasik Persia. Pada masa pendidikannya di Iran, ketegangan telah mewarnai hubungan antara Barat dan Timur. Kebudayaan Barat yang modern dengan segala corak moralnya telah mempengaruhi Negara-negara muslim yang dalam banyak hal sangat bertentangan dengan Islam tradisional. Hal ini yang mungkin mendorong keinginan Nasr untuk belajar ke Barat, bahwa untuk melawan pemikiran sekuler Barat harus masuk ke sarangnya.
Pada usia 13 tahun, Nasr berangkat ke Barat untuk melanjutkan studi sekolah tingkat atas dan selanjutnya perguruan tinggi. Ia mengikuti jurusan matematika dan fisika di Massachusetts di bawah bimbingan seorang guru terkenal yakni Bertrand Russel. Pada tahun 1954, Nasr melanjutkan studinya ke Universitas Harvard. Pada awalnya ia mengambil jurusan geologi dan geofisika, tetapi kemudian beralih mendalami disiplin ilmu tradisional dengan menekuni bidang fisika dan ilmu pengetahuan yang focus padailmu pengetahuan Islam dan filsafat. Di sinilah Nasr belajar sejarah pemikiran Islam dari tokoh terkenal lainnya H.A.R. Gibb, sejarah ilmu pengetahuan pada George Sarton dan sejarah Teologi dan filsafat pada Harry Wolfson.
Selama masa pendidikannya, baik secara akademis maupun melalui kontak pemikiran, Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh pemikir keislaman tradisional seperti Massigon, Henry Corbin, Frithjof Schoun, Rene Guenon, dan sebagainya. Salah satu gagasan mereka yang dikembangkan oleh Nasr adalah pemikiran filsafat metafisika universal. Pada tahun 1958, Nasr berhasil meraih gelar doctor dengan judul desertasi An Introduction to Islamic Cosmological Doctrin di bawah bimbingan H.A.R. Gibb yang kemudian diterbitkan pada tahun 1964.
Nasr menjadi professor penuh saat berusia 30 tahun. Setelah masa studinya berakhir, Nasr kembali ke Iran kemudian menjadi professor di Universitas Teheran, dan diangkat menjadi dekan Fakultas Sastra, kemudian Wakil Pembimbing Akademik di universitas tersebut dari tahun 1968-1972. Kemudian ia di Univeristas Syarif, dimana ia ditunjuk sebagai rector pada tahun 1972.
Karya-karya Nasr banyak mengenai dunia Islam, Sufism, Islam Tradisional, Syi'ah, Islam dalam dunia modern, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Selain menulis buku, ia juga menjadi editor, menulis tentang pemikiran Frithjof Schoun, sejarah Islam, antologi filsafat Persia, dan sebagainya. Tidak sedikit pula orang yang menulis tentang pemikiran Nasr. Karya-karyanya yang banyak tersebut antara lain;
The HarperCollins Study Quran
In Search of the Sacred, bersama Ramin Jahanbegloo
Islam in the Modern World
Islam and the Plight of Modern Man
Ideals and Realities of Islam
An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines
Knowledge and the Sacred
Islamic Life and Thought
Islamic Art and Spirituality
Sufi Essays
Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 2nd edition
A Young Muslim's Guide to the Modern World
The Need for a Sacred Science
Traditional Islam in the Modern World
Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man
The Islamic Intellectual Tradition in Persia, edited by Mehdi Aminrazavi
The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition
Three Muslim Sages
Science and Civilization in Islam
2.2 Pemikiran Nasr Mengenai Dunia Modern
Sayyed Hussein Nasr adalah salah seorang dari di antara sekian banyak pemikir muslim kontemporer yang terkemuka pada tingkat internasional. Ia banyak memberi perhatian serta kritik yang tajam terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia modern. Bagi Nasr, modern bukan berarti kontemporer, atau mengikuti zaman, bukan pula sesuatu yang berhasil mendominasi semesta. Sebaliknya, modern berarti sesuatu yang terpisah dari transenden, dari prinsip-prinsip yang langgeng dalam realitas mengatur materi dan diberikan kepada manusia melalui wahyu dalam pengertian yang paling universal. Modernism mengimplementasikan semua yang semata-mata manusiawi, semua yang tercerai dan terpisah dari sumber yang Ilahi.
Satu hal yang dianggap sebagai kegagalan peradaban modern yang paling fatal adalah percobaan manusia untuk hidup dan menapikan keberadaan Tuhan dan agama. Suatu hal yang sangat bertentangan dengna fitrah manusia yang dalam hatinya memiliki potensi ilahiyah yang pasti akan selalu membutuhkan sesuatu yang bersifat transenden yaitu Tuhan. Keunggulan teknologi sains yang mementingkan metode realism-empiris dalam menjelaskan fenomena-fenomena, membuat manusia hanya mencari sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera dan dapat dijelaskan atau diuraikan dengan ilmu materi.
Selain tersebut di atas, kriminalitas, kemerosotan akhlaq dan pola kehidupan yang melupakan peran Tuhan menjadi fenomena dalam kehidupan modern. Fakta ini menggambarkan seolah-olah agama tidak fungsional dalam masyarakat, serta tidak mampu menyelesaikan problematika kehidupan dan kemanusiaan. Problem yang timbul dalam masalah beragama tidak hanya berasal dari kaum secular yang memisahkan antara kehidupan spiritual dengan kehidupan sosial, namun juga timbul dari kelompok dalam agama itu sendiri. Para pemeluk agama yang seharusnya menegakkan ajaran yang dibawa Rasul, kini setelah menjadi modernis mempunyai ideology yang lebih mirip dengan ideology barat, institusi dan tujuan serta bentuk aktifitasnya dibanding dengan prinsip-prinsip dan kebudayaan atau warisan Islam.
Meskipun perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, serta filsafat yang berkembang pesat dibawah paying realism-empiris, maupun positivism, namun terdapat banyak hal dan fenomena-fenomena filosofis yang tidak dapat dijawab oleh metode tersebut. Perkembangan Islam sendiri, yang mendapat pengaruh besar dari ideology Barat mengalami kebingungan dalam menerapkan agamanya. Hal ini yang menimbulkan adanya pluralism agama sebagai solusi untuk saling hidup dalam kedamaian. Tren yang terjadi dalam dunia modern ini adalah sinkretisme, yaitu penyatuan aliran agama yang menurut Nasr lebih didasarkan pada emosionalisme daripada rasionalisme.
Menurut Nasr, tren-tren pluralisme agama yang ada telah membawa sejumlah dampak negative terhadap agama-agama, dan dengan demikian, merupakan problem daripada solusi. Dampak yang pertama adalah penistaan, atau bahkan penghalauan, segala sesuatu yang berbau sacral (desacralization). Disadari atau tidak, tren-tren tersebut adalah sama dengan proses sekularisme, atau bahkan memang merupakan salah satu mekanismenya, dan pereduksian (reductionism) absolutisme agama-agama hingga menjadi "relative" (relativization). Dampak yang kedua adalah runtuhnya segala bentuk dan perbedaan yang karakteristik dari realitas-realitas yang beragam.
2.3 Filsafat Profetik
Profetik mengandung nilai-nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat. Filsafat profetik atau filsafat kenabian Islam, dengan mengakui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Oleh karena kelemahan filsafat Barat yang telah membunuh Tuhan dan bahkan manusia. Filsafat profetik berusaha menjawab kekurangan tersebut dengan bersumber dari Al Quran dan Sunnah Rosul.
Secara epistemologi, dasar teologi dari profetik adalah Al Quran Surah Ali Imron ayat 110:
"Engkau adalah ummat terbaik yang diturunkan/dilahirkan di tengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah".
Dapat diderivasi dasar teologis tersebut menjadi tiga pilar epistemology profetik yaitu; amar ma'ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia, nahi munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan, dan tu'minuna bilah (transendensi), mengandung pengertian dimensi keimanan manusia (dalam artikel Arqom Kuswanjono: Epistemologi Profetik). Tujuan dari filsafat profetik adalah integralisasai; yaitu pengintergrasian kekayaan keilmuan manusia dengna wahyu, dan objektifikasi; yaitu pengkajian ilmiah atas ajaran Islam agar menjadi ramhat bagi seluruh alam (ramhatan lil 'alamin) (Kuntowijoyo, 2007: 49 diambil dari artikel Arqom Kuswanjono: Epistemologi Profetik)
2.4 Nafas Filsafat Profetik Sayyed Hussein Nasr dalam Filsafat Islam Kontemporer
Filsafat profetik sebagai manisfestasi Nasr dalam mewujudkan cita-citanya mengembalikan Islam tradisional yang berakar dari Al Quran dan Hadist. Dalam bukunya Islam in the Modern World, Nasr mengungkap pentingnya membedakan mereka yang masih berpegang teguh pada bentuk dan spirit Quran dan Sunnah atau kebiasaan Rosul Muhammad; termasuk intelektual, spiritual, etnikal, dan prinsip-prinsip artistic serta warisan Islam, dari mereka yang modernis dan penyimpangan fundamentalis yang lebih sering tidak seperti Islam itu sendiri.
Nasr mengungkap pula dalam bukunya tersebut tentang prinsip-prinsip tertinggi dalam Islam, yaitu Tauhid (Unity), Quran dan Sunnah, Syariah (Divine Law), Fiqh, tasawuf (Sufism), dan falsafah atau hikmah. Prinsip-prinsip tersebut menjadi landasan dalam Islam. Sesuai dengan yang diusung Nasr melalui tradisionalisme, masyarakat Islam diajak memahami kembali hakikat mereka beragama. Dalam tradisionalisme hakikat esoteric yang bersifat abadi, menjadi asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan terekspresikan dalam bentuk hakikat-hakikat eksoterik dengan bahasa yang berbeda-beda.
Hakikat yang pertama adalah hakikat transenden yang tunggal, sementara yang kedua adalah hakikat-hakitat religius yang merupakan manifestasi-manifestasi eksternal hakikat transenden tadi yang tampak warna-warni dan saling berseberangan. Cara pandang ini kemudian menjadi landasan tradisionalisme dalam memandang segala realitas atau hakikat yang ada dalam wujud, Rene Guenon, seorang pelopor gagasan ini, sebagai normal dan tradisional.
Pemikiran Nasr tentang tradisi Islam di tengah modernitas merupakan kritik terhadap pola pikir modern yang mengagungkan rasionalitas. Manusia, menurut Nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal maupun pusat. Ia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya. Manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya dengan fitri yang mempunyai konsekuensi logis pada watak kesucian dan kebaikan. Sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung kontinuitas dalam setiap ruang dan waktu. Menurut Nasr, tradisi yang mengisyaratkan kebenaran yang fitri bersifat langgeng, tetap, abadi, dan berkesinambungan, sifatnya tidak akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya waktu.
Islam tradisional menerima Al Quran sebagai kalam Tuhan, baik kandungan maupun bentuknya. Islam tradisional juga menerima komentar-komentar tradisional atas Al Quran yang berkisar dari komentar-komentar yang linguistic, historical, dan metafisikal. Dalam ranah ilmu pengetahuan, wadah ilmu pengetahuan bukanlah pikiran manusia, melainkan, pada akhirnya, kecerdasan Ilahi. Ilmu pengetahuan didasarkan atas kecerdasan supra manusiawi.
Jika pemikiran modern memandang bahwa obyek ilmu pengetahuan hanyalah realitas empirik, Nasr memandangnya keseluruhan realitas dari yang eksternal hingga yang paling internal. Menurutnya. berbagai realitas itu dipadukan dalam kalimat tauhid la ilaha ilia Allah (tiada tuhan selain Allah) sebagai konsep dasar Islam. Makna terdalam dari kalimat tersebut adalah tidak ada wujud (realitas) selain wujud Tuhan. Kandungan makna itu, menurut Nasr, tidak harus menunjuk kepada panteisme yang memandang realitas lain selain Tuhan sebagai tuhan, melainkan harus dipahami bahwa adanya realitas lain selain Tuhan tidak lain hanyalah cermin dari sekian banyak "kehadiran Ilahiah" (al-hadharat al-Ilahiyah).
Ia melanjutkan, bahwa banyaknya kehadiran Ilahi itu dapat disederhanakan dengan membaginya ke dalam lima keberadaan (al-hadharat. al-Ilahiyah al-Khamsah) untuk menggambarkan hierarki seluruh realitas dalam urutan menurun: (1) kehadiran hakikat ilahiyah, esensi Tuhan (hahut); (2) keberadaan nama dan sifat Tuhan (lahut); (3) kehadiran malaikat (jabarut); (4) keberadaan psikis dan manifestasi halus, disebut juga dunia perantara (malakut); dan (5) keberadaan fana atau dunia fisikal (nasut).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Tidak banyak orang yang memilki kepedulian tinggi terhadap agamanya sebagaimana Nasr. Sayyed Hussein Nasr adalah orang yang telah sekian lama hidup dan akrab dengan dunia modern. Semua orang tahu bahwa dunia modern yang ditandai dengan corak pemikiran materialis-kapitalistik telah banyak menggelapkan hati nurani manusia, sehingga banyak manusia yang kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya, bahkan nilai-nilai ketuhanannya. Orang modern cenderung mengganggap bahwa apa yang telah mereka lakukan selama ini adalah semata sebagai puncak dari keberhasilan mereka dalam mendayagunakan seluruh potensi yang mereka miliki. Mereka lupa bahwa ada Tuhan yang telah memberikan dan menjadi penyebab utama atas apa yang mereka anggap sebagai suatu keberhasilan.
Sayyed Hussein Nasr, yang tetap istiqamah dalam pendiriannya, dan tidak tertipu oleh kemajuan semu peradaban modern. Hidup ditengah kemajuan semu dunia modern yang telah banyak meracuni pikiran umat manusia membuat Nasr semakin sadar bahwa apa yang menjadi realitas yang selama ini dilihatnya harus segera diluruskan, dan terutama ia harus membentengi umat Islam sebelum racun peradaban barat meracuni umat Islam.  Nasr kemudian menggelorakan semangat pembaharuan, yaitu seruan agar umat Islam tidak tertipu oleh peradaban barat, dan kembali pada nilai-nilai tradisi Islam, yang dilandasi oleh Al-Qur'an dan al-Hadits. Nasr berkeyakinan bahwa hanya jalan itulah yang mampu mengembalikan jati diri manusia terutama umat Islam untuk menyadari hakikat keberadaan dirinya. Semangat pembaruan atau tajdid ini kemudian kita yang kenal dalam bahasa Nasr sebagai Islam tradisi. Islam tradisi tidak berarti menutup diri terhadap kemajuan, malahan Islam merupakan agama yang menyuruh umatnya untuk maju dan mengelola segala potensi yang telah diberikan Tuhan untuk manusia. Karena manusia adalah khalifah Tuhan dimuka bumi. Namun manusia juga harus menyadari hakekat keberadaan dirinya di muka bumi ini yaitu untuk beribadah dan menghambakan dirinya pada Tuhan. Karena hakekat dan tujuan hidup manusia adalah untuk Tuhan, jadi segala apa yang manusia lakukan dam manusia dapatkan seharusnya hal itu bisa lebih menambah rasa keimanan pada Tuhan. Kita patut mengacungkan jempol untuk Nasr atas gagasannya yang cukup brilian ini. karena umat Islam tidak akan menjadi umat yang beruntung ketika ia meninggalkan atau tercerabut dari tradisinya. Ketika orang-orang barat meninggalkan tradisinya, maka mereka berhasil mencapai kemajuan yang semu. Namun ketika umat Islam meninggalkan tradisinya, maka yang akan didapatkan hanyalah kehampaan hedonism dunia.
DAFTAR PUSTAKA
http://hamzah-harun.blogspot.sg/2012/02/pemikiran-islam-sayyid-hussein-nasr.html access 151213 4:30
http://irwanmalik.blogspot.sg/2013/04/sayyed-hosssein-nasr-mengusung.html access 151213 5:01
http://latahzanallahslalu.blogspot.sg/2011/03/sayyed-hossein-nasr.html access 151213 5:16
http://en.wikipedia.org/wiki/Hosssein_Nasr access 151213 4:15
http://wey's.wordpress.com/2012/8/9/pemikiran-sayyed-hossein-nasr-tentang-epistemologi access 141213 10:00
http://sacredweb.com/sw28_nasr_review.pdf access 141213 10:15http://www.4shared.com/office/9xqosfnf/epistemologi_ilmu_profetik access 141213 10:30http://gudangmakalah.blogspot.com/2009/08/analisis-nilai-nilai-profetik-dengan.html?m=1 access 141213 10:40


Download (Makalah) NAFAS FILSAFAT PROFETIK DALAM FILSAFAT ISLAM KONTEMPORER SAYYED HUSSEIN NASR.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca (Makalah) NAFAS FILSAFAT PROFETIK DALAM FILSAFAT ISLAM KONTEMPORER SAYYED HUSSEIN NASR. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: