Oktober 17, 2016

ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA DAN RENCANA STRATEGI SWASEMBADA BERAS

Judul: ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA DAN RENCANA STRATEGI SWASEMBADA BERAS
Penulis: Farisa Badres


00ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA DAN RENCANA STRATEGI SWASEMBADA BERAS
00ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA DAN RENCANA STRATEGI SWASEMBADA BERAS

1117607842885Program Diploma IV Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
00Program Diploma IV Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
3662680126936500114300768350003429002796540Diajukan untuk memenuhi:
00Diajukan untuk memenuhi:
11430004396740Disusun oleh:
Farisa Noviyanti (134060018172)
Kelas 7A Akuntansi Khusus
00Disusun oleh:
Farisa Noviyanti (134060018172)
Kelas 7A Akuntansi Khusus
03139440Tugas Mata Kuliah Manajemen Strategi
00Tugas Mata Kuliah Manajemen Strategi

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah Swt. Berkat karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik dan efektif tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun secara khusus untuk menyelesaikan penugasan dalam rangka Ujian Akhir Semester 7 Program Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus mata kuliah MANAJEMEN STRATEGI serta memperluas wawasan para mahasiswa untuk memahami kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Tema makalah ini juga mendorong mahasiswa untuk mampu mengevaluasi strategi ketahanan pangan Indonesia dari berbagai sudut pandang dan merekomendasikan rencana strategis swasembada pangan sebagai subtema yang saya pilih sebagi salah satu isu sentral saat ini. Terkait dengan hal itu, makalah ini disusun dengan judul "ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA DAN RENCANA STRATEGIS SWASEMBADA BERAS" .
Makalah ini hanya dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1.Bapak Marmah Hadi: sebagai inspirator, pengajar, dan dosen Manajemen Strategi yang telah mendidik dan membagi ilmunya selama satu semester di Kelas 7 A Program Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus.
2.Orang tua yang selalu menghadiahkan doa, kasih sayang, dan dukungan secara moral dan materiil yang luar biasa berarti dan berharga.
3.Teman-teman Kelas 7 A Program Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus yang selalu menjadi tempat bertanya, memberikan saran dan kritik yang positif serta persahabatan yang tulus dan bermakna.
4.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif. Saya juga menyadari bahwa hasil dari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Tangerang Selatan, 26 September 2013

Farisa Noviyanti

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I KONSEP KETAHANAN PANGAN 1
Definisi Ketahanan Pangan 1
Kondisi Ketahanan Pangan Indonesia 2
Kondisi Kerawanan Pangan Indonesia 3
BAB II ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA 5
Penilaian Eksternal 5
Penilaian Internal 14
Matriks SWOT 19
Analisis Strategi 19
BAB III RENCANA STRATEGIS SWASEMBADA BERAS INDONESIA 22
Urgensi Swasembada Beras 22
Refleksi Swasembada Beras: Revolusi Hijau 23
Rencana Strategis Swasembada Beras 24
Kontroversi Swasembada Beras 26
Kesimpulan 27
DAFTAR PUSTAKA 28
LAMPIRAN: SUSUNAN POLA KONSUMSI PANGAN TAHUN 2014 30
BAB I
KONSEP KETAHANAN PANGAN
Definisi Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan yang dicetuskan pada World Food Summit (1996) oleh World Food Programme didefinisikan sebagai kondisi yang terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi, dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat. Berikut adalah kerangka konsep ketahanan pangan internasional tersebut:
3105156604000
Gambar I. A.1 Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi
Ketahanan pangan di Indonesia didefinisikan dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pengertian pangan dalam UU dan PP tersebut adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Ketahanan pangan merupakan isu strategis yang dicanangkan secara nasional dan merupakan kewajiban negara untuk mewujudkannya. Ketahanan pangan termasuk dalam prioritas nasional pada RPJMN untuk tahun 2010-2014. Ada tiga alasan penting yang melandasi kesepakatan tersebut:
Ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak asasi atas pangan setiap penduduk;
Konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; dan
Ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat melaksanakan pembangunan dengan baik sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu.
Ketahanan pangan di setiap negara dibangun di atas tiga pilar utama yaitu:
Ketersediaan Pangan, adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.
Akses Pangan, adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan maupun kombinasi di antara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas.
Pemanfaatan Pangan, merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi.
B.Kondisi Ketahanan Pangan Indonesia
Berdasarkan data yang dihimpun dari World Food Programme, diperoleh informasi sebagai berikut:
Ketersediaan Pangan
Hasil pertanian meningkat (laju peningkatan sekitar 3,5% per tahun selama 2004-2007) dan mencapai 4,8% pada tahun 2008. Produksi padi dan jagung meningkat, sedangkan produksi ubi kayu dan ubi jalar relatif stabil.
292735381000
Namun demikian, beberapa kabupaten di provinsi Papua dan provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, sebagian provinsi Maluku dan Maluku Utara mengalami kekurangan serealia.
Akses terhadap Pangan
Akses terhadap pangan untuk penduduk miskin merupakan gabungan dari kemiskinan, kurangnya pekerjaan tetap, pendapatan tunai yang rendah dan tidak tetap serta terbatasnya daya beli. Pada tahun 2008, terdapat 34,96 juta orang (15,42%) hidup di bawah garis kemiskinan nasional (US $1,55 PPP). Hampir 64% penduduk miskin tinggal di pedesaan, dan lebih dari 57% total pendudk miskin tinggal di Pulau Jawa.
Sejak tahun 2003, 26 provinsi telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinannya. Akan tetapi, terdapat 5 provinsi yang tingkat kemiskinannya tetap yaitu provinsi Sulawesi Utara, Papua, DKI Jakarta, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. Pada tahun 2007, penduduk miskin terkosentrasi di 6 provinsi (Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, Gorontalo, dan NAD).
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada tahun 2007 mengalami penurunan hampir 2% dibandingkan tahun 2003. Namun penurunan TPT tersebut tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan bervariasi antar wilayah.
Lebih dari 12% dari semua desa di Indonesia tidak memiliki akses jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat.
Hampir 10% rumah tangga di Indonesia tidak memiliki akses listrik. Akses listrik yang terbatas (>30%) terdapat di empat provinsi (NTT, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Barat).
Pemanfaatan Pangan dan Gizi
Pada tahun 2007, rata-rata asupan energi harian adalah 2.050 kkal dan asupan protein sebesar 5.625 gram, keduanya sudah melampaui Angka Kecukupan Gizi (AKG) nasional. Angka ini meningkat 3.3% dibandingkan tahun 2002. Namun demikian, untuk tiga golongan pengeluaran terendah hanya memiliki asupan 1.817 kkal/kapita/hari atau kurang, dan proporsi makanan mereka kurang serta tidak seimbang secara kuantitatif dan kualitatif.
Secara nasional, 94% rumah tangga memiliki akses ke fasilitas kesehatan terdekat kurang dari 5 km, dan angka ini meningkat secara signifikan jika dibandingkan 5 tahun terakhir.
Secara nasional, 21,08% rumah tangga tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak.
Pada tahun 2007, angka perempuan buta huruf nasional adalah 12,89%. Angka underweight pada balita adalah 18,4%, angka tersebut telah mencapai target MDGs namun masalah kesehatan masyarakat masih berada pada tingkat yang kurang. Prevalensi nasional untuk kurang gizi kronis adalah 36,8%, angka ini tergolong tinggi untuk tingkatan kesehatan masyarakat.
Angka rata-rata harapan hidup di Indonesia pada tahun 2007 adalah 68 tahun.
Kondisi Kerawanan Pangan Indonesia
Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara/transien. Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor struktural yang tidak dapat berubah dengan cepat seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintahan daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan, dll. Kerawanan pangan sementara adalah ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah dengan cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi pasar, tingkat besarnya utang, perpindahan penduduk (migrasi), dan sebagainya. Berikut adalah peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Indonesia dimana warna merah tua merupakan daerah dengan prioritas rawan utama, yakni didominasi oleh Wilayah Indonesia Timur.
-173355-6858000Gambar I. C.1 Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Indonesia
Dunia internasional melalui lembaga pangan dunia (Food And Agricultue Organization/FAO) mengakui ketahanan pangan Indonesia dengan memberikan penghargaan sebagai negara yang tidak memiliki kasus kelaparan di tahun 2013. Hal ini berbanding terbalik dengan data FAO pada tahun 2006-2008, presentase kelaparan Indonesia adalah 13% dari total populasi yaitu sekitar 29,7 juta jiwa masih mengalami kelaparan. Di masa depan Indonesia diprediksi akan terjadi kelangkaan pangan yang diakibatkan oleh beberapa hal seperti kerusakan lingkungan, konversi lahan, tingginya harga bahan bakar fosil, pemanasan iklim dan lain-lain. Pertumbuhan penduduk bergerak seperti deret geometri, sementara ketersediaan pangan bergerak mengikuti deret aritmatika – hal ini membuktikan bahwa selalu akan terjadi kelangkaan pangan. Apabila kebutuhan pangan tidak dapat terpenuhi maka Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor pangan.
Dari sisi cadangan pangan, Indonesia sebetulnya sangat kuat. Sesuai perhitungan Badan Ketahanan Pangan, cadangan pangan Indonesia dari segi energi mencapai 3.500 kilo kalori per kapita per hari. Sementara dari segi kalori, sebesar 85 gram per kapita per hari. Untuk konsumsi riil, kebutuhan nasional energi hanya 2.200 kilo kalori per kapita per hari, dan asupan kalori hanya 57 gram per kapita. Persoalannya terletak pada distribusi konsumsi yang tidak merata. Bagi kalangan miskin yang mencapai 11 %, atau sekitar 28 juta jiwa di seluruh Indonesia, asupan energi dan kalori jauh lebih rendah dari rata-rata nasional. Kebutuhan beras pada tahun 2014 sebesar 33.013.214 ton, maka apabila harus ada surplus 10 juta ton sebagai cadangan, berarti harus ada produksi beras minimal 43 juta ton. Bila produksi beras tidak memenuhi kebutuhan pangan nasional, maka pemerintah harus melakukan impor.
BAB II
ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA
Penilaian Eksternal
1.Faktor-faktor Eksternal Utama
Penilaian eksternal sangat penting untuk mengevaluasi peluang dan ancaman terhadap ketahanan pangan Indonesia yang dilihat dari faktor-faktor sebagai berikut:
a.Ekonomi
1)Sistem Perdagangan Pangan Dunia/Pasar Bebas
Sistem perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan harga produk pangan di dalam negeri ikut terpengaruh oleh situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi pasar bebas tersebut dan berbagai masalah ketersediaan dan distribusi, menyebabkan harga komoditas pangan, terutama pangan strategis seperti beras, kedelai, daging sapi, cabai dan bawang merah menjadi berfluktuasi.
2) Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Indonesia adalah negara yang mampu mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi di tingkat 6% saat negara-negara Eropa dan/atau Asia lainnya menderita krisis ekonomi global di tahun 2008. Perekonomian Indonesia saat ini 20 kali lebih besar dari tahun 1994. Indonesia memiliki laju perputaran keuangan tercepat dibandingkan negara-negara anggota ASEAN. Pertumbuhan Indonesia adalah yang terbaik kedua di forum G20. Citra perekonomian Indonesia cukup baik di mata internasional. Namun, yang patut menjadi kekhawatiran adalah laju pertumbuhan tersebut didominasi oleh konsumsi rumah tangga dibandingkan produksi, terutama apabila dikaitkan dengan produksi pangan dalam negeri.
3)Peningkatan Harga Pangan Global
Dalam publikasi terbaru yang diterbitkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) PBB mengenai "indeks harga makanan", indeks yang mengukur perubahan harga sekeranjang komoditas pangan dunia secara bulanan, secara jelas menunjukkan bahwa harga komoditas tersebut mengalami kenaikan terus-menerus dalam beberapa tahun terakhir di berbagai belahan dunia. Harga pangan dianggap sebagai "tsunami bisu" yang akan mempengaruhi kehidupan jutaan orang, karena tampaknya era makanan murah telah berakhir dan beban dari harga-harga baru ini akan semakin membuat dunia "tenggelam" seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia.
4) Inflasi pada Hari-hari Besar Keagamaan
Masalah kelangkaan bahan pokok selalu mengancam masyarakat mendekati hari-hari besar keagamaan yang mengakibatkan kenaikan harga pangan di atas rata-rata, seperti yang terjadi pada hari raya Idul Fitri tahun 2013 yakni inflasi mencapai 1,12 % (Data BPS, Agustus 2013). Sumbangan inflasi tertinggi masih pada bahan makanan dengan andil sebesar 0,45 %, dan berefek domino karena mengakibatkan kenaikan hampir seluruh produk, baik pangan (seperti bawang, daging, dan kedelai) maupun non pangan. Inflasi ini dapat disebabkan baik oleh sistem ekonomi yang wajar (demand > suppy), ataupun spekulasi pihak-pihak tertentu.
4)Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak
Kenaikan harga bahan bakar minyak adalah sumber utama dari kenaikan harga bahan pangan akibat bertambahnya harga pokok produksi yang secara otomatis memberikan multiplier effects pada rantai distribusi, asupan pangan warga miskin pun bisa semakin melorot per harinya. Hal ini menyangkut kebijakan pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak melalui penetapan APBN-P tahun 2013. Oleh karena itu, untuk mencegah adanya dampak negatif kenaikan BBM, pemerintah menyalurkan BLSM.
5)Fluktuasi Nilai Tukar Mata Uang
Berkurangnya aliran dana dari The Fed kepada sistem pasar uang dunia untuk mendorong kemandirian dari bergantungnya sistem pasar Amerika pada insentif fiskal adalah salah satu sebab terjadinya kenaikan nilai US Dollar terhadap Rupiah. Melemahnya nilai Rupiah disebabkan oleh ditariknya dana-dana segar berupa investasi asing di Indonesia yang menyebabkan jumlah US Dollar yang beredar menipis. Melemahnya nilai Rupiah ini memberikan gejala baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kenaikan harga barang pangan, terutama yang bersumber dari impor.
6)Berkembangnya Berbagai Bentuk Pasar
Berbagai bentuk pasar di Indonesia yang berkembang selain pasar tradisional, pasar swalayan, dan pasar modern lainnya membuka berbagai jaringan pemasaran terhadap produk-produk pertanian lokal dan menghindari monopoli produsen-produsen tertentu. Sistem ini juga mampu meningkatkan kompetisi dan kualitas bahan pangan.
b.Sosial, Budaya, Demografis, dan Lingkungan
1)Jumlah Penduduk yang Besar
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 di dunia (pada tahun 2010 berjumlah 239,871 juta jiwa) dengan laju pertumbuhan penduduk di kisaran 1,2 atau 1,3%. Indonesia dianalogikan sebagai "negara yang tidak pernah tua" dan dikaruniai kekayaan demografis. Penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 246,5 juta jiwa pada tahun 2015 dan berjumlah 337 juta jiwa di tahun 2050, sehingga upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan merupakan tantangan yang harus mendapatkan prioritas untuk kesejahteraan bangsa. Produksi pangan nasional perlu secara signifikan ditingkatkan agar kebutuhan domestik dapat dipenuhi.
2)Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan
Pada dekade yang lalu, Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya yang berarti untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan garis kemiskinan dunia (US$1 – PPP), sejak tahun 2000 Indonesia telah mencapai target yang ditetapkan dalam MDGs untuk mengurangi jumlah penduduk miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 yaitu sebesar 10,3% dari penduduk nasional. Namun, ada 34,96 juta orang (15,42%) yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional (US$1,55 PPP) pada tahun 2008 yang kurang lebih setara dengan angka sebelum krisis pada tahun 1996 (34,01 juta orang). Hampir 64% dari penduduk miskin tinggal di daerah pedesaan. Dan dari seluruh masyarakat miskin tersebut lebih dari 57% tinggal di pulau Jawa. Ketahanan pangan merupakan hal yang harus diperhatikan pemerintah agar kebutuhan masyarakat penduduk di golongan ini dapat tetap terpenuhi.
3) Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
Tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat Indonesia yang semakin membaik mempengaruhi perubahan pola konsumsinya. Kecenderungan tersebut menjadi gaya hidup dimana masyarakat kelas menengah ke atas sudah tidak bergantung pada nasi sebagai pangan, dan lebih memilih untuk melakukan diversifikasi terhadap kualitas dan kuantitas pangan. Berikut adalah proyeksi pola konsumsi pangan untuk tahun 2014 yang ditampilkan dalam lampiran 1.
3) Letak Geografis Indonesia
Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan ribuan pulau dan luas daratan sekitar 1.922.570 km persegi memiliki potensi pengembangan lahan pangan yang sangat besar dan sangat banyak wilayah yang belum dieksplorasi dengan baik yang dapat dijadikan potensi sumber keamanan pangan di masa depan. Potensi sumber pangan yang beragam dan letak geografis Indonesia di jalur khatulistiwa menyebabkan Indonesia relatif aman dari dampak global climate change, merupakan opportunity yang tidak boleh dilewatkan.
4) Citra Indonesia Sebagai Negara Agraris
Citra Indonesia sebagai negara agraris dapat mengembalikan semangat dan ingatan bangsa Indonesia bahwa bangsa ini dikaruniai oleh negeri yang makmur – "gemah ripah loh jinawi" dan pernah dibesarkan dari hasil-hasil pertanian sendiri. Hal itu yang memicu Indonesia untuk optimis melakukan swasembada pangan di tahun 2014, dan berusaha mengikis cap sebagai "negara agraris yang aktif mengimpor pangan", bahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
5) Tingkat Kesehatan dan Kesadaran Gizi
Secara nasional, sebanyak 21,08 % rumah tangga masih tidak mempunyai akses terhadap air bersih (data tahun 2007) dan 13% perempuan dinyatakan buta huruf. Perbaikan di tingkat kesehatan dan kesadaran gizi terutama untuk perempuan baik dalam memberdayakan sumber pangan maupun gizi keluarga sangat penting untuk membangun kesadaran ketahanan pangan Indonesia.
6)Menurunnya Tren Profesi di Bidang Pertanian
Meningkatnya lulusan perguruan tinggi Indonesia terutama dari fakultas pertanian tidak sebanding dengan profesi di bidang pertanian yang digeluti. Masyarakat cenderung menilai profesi "petani" sebagai profesi yang tidak bernilai dan tidak menjanjikan. Oleh karena itu, sektor pertanian semakin ditinggalkan dan inovasi di bidang pertanian juga tertinggal. Sektor pertanian Indonesia masih didominasi oleh masyarakat pedesaan, yang mewariskan lahannya secara turun temurun – dan pada suatu kondisi akan tetap berbenturan pada pilihan apakah generasinya akan melanjutkan atau beralih ke jalur lain.
7)Lemahnya Infrastruktur Pertanian
Kurangnya akses terhadap infrastruktur menyebabkan "kemiskinan lokal", dimana masyarakat yang tinggal di daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dan ketersediaan pasar yang buruk, sehingga kurang memiliki kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai, serta harus menanggung harga yang lebih besar untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Lemahnya infrastruktur pertanian pasca era otonomi daerah karena pertanian saat ini menjadi kewenangan dari pemerintah daerah. Kajian kebijakan pertanian Indonesia (Review of Agricultural Policies: Indonesia) menyatakan bahwa mendorong penanaman modal swasta berkelanjutan pada sektor pertanian merupakan hal penting untuk mendukung infrastruktur daerah.
8)Bencana Alam
Bencana alam merupakan salah satu sebab utama kerawanan pangan sementara. Indonesia adalah salah satu negara yang paling rawan terhadap bencana alam di dunia, berdasarkan pada kejadian besar yang didominasikan oleh Center for Research on the Epidemology of Disasters (CRED), Brussel, Belgia. Berdasarkan data dari BNPB terjadi lebih dari 4.500 kejadian bencana alam selama periode tahun 2000-2007 yang telah menyebabkan lebih dari 141.000 orang meninggal dunia. Data bencana alam nasional tersebut memiliki lebih banyak jenis kejadian bencana daripada database CRED dan termasuk kejadian tingkat besar kecilnya bencana yang meliputi angin topan, banjir, kekeringan, letusan gunung berapi, gempa bumi, Tsunami, tanah longsor, abrasi pantai, epidemik, hama tanaman, kebakaran hutan dan pemukiman. Kejadian bencana Tsunami di Aceh pada 2004 telah menyebabkan lebih dari 128.000 orang meninggal serta menyebabkan kerugian yang sangat besar pada sektor ekonomi. Kejadian bencana alam paling sering terjadi di Jawa Tengah, kemudian diikuti oleh Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
9)Fluktuasi Curah Hujan
Variasi curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik global, regional maupun lokal. Faktor global antara lain adalah fenomena El Nino, La Nina, dan Dipole Mode, sedangkan faktor regional antara lain Sirkulasi Monsun, Madden Julian Oscillation (MJO), dan suhu muka laut perairan Indonesia. Sementara itu faktor lokal yang berpengaruh adalah ketinggian tempat, posisi bentangan suatu pulau, sirkulasi angin darat dan angin laut, serta tutupan lahan suatu wilayah. Pengaruh dari iklim yang ekstrim pada musim hujan menyebabkan banjir dan pada musim kemarau menyebabkan kekeringan. Iklim juga dapat menyebabkan perkembangan organisasi pengganggu tanaman secara eksplisit (OPT). Dengan adanya banjir, kekeringan dan OPT dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak sempurna dan mungkin menyebabkan gagal panen. Daerah puso didefinisikan sebagai suatu daerah produksi pangan yang rusak karena disebabkan oleh bencana alam (banjir, kekeringan, longsor) dan penularan hama oleh OPT. Secara nasional kerusakan tanaman padi akibat banjir sebesar 1,17% di tahun 2006 dan 0,82% di tahun 2007. Pada periode yang sama secara nasional kerusakan tanaman padi akibat kekeringan sebesar 0,68% di tahun 2006 dan 0,48% di tahun 2007. Selama periode dua tahun tersebut, Jawa Barat merupakan daerah yang paling banyak mengalami kerusakan.
10)Deforestasi Hutan
Indonesia merupakan salah satu negara mega biodiversiti yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia dan Australia serta daratan Wallacea. Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia sehingga sangat penting peranannya sebagai bagian dari paru-paru bumi serta menstabilisasi iklim global. Luas kawasan hutan Indonesia termasuk perairan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna Kesepakatan (TGHK) adalah sebesar 137,09 juta ha. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan masih cukup tinggi terutama masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian dan sumber penghidupan lainnya. Perkembangan pembangunan meningkatkan laju deforestasi hutan dimana hutan mulai beralih fungsi akibat adanya isu pembalakan liar dan pembukaan lahan kelapa sawit yang semakin luas sebagai salah satu ancaman dalam keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan.
c.Politik, Pemerintahan, dan Hukum
1)Praktek Kartel (Game Theory Bisnis Pangan)
Praktek kartel menguasai komoditas pangan nasional sudah berlangsung lama dan sangat merugikan produksi pangan nasional. Praktek kartel dianggap sebagai salah satu game dalam bisnis pangan di Indonesia. Kartel yang merupakan persekongkolan segelintir perusahaan sudah terjadi meluas di sektor pangan dalam negeri. Seperti contohnya kartel terjadi dalam impor pangan yaitu impor daging yang mayoritas dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina. Hal ini mengindikasikan dominasi impor yang sangat besar dan hanya dalam satu negara saja. Ada enam komoditas yang telah dikuasai kartel antara lain daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung, dan beras. Bila dirinci, perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel pada kebutuhan daging sapi diperkirakan mencapai 340.000 ton nilai atau sekitar Rp 340 miliar, daging ayam 1,4 juta ton sekitar Rp 1,4 triliun. Selanjutnya gula sebanyak 4,6 juta ton mencapai Rp 4,6 triliun, kedelai 1,6 juta ton Rp 1,6 triliun, jagung 2,2 juta ton Rp 2,2 triliun, dan beras impor 1,2 juta ton kartelnya diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun. Gambaran seperti itu diakibatkan karena penataan manajemen pangan nasional yang sangat lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangannya. Terbongkarnya praktik suap impor daging sapi membuktikan permasalahan yang terjadi di Kementerian Pertanian sudah sangat serius. Tingginya harga bawang putih dalam beberapa waktu terakhir di Indonesia, merupakan puncak masalah akibat dari hancurnya sistem bernegara dan berpindahnya kekuasaan negara ke tangan kartel, mafia, dan sindikat pangan. Akibatnya, negara tidak lagi dapat mengontrol harga. Pasokan bawang putih sepenuhnya dikuasai sindikat yang bekerjasama dengan oknum pemerintahan. Hal inilah yang mendorong melangitnya harga bawang putih hingga mencapai Rp 70.500 per kilogramnya pada pertengahan tahun 2013. Kebijakan pemerintah melalui peraturan kebijakan impor yang menguntungkan importir akan dimanfaarkan oleh importir nakal untuk menahan pasokan dan memainkan harga pangan.
2)Policy Partnership on Food Security (PPFS)
Policy Partnership on Food Security (PPFS) atau Kemitraan Kebijakan Ketahanan Pangan, yang diresmikan 2012 di Kazan Rusia merupakan kemitraan antara sektor swasta dan pemerintah dengan tugas membahas kebijakan ketahanan pangan di kawasan APEC. Sesuai dengan acuan kerja PPFS, sebagai tuan rumah APEC tahun 2013, Indonesia otomatis menjadi Ketua PPFS. Sebagai ketua, Indonesia mengusung tema PPFS 2013 dan disepakati seluruh anggota PPFS, "Aligning Farmers Into the Achievement of Global Food Security", atau "Menyelaraskan Peran petani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Global". Dengan tema ini, Indonesia ingin menempatkan petani, terutama petani kecil, sebagai sentral dari pembangunan ketahanan pangan. Oleh karena itu, APEC PPFS mendukung perdagangan internasional pangan yang dapat meningkatkan pendapatan dengan pembagian manfaat  yang lebih berkeadilan bagi para pelaku usaha kecil.
3)Washington Consensus
Selama Indonesia masih berkiblat pada Konsensus Washington, selama itu juga Indonesia tidak bisa mandiri secara pangan. Konsensus Washington membuat Rakyat Indonesia tak leluasa bergerak dalam menentukan nasib produktivitas pertaniannya. Maka, tak heran jika ketahanan pangan Indonesia lemah. Tidak heran jika rakyat yang miskin di Indonesia malah semakin miskin dan akan ada banyak yang kehilangan pekerjaan. Akibat Konsensus Washington, liberalisasi pasar akan menguasai cara pasar Indonesia. Akibat Konsensus Washington, privatisasi beberapa perusahaan negara diberlakukan sebagai jalan untuk mengatasi krisis negara. Ironis. Menurut situs web resmi Serikat Petani Indonesia, kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari ketahanan pangan (food security). Mustahil tercipta ketahanan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya. 
d. Teknologi
1)Dominasi Pertanian Konvensional
Sebagian besar pertanian Indonesia masih dikelola oleh sistem konvensional yang sangat besar mengalami risiko gagal panen akibat pengaruh iklim, banjir, atau kekeringan. Risiko ini dapat diminimalkan dengan pengimplementasian teknologi pertanian yang dapat mengurangi risiko alam dan juga mempercepat masa waktu panen. Modernisasi pertanian baik untuk menghasilkan bahan pangan organik, efisiensi biaya dan waktu, dan diversifikasi pangan sangat penting untuk meningkatkan ketahanan pangan dan nilai produk pertanian, tetapi masih sering diabaikan.
2)Pemanfaatan Teknologi Nuklir
Upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, satu di antaranya dengan memperhitungkan pemanfaatan teknologi nuklir, seperti yang dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Teknik yang digunakan adalah melakukan pemuliaan tanaman dengan teknologi mutasi radiasi. Inovasi teknologi nuklir di bidang pertanian telah terbukti mampu membantu pemerintah dalam penyediaan benih berkualitas. Benih tersebut antara lain padi, kedelai, sorgum, kacang hijau, dan gandum. Benih berkualitas harus memiliki keunggulan, antara lain daya hasil yang tinggi atau berlimpah, berumur pendek, tahan terhadap hama penyakit dan kekeringan. Pemanfaatan teknologi nuklir di bidang kesehatan dan reproduksi ternak juga berperan untuk meningkatkan produksi daging dan susu.
3)Peran Media
Peran media di Indonesia yang cukup bebas dalam menyebarkan informasi sejak era reformasi besar pengaruhnya dalam fluktuasi harga pangan di pasar. Isu-isu yang disampaikan oleh media dapat menjadi stimulus baik positif maupun negatif terhadap pasar. Pasar menjadi lebih sensitif terhadap 'informasi' dibandingkan kondisi supply dan demand itu sendiri. Sebagai contoh, saat media mengabarkan bahwa terjadi kelangkaan kedelai maka harga kedelai menjadi naik di pasaran dan perlahan-lahan menjadi langka, baik secara disengaja ataupun tidak. Media juga menjadi alat kontrol pemerintah untuk melihat apakah kebijakan pemerintah berjalan dengan baik atau tidak melalui pengamatan langsung pada masyarakat.
4)Peran Teknologi Informasi
Teknologi informasi diharapkan dapat memberikan perbaikan dalam pengawasan ketahanan pangan di Indonesia. Dengan bantuan pencitraan dari satelit, pemerintah dapat menemukan titik-titik kritis kerawanan pangan secara lebih efektif dan mengumpulkan data-data yang akurat sebagai bahan pengambilan kebijakan.
e.Kompetitif
1) Pertanian Indonesia yang Cenderung Konvensional
Modernisasi pertanian yang telah digalakkan oleh negara-negara maju seperti Jepang, Thailang, dan Amerika Serikat memberikan efek positif terhadap pengelolaan bibit unggul, berskala besar, dengan efisiensi waktu panen, dan pencegahan risiko gagal panen. Sistem pertanian Indonesia yang cenderung konvensional tertinggal dari kompetisi penyediaan pangan ini, terutama kaitannya dengan perdagangan internasional.
2)Persaingan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Dari sisi penyediaan (supply), adanya persaingan pemanfaatan sumber daya alam (lahan, air, perairan) yang lebih ketat lagi pada tahun-tahun mendatang dapat menurunkan kapasitas penimgkatan produksi pangan global. Luas pengusahaan lahan per petani di negara berkembang kawasan APEC yang sempit (sekitar 0,22 ha pada tahun 2012) akan menyulitkan upaya peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan petani.  Selain itu, perubahan iklim ekstrem juga dapat menurunkan produksi pangan utama, seperti beras, gandum dan ikan.
3)Indonesia sebagai Negara Agraris Pengimpor Pangan
Meski dikenal sebagai negara agraris dengan lahannya yang subur, Indonesia ternyata masih belum sanggup memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Pasokan pangan masyarakat di tanah air masih dipenuhi dengan mengimpor dari negara lain seperti Thailand, Vietnam bahkan Madagaskar. Sebut saja ubi kayu, pemerintah lewat para petani lokalnya ternyata belum bisa memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Terbukti kurun Januari-Juni 2013, pemerintah masih mengimpor sekitar 100.798 ribu kg ubi kayu. Sementara komoditas pangan yang paling banyak diimpor adalah gula tebu dan jagung dengan volume impor masing-masing sebesar 1,85 miliar dan 1,29 miliar kg. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) berikut 28 komoditas pangan masyarakat Indonesia yang masih diimpor dari negara lain untuk periode Januari-Juni 2013:
1. BerasNilai impor : US$ 124,36 jutaVolume impor : 239,31 juta kgNegara asal : Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan lainnya.2. JagungNilai impor : US$ 393,18 jutaVolume impor : 1,29 miliar kgNegara asal : India, Argentina, Brazil, Paraguay, Amerika Serikat dan lainnya.3. KedelaiNilai impor : US$ 509,47 jutaVolume impor : 826,33 juta kgNegara asal : Amerika Serikat, Malaysia, Argentina, Ethiopia, Ukraina dan lainnya.4. Biji Gandum dan MeslinNilai impor : US$ 1,22 miliarVolume impor : 3,24 miliar kgNegara asal : Australia, Kanada, India, Amerika Serikat, Singapura, dan lainnya.5. Tepung TeriguNilai impor : US$ 36,8 jutavolume impor : 82,5 juta kgNegara asal : Srilanka, India, Ukraina, Turki, Jepang, dan lainnya.6. Gula PasirNilai impor : US$ 20,06 jutaVolume impor : 32,64 juta kgNegara asal : Thailand, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru, dan lainnya.7. Gula TebuNilai impor : US$ 980,46 jutaVolume impor : 1,85 miliar kgNegara asal : Thailand, Brazil, Australia, El Salvador, Guatemala dan lainnya.8. Daging Sejenis LembuNilai impor : US$ 87,25 jutaVolume impor : 17,86 juta kgNegara asal : Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan dan lainnya.
9. Jenis LembuNilai impor : US$ 123,84 jutaVolume impor : 44,28 juta kgNegara asal : Australia10. Daging AyamNilai impor : US$ 509,47 jutaVolume impor : 826,33 juta kgNegara asal : Malaysia11. GaramNilai impor : US$ 43,12 jutaVolume impor : 923,57 juta kgNegara asal : Australia, India, Jerman, Selandia Baru, Singapura dan lainnya.12. MentegaNilai impor : US$ 43,85 jutaVolume impor : 10,18 juta kgNegara asal : Selandia Baru, Belgia, Australia, Perancis, Belanda dan lainnya.13. Minyak GorengNilai impor : US$ 33,07 jutaVolume impor : 34,88 juta kgNegara asal : India, Malaysia, Vietnam, Thailand, Singapura dan lainnya.14. SusuNilai impor : US$ 379,3 jutaVolume impor : 103,47 juta kgNegara asal : Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Belgia, Jerman dan lainnya.15. Bawang MerahNilai impor : US$ 28,57 jutaVolume impor : 63,17 juta kgNegara asal : India, Thailand, Vietnam, Filipina, China dan lainnya.16. Bawang PutihNilai impor : US$ 144,43 jutaVolume impor : 187,86 juta kgNegara asal : China, India dan Vietnam17. KelapaNilai impor : US$ 441.191Volume impor : 445.585 kgNegara asal : Thailand, Singapura, Vietnam dan Filipina18. Kelapa SawitNilai impor : US$ 1,74 jutaVolume impor : 3,24 juta kgNegara asal : Malaysia, Papua Nugini dan Kepulauan Virginia19. LadaNilai impor : US$ 2,003 jutaVolume impor : 136.277 kgNegara asal : Vietnam, Malaysia, Belanda, India dan lainnya.20. TehNilai impor : US$ 15,66 jutaVolume impor : 11,41 juta kgNegara asal : Vietnam, India, Kenya, Iran, Srilanka dan lainnya.21. KopiNilai impor : US$ 31,52 jutaVolume impor : 13,48 juta kgNegara asal : Vietnam, Brazil, Amerika Serikat, Italia, dan lainnya.22. CengkehNilai impor : US$ 1,87 jutaVolume impor : 182.861 kgNegara asal : Madagaskar, Mauritis, Singapura23. KakaoNilai impor : US$ 36,02 jutaVolume impor : 14,37 juta kgNegara asal : Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Kamerun, Ekuador dan lainnya.24. Cabe (kering tumbuk)Nilai impor : US$ 11,25 jutaVolume impor : 8,79 juta kgNegara asal : India, China, Malaysia, Jerman, Thailand, dan lainnya.
25. Cabe (awet sementara)Nilai impor : US$ 1,09 jutaVolume impor : 1,11 juta kgNegara asal : Thailand, China dan Malaysia26. TembakauNilai impor : US$ 274,7 jutaVolume impor : 54,59 juta kgNegara asal : China, Turki, Brasil, Filipina, Amerika Serikat dan lainnya.27. Ubi KayuNilai impor : US$ 38.380Volume impor : 100.798 kgNegara asal : Thailand28. KentangNilai impor : US$ 14,33 jutaVolume impor : 21,65 juta kgNegara asal : Australia, Kanada, China dan Inggris.
4)Rendahnya Kualitas Produk Lokal
Masyarakat cenderung untuk menggunakan produk impor dengan alasan kualitasnya yang bagus maupun harganya yang relatif terjangkau. Namun bukan berarti bahwa pemerintah terus harus melakukan kegiatan impor. Pemerintah perlu menetapkan setiap produk impor yang masuk ke Indonesia sehingga diharapkan produk impor yang masuk ke Indonesia dapat berkurang.
2.Matriks Evaluasi Faktor Eksternal
Audit eksternal lebih lanjut dilakukan melalui Matriks External Factor Evaluation (EFE). Matriks EFE digunakan untuk melihat seberapa responsif Indonesia menghadapi tantangan dan peluang terhadap ketahanan pangan. Faktor-faktor yang dipilih dalam EFE adalah peluang dan ancaman yang diperhitungkan paling signifikan terhadap keberlangsungan ketahanan pangan di Indonesia. Untuk lebih jelasnya, Matriks EFE ketahanan pangan di Indonesia disajikan dalam tabel berikut:
No Opportunities Bobot Peringkat Skor Total
1 Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia 0,04 2 0,08
2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 0,04 1 0,04
3 Berkembangnya Berbagai Bentuk Pasar 0,04 2 0,08
4 Letak Geografis Indonesia 0,07 2 0,14
5 Citra Indonesia Sebagai Negara Agraris 0,05 2 0,10
6 Policy Partnership on Food Security 0,04 4 0,16
7 Peran Media 0,06 3 0,18
8 Tingkat Kesehatan dan Kesadaran Gizi 0,04 2 0,08
9 Peran Teknologi Informasi 0,06 1 0,06
No Threats Bobot Peringkat Skor Total
1 Sistem Perdagangan Pasar Bebas 0,07 2 0,14
2 Indonesia sebagai Negara Agraris Pengimpor Pangan 0,08 1 0,08
3 Dominasi Pertanian Konvensional 0,05 2 0,10
4 Bencana alam 0,04 3 0,12
5 Fluktuasi curah hujan 0,05 3 0,15
6 Jumlah Penduduk yang Besar 0,06 2 0,12
7 Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak 0,06 3 0,18
8 Mafia Pangan dan Praktek Kartel (Game Theory) 0,09 1 0,09
9 Fluktuasi Nilai Tukar Mata Uang 0,06 3 0,18
TOTAL 1,00 2,08
Penilaian Internal
1.Kekuatan dan Kelemahan Ketahanan Pangan di Indonesia
Penilaian internal sangat penting untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan manajemen ketahanan pangan di Indonesia yang penulis simpulkan sebagai berikut:
Kekuatan
Kekuatan ketahanan pangan di Indonesia didominasi oleh aspek regulasi, kelembagaan, dan keuangan negara.
1)Pengaturan Pangan Diatur dalam Undang-Undang
Menurut UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh rakyat merupakan kewajiban moral, sosial, maupun hukum, termasuk hak asasi setiap rakyat Indonesia. UU tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2)Kelembagaan di Bidang Pangan
Sebagai bagian dari perencanaan pembangunan pertanian yang dikelola oleh Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, tujuan dan sasaran pembangunan ketahanan pangan tahun 2010 – 2014 akan diwujudkan melalui kegiatan prioritas nasional.
3)Kebijakan Perlindungan Produsen dari Pemerintah Indonesia
Demi melindungi produsen dalam negeri, pemerintah juga membatasi atau memberi kuota terhadap masuknya produk impor ke Indonesia. Perusahaan dalam negeri sendiri juga tidak bisa hanya mengandalkan perlindungan produk dari pemerintah. Perlindungan produsen dalam negeri hanya perlu dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan tentunya pemerintah juga harus mempersiapkan mereka untuk dapat bersaing.
4)Konsumen Domestik yang Besar
Kekuatan lain yang dimiliki oleh Indonesia adalah konsumen domestik yang besar menjadi pasar dalam negeri yang potensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
5)Kebijakan Anggaran
UU No. 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2013 tentang APBN Tahun Anggaran 2013 dalam Pasal 8 mengamanatkan kenaikan jumlah subsidi pangan, subsidi pupuk, dan subsidi benih untuk tahun anggaran 2013. Dalam rangka untuk mengurangi beban subsidi pertanian terutama pupuk pada masa yang akan datang, pemerintah menjamin harga gas untuk memenuhi kebutuhan perusahaan produsen pupuk dalam negeri dengan harga domestik. Di samping itu, pemerintah juga mengutamakan kecukupan pasokan gas yang dibutuhkan perusahaan produsen pupuk dalam negeri dalam rangka menjaga ketahanan pangan, dengan tetap mengoptimalkan penerimaan negara dari penjualan gas. Dalam rangka pelaksanaan subsidi pupuk tersebut, pemerintah daerah diberi kewenangan mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi melalui mekanisme Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
6)Penguatan Peran DPR
DPR yang memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan mempunyai peran penting dalam pencapaian setiap keputusan nasional yang diambil pemerintah. Komisi IV DPR yang membidangi pertanian memiliki target menelurkan sejumlah UU untuk mendukung tumbuhnya pertanian nasional antara lain UU Holtikultra, UU Pangan, UU Perlindungan Pemberdayaan Petani, dan UU lainnya. Namun belum ada eksekusi dari pemerintah atas produk hukum ini. DPR juga sangat berperan dalam memberikan persetujuan anggaran terhadap besaran subsidi dan kebijakan ekspor-impor yang akan diambil pemerintah. Namun sayangnya tidak terdapat koordinasi yang baik antara pemerintah dan DPR, karena langkah-langkah penyelamatan ketahanan pangan seringkali hanya dilakukan secara represif, bukan preventif.
7)Penguatan Peran BULOG
Pemerintah telah menetapkan Perum BULOG menjalankan fungsinya sebagai penyangga agar harga pangan tidak berfluktuasi dan cadangan pangan untuk kondisi darurat tetap terjaga. BULOG diharapkan mampu menjaga harga pangan di pasar lokal sehingga petani menerima harga jual yang tetap memberikan keuntungan bagi usaha taninya dan konsumen dapat membeli pangan dengan harga terjangkau. Setidaknya untuk beberapa produk pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi dan minyak goreng. Di dalam draft Rancangan Undang-Undang perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, BULOG harus lebih diberdayakan. Di dalam undang-undang yang lama, peranannya tidak spesifik dan terlalu umum.
8)Peran KPPU
Bila terindikasi ada peran kartel atau mafia pangan maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus turun mengatasi. KPPU bisa menggunakan UU nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk menjerat para distributor yang melakukan praktik monopoli dan kartel.
9)Porsi Bantuan / Transfer Ke Daerah
Sesuai amanat UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pusat menyerahkan bantuan berupa Dana Alokasi Khusus dan/atau hibah daerah dalam rangka mendanai ketahanan pangan di daerah.
Kelemahan
Kelemahan ketahanan pangan di Indonesia cukup kompleks, sangat banyak yang harus dibenahi, dan didominasi oleh faktor SDM sebagai subjek dan produk pangan sebagai objek.
1)Deregulasi di Bidang Pangan
Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres No. 36 dan 65 Tahun 2006, UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola produksi–distribusi–konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya.
2)Kualitas Penyuluhan Petani yang Belum Memadai
Pada dasarnya petani di Indonesia sangat produktif dan profesional di bidangnya. Banyak dari mereka bahkan mampu mengidentifikasi jenis hama dan penyakit tanaman hanya dari penampilan fisik dan fisiologi tanaman. Penurunan kapasitas kelembagaan petani dan kurangnya kepedulian terhadap peningkatan petani Indonesia menjadi salah satu sebab krisis pangan dan lemahnya produktivitas pangan. Pemerintah belum menyentuh aspek soft skill petani yang menjadi titik emas dalam ketahanan pangan. Selama periode 2006-2010, dukungan pemerintah kepada sektor pertanian yang diukur dengan Producer Support Estimate (PSE) rata-rata mencapai 9 % dari total nilai produksi yang diterima petani atau lebih rendah dari rata-rata negara anggota OECD. Laporan OECD ini mengusulkan reformasi yang dapat memperbaiki efisiensi dukungan untuk petani maupun konsumen miskin.
3)Bea Masuk Nol Persen
Pemerintah telah membebaskan impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.  Kebijakan ini membuat pengaruh yang signifikan terhadap kedelai lokal karena harus bersaing dengan kedelai impor asal Amerika Serikat.
4)Tingkat Pendapatan Petani yang Rendah
Pada sektor pertanian, faktor yang menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah adalah rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani/produsen (farm gate price) di daerah pedesaan dibandingkan dengan harga di perkotaan untuk komoditas dengan kualitas yang sama (komoditas belum diubah atau diproses). Rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani merupakan akibat dari tingginya biaya transportasi pemasaran hasil pertanian dari produsen awal.
5)Menurunnya Preferensi Sektor Pertanian Sebagai Sumber Pendapatan Masyarakat
Dengan produktivitas pertanian yang peningkatannya relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir, fragmentasi lahan yang relatif tinggi di wilayah padat penduduk dan pengaruh curah hujan yang tak menentu di wilayah bagian timur kawasan Indonesia, berdampak kurang menguntungkan pada masyarakat yang bergantung terhadap produksi tanaman pangan (di lahan sendiri ataupun sistem bagi hasil) sebagai sumber pendapatan utama. Apabila petani sejahtera, maka lahan-lahan pertanian akan dapat dipertahankan dan tidak lagi beralih fungsi. Selain itu, sebagian besar wilayah Indonesia bagian timur kurang cocok untuk lahan pertanian pangan.
6)Kendala pada Sistem Pemasaran dan Distribusi
Distribusi ke wilayah timur masih lambat karena keterbelakangan infrastruktur sehingga arus ketersediaan pangan terhambat dan harga jual pangan menjadi mahal. Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Pasar juga seringkali dikuasai oleh oknum tertentu yang sering menguasai produk petani-petani tertentu dan membebani biaya-biaya di luar yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengelolaan kebijakan pangan oleh pemerintah pun dinilai masih sangat sentralistik.
7)Proses Diversifikasi Berjalan Lamban
Kampanye diversifikasi dan konsumsi produk pangan non beras hanya menyentuh masyarakat perkotaan dan kalangan menegah ke atas. Konsumsi nasi masih menjadi budaya tak terpisahkan dari sebagian besar masyarakat Indonesia.
8)Luas Lahan Pertanian yang Semakin Sempit
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta ha di Jawa dan 0,62 juta ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
9)Mahalnya Harga Produk Lokal
Jika ditelaah kembali ada beberapa hal yang membuat harga produk lokal cukup melambung. Di antaranya adalah sistem distribusi dalam negeri yang kurang efisien sehingga memerlukan biaya lebih untuk transportasi. Selain itu, peralatan tradisiona; yang digunakan pada pabrik juga dinilai kurang efisien. Hal–hal tersebut menjadi kendala utama bagi rakyat Indonesia sehingga kalah bersaing dari negara lain.
10)Pergeseran Musim
Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih beserta pupuk, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
11)Kurangnya Riset dan Pengembangan Teknologi
Kurangnya kepedulian pada riset dan pengembangan teknologi adalah salah satu penyebab tertinggalnya bangsa ini. Pengembangan teknologi kultur jaringan, teknologi transgenik, dan analisis molekuler sangat diperlukan untuk masa depan ketahanan pangan yang mandiri. Semua produk hasil litbang BATAN baik di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan juga harus selayaknya dipatenkan.
12)Rendahnya Produktivitas Produk Lokal
Dengan mengambil sample kedelai, rata-rata setiap hektar lahan kedelai di Indonesia saat ini hanya mampu memproduksi 1,5 ton. Padahal di Amerika Serikat produksi kedelai setiap hektar lahan bisa mencapai 3 ton hingga 3,5 ton. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kedelai lokal adalah tidak tersedianya subsidi pupuk dan pemberian benih kedelai varietas unggul ke petani.
13)Buruknya Tata Ruang
Buruknya tata ruang nasional merembet pada tata ruang di tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten, sehingga perlindungan terhadap kawasan pertanian menjadi tidak optimal. Pengalihan lahan basah menjadi lahan kering untuk selanjutnya dijadikan lahan perumahan juga telah banyak terjadi. Keadaan ini lama-kelamaan akan semakin membuat berkurangnya lahan pertanian. Termasuk juga penggunaan pupuk buatan sebagai pengganti pupuk organik yang berpotensi mengganggu kesuburan tanah persawahan.
2.Matriks Evaluasi Faktor Internal
Audit internal lebih lanjut dilakukan melalui Matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Matriks IFE digunakan untuk melihat kualitas manajemen ketahanan pangan Indonesia. Faktor-faktor yang dipilih dalam IFE adalah kekuatan dan kelemahan baik secara mayor atau minor diperhitungkan paling signifikan terhadap manajemen ketahanan pangan di Indonesia. Matriks IFE ketahanan pangan di Indonesia disajikan sebagai berikut:
No Strengths Bobot Peringkat Skor Total
1 Pengaturan Pangan Diatur dalam Undang-Undang 0,04 3 0,12
2 Kelembagaan di Bidang Pangan 0,04 4 0,16
3 Kebijakan Perlindungan Produsen dari Pemerintah Indonesia 0,06 3 0,18
4 Konsumen Domestik yang Besar 0,07 4 0,28
5 Kebijakan Anggaran 0,09 3 0,27
6 Penguatan Peran DPR 0,08 3 0,24
7 Penguatan Peran BULOG 0,07 3 0,21
8 Peran KPPU 0,04 3 0,12
9 Porsi Bantuan / Transfer Ke Daerah 0,04 3 0,12
No Weakness Bobot Peringkat Skor Total
1 Bea Masuk Nol % 0,05 1 0,05
2 Tingkat Pendapatan Petani yang Rendah 0,04 1 0,04
3 Menurunnya Preferensi Sektor Pertanian Sebagai Sumber Pendapatan Masyarakat 0,04 1 0,04
4 Kendala pada Sistem Pemasaran dan Distribusi 0,06 1 0,06
5 Luas Lahan Pertanian yang Semakin Sempit 0,07 1 0,07
6 Mahalnya Harga Produk Lokal 0,05 2 0,10
7 Kurangnya Riset dan Pengembangan Teknologi 0,04 2 0,08
8 Rendahnya Produktivitas Produk Lokal 0,07 2 0,14
9 Pergeseran Musim 0,05 1 0,05
TOTAL 1,00 2,33
C.Matriks SWOT
Dari hasil analisis Matriks EFE dan Matriks IFE, bisa disimpulkan bahwa kekuatan yang paling besar adalah kebijakan anggaran negara dan kelemahan yang paling lemah terletak pada SDM atau para pelaku tani. Sementara peluang yang dimiliki Indonesia berupa geografis yang luas dengan potensi besar untuk dapat diberdayakan dan ancaman yang paling perlu dihindari adalah peran mafia dan kartel pangan yang mask dalam sistem pasar Indonesia. Strategi yang muncul dari SO, WO, ST dan WT disajikan pada tabel berikut:
Matrix
SWOT External Opportunities (O)
O1
O2
.....
O9 External Threats (T)
T1
T2
.....
T9
Internal Strength (S)
S1
S2
S3
.....
S9 SO Strategy (maxi-maxi)
Pengembangan lahan abadi, lahan sawah beririgasi, dan lahan kering di wilayah-wilayah sumber pangan baru Indonesia (S2-O5)
Diversifikasi Pangan (O1-O2)
Subsidi pangan, benih, dan pupuk yang tepat sasaran (O2-S5 S6)
Penguatan ketahanan pangan daerah sebagai bagian dari kewenangan daerah (S9-O4) ST Strategy (maxi-mini)
Kebijakan stabilisasi harga pangan (S3-T1)
Pemberantasan kartel pangan dan penyelidikan secara intensif (S7 S8-T8)
Swasembada pangan (S2 S4-T2)
Pengaturan pasokan gas untuk memproduksi pupuk (S3-T2)
Internal Weakness (W)
W1
W2
W3
.....
9. W9 WO Strategy (mini-max)
Mendukung perdagangan internasional pangan yang dapat meningkatkan pendapatan dengan pembagian manfaat yang lebih berkeadilan bagi para pelaku usaha kecil. (W2-S6)
Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan, dan infrastruktur pangan (W4 W5-O4)
Penyediaan varietas dan bibit unggul (W8-O3 O9)
Penyusunan database ketersediaan pangan dan prognosa kebutuhan pangan secara akurat (W8 O9) WT Strategy (mini-mini)
Penyediaan insentif di bidang pangan, mendorong riset, kerjasama dengan universitas dan BATAN, dan peningkatan fasilitas kelembagaan dan penyuluhan bagi petani (W7 W8-T3)
Meningkatkan kualitas produk dalam negeri melalui persaingan yang bebas dan sehat (W1-T1)
Modernisasi pertanian (W5-T7 T9)
D.Analisis Strategi
Dari analisis tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa:
1. Dari matriks EFE dan dengan total nilai 2,08 dapat disimpulkan bahwa respon pemerintah Indonesia dalam menghadapi ancaman dan peluang masih kurang baik. Ancaman yang paling signifikan saat ini adalah ketergantungan impor dan ketidakberdayaan pemerintah memberantas mafia pangan dan praktek kartel yang memberikan dampak berkelanjutan pada kenaikan harga, kelangkaan pangan, kondisi ekonomi negara, dan kredibilitas masyarakat terhadap pemerintahnya sendiri. Sebaliknya, peluang Indonesia untuk memajukan ketahanan pangan terletak pada faktor geografisnya yang sangat luas. Namun, potensi-potensi untuk menjadi motor penggerak pangan nasional tersebut masih tidak dimaksimalkan karena terbatasnya akses infrastruktur, distribusi, riset dan pengembangan, dan sumber daya manusia yang mumpuni.
2. Dari matriks IFE dan dengan total nilai 2,33 dapat disimpulkan bahwa manajemen ketahanan pangan pemerintah Indonesia masih kurang baik. Kekuatan yang paling mayor terlihat pada proses pengambilan keputusan yakni perlunya penganggaran dan kestabilan kebijakan ekonomi untuk memenuhi strategi penguatan ketahanan pangan. Sementara itu, kelemahan yang paling signifikan terletak pada faktor SDM atau pelaku tani, yakni tingkat pendapatan petani yang rendah dan menurunnya preferensi sektor pertanian sebagai sumber pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap pilihan para petani untuk produktif dan maju karena kurangnya insentif dan pelatihan-pelatihan untuk petani.
3. Indonesia masih membutuhkan proses panjang dan perbaikan yang berkesinambungan untuk memperkuat ketahanan pangan secara mandiri. Dari hasil pencocokan faktor internal dan faktor eksternal, diperoleh beberapa rekomendasi strategi yang perlu ditempuh sebagai berikut:
Strategi ekstensifikasi melalui pengembangan lahan abadi, lahan sawah beririgasi, dan lahan kering di wilayah-wilayah sumber pangan baru Indonesia;
Diversifikasi pangan untuk mencegah ketergantungan konsumsi dari satu jenis bahan pokok;
Subsidi pangan, benih, dan pupuk yang tepat sasaran di setiap tahun anggaran dan penguatan ketahanan pangan daerah sebagai bagian dari kewenangan daerah melalui optimalisasi dana transfer pusat ke daerah. Pemerintah juga perlu mengutamakan kecukupan pasokan gas yang dibutuhkan perusahaan produsen pupuk dalam negeri dalam rangka menjaga ketahanan pangan.
Kebijakan stabilisasi harga pangan untuk melindungi produksi dalam negeri dari pengaruh bebas sistem ekonomi pasar terbuka, antara lain melalui penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah/beras dan Stabilisasi Harga Kedelai (SHK).
Pemberantasan kartel pangan dan spekulan-spekulan musiman secara tegas dari pasar nasional melalui kebijakan yang mengandalkan persaingan yang sehat dan melibatkan pengawasan intensif dari KPPU.
Swasembada pangan untuk menciptakan kemandirian pangan dan menutup keran impor.
Mengoptimalkan peluang kerja sama internasional untuk menciptakan perdagangan internasional pangan yang dapat meningkatkan pendapatan dengan pembagian manfaat  yang lebih berkeadilan bagi para pelaku usaha kecil.
Pengembangan konservasi, rehabilitasi lahan, dan infrastruktur pangan untuk meningkatkan efisiensi biaya distribusi.
Strategi intensifikasi melalui penyediaan varietas dan bibit unggul.
Penyediaan insentif di bidang pangan, mendorong riset, kerjasama dengan universitas dan BATAN, dan peningkatan fasilitas kelembagaan dan penyuluhan bagi petani. Petani adalah mata rantai utama ketahanan pangan di Indonesia.
Meningkatkan kualitas produk dalam negeri melalui persaingan yang bebas dan sehat.
Indonesia harus maju beberapa langkah dengan memanfaatkan kemajuan teknologi melalui modernisasi pertanian sehingga memberikan efek positif terhadap pengelolaan bibit unggul, berskala besar, dengan efisiensi waktu panen, pencegahan risiko gagal panen, dan meningkatkan daya tawar kompetisi Indonesia di mata dunia.
Penggunaan teknologi informasi dalam pengadministrasian data-data ketersediaan dan kerawanan pangan sangat penting untuk melakukan prognosa kebutuhan pangan nasional secara akurat.
Rekomendasi strategi-strategi di atas dapat dijabarkan dalam politik pangan Indonesia yang selayaknya disandarkan pada fondasi kedaulatan dan kemandirian sebagai berikut:
Regulasi. Harmonisasi implementasi peraturan dan Undang-Undang antar Kementerian Lembaga/legislatif dan antara pusat/daerah, sinergitas program Kementerian/ Lembaga, fokus pada sektor pertanian dalam arti luas (mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan), alokasi anggaran APBD untuk pembangunan sektor pertanian yang signifikan, penguatan kelembagaan yang terkait dengan pertanian, Research and Development, perbankan dan penyuluhan, sinergitas Akademisi, Bisnis, Government (ABG) dan LSM untuk peningkatan inovasi dan produktivitas.
Ketersediaan. Kesungguhan pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi pangan lokal di wilayah masing-masing, revitalisasi BUMN pangan guna meningkatkan produksi untuk mendapatkan economy of scale sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan, dan dukungan Pemerintah untuk pengembangan sistem perbenihan dan perbibitan melalui pemanfaatan hasil riset baik oleh lembaga pemerintah, perguruan tinggi, swasta, maupun masyarakat.
Keterjangkauan. Melakukan penataan sistem logistik melalui perbaikan infrastruktur jalan, perhubungan dan pergudangan agar dapat menurunkan biaya logistik untuk meningkatkan daya saing, memperpendek supply chain pangan melalui peningkatan peran BULOG untuk stabilisasi harga komoditas pangan strategis dan menekan pasar yang bersifat oligopoli, dan membangun sistem pengawasan terhadap distribusi pangan dan berbagai subsidi input produksi.
Ketercukupan Gizi. Perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi protein dan menurunkan konsumsi karbohidrat sesuai dengan Pola Pangan Harapan, peningkatan diversifikasi konsumsi pangan lokal melalui pengembangan dan pemanfaatan sumber pangan di masing-masing wilayahnya, modernisasi industri pangan lokal mulai dari pengolahan hingga pengemasan sehingga dapat menjadi kebanggaan dan sumber pendapatan baru bagi masyarakat daerah, dan peningkatan keamanan pangan untuk menjamin keselamatan konsumen melalui pemberdayaan Badan POM dan Laboratorium Universitas di masing-masing daerah.
5.Era perdagangan bebas yang salah satunya ditandai dengan kemunculan ASEAN Cina Free Trade Area (ACFTA) sejak tahun 2010 dapat menjadi ancaman untuk basis pangan di Indonesia apabila Indonesia tidak mampu menciptakan competitive advantage dan kemandirian pangan, yakni sektor pertanian Indonesia terpuruk akibat kalah bersaing dengan produk pertanian impor. Beberapa tahun lalu kebijakan nasional Indonesia hanya membolehkan impor berkisar 20 hingga 30 % saja. Tetapi saat ini kebutuhan produk pertanian kita ternyata 70 %-nya berasal dari produk impor sebagai konsekuensi dari perdagangan bebas. Pernah ada masa ketika Indonesia bebas dari mafia dan kartel yang merugikan yaitu ketika BULOG benar-benar menjalankan fungsinya sebagai penyangga harga pangan dan koperasi.
6.Kebijakan impor produk pertanian yang kurang terkontrol saat ini telah menciptakan konspirasi antara oknum di pemerintahan dengan mafia kartel pangan. Perlu kelembagaan pangan yang kuat dan kebijakan yang terintegrasi antara produksi pangan pada Kementerian Pertanian dan impor pada Kementerian Perdagangan. Prinsip ekonomi pasar sosial atau "social market economy" harus dijalankan. Artinya pasar tidak boleh dibiarkan jalan sendiri tanpa kontrol karena bisa menciptakan yang kuat semakin kuat serta monopoli dan oligopoli, dan pada akhirnya akan membunuh petani tradisional, pengusaha menengah dan kecil yang umumnya perusahaan dalam negeri. Kualitas dan volume produksi dalam negeri juga harus dimaksimalkan, termasuk sektor agribisnis dan agroindustri di Indonesia agar bisa tumbuh, berkembang, dan mandiri.
BAB III
RENCANA STRATEGIS SWASEMBADA BERAS INDONESIA
A.Urgensi Swasembada Beras
"Pertanian yang cerah akan menjadi institusi negara. Hal itulah yang paling berharga dibandingkan dengan yang lain. Pertanian yang cerah akan membawa kita bersama mendapatkan banyak hal dan sebagai penolong yang lebih baik dari pada yang lain." (Abraham Lincoln, Presiden USA 1861-1865).
Swasembada pangan adalah salah satu strategi yang perlu diterapkan Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan yang mandiri dan lebih kuat. Beras adalah pangan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Swasembada beras akan memposisikan sektor pertanian sebagai sektor andalan perekonomian nasional yang pernah dicanangkan dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan di Jawa Barat pada tanggal 11 Januari 2005 oleh Presiden RI.
Laju pertumbuhan penduduk yang positif mendorong Indonesia untuk memacu produksi pangannya secara mandiri dan mengurangi ketergantungan impor. Sebagai negara agraris yang dikaruniai kesuburan tanah dan kondisi iklim yang kondusif– seyogianya hampir semua pangan yang dibutuhkan dapat diproduksi di Indonesia. Namun, masalah penyediaan beras hingga saat ini masih merupakan persoalan yang cukup rumit dan belum dapat terselesaikan secara tuntas. Padahal Indonesia pernah tercatat dan dikenang dunia atas pencapaian swasembada beras sekitar 3 kali periode, yaitu pada tahun 1984, 2004, dan 2008.
Saat ini, Indonesia masuk daftar panjang sebagai salah satu negara yang mengimpor beras, bahkan dilakukan sejak era reformasi. Selama tahun 1998-2003, Indonesia dan Filipina bergantian menempati negara pengimpor beras terbesar. Dalam grand strategy pembangunan nasional, pencanangan gerakan swasembada beras menjadi tidak sederhana. Apalagi, beras juga merupakan komoditas yang bernilai politik. Berikut beberapa persoalan dan upaya mendasar perberasan nasional:
Pertama: Politik Beras di Masa Lalu
Kampanye menempatkan beras sebagai komoditas superior yang dicitrakan sebagai indikator kesejahteraan dan kemajuan telah berimplikasi pada tergusurnya pangan-pangan lokal alternatif seperti singkong, jagung, pisang, sagu dan umbi-umbian yang berakibat pada tingginya laju permintaan dan ketergantungan terhadap beras.
Kedua: Tingginya Tingkat Konsumsi Beras
Orang Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia, per tahunnya mencapai 139 kg per kapita, Jepang 60 kg per kapita, China 70 kg per kapita, Malaysia 80 kg per kapita, Thailand 90 kg per kapita. Rata-rata orang Asia mengkonsumsi beras sebesar 65–70 kg per kapita dan konsumsi beras global pada tahun 2007 tercacat sebanyak 64 kg per kapita.
Ketiga: Laju Konversi Areal Persawahan Tinggi
Per tahun lahan sawah yang beralih fungsi mencapai 100.000 ha, sementara pencetakan areal persawahan baru hanya sebesar 40.000 ha. Penurunan luas lahan pertanian produktif khususnya di Jawa dan Bali akibat konversi status lahan bagi peruntukan pembangunan lainnya merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kelestarian produksi pertanian. Fenomena ini sangat mengancam kelestarian ketersediaan beras dan produksi pertanian lainnya, karena sampai saat ini pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar tujuh % dari total luas lahan Indonesia memproduksi beras hampir 60 % dari total produksi beras nasional.
Keempat: Rendahnya Penggunaan Teknologi Pasca Panen
Rendahnya penggunaan teknologi pasca panen telah mengakibatkan tingginya tingkat kehilangan (losses) saat panen. Besarannya bisa mencapai 10,82% atau setara dengan 11 juta ton gabah. Tingkat kehilangan ini mulai dapat terjadi dari memanen dengan menggunakan sabit, perontokan, pengangkutan, penjemuran, sampai penggilingan.
Kelima: Kerusakan Irigasi Teknis
Tingkat kerusakan bangunan irigasi teknis areal persawahan, saat ini telah mencapai hampir 50% baik primer, sekunder dan tersier. Di era otonomi daerah, laju kerusakan infrastruktur dalam sistem produksi padi semakin tidak terkendali. Hal ini menjadi persoalan sendiri karena daerah-daerah kerapkali masih berharap dan bergantung kepada pemerintah pusat baik untuk operasional ataupun pemeliharaannya. Sawah yang semula beririgasi teknis, kini menjadi tadah hujan dan hanya dapat ditanami padi satu kali setahun. Sawah sejenis ini sangat rentan terhadap kekeringan dan musim kemarau, sehingga secara perlahan berubah status menjadi lahan kering, tidak subur, dan bahkan tidak produktif.
Keenam: Impor Beras
Indonesia sebenarnya merupakan produsen beras terbesar ketiga di dunia setelah China dan India, jauh melampaui produksi beras Thailand dan Vietnam. Namun karena tingginya konsumsi serta besarnya jumlah penduduk, Indonesia menjadi importir terbesar di dunia. Hal ini menjadi rentan karena produksi beras dunia yang diperdagangkan hanya 6–7%. Impor selalu menjadi pilihan terakhir dan langkah mudah untuk memenuhi stok pangan nasional. Selain itu, BULOG sebagai lumbung beras terbesar Indonesia yang memiliki 1.160 gudang dan ada di lebih 400 kabupaten/kota dengan total kapasitaa simpan gudang 4 juta ton, dalam beberapa tahun terakhir hanya membeli beras dalam negeri sejumlah 3 juta ton saja. Di tahun 2010 BULOG membeli kurang dari 1,5 juta ton, dan di tahun 2011 BULOG bahkan mengimpor 1,25 juta ton.
B.Refleksi Swasembada Beras: Revolusi Hijau
Indonesia pernah menerapkan swasembada pangan pada program Pelita sebagai salah satu program andalan pemerintahan orde baru. Presiden Soeharto pernah menerima penghargaan dari FAO karena berhasil mewujudkan swasembada beras. Penghargaan diterima pertama kali pada tahun 1985, di Roma Italia. Penghargaan kedua diberikan pada Mei 1996 di Istana Kepresidenan, Jakarta, karena beliau dianggap telah memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah pangan dan kemiskinan di dunia.
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Konsep Revolusi Hijau di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) merupakan program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Di samping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960-an.
Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Namun, revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.
Dampak Positif Revolusi Hijau
Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada dan bisa mengekspor beras ke India.
2.Permasalahan dan Dampak Negatif
Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.
Penurunan keanekaragaman hayati.
Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk.
Penggunaan pestisida menyebabkan munculnya hama baru yang resisten.
C.Rencana Strategis Swasembada Beras
Kementerian Pertanian menetapkan rencana swasembada beras pada tahun 2014. Pangan yang dimaksud bukan hanya beras atau padi, tapi juga gula, kedelai, jagung, dan daging sapi. Kementerian Pertanian pada tahun 2014 mengalokasikan anggaran sebesar Rp 8,23 triliun untuk program swasembada nasional. Anggaran terbesar dialokasikan untuk mendukung pencapaian surplus 10 juta ton beras yakni sebesar Rp 4,54 triliun. Pada tahun 2014, Kementerian Pertanian mendapat alokasi pagu anggaran indikatif sebesar Rp 15,47 triliun. Sedangkan anggaran subsidi diusulkan sebesar Rp 40,78 triliun. Rinciannya anggaran subsidi pupuk sebesar Rp 21,05 triliun, seubsidi benih sebesar Rp 1,56 triliun, anggaran kredit program Rp 15,6 triliun dan Dana Alokasi Khusus sebesar Rp 2,57 triliun.
Beberapa rekomendasi rencana strategis yang perlu diterapkan untuk mencapai swasembada tersebut adalah sebagai berikut.
1.Peningkatan Produksi Padi
Kebutuhan beras pada tahun 2014 adalah sebesar 33.013.214 ton. Untuk mewujudkan swasembada beras tersebut, pemerintah menargetkan produksi padi (GKG) pada tahun 2014 adalah 75 juta ton dari 64 juta ton produksi sekarang. Pemerintah bahkan optimis pada tahun 2014 mampu mewujudkan surplus beras hingga 10 juta ton. Untuk dapat merealisasikan pencapaian target surplus 10 juta ton beras tersebut diperlukan peningkatan produksi gabah kering giling (GKG) rata-rata 6 % per tahun. Target itu ditetapkan dalam Konferensi Dewan Ketahanan Pangan 2012 yang bertajuk Percepatan Pencapaian Sasaran Swasembada Lima Komoditas Pangan Pokok.
2.Program On Farm Alternatif
Untuk mendukung swasembada, Perum BULOG perlu melakukan terobosan yakni salah satunya dengan program On Farm Alternatif yang bekerja sama dengan Gabungan Kelompok Tani Sampurna Malang. Dengan program ini BULOG terlibat langsung dalam proses penanaman dan pembelian gabah atau beras dari kelompok tani sehingga target produksi beras nasional bisa tercapai.
3.Pencetakan Areal Persawahan Baru.
Untuk dapat mewujudkan surplus 10 juta ton beras mulai 2014 diperlukan minimal pencetakan areal persawahan baru sebesar 1 juta ha. Langkah ini sangat dimungkinkan mengingat ketersediaan lahan yang sangat memadai.
4.Segera Merealisasikan Food Estate
Merealisasikan food estate secepatnya yang dimotori langsung oleh pemerintah melalui BUMN-BUMN terkait. Langkah ini menjadi wujud nyata turun tangannya negara dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya dan komoditas yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
5. Mengefektifkan Perlindungan Lahan Abadi Untuk Persawahan
Diperlukan efektifitas kegiatan perlindungan lahan abadi areal persawahan. Untuk itu diperlukan komitmen, keseriusan, dan kemampuan aparat negara dalam melaksanakan sekian peraturan perundangan yang telah dimiliki. Pada tingkat strategis, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan.
Penjabaran UU No. 41 Tahun 2009 ini pun sebenarnya sudah sangat komprehensif dengan dibuatnya beberapa Peraturan Pemerintah, yaitu: PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No. 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta PP No. 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
6. Menekan Pengalihfungsian Lahan Potensial dan Produktif
Dalam rangka menekan pembiaran bagi lahan produktif dan juga mengurangi alih fungsi lahan potensial, dapat dilalukan cara misalnya dengan merumuskan pajak tanah progresif, memberikan sanksi tegas bagi tanah terlantar yang disengaja, serta mengembangkan efisiensi atau hemat lahan untuk aktivitas industri, perumahan, dan juga untuk perdagangan.
7.Pengadaan Bibit Padi Varietas Unggul
PT. Sang Hyang Seri sebagai BUMN pangan yang bergerak dalam pengadaan benih padi perlu bekerja lebih serius dalam mendukung program ketahanan pangan nasional dan terus memproduksi benih padi varietas tinggi unggulan tahan hama, tahan banjir dan tahan kekeringan. Benih padi yang disiapkan adalah varietas inpari 13 yang tahan hama wereng, varietas inpago SHS 1, 2 dan 3 untuk daerah kering, dan varietas inpara untuk daerah banjir.
8.Revitalisasi Irigasi Teknis serta Pembangunan Bendungan Baru
Dikarenakan belanja modal pemerintah yang sangat mahal dan juga terbatas, maka diperlukan upaya sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu, perlu mengaktifkan dan mengefektifkan kembali kelembagaan lain yang berkaitan erat dengan pertanian seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di Jawa Barat.
9.Pemberian Insentif kepada Petani
Tulang punggung ketahanan pangan adalah petani. Pemerintah perlu memberikan insentif dan fasilitas-fasilitas peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan kepada petani karena mereka yang paling terlibat dalam produksi dan ketahanan pangan nasional dengan memberikan harga yang menguntungkan bagi petani.
10.Penguatan Kelembagaan
Di tingkat paling dasar pemerintah dan BULOG beserta jajarannya di daerah wajib melaksanakan tugasnya sebagai penyangga, yaitu melaksanakan pengadaan beras, membeli gabah petani sesuai harga dasar (HPP), kebijakan tarif, pemberantasan mafia pangan, pembangunan infrastruktur, sistem perbankan, dan riset. Semangat otonomi daerah juga harus dijadikan modal utama untuk segera melakukan desentralisasi manajemen stok beras.
11. Arah Kebijakan Zero Impor
Dengan arah kebijakan zero impor akan mendorong optimalisasi dan peningkatan produksi serta mengefektifkan peran dan fungsi BULOG untuk menyerap hasil produksi petani. Memang sering terjadi polemik di antara beberapa pemangku kebijakan tentang hasil produksi, namun hakim yang paling objektif adalah harga. Jika harga beras terlalu tinggi melampaui harga kenaikan yang wajar, merupakan indikasi kuat adanya kelangkaan barang.
12.Mempromosikan dan Mengampanyekan Diversifikasi Pangan
Kegiatan ini harus dilaksanakan secara masif dan intensif dalam bentuk iklan-iklan atau program-program yang komunikatif dibarengi pula inovasi-inovasi dalam memproduksi makanan-makanan alternatif yang berbahan baku komoditas pangan lokal lain.
D.Kontroversi Swasembada Beras
Selain optimisme, swasembada beras juga memicu beberapa kontroversi dari berbagai pihak, antara lain:
1.Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD)
OECD menilai perhatian Indonesia pada pencapaian ketahanan pangan melalui swasembada adalah kebijakan yang salah arah. Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD, Ken Ash, mengatakan Indonesia lebih baik fokus pada komoditas yang berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan komparatif sehingga mampu bersaing di pasar global dalam produk ekspornya Menurut OECD, pemerintah Indonesia sebaiknya mulai meninggalkan tujuan swasembada karena dinilai justru membutuhkan dana besar jika dipaksakan pada komoditas yang kurang berdaya saing tinggi. Untuk mencapai swasembada, Indonesia membutuhkan biaya besar, seperti memberikan subsidi untuk pupuk, perlindungan pasar impor, juga ekspor.
2.Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)
Swasembada beras dianggap telah menjadi arena untuk memuaskan berbagai kepentingan yang berbeda. Ada pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik, sementara berbagai pihak lainnya memanfaatkannya untuk mendapatkan rente ekonomi (economic rent). Bagi industri yang membayar buruhnya dengan upah murah, swasembada beras yang menjamin ketersediaan beras dengan harga murah jelas sangat penting. Sebab, buruh yang dibayar murah tidak mungkin produktif apabila kebutuhan pangannya tidak cukup. Agar buruh tetap produktif meskipun dibayar murah, maka harga pangan harus murah. Sementara, bagi negara-negara maju yang mempunyai surplus bahan pangan dalam kuantitas yang sangat besar adalah penting untuk mendukung Indonesia terus mengejar swasembada beras dengan memberikan bantuan teknis dan finansial.
Selain itu, ada dugaan bahwa dengan mengutamakan produksi beras, Indonesia akan tertinggal dalam produksi pangan lainnya, meskipun sesungguhnya permintaan dalam negerinya meningkat, seperti halnya dengan permintaan beras nasional. Defisit produksi nasional yang terjadi akan menjadi pasar ekspor yang empuk bagi surplus produksi pangannya. Sejatinya, hal inilah yang merupakan penjelasan mengapa Indonesia saat ini sangat tergantung pada pasar import pangan non beras, seperti jagung dan kedelai.
E.Kesimpulan
Di balik kontroversi terkait pencanangan swasembada beras, upaya pemerintah perlu didukung secara optimis dan diapresiasi. Melihat kondisi Indonesia saat ini, komitmen untuk mewujudkan swasembada beras menjadi keharusan karena swasembada adalah pilar kedaulatan pangan. Berdaulat pangan tidak hanya berarti bahwa setiap saat pangan tersedia dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman dikonsumsi, dan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Namun, lebih jauh dari itu berdaulat pangan juga berarti memiliki kemandirian dalam memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri serta meningkatnya taraf hidup dan kualitas hidup petani pangan sebagai penghasil.

DAFTAR PUSTAKA
Buku atau Sumber Lain:
Badan Ketahanan Pangan. 2011. Revisi Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010 – 2014.
Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI, dan World Food Programme. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia.
Antara News, Mentan: Internasional Akui Ketahanan Pangan Indonesia. http://www.antaranews.com/berita/381511/mentan-internasional-akui-ketahanan-pangan-indonesia (diakses 20 September 2013).
Badan Ketahanan Pangan, Kemitraan Kebijakan Pangan. http://bkp.deptan.go.id/berita-185-kemitraan-kebijakan-pangan.html (diakses 20 September 2013).
Badan Ketahanan Pangan, Success Story: Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan. http://bkp.deptan.go.id/berita-198-succes-story-kebijakan-stabilisasi-harga-pangan-20022012.html (diakses 20 September 2013).
Badan Ketahanan Pangan, Renstra 2010-2014. http://bkp.deptan.go.id/statis-10-renstra2010-2014.html (diakses 20 September 2013).
Bisnis Keuangan, Swasembada Pangan 2014 Sulit Terealisasi. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/04/06/14563797/Swasembada.Pangan.2014.Sulit.Terealisasi (diakses 20 September 2013).
Detik News, Di Tengah Rupiah Melemah RI Masih Harus Impor 600.000 Ton Kedelai. http://finance.detik.com/read/2013/08/27/112922/2341606/4/di-tengah-rupiah-melemah-ri-masih-harus-impor-600000-ton-kedelai (diakses 20 September 2013).
Dewan Perwakilan Rakyat, Manajemen Pangan Buruk, Harga Sembako Melambung Tak Terkendali. http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi4/2013/jul/26/6442/manajemen-pangan-buruk,-harga-sembako-melambung-tak-terkendali (diakses 20 September 2013).
Kompas, Asing Masih Punya Celah Ekspor ke Indonesia. http://internasional.kompas.com/read/2013/09/07/1054141/Asing.Masih.Punya.Celah.Ekspor.ke.Indonesia (diakses 20 September 2013).
Kompas, Indonesia Sudah Terjual. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/11/26/indonesia-sudah-terjual-511208.html (diakses 20 September 2013).
Kompas, Ketahanan Pangan di Republik Pengimpor. http://birokrasi.kompasiana.com/2013/07/19/ketahanan-pangan-di-republik-pengimpor-578009.html (diakses 20 September 2013).
Kompas, Ketahanan Pangan Indonesia. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/08/22/ketahanan-pangan-indonesia-583033.html (diakses 20 September 2013).
Merdeka News, Ketahanan Pangan Indonesia Tidak Merata. http://www.merdeka.com/uang/ketahanan-pangan-indonesia-tidak-merata.html (diakses 20 September 2013).
Pos Kota News, Konspirasi Oknum dan Mafia Kartel. http://www.poskotanews.com/2013/04/27/konspirasi-oknum-dan-mafia-kartel-pangan/ (diakses 20 September 2013).
Republika, Kartel Pangan di Indonesia Sudah Sangat Berbahaya. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/09/12/mt0ajo-kartel-pangan-di-indonesia-sudah-sangat-berbahaya (diakses 20 September 2013).
Sekretariat Kabinet, Tujuh Langkah Menuju Swasembada Beras. http://www.setkab.go.id/artikel-8227-.html (diakses 20 September 2013).
Sekretariat Negara, Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6739 (diakses 20 September 2013).
Tempo, Bioteknologi Solusi Hadapi Krisis Pangan. http://www.tempo.co/read/news/2012/09/27/061432310/Bioteknologi-Solusi-Hadapi-Krisis-Pangan (diakses 20 September 2013).
Tempo, Gita: Perintah Wapres Siapapun Boleh Impor Kedelai. http://www.tempo.co/read/news/2013/09/19/092514636/Gita-Perintah-Wapres-Siapapun-Boleh-Impor-Kedelai (diakses 20 September 2013).
Tempo, Indonesia Surplus Beras 45 Juta Ton. http://www.tempo.co/read/news/2012/11/03/090439440/Indonesia-Surplus-Beras-45-Juta-Ton (diakses 20 September 2013).
Tempo, Kebijakan Pangan Indonesia Dinilai Salah Arah. http://www.tempo.co/read/news/2012/10/10/090434888/Kebijakan-Pangan-Indonesia-Dinilai-Salah-Arah (diakses 20 September 2013).
Tempo, Swasembada Kementan Anggarkan Rp 823 Triliun. http://www.tempo.co/read/news/2013/09/07/090511139/Swasembada-Kementan-Anggarkan-Rp-823-Triliun (diakses 20 September 2013).
Wikipedia, Ketahanan Pangan. http://id.wikipedia.org/wiki/Ketahanan_pangan (diakses 20 September 2013).
Wikipedia, Revolusi Hijau. http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Hijau (diakses 20 September 2013).
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2013 tentang APBN Tahun Anggaran 2013.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

LAMPIRAN
039497000SUSUNAN POLA KONSUMSI PANGAN UNTUK TAHUN 2014


Download ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA DAN RENCANA STRATEGI SWASEMBADA BERAS.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA DAN RENCANA STRATEGI SWASEMBADA BERAS. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: