Desember 04, 2016

Makalah Ilmu Jiwa

Judul: Makalah Ilmu Jiwa
Penulis: Ahmad Mun'im


PENANGANAN KONFLIK AKIBAT KONVERSI AGAMA DI KALANGAN KELUARGA CINA MUSLIM
155067018161000
( Makalah )
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Jiwa Sosial
Dosen pengampu :
Afthonul Afif
Disusun oleh :
Ahmad Mun'im (11350010)
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
Kata Pengantar
Segala pujia bagi Allah SWT, yang telah memberikan hidayah dan pertolongan-Nya kepada kita semua yang sampai pada hari ini kita masih diberikan keselamatan dan merasakan keni'matan-Nya
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, yang telah menuntun kita dari zaman jahiliah sampai ke zaman terang-benderang yakni Dinul Islam.
Pada kesempatan kali ini kami selaku penyusun makalah, berterimakasih kepada dosen pengampu Mata Kuliah Ilmu Jiwa Sosial yaitu Bpk. Afthonul Afif, yang telah menyampaikan dan menurunkan ilmunya kepda kita semua. Dan pada kesempatan kali ini juga, kami diberikan tugas menyusun sebuah karya ilmiah yang berjudul Penanganan Konflik Akibat Konversi Agama Di Kalangan Keluarga Cina Muslim
Dalam penyusunan karya ilmiah ini kami selaku penulis masih banyak kekurangan baik itu dari segi refrensi, tulisan dan penyusunannya, oleh karena itu kami selaku penyusun dan penulis karya ilmiah ini, kami mengharapkan dosen pengampu untuk memaklumi dengan adanya dan memberikan kami sebuah kritik dan saran agar dikemudian hari kami dapat memperbaikinya kembali.
Sekian dari kami kurang lebihnya kami memohon maaf sebesar-besarnya, apabila ada suatu kebenaran itu datang dari Allah SWT dan apabila ada kekurangan pastilah dari kami.
Yogyakarta, 28 Mei 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa. Dalam masyarakat Indonesia, sebagaimana ciri masyarakat suku bangsa pada umumnya (Barth, 1985 )setiap masyarakatsuku bangsa secara turun temurun mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga masyarakat suku bangsa tersebut memanfaatkannya untuk kelangsungan hidup mereka. Dengan proses ini dapat dipahami bahwa ikatan antara anggota suku bangsa dengan wilayah tinggal mereka sangat erat, dan demikian eratnya maka mereka akan mempertaruhkan apa saja milik mereka untuk mempertahankannya (Patisellano, 1999).
Masyarakat Indonesia, dalam konteks ini adalah masyarakat yang berdasarkan atas kebangsaan tetapi yang bersifat majemuk sehingga mempunyai sistem nasional yang askriptif dan primordia l secara kesukubangsaan. Dalam perspektif ini tidak ada seorangpun yang yang dapat menjadi orang Indonesia tanpa harus menjadi anggota dari salah sa tu suku bangsa yang ada di Indonesia .
Dalam konteks Indonesia yang memiliki sekitar dua ratus delapan puluh sembilan suku bangsa. Dengan demikian setidaknya memiliki sifat keragaman budaya sebanyak itu pula. Dalam konteks itu pulaharus dipahami bahwa dalam keragaman suku bangsa itu terdapat suku bangsa yang memang sejak masa awal mendiami wilayah Indonesia dan ada pula suku bangsa yang baru dalam masa belakangan mendiami wilayah Indonesia. Contoh suku bangsa pendatang itu adalah Arab dan Cina.
Mayoritas suku bangsa di Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Akibat interaksi antara nilai-nilai Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia dengan nilai yang sejak semula dimiliki oleh suku-suku bangsa itu seringkali melahirkan berbagai proses penyatuan komunitas dan budaya yang tidak selalu berjalan lancar, dan bahkan seringkali memunculkan konflik.
Orang Cina merupakan suatu komunitas yang keberadaannya di Indonesia memiliki karakteristik yang khas. Kekhasa n dari komunitas Cina ini menurut Skinner sangat menonjol berkait dengan kuat melekatnya ciri budaya yang dibawanya dari negeri asalnya. Meskipun di Indonesia telah banyak orang Cina yang menganut agama Islam namun sangat terbatas pengetahuan yang berkait dengan proses penyatuan komunitas dan budaya melalui konversi agama. Demikian pula pandangan mereka tentang konflik yang mereka alami sebagai akibat konversi mereka me njadi Muslim.
Komunitas Cina Muslim yang ada di Indonesia itu dalam proses berjalannya waktu memiliki pengalaman-pengalaman yang khas yang berbeda dengan komunitas-komunitas lain. Kekhasan pengalaman itu memiliki pengaruh dalam menentukan sikap dengan adanya kemungkinan interaksi antar berbagai komunitas di Indonesia yang memungkinkan terjadinya konversi agama di kalangan komunitas Cina sendiri. Oleh karena itu, berdasar kenyataan bahwa proses pembelajaran budaya yang mereka alami sebagai akibat dari terjadinya proses konversi agama telah memunculkan fenomena penanganan konflik (conflict resolution) yang terjadi akibat konversi agama tersebut. Proses penanganan konflik itu terjadi melalui proses belajar panjang antar generasi dan komunitas di kalangan orang Cinatersebut. Proses yang berjalan di kalangan mereka merupakan upaya mereka dalam mempertahankan harmoni kehidupan mereka. Berbagai pertimb angan telah diambil dengan mendasarkan pada nilai yang selama ini mereka pegang.
Proses pertemuan dua kebudayaan telah terjadi dan melahirkan berbagai bentuk ekspresi simbolik. Salah satu hasil penting dari proses pertemuan kebudayaan itu adalah asimilasi yang muncul dalam berbagai bentuk dan berbagai aspek .
Asimilasi ini tentu saja muncul bukan tanpa tujuan dan fungsi. Proses terbentuknya asimilasi itu terjadi sebagai suatu st rategi budaya tertentu yang secara sadar dipahami oleh komunitas itu. Jika asimilasi dipandang sebagai produk suatu proses pencampuran budaya, maka dalam konteks ini harus diperhatikan bahwa untuk menuju proses itu banyak konflik yang harus dilalui.
Berkait dengan komunitas Cina Muslim di Semarang paling tidak realitas budayanya memiliki nilai yang berasal dari nilai Konfusius, Islam dan Jawa. Percampuran antara ketiga nilai budaya di atas, khususnya ketika pendukung budaya memeluk agama Islam, muncul adanya konflik di kalangan komunitas Cina Muslim tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Cina Muslim Sebagai Satuan Budaya
Budaya didefinisikan secara beragam oleh para ahli. Spradley sebagai contoh menyatakan bahwa budaya adalah "sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, yang dengan sistem pengetahuan itu masyarakat menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial.
Budaya disebarkan melalui proses enkulturasi. Proses enkulturasi adalah proses belajar budaya, yang dalam proses itu se orang individu mempelajari sistem nilai dari masyarakatnya. Proses enkulturasi sebagaimana yang dinyatakan oleh Spiro di atas inilah yang memungkinkan unsur-unsur budaya itu memiliki keragaman. Keragaman dalam fenomena budaya itu berkait dengan keragaman kemanusiaan. Keragaman kemanusiaan ini muncul akibat pengalaman yang berbeda. Pengalaman yang berbeda memunculkan sistem pengetahuan yang berbeda yang selanjutnya memunculkan proses enkulturasi budaya yang berbeda.
Budaya terekspresi dalam semua aspek kehidupan, termasuk di dalamnya struktur sosial. Struktur sosial adalah suatu kesepakatan budaya yang menegaskan peran dan fungsi anggota masyarakat. Pemunculannya antara lain berupa pembagian kerja dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai suatu ekspresi budaya, struktur sosial muncul berbeda pada masyarakat yang berbeda.
Berkait dengan adanya fenomena Cina Muslim, muncul implikasi bahwa ada dua nilai yang memadu di dalam sebutan itu, yaitu nilai yang berasal dari keyakinan asli masyarakat Cina serta nilai yang berasal dari Islam. Penyerapan dua nilai ini, dengan ditambah dengan berbagai proses dinamis yang telah dilewati oleh orang Cina di Indonesia telah memunculkan fenomena budaya yang bersifat kombinasi antara nilai Islam dan nilai yang dipegang oleh masyarakat Cina serta nilai masyarakat di mana orang Cina itu berada. Dengan demikian setidaknya nilai budaya yang dipegang oleh Cina Muslim di Semarang adalah nilai Konfusius, Islam dan Jawa.
Konversi agama, yaitu perpindahan dalam pemelukan agama merupakan proses budaya karena memiliki konsekuensi peleburan diri ke dalam nilai budaya dari agama yang baru dipeluknya itu. Hal ini karena agama, dalam konteks kesukubangsaan di Indonesia juga seringkali digunakan sebagai identitas kelompok suku bangsa yang esensial, seperti orang Melayu dan orang Betawi yang diimajekan sebagai orang Islam. Orang Jawa bisa beragama Islam, Budha maupun Nasrani, dan orang Batak beragama Nasrani, Cina beragama Kong Hu Cu atau Nasrani.
Dengan terjadinya konversi di kalangan Cina menjadi Muslim, secara komunitas ada anggapan dari komunitas asal bahwa telah terjadi proses pengabaian terhadap komunitas asal. Akibatnya, terhadap pelaku konversi berlaku imaje-imaje sebagaimana anggota komunitas yang berbeda. Dalam hubungan antar personal yang semula dipandang sebagai komunitasnya sendiri yang secara budaya dipandang sama, kini dipandang sebagai personal dari budaya berbeda. Oleh karena itu personal yang melakukan konversi ini pun diimajekan dengan berbagai stereotype dan bahkan dipandang sebagai musuh.
Dengan kerangka konseptual sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat ditegaskan bahwa proses konversi merupakan proses budaya yang banyak menimbulkan konflik. Namun demikian setiap komunitas memiliki mekanisme penanganan konflik yang berakar dari nilai-nilai komunitas itu. Dengan demikian penanganan konflik merupakan fenomena budaya. Sebagaimana dinyatakan oleh Laksono dan Topatimasang bahwa pola penanganan konflik sangat tergantung pada kekuatan tradisi yang dimiliki oleh suatu komunitas. Oleh karena itu, sebagai suatu fenomena budaya penentuan pola itu dipelajari dalam proses belajar budaya dan memiliki akar pada nilai yang dipegangnya. Untuk kalangan Cina Muslim, berkait dengan sifat asimilatif dari nilai yang dipegangnya, maka sangat menarik untuk melihat keragaman pola penanganan konflik di kalanganitu serta memahaminya dalam kerangka etnoscience.
Jenis Konflik yang Muncul Akibat Konversi
Ada beberapa jenis konflik hubungan yang diakibatkan oleh konversi agama di kalangan Cina Muslim di Semarang. Yang pertama, adalah sikap tidak peduli; kedua, menyatakan sindiran-sindiran; ketiga, perkataan kasar; keempat penolakan; dan kelima permusuhan.
Jenis konflik tersebut di atas tidak muncul secara terpisah dalam kasus satu dan kasus lainnya, namun dapat terjadi secara berbarengan. Bisa jadi dalam suatu kasus konversi, konflik yang muncul tidak semata dalam bentuk sikap yang tidak peduli namun juga munculnya sindiran-sindiran, dan mungkin pula disertai dengan perkataan kasar. Kombinasi konflik itu berbeda dalam kasus yang lain.
Dalam bentuk peta konflik, tampak bahwa berbagai pola konflik yang ditemukan dalam penelitian ini telah memunculkan kond isi hubungan yang penuh konflik yang disebabkan oleh konversi agama. Konflik yang muncul akibat konversi agama di kalangan Cina Muslim di Semarang muncul dalam hubungan antara ego(pelaku konversi agama) dengan anggota keluarga dan anggota masyarakat lain di luar lingkar keluarga. Lingkar keluarga dapat mencakup keluarga batih dan keluarga luas. Semua unsur dan posisi dalam keluarga ini dapat terlibat dalam konflik. Sementara lingkup anggota masyarakat lain di luar lingkar keluarga meliputi relasi sesama Cina pada umumnya, yang meliputi unsur rekanan kerja dan komunitas keagamaan.
Pola Penanganan Konflik Akibat Konversi
Dalam sebuah konflik ada dua pihak atau lebih yang terlibat. Oleh karena itu dalam penanganan konflik tidak mungkin dilakuka n upaya yang hanya melibatkan satu pihak saja, namun harus melibatkan semua pihak yang terlibat.
Ada tiga pola mengenai cara pananganan konflik yang ditemukan di kalangan Cina Muslim di Semarang. Yang pertama, orang yang melakukan konversi agama membiarkan konflik itu berlangsung. Prinsip ini diterapkan dengan pertimbangan bahwa dengan perjalanan waktu orang-orang di sekitarnya akan terbiasa dengan kondisi itu dan konflik akan pulih dengan sendirinya. Yang kedua, mereka yang melakukan konversi agama berusaha untuk menjelaskan kepada pihak yang dihadapi mengenai keputusan konversi yang dilakukannya serta menangkal berbagai pandangan negatif terhadap Islam yang selama ini ada di kalangan mereka. Prinsip ini diterapkan dengan pertimbangan bahwa konflik akibat konversi muncul karena ketidaktahuan atau kesalahpengertian yang timbul di kalangan Cina mengenai Islam. Dengan pertimbangan itu, maka penjelasan yang diberikan akan meredakan konflik yang muncul. Yang ketiga, mereka yang melakukan konversi agama melepaskan diri dari lingkungan asalnya, dan mencari perlindungan di lingkungan keluarga lain atau komunitas lain. Kondisi ini terjadi dikalangan pelaku konversi perempuan yang merasa tidak mampu menghadapi penolakan keluarganya atas keputusannya untuk melakukan konversi agama. Upaya ini dilakukannya untuk menghindarkan diri dari pertentangan secara langsung, menenangkan keadaan samb il menunggu waktu ketika orang tua dan keluarganya memahami kondisi itu serta menerimanya kembali.
Di sisi lain, pada pihak keluarga dan kerabat pada umumnya juga ditemukan pola senada. Di kalangan mereka ada yang membiarkan konflik akibat konversi itu berlangsung dan melupakannya bersama d engan proses berjalannya waktu. Keluarga juga menyesuaikan dengan kondisi pelaku konversi. Jika yang melakukan konversi tetap menjalin hubungan baik dengan kerabatnya maka kerabatnya juga akan menjaga sikapnya untuk tetap baik.
Reaksi keluarganya terhadap sikap diam dan membiarkan persoalan berlalu bersama waktu ada yang diam dan ada pula yang terus menerus memberikan reaksi ketidaksenangan akibat konversi yang dilakukannya. Reaksi yang kedua dari keluarganya ini, yaitu menunjukkan ketidaksenangan terhadap pelaku konversi ada yang berlangsung hingga kurun waktu yang cukup lama. Lama kelamaan keluarga itu mengubah sikapnya menjadi lebih baik karena disaksikannya pelaku konversi tetap menjaga hubungan baik dengan keluarganya. Jadi dalam konteks penanganan pola pertama ini, yang terpenting adalah sikap yang ditunjukkan oleh pelaku konversi. Bagi mereka tidak menjadi masalah tentang pemahaman mereka tentang Islam.
Pola penanganan konflik yang kedua adalah dengan cara menjelaskan persoalan yang menjadi pertanyaan bagi komunitas Cina mengenai Islam. Dalam pola ini, pelaku konversi mencoba untuk menghadapi siapa saja yang bertanya serta memberikan reaksi atas keislamannya.Jawaban yang diberikan kepada pihak-pihak yang bertanya disesuaikan dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada pada pelaku konversi.
Dalam konteks penanganan konflik dengan cara menjelaskan persoalan yang dihadapi, ditemukan adanya infoman yang mengha dapi kondisi yang sangat sulit berkait dengan keluarga besar, rekanan kerja, serta komunitas agamanya. Semua pihak itu memberikan reaksi keras terhadap keputusannya untuk menjadi Muslim. Ibunya tidak mau mengakuinya sebagai anak, rekanan dalam bidang usahanya memutuskan hubungan kerja dengannya, keluarga besarnya memutuskan asset keluarga yang dikelolanyaselama ini, dan dewan agama menyidangkannya. Atas berbagai kondisi yang dihadapinya itu, infoman menghadapinya dengan segala ilmu yang ada padanya. Informan berupaya untuk menjelaskan alasannya melakukan konversi serta menjelaskan berbagai pertanyaan yang berkait dengan Islam yang selama ini dipahami secara salah oleh komunitasnya.
Pihak keluarga pada umumnya bereaksi keras atas keputusan informan umtuk menjadi Muslim. Namun demikian, dengan proseswaktu dan berbagai upaya yang dilakukan oleh informan, keluarga dan kerabat pelaku konversi yang menerima penjelasan mengenai konversi serta berbagai hal yang berkait dengan agama Islam mau menerima penjelasan tersebut.
Setelah mendapatkan penjelasan tentang Islam serta alasan informan melakukan konversi itu keluarga pada umumnya mencoba memperbaiki hubungan dengan informan. Ibu informan yang sejak mengetahui konversi itu menentang keras keputusan informan karena ketakutan akan kehilangan anaknya, setelah dijelaskan oleh informan bahwa kekhawatiran ibunya itu tidak akan terbukti, kemudian yakin dengan keputusa n yang diambil oleh informan. Rekanan usahanya pun perlahan-lahan kemba li menjalin relasi usahanya. Hal ini berkait dengan kompetensi yang ada pada informan dalam bidang usaha percetakan yang sangat menonjol di wilayah Semarang. Demikian pula dewan biksu yang mempertanyakan keputusan informan berbalik mendukung setelah diketahui oleh dewan biksu itu bahwa informan melakukan konversi atas dasar kesadaran dan pengetahuan.
Pola penanganan konflik yang ketiga adalah dengan cara melepaskan diri dari lingkungan asalnya, dan mencari perlindungan di lingkungan keluarga lain atau komunitas lain. Pola penanganan ini dilakukan oleh seorang informan, perempuan, karena orang tua, saudara-saudara dan keluarganya secara luas bereaksi keras atas konversi yang dilakukannya. Orang tuanya memberikan pilihan bahwa jika informanmemilih untuk tetap menjadi seorang Muslim maka dia harus keluar dari lingkungan keluarganya. Di dalam keluarganya informan tidak memiliki kesempatan untuk dapat melakukan praktek ibadah (ṣalāt ) karena selalu dalam pengawasan dan dilarang oleh keluarganya. Karena upaya yang dilakukan untuk memberikan pemahaman tidak dapat tercapai informan akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan keluarganya. Pilihannya adalah tinggal sementara di lingkungan keluarga Cina yang Muslim, yang memahami kondisi yang sedang dihadapinya serta bersedia menerimanya.
Pihak keluarga informan memberikan reaksi keras pula atas keputusan yang diambil informan untuk keluar dari lingkungan keluarga ini. Namun demikian, setidaknya tanpa kehadiran informan di tengah keluarga itu telah mengurangi tekanan dan amarah orang tua dan keluarganya. Dalam proses waktu yang cukup lama, keluarga informan akhirnya juga menerima keputusan informan untuk menjadi Muslim.
Ketiga pola penanganan konflik akibat konversi yang terjadi di kalangan komunitas Cina menunjukkan kentalnya nuansa identitas di kalangan komunitas Cina. Namun demikian dalam proses waktu, ada penerimaan terhadap perubahan identitas anggota komunitasnya. Proses akhir berupa penerimaan keluarga atas keislaman salah seorang anggotanya dapat dipahami, karena sebagaimana dinyatakan oleh Willmott (1960) dan C.K. Yang (1970 bahwa orang Cina dalam beragama umumnya bersikap eklektis. Dengan sikap eklektis ini mereka mudah menerima agama laindalam kehidupannya. Demikian pula, dengan proses waktu mereka dapat menerima anggota keluarganya yang melakukan konversi ke dalam
Keragaman reaksi awal terhadap konversi yang dialami oleh mereka yang melakukan konversi itu muncul dalam kaitannya dengan berbagai stereotype yang berkembang di kalangan komunitas Ci na mengenai Islam. Stereotype ini muncul dan berkembang karena dalam relasi antar komunitas biasanya terjadi persaingan dalam akses politik, ekonomi secara luas. Berkait dengan persaingan ini, terdapat ketidakseimbangan kekuasaan (power) sehingga membuat suatu komunitas menjadi terkalahkan oleh komunitas lainnya. Kekalahan dalam persaingan ini kemudian me munculkan stigma tertentu pada komunitas yang kalah dalam persaingan it u terhadap komunitas yang memenangkan persaingan. Stigma semacam itu terus menerus berkembang antar generasi serta terus menerus direproduksi oleh anggota komunitas.
Dalam proses selanjutnya stigma itu berkembang menjadi pelabelan, baik pelabelan yang baik maupun yang buruk, terhadap komunitas lain. Namun demikian, pelabelan yang kemudian menonjol adalah pelabelan negatif atas komunitas yang lain itu. Pelabelan yang lazim di kalangan komunitas Cina mengenai komunitas Muslim antara adalah terbelakang, peminta sumbangan, miskin, bodoh, polygami, dan keras.
Image bahwa orang Islam memiliki karakteristik semacam itulah antara lain yang mendorong anggota komunitas bereaksi, dalam skala apa pun, jika ada anggota keluarganya yang menjadi Muslim. Hal ini dapat dipahami karena dengan masuk ke dalam lingkar komunitas Islam itu maka anggota keluarga itu menjadi 'orang lain'. 'Orang lain' inimemiliki identitas yang berbeda dengan komunitas asal.
Kekhawatiran untuk terserapnya salah seorang anggota keluarga ke dalam komunitas Muslim di kalangan komunitas Cina semakin besar jika menyangkut anggota komunitas yang berjenis kelamin perempuan. Karena secara umum posisi perempuan subordinated maka mereka berpandangan bahwa dengan Muslimnya perempuan dari komunitas mereka, maka perempuan itu akan lepas dari lingkar komunitas karena perempuan akan mengikuti laki-laki yang akan menjadi suaminya kelak.
Di sisi lain cara penanganan konflik yang dilakukanoleh pelaku konversi dengan menjelaskan alasannya untuk melakukan konversi agama menjadi Muslim serta menjelaskan berbagai hal tentang Islam yang selama ini diterima secara salah oleh masyarakat Cina secara umu m, dipandang tepat pula karena dalam pandangan mereka yang melakukan konversi, keluarga dan komunitas Cina cukup terbuka dan mudah menerima berbagai keadaan. Menurut mereka yang melakukan konversi, proses ini cepat memberikan pengaruh dalam menentukan sikap sehingga tidak muncul sikap saling mencurigai serta prasangka. Dari sisi keluarga dan kerabat yang memandang cara ini sebagai cara yang baik karena memungkinkanmereka mengetahui segera alasan kerabat mereka melakukan konversi serta berbagai hal tentang Islam yang selama ini mereka ketahui secara tidak tepat. Proses ini memungkinkan munculnya dialog antar pelaku konversi dengan keluarganya, sehingga memungkinkan pula untuk segera munculnya sikap saling memahami. Proses perbaikan hubungan untuk konteks ini sangat tergantung pada pengetahuan dan kemampuan informan dalam menjelaskan permasalahan yang diajukan oleh keluarganya mengenai konversi yang dilakukannya. Selain itu, pada pihak keluarga adalah adanya sikap siap menerima penjelasan pelaku konversi dipandang merupakan hal yang penting untuk pengatasan masalah di kalangan komunitas Cina Muslim, yang diakibatkan oleh konversi.
Sementara itu, berkait dengan pola penanganan dengan cara melepaskan diri dari lingkungan keluarga dipandang sebagai cara yang sebaiknya dihindari. Hal ini karena proses itu dapat menimbulkan persoalan yang lebih besar dalam lingkup keluarga dan penyelesaiannya akan sulit dilakukan.
Pandangan mengenai Cara Penanganan Konflik Akibat Konversi Agama
Beberapa pandangan yang berkait dengan cara penanganan konflik akibat konversi di kalangan komunitas Cina tersebutdi atas menggambarkan
secara jelas nilai-nilai yang diacu oleh komunitas Cina. Pandangan yang mendukung cara-cara penanganan masalah yang lebih arif, tidak menimbulkan masalah lain selain konversi semakin menjelaskan nilai yang dipegangi oleh komunitas Cina.
Cara penanganan konflik dengan cara diam atau menjelaskan akan tepat jika sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Sebagai c ontoh, untuk pihak yang tidak terbiasa menghadapi konflik terbuka dan cenderung melupakan konflik dengan berjalannya waktu, maka proses penanganan dengan cara diam dipandang cukup arif. Hal ini karena pihak yang dihadapi tidak membutuhkan penjelasan yang berkait dengan substansi agama.Mereka membutuhkan hubungan yang baik antar personal, dan itu akan dibutuhkan melalui proses pergaulan dalam kehidupan sehari-hari.
Kecenderungan dalam cara penanganan masalah yang dimunculkan oleh konversi agama dengan cara yang tidak menimulkan konflik lain semakin menegaskan dominansi nilai harmoni (Le) sebagai nilai yang dipegangi oleh komunitas Cina. Selain itu penghormatan secara genealogis juga merupakan prinsip yang kuat dalam komunitas Cina. Penghormatan terhadap para leluhur yang diekspresikan dalam acara ceng beng merupakan penampakan penghormatan kepada orang tua. Oleh karena itu dalam kasus konversi agama para informan memandang bahwa sebaiknya tidak meninggalkan keluarga dan orang tua. Jika hal itu terjadi maka harus segera diselesaikan karena jika tidak akan mengganggu harmoni dalam keluarga khususnya, dan komunitas pada umumnya.
Meskipun demikian, para informan mengakui bahwa upaya menghindarkan diri dari pertemuan dengan anggota keluarga yang menolak konversi akan menghindarkan konflik yang semakin me ndalam (intensifying conflict ). Para informan berpandangan bahwa jika kondisi itu terjadi maka pelaku konversi sebaiknya segera melakukan perbaikan hubungan. Hal ini karena kemarahan yang muncul dari pihak orang tua karena 'ditinggalkan' oleh anak akan meninggalkan perasaan sakit, dan perasaan sakit pada orang tua telah mengganggu hubungan orang tua dan anak, yang sangat dipandang tinggi menurut nilai yang dipegang oleh komunitas Cina.
Upaya penanganan konflik akibat konversi di kalangan komunitas Cina, cepat atau lambat dapat diselesaikan karena adanya beberapa modal sosial (social capital). Modal sosial di kalangan komunitas Cina di Semarang misalnya berkait dengan wilayah tinggal yang relatif berdekatan, bahasa yang dipakai dalam lingkup komunikasi relatif sama, tradisi yang relaif sama, serta pengalaman sejarah yang relatif sama. Menurut Pieter Elmas (2004) modal sosial memiliki arti penting yang sangat besar dala m proses penanganan konflik serta rekonsiliasi. Hal ini karena dengan modal sosial itu komunitas Cina memiliki event-event khas komunitas itu yang memungkinkan mereka saling bertemu sehingga memperkuat perasaan in-group sesama anggota komunitas. Peristiwa-peristiwa khas komunitas Cina seperti hari raya imlek dengan tradisi saling berkunjung dan pemberian ang-pao, serta ceng beng , perayaan yang dilaksanakan pada bulan kelima dalam hitungan Cina, dengan acara ziarah ke makam nenek moyang, dapat dikatakansebagai modal sosial.
BAB III
KESIMPULAN
Kajian mengenai Cina Muslim di Semarang ini memfokuskan pada pola penanganan konflik yang muncul akibat konversi agama. Dari berbagai pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa penyebab yang menyebabkan orang Cina di Semarang menjadi Muslim. Yang pertama adaah karena pertemuan dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya. Yang kedua karena bahan bacaan; dan ketiga karena teman dekat;serta yang keempat
karena lingkungan sosial di mana orang Cina itu tinggal.
Adapun jenis konflik yang muncul akibat konversi agama di kalangan
Cina Muslim di Semarang itu dapat diidentifikasi sebagai berikut: yang pertama, sikap tidak peduli; kedua, menyatakan sindiran-sindiran; ketiga, perkataan kasar; keempatpenolakan; dan kelimapermusuhan. Jenis konflik tersebut di atas tidak muncul secara terpisah dalam kasus satu dan kasus lainnya, namun dapat terjadi secara berbarengan. Bi sa jadi dalam suatu kasus konversi, konflik yang muncul tidak semata dalam bentuk sikap yang tidak peduli namun juga munculnya sindiran-sindiran, dan mungkin pula disertai dengan perkataan kasar. Kombinasi konflik itu berbeda dalam kasus yang lain.
Berkait dengan cara yang dilakukan oleh Cina Muslimdalam menangani konflik yang mereka alami, maka dapat ditemukan duacara yang lazim ditemukan di kalangan Cina Muslim. Yang pertama, orang yang melakukan konversi agama membiarkan konflik itu berlangsung. Prinsip ini diterapkan dengan pertimbangan bahwa dengan perjalanan waktu orang-orang di sekitarnya akan terbiasa dengan kondisi itu dan konflik akan pulih dengan sendirinya. Yang kedua, mereka yang melakukan konversi agama berusaha untuk menjelaskan kepada pihak yang dihadapi mengenai keputusan konversi yang dilakukannya serta menangkal berbagai pa ndangan negatif terhadap Islam yang selama ini ada di kalangan mereka.
Dalam penanganan konflik akibat konversi agama di kalangan Cina Muslim di Semarang, baik mereka yang melakukan konversi itu maupun keluarga dan kerabatnya memiliki pendapat yang beragam. Menurut mereka yang melakukan konversi dan kemudian bersikap diam dan membiarkan konflik berlangsung bersama proses berjalannya waktu, sikap itu mereka pandang tepat karena akan menghindari konflik yang lebih jauh dengan keluarga serta kerabat. Proses semacam itu akan memungkinkan mereka terus menjaga hubungan baik dengan semua keluarga d an kerabat. Kondisi seperti memiliki arti penting yang sangat besar karena membuat mereka merasa tidak berbenturan dengan pandangan tradisi yang menjunjung tinggi harmoni dengan kelompok genealogis dan kekerabatan mereka.
Di sisi lain cara penanganan konflik yang dilakukanoleh pelaku konversi dengan menjelaskan alasannya untuk melakukan konversi agama menjadi Muslim serta menjelaskan berbagai hal tentang Islam yang selama ini diterima secara salah oleh masyarakat Cina secara umu m, dipandang tepat pula karena dalam pandangan mereka yang melakukan konversi keluarga dan komunitas Cina cukup terbuka dan mudah menerima berbagai keadaan. Menurut mereka yang melakukan konversi proses ini cepat memberikan pengaruh dalam menentukan sikap sehingga tidak muncul sikap saling mencurigai serta prasangka. Dari sisi keluarga dan kerabat yang memandang cara ini sebagai cara yang baik karena memungkinkan mere ka mengetahui segera alasan kerabat mereka melakukan konversi serta berbagai hal tentang Islam yang selama ini mereka ketahui secara tidak tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Ihromi, TO, "Paradigma Baru bagi Pengkajian Masalah Wanita dan Jender dalam Antropologi" dalam Antropologi Indonesia, Th. XXIII, No. 60, 1999.
Spradley, James P., Metode Etnografi, judul asli Ethographic Interview, terj. Misbah Zulfa Elizabeth, Jogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi , Jakarta: UI-Press, 1980.
__________, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1981.
Eriksen, Thomas Hylland, Ethnicity and Nationalism, London, Sterling, Virginia: Pluto Press, 2002.
Laksono, P.M dan Roem Topatimasang, (ed.), Ken Sa Fak: Benih-benih Perdamaian dari Kepulauan Kei,Jogjakarta: Insist Press, 2004.
Seymour-Smith, Charlotte, Macmillan Dictionary of Anthropology,London dan Basingstoke: The Macmillan Press Ltd., 1990.
Fisher, Simon, et.al., Working With Conflict, London: Zed Books, 2000.
Farley, John E., Majority-Minority Relation, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1988.


Download Makalah Ilmu Jiwa.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca Makalah Ilmu Jiwa. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: