November 28, 2016

POTRET BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONESIA MALISA LADINI UNNES ILMU POLITIK

Judul: POTRET BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONESIA MALISA LADINI UNNES ILMU POLITIK
Penulis: Malisa Ladini


POTRET BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONESIA
Analisis Oleh Malisa Ladini, UNNES, Ilmu Politik
BAB I
PENDAHULUAN
Budaya politik merupakan sikap, keyakinan, nilai, dan orientasi yang dimilki setiap individu-individu dalam berhubungan dengan sistem politik. Budaya politik merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa (Almond 1990). Orientasi politik mengacu pada aspek dan obyek, sebagai berikut:
Orientasi Kognitif: pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
Orientasi afektif: perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya.
Orientasi evaluatif: keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
Sedang tipe budaya politik menurut Almond dan Verba ada tiga sebagai beikut:
Kebudayaan politik parokial
Kebudayaan politik subyek atau kaula
Kebudayaan politik partisipan.
Dalam tugas ini saya akan memotret budaya politik di Indonesia dengan dasar tipe budaya politik yang disampaikan oleh Almond dan Verba. Apakah masuk pada kebudayaan subyek-parokial, kebudayaan subyek-partisipan, atau justru kebudayaan parokial-partisipan. Untuk menganalisisnya saya akan berikan alasan mengapa saya menggolongkan budaya politik Indonesia ke dalam salah satu tipe yang telah disampaikan oleh Almond dan Verba.
BAB II
PEMBAHASAN
Dasar Analisis Tipe Kebudayaan Politik menurut Almond dan Verba
The Parochial-Subject Culture (Kebudayaan Subyek Parokial)
Tipe kebudayaan politik dimana sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kesukuan, desa, otoritas feodal, dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintah pusat yang bersifat khusus. Tipe ini masih mengalami problem dan pasang surut dalam perubahan politik pola parokial menuju pola subyek.
The Subject-Participant Culture (Kebudayaan Partisipan Subyek)
Pada tipe ini ada kecenderungan untuk menaati peraturan pemerintahan pusat. Masyarakat sudah mendukung pembangunan infrastruktur demokratis. Sebagian besar penduduk telah mempunyai orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi seorang aktivis, sementara yang lain termasuk pada rangkaian orientasi pribadi yang pasif. Pola partisipan hanya tersebar di beberapa penduduk. Ketidakstabilan struktural yang sering menyertai kultur subyek partisipan.
The Parochial-Participant Culture (Kebudayaan Parokial Partisipan)
Kebudayaan ini biasanya ada di negara yang sedang berkembang. Budaya politik yang dominan itu parokial. Norma-norma struktural telah diperkenalkan biasanya bersifat partisipan. Terjadi perbedaan yang mendasar, di satu sisi penduduk berjalan ke arah otoritarianisme sedang di lain sisi ke arah demokrasi. Tidak ada struktur untuk tempat bersandar, birokrasi tidak berdiri tegak, sedang infrastruktur tidak dijalankan oleh warga negara yang berkompeten dan bertanggungjawab.
Potret Budaya Politik Indonesia
Tipe budaya politik di Indonesia masuk pada tipe budaya politik subyek-parokial, tetapi sebelumnya saya akan berikan bukti-bukti perilaku dan budaya politik di Indonesia, sebagai berikut:
Pengaruh Pemerintah (Dihimpun dari Media Massa)
Memenuhi Dimensi Kognitif
Pendapat dan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang out put pemerintah. Sejauh mana masyarakat merasakan bahwa pemerintah sungguh-sungguh mempunyai pengaruh pada kehidupan pribadi individu masyarakat? Sejauh mana masyarakat Indonesia merasakan bahwa kehidupannya berkaitan langsung dengan aktivitas pemerintahan?
Dari sumber media (Kompas 9/2010) masyarakat Indonesia tidak merasakan bahwa pemerintah telah sungguh-sungguh mempengaruhi kehidupan pribadi setiap hari. Bila ditanyakan tentang politik jawabannya apatis. Bahkan masyarakat tidak terlalu memunculkan gejolak yang berarti seperti masa setelah reformasi dimana setiap pemilu selalu banyak mahasiswa, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan yang melakukan demonstrasi. Setelah pemilu tahun 2009, masyarakat lebih "adem ayem". Bukan karena sudah terjadi stabilitas politik. Tapi justru karena masyarakat telah lelah dengan perilaku pemerintah dan elit politik yang seakan tidak bertanggungjawab dan sudah tidak lagi percaya pada janji-janji pemerintah. Penyebab utamanya adalah penanganan kasus besar yang tidak dapat terselesaikan. Misalnya kasus skandal Bank Century, manipulasi pajak oleh Gayus Tambunan, dan kasus kekerasan pada aktivis Indonesian Corruption Watch. Seakan kasus tersebut telah kabur terbawa angin. Sedang banyak kasus yang menjatuhkan banyak korban seperti Kasus Lumpur Porong Sidoharjo, ledakan gas LPG dan yang lainnya dimana penanganannya kurang memuaskan masyarakat. Lebih penting lagi, masyarakat kecil yang kecewa dimana harga-harga kebutuhan pokok yang selalu meningkat. Dirasakan mahal harga kebutuhan sehari-hari yang membuat masyarakat beranggapan pemerintah tidak bertanggungjawab dalam mengatasi fluktuasi harga pasar. Kini masyarakat bersikap apatis terhadap janji pemerintah yang belum dapat memuaskan rakyat secara out put.
Kesadaran Politik Masyarakat Indonesia (Dihimpun dari Media Massa)
Memenuhi Aspek Afektif (sumber RRI 28/13)
Kajian dimana peranan masyarakat terhadap aktor politik dan penampilannya. Masyarakat kurang mengambil peran dalam jalannya sistem politik di Indonesia. Kecuali bagi para mahasiswa yang memang sudah dituntut aktif untuk memberikan sumbangsihnya untuk memperbaiki perpolitikan di Indonesia. Tapi apabila dilihat dari kaca mata global, masyarakat Indonesia tidak menjalankan perannya dalam sistem politik.
Aturan pemilu pada pasal 19 ayat 1 UU No. 10 tahun 2008 adalah "Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih". Pasal 19 ayat 2 "Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada pasal 19 ayat 1 didaftar oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih". Aturan ini tidak membuat kesadaran politik masyarakat Indonesia menjadi aktif. Sebab masih saja yang golput dan acuh pada jalannya pesta demokrasi dan sistem politik di Indonesia.
Contoh-contoh Kesadaran Politik di Indonesia (Partisipasi dalam Pemilu)
Kenaikan tingkat Golput (Nusantaranews 4/2009)
Penghitungan tingkat golput masyarakat Indonesia sejak 1971 (Era Orde Baru)
http://farm4.static.flickr.com/3309/3427395298_d53ed2f530_m.jpg1971   :  6.64 %
1977   : 8.40 %
1982   : 8.53 %
1987   : 8.39%
1992   : 9.09 %
1997   : 9.42 %
1999   : 10.21 %
2004   : 23.34 %
2009   : 39.1%
Data : 1971-2004 dari Pusat Studi dan Kawasan UGM ; 2009 daridata sementara dari hasil lembaga survei.
Dari data golput tersebut menandakan bahwa pengambilan peran masyarakat dalam pemilu justru semakin kecil. Sehingga dilihat dai segi afektif masyarakat Indonesia tergolong rendah. Banyak pihak yang mengatakan bahwa tingkat golput yang tinggi tidak semata-mata karena apatis atau pasif, tapi juga karena adanya taktik pembungkaman warga untuk menonjolkan salah satu suara partai.
Apatisme Mayarakat Jawa Tengah pada Pemilihan Gubernur 2008-2013 (Jurnal UGM 2011)
Hasil temuan penelitian Tauchid Dwijayanto mengatakan mayoritas responden (67%) menganggap bahwa dengan dilaksanakannya Pilgub ini tidak akan membawa perubahan apapun baik terhadap provinsi maupun kehidupan mereka. Menurut mereka perhelatan semacam Pilgub ini hanyalah sebuah rutinitas politik saja tanpa menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus pilkada Jawa Tengah ada tiga yang menyebabkan terjadinya golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme masyarakat. Berdasarkan hasil temuan Efniwati ada dua hal yang menyebabkan pemilih golput yaitu faktor pekerjaan dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada empat alasan mengapa pemilih golput yaitu karena administratif, teknis, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement) dan kalkulasi rasional.
KPU Yogyakarta (Sumber RRI 8/2013)
Apatisme masyarakat Yogyakarta terhadap pemilu 2014. KPU mulai memasang Daftar Pemilih Sementara di kelurahan/desa setempat. Tapi hanya sedikit yang melihatnya. Pakar politik UGM Kruskido mengatakan bahwa masyarakat sudah enggan mengambil sikap dan peran terhadap sistem politik di Indonesia sebab masyarakat sudah malas mengikuti himbauan penyelenggaraan pemilu. Masyarakat juga bersikap apatis sebab sudah jenuh melihat perilaku partai politik dan para politisi yang lebih suka berkonflik dan suka melakukan korupsi. Apatisme tersebut umumnya dilakukan oleh masyarakat miskin dan perantauan sebab siapapun yang akan menang dalam pemilu tidak akan mengubah kehidupan mereka. Mereka juga berpikir lancar atau tidaknya sistem politik tidak akan berpengaruh pada kehidupan mereka. Mereka lebih memilih bekerja daripada libur untuk ikut mencontreng.
Prosentase Kemenangan Suara Golput dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat (Pikiran Rakyat Online 12/2012).
Suara golput: 31.46 %
Partisipasi: 68.54 %
Jumlah penduduk: 27.972.924
Daftar pemilih: 18.826.967
Suara tidak sah: 806.560
Pengamat politik UIN Gunung Jati Bandung, Asep Saeful Muhfadi mengatakan bahwa sikap rakyat terhadap pemilu sudah lelah terhadap janji calon pemimpin yang ternyata tidak terbukti.
Suara Golput Pemilukada Bekasi Meningkat (Kompas 12/12)
Berdasarkan Lembaga Survei Indonesia,
Suara aktif: 48.81 %
Suara golput: 52 %
Sebab golput yaitu tidak ada calon wali kota yang menurut warga berbobot. Konsumsi berita yang marak membuat warga tahu positif dan negatif dari setiap calon. Krisis kepercayaan terhadap para calon walikota.
Pemberian Opini
Memenuhi Aspek Evaluatif
Pakar politik UGM Kruskido (RRI 8/2013). Perlu adanya peningkatan partisipasi politik dengan pendidikan politik. Melalui jangka panjang dengan perbaikan ekonomi dan tingkat pendidikan sedang jangka pendek melalui perbaikan kinerja partai politik untuk memahami representasi politik di Indonesia.
Abdurrahaman Wahid (Jurnal UGM 2011) pernah mengatakan " kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repotrepot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009; 1).
Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (Kompas 9/2010). Aptisme yang terjadi di Indonesia bisa di atasi dengan cara kepemimpinan yang visioner, jujur, adil, tegas, dan decisive. Kepemimpinan yang tak jujur, tidak adil, gamang dan tidak tegas mengakibatkan terjadinya koalisi dan kepentingan politik semu. Dalam situasi ini, sulit mengharapkan solidaritas dan kebersamaan dalam mengatasi berbagai masalah bangsa.
Aspek evaluatif dari ketiga di atas menunjukkan bahwa sebagian besar yang peduli pada kegiatan politik dan sistem politik hanya dari kalangan akademisi dan para profesional politik. Sedangkan warga yang lain, khususnya masyarakat bawah lebih bersikap acuh dan tidak mau berkecimpung terhadap sistem politik.
Budaya Politik yang Berkembang di Indonesia
Budaya politik di Indonesia tergolong tetap dan berkembang secara lambat, karena secara umum budaya politik di Indonesia sebelum reformasi hingga memasuki masa reformasi relatif sama. Hal ini dibuktikan dengan partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap sistem politik terbagi dalam beberapa sikap dan orientasi ketika pemilu, sebagai berikut:
Masyarakat yang bersikap masa bodoh terhadap negaranya. Acuh tak acuh dan tidak mempunyai harapan apapun terhadap politik, contohnya masyarakat badui dalam dan masyarakat samin. Alasan patrimonialisme
Masyarakat yang hanya peduli dan aktif dengan daerah asalnya. Mereka bersikap acuh pada urusan bangsa dan negara.
Masyarakat yang peduli pada sistem politik dan ikut berpartisipasi dalam pemilu dengan alasan kepentingan pribadi. Misalnya kenaikan pangkat atau pemberian money politic dan fasilitas tertentu.
Ada juga masyarakat yang menjanjikan akan memilih si A agar mendapatkan bonus tertentu, ternyata dalam faktanya tidak memilih tokoh tersebut dan lebih memilih calon yang disukainya.
Masyarakat yang aktif dan sangat kritis tehadap semua kebijakan yang telah diberikan pemerintah baik ketika in put hingga out put yang keluar.
Berdasarkan perilaku politik masyarakat Indonesia dalam berpartisipasi menujukkan kecenderungan Indonesia masuk pada tipe budaya campuran. Banyaknya perbedaan suku, daerah, agama, dan sifat-sifat tradisional membuat Indonesia masuk pada tipe budaya politik Subyek-Parokial dan sebagian kecil lainnya masuk dalam tipe partisipan.
Bukti yang menjadi dasar Indonesia masuk pada tipe budaya politik campuran, sebagai berikut:
Budaya politik subyek-parokial ditandai dengan banyaknya tingkat golput yang dari tahun ke tahun semakin meningkat seperti di bawah ini:
1971   :  6.64 %
1977   : 8.40 %
1982   : 8.53 %
1987   : 8.39%
1992   : 9.09 %
1997   : 9.42 %
1999   : 10.21 %
2004   : 23.34 %
2009   : 39.1%
Data : 1971-2004 dari Pusat Studi dan Kawasan UGM ; 2009 daridata sementara dari hasil lembaga survei.
Alasan
Hal ini menujukkan bahwa masyarakat Indonesia yang berada di wilayah pedalaman masih bersikap parokial dan tidak peduli pada keberlangsungan politik. Masyarakat di pedalaman seperti suku badui dalam, samin, dan lain sebagainya yang masih mengutamakan kepercayaan tradisional kepada kepala suku, kepala adat, kyai, dan dukun untuk mengurus segala kebutuhan hidup baik aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Bersikap patrimonial yang masih mengutamakan "asal bapak senang". Juga ikatan kedaerahan yang masih kuat atau primordialisme.
Sebagian yang lain sudah berada pada aspek ekonomi, sosial politik yang relatif maju. Sudah mau mematuhi aturan hukum dan kebijakan yang diberikan pada pemerintah tetapi masih bersikap pasif dan kecenderungan apatis terhadap jalannya politik dan pemerintahan. Misalnya saja masyarakat desa atau kota yang tergolong menengah-kebawah memilih untuk golput dan acuh terhadap sistem politik karena kecewa pada pemerintah, dan berpikir bahwa ikut serta dalam politik tidak ada keuntungannya dan tidak akan memberikan perubahan yang berarti.
Sisanya, masyarakat Indonesia yang memang sengaja untuk tidak mau tahu pada urusan politik sebab munculnya stigma bahwa politik itu kotor, kejam, dan korupsi. Hal yang sama terjadi juga karena masyarakat yang memang sudah maju tingkat pendidikannya dan mengikuti maraknya berita politik di Indonesia kemudian menarik diri pada urusan sistem politik Indonesia.
Budaya politik partisipan di Indonesia, dimana ada sebagian masyarakat yang aktif mengikuti sistem politik, baik in put, proses, maupun out put sehingga dapat memberikan evaluasi baik yang bersifat menolak dan menerima. Misalnya untuk in put ialah para akademisi, pengamat politik, tokoh, dan elit politik yang memang mempunyai kepentingan dalam urusan politik. Juga mereka yang secara aktif memberikan aspirasi maupun penolakan seperti anggota partai politik, golongan penekan, dan kelompok kepentingan. Kemudian untuk out put nya ialah mereka yang secara kritis dapat menolak dan menerima kebijakan yang telah diberikan. Biasanya ini dilakukan oleh mahasiswa dan kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan politik tertentu.
Analisis Akhir Tipe Budaya Politik di Indonesia (Subyek-Parokial)
Analisis akhir saya, tipe budaya politik di Indonesia dengan mempertimbangkan potret kehidupan politik di Indonesia baik pengaruh pemerintah, dan kesadaran politik di Indonesia. Juga dari segi kognitif, afektif, dan evaluatif dan menitik beratkan pada banyaknya golongan golput di Indonesia yang semakin tahun semakin meningkat baik dalam pemilu presiden, pemilu legislatif, pemilihan gubernur, dan pemilukada Indonesia masuk pada tipe budaya subyek-parokial. Sebab masih banyak sekali yang menganut primordialisme, patrimonialisme, dan sifat kedaerahan lainnya yang membuat sistem politik yang berjalan bukan berdasarkan kompetensi melainkan kecenderungan money politic.
Meski ada sebagian yang telah aktif dan tergolong pada budaya politik partisipan tetapi prosentasenya masih lebih kecil dibandingkan dengan tipe budaya politik subyek-parokial.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berpijak pada analisis di atas, dapat menjadi dasar untuk saya mengambil kesimpulan bahwa tipe budaya politik di Indonesia relatif tetap sejak dulu. Budaya politik di Indonesia tidak murni, dan masuk pada budaya politik campuran. Sebab banyaknya masyarakat Indonesia yang sangat plural dan terdiri dari berbagai sifat kedaerahan baik perbedaan suku, daerah, dan agama. Secara umum masyarakat Indonesia masuk pada tipe kebudayaan subyek-parokial dimana prosentase kesadaran politik di Indonesia masih banyak yang tidak peduli dan golput ketika pemilu. Angka golput di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun baik untuk pemilu presiden, pemilu legislatif, pemilihan gubernur, dan pemilukada. Banyak hal yang menjadi latar belakang, kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih primordialisme kuat untuk sifat-sifat kedaerahannya dan patrimonialisme yang masih menganut "asal bapak senang", dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah yang dinilai kurang bertanggungjawab sehingga muncul anggapan politik tidak akan mengubah hidup "orang kecil".
Meski di lain sisi, masyarakat Indonesia juga terdapat budaya politik yang partisipan. Dimana masyarakat aktif dalam input proses dan out put pemerintah. Baik dalam hasil akhir mereka menerima atau menolak yang pasti mereka secara kritis berkecimpung dalam urusan politik. Umumnya dilakukan oleh akademisi, pakar, profesional, pengamat politik, elite politik, mahasiswa, kelompok kepentingan, dan penekan. Tapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan denga budaya politik subyek-parokial sehingga saya menyimpulkannya Indonesia masuk pada budaya politik subyek-parokial.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas bahwa di Indonesia seharusnya lebih konsistem dalam berperilaku politik. Khususnya bagi pembaca agar dapat menjadi penggerak yang solid dan dapat mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Tentu ilmuwan politik UNNES diharapkan mampu menjadi sarjana yang memperbaiki negeri, bukan malah menambah kerusakan negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Verba. 1990. Budaya Politik, terjemahan Sahat Simamora. Jakarta:
Bumi Aksara
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press
Arianto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih dalam
Pemilu. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol. 1 No. 1
Asyumardi, Azra. 2010. Apatisme Poltik. http://www.kompas.com. diunduh
Jumat, 4 Oktober 2013 | 19:25 WIB
Fetika, Andriyani. 2013. Apatisme Politik Menggejala: Masyarakat Malas Lihat
DPSHP. http:rri\Apatisme-Politik-Menggejala-Masyarakat-Malas-Lihat-.htm.
diunduh Jumat, 4 Oktober 2013 | 19:27 WIB
Muhtadi, Asep Saiful. 2012. Presentasi Suara Golput Bisa Menjadi Pemenang
Pilgub Jabar 2013. http://www.pikiran-rakyat.com/. diunduh Jumat, 4
Oktober 2013 | 19:30 WIB
Achmad, Zaini. 2012. Golput Menang Lagi. http://www.kompas.com. diunduh
Jumat, 4 Oktober 2013 | 19:37 WIB


Download POTRET BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONESIA MALISA LADINI UNNES ILMU POLITIK.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca POTRET BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONESIA MALISA LADINI UNNES ILMU POLITIK. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: