November 28, 2016

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

Judul: POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
Penulis: Ariyanto Bakti P.


Nano-Nano class Project
Politik Luar Negeri Indonesia
Orde lama - Reformasi
Nama Kelompok :
Ariyanto B. P.
Gitaria Tibian
Faris R. Palamba'
Ariani Wanti Paluta
Alan C. Patandianan
SMA KRISTEN BARANA'

BAB I
PENDAHULUAN
Dari sebagian masyarakat dunia, bangsa Indonesia selalu melakukan hubungan dengan bangsa lainnya. Dalam menjalin hubungan dengan bangsa lain, kita menetapkan politik luar negeri yang "bebas" dan "aktif". Politik luar negeri bebas aktif ini mulai dicanangkan sejak awal merdeka.
Bebas artinya bahwa bangsa Indonesia bebas menjalin hubungan dan kerja sama dengan bangsa mana pun di dunia ini. Bangsa kita tidak membatasi hubungan dengan Negara - negara barat saja, juga tidak membatasi dengan bangsa-bangsa timur saja. Indonesia menjalin hubungan dengan semua bangsa di dunia.
Aktif artinya bahwa bangsa Indonesia selalu berusaha secara aktif dalam usaha menciptakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif berdasar pada landasan konstitusional, yakni tercantum pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan pasal 11 UUD 1945. Dalam perkembangan sejarah bangsa Indonesia, pada masa orde lama (tahun 1959 - 1965) pernah terjadi penyimpangan terhadap politik luar negeri yang bebas dan aktif ini. Saat itu bangsa Indonesia cenderung mengeblok ke Rusia (timur). Pada waktu itu, politik luar negeri Indonesia berporos Jakarta - Pyongyang - Peking.
Sebagai salah satu perwujudan politik luar negeri yang bebas aktif, bangsa Indonesia pernah menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 dan juga membentuk Gerakan Non Blok bersama beberapa negara Asia Afrika lainnya.
BAB II
PERMASALAHAN
A.    Jelaskan pengertian Politik Luar Negeri Indonesia ?
B.     Bagaimana perwujudan Politik Luar Negeri Indonesia yang Bebas Aktif ?
C.     Jelaskan Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif di Era Globalisasi ?
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
Pengertian Politik Luar Negeri Indonesia
Suatu bangsa yang merdeka tidak dengan serta merta dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari negara lain. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan mempertahankan kemerdekaannya, negara tersebut membutuhkan dukungan dari negara lain. Nah, untuk mendapatkan dukungan tersebut, suatu negara harus mengadakan hubungan yang baik dengan negara lain. Misalnya, ketika awal berdirinya negara Kesatuan republik Indonesia, untuk memperoleh pengakuan dan dukungan dari negara lain terhadap kemerdekaannya, para pendiri negara kita mengadakan hubungan dengan Australia, Amerika Serikat, Belgia, Mesir dan sebagainya. Alhasil,negara kita dapat berdiri dengan tegak dan mempertahankan kemerdekaanya sampai sekarang.
Hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik luar negeri suatu negara termasuk Indonesia, perlu dipahamami dulu definisi atau pengertian dari politik luar negeri seperti di bawah ini:
1. Politik luar negeri adalah strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam berhubungan dengan negara lain.
2. Politik luar negeri merupakan kumpulan kebijaksanaan atau setiap yang ditetapkan oleh suatu negara untuk mengatur hubungan dengan negara lain untuk yang ditujukan untuk kepentingan nasional.
3. Politik luar negeri merupakan penjabaran dari politik nasional, sedangkan politik nasional merupakan penjabaran untuk dari kepentingan nasional atau tujuan negara yang bersangkutan.
Jadi, pada dasarnya politik luar negeri merupakan  strategi untuk melaksanakan kepentingan nasional atau tujuan negara yang ada kaitannya dengan negara lain.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, sejak tanggal 2 September 1948, Pemerintah Indonesia mengambil haluan bebas aktif untuk politik luar negerinya. Dalam siding Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Pemerintah Indonesia menyampaikan sikap politik luar negeri Indonesia seperti berikut. Sikap pemerintah tersebut dipertegas lagi oleh kebijakan politik luar negeri Indonesia yang antara lain dikemukakan oleh Drs. Moh. Hatta. Ia mengatakan, bahwa tujuan politik luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara;
b. Memperoleh barang-barang dari luar untuk memperbesar kemakmuran rakyat, apabila barang-barang itu tidak atau belum dapat dihasilkan sendiri;
c. Meningkatkan perdamaian internasional, karena hanya dalam keadaan damai Indonesia dapat membangun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperbesar kemakmuran rakyat;
d. Meningkatkan persaudaraan segala bangsa sebagai cita-cita yang tersimpul dalam Pancasila, dasar dan falsafah negara Indonesia.
Politik yang bebas aktif, bebas berarti bahwa bangsa Indonesia bebas menentukan dan berhubungan dengan negara mana pun. Kita tidak membatasi hubungan dengan bangsa-bangsa Eropa saja atau dengan bangsa Timur saja. Kita berhubungan dengan semua bangsa di dunia. Aktif, artinya bahwa bangsa Indonesia turut aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Perwujudannya, bahwa bangsa Indonesia akan berusaha untuk membantu negara-negara yang terjajah agar terbebas dari penjajahan, tidak mau menjajah bangsa lain, dan selalu mengutamakan jalan pemecahan dengan cara damai terhadap setiap konflik yang terjadi.
Tujuan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia
Apabila kita simpulkan dari uraian di atas, tujuan politik luar negeri Indonesia bebas aktif ialah:
a. Menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan kemerdekaan bangsa;
b. Ikut serta menciptakan perdamaian dunia internasional, sebab hanya dalam keadaan damai kita dapat memenuhi kesejahteraan rakyat;
c. Menggalang persaudaraan antarbangsa sebagai realisasi dari semangat Pancasila.
Dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, bangsa Indonseia menjalankan prinsip-prinsip berikut:
a. Negara Indonesia menjalankan politik damai, dalam arti bangsa Indonesia bersama-sama dengan masyarakat bangsa-bangsa lain di dunia ingin menegakkan perdamaian dunia;
b. Negara Indonesia ingin bersahabat dengan negara-negara lain atas dasar saling menghargai dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Indonesia menjalankan politik bertetangga baik dengan semua negara di dunia.
c. Negara Indonesia menjunjung tinggi sendi-sendi hukum internasional;
d. Indonesia membantu pelaksanaan keadilan sosial internasional dengan berpedoman kepada Piagam PBB.
Landasan Politik Luar Negeri Indonesia
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif memilki landasan yang kuat dan kokoh. Landasan tersebut tercantum pada alinea pertama dan keempat Pembukaan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 serta pasal 11 UUD 1945. Dalam alinea pertama disebutkan, " penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Sedangkan dalam alinea keempat dinyatakan, " ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial " Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 berbunyi, "Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain."
Selain landasan tersebut, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia bebas aktif juga berdasar pada Keterangan Pemerintah di depan sidang BP-KNIP tanggal 2 September 1948. Politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif tetap diabdikan untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Secara sosial bangsa Indonesia menghendaki kehidupan yang damai dengan semua negara di dunia. Sebab itu, kita tidak hanya menjalin kerjasama dengan negara-negara tertentu saja. Kita terbuka terhadap semua bangsa dan negara dalam menjalin kerjasama.
Secara kejiwaan, apabila bangsa kita membatasi diri hanya dengan negaranegara tertentu saja, maka dapat menyebabkan bangsa kita terkucil oleh salah satu kelompok. Karena alasan itu juga, bangsa Indonesia menentukan haluan politik luar negeri yang bebas aktif. Bebas artinya dalam menjalin hubungan internasional tidak dibatasi pada negara-negara tertentu saja. Aktif artinya, bangsa kita tak mau tinggal diam dalam upaya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional.
Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia
Pelaksanaan Politik Luar Negeri pada Masa Orde Lama
Pada masa orde lama (Demokrasi Terpimpin), politik luar negeri Indonesia pernah belok ke arah negara-negara Eropa Timur atau Uni Sovyet, dan memusuhi negara-negara eropa. Hal ini disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu:
a. Faktor dari dalam negeri (intern), yaitu karena dominannya (besarnya pengaruh) Partai Komunis Indonesia (PKI) menguasai kehidupan politik Indonesia;
b. Faktor dari luar negeri (ekstern), yaitu kurang simpatiknya bangsa eropa dan Amerika dalam menghadapi berbagai persoalan di negara Indonesia.
Dengan dua alasan itu, pemerintah Indonesia akhirnya membelokkan haluan politiknya ke arah timur (Uni Sovyet). Indonesia mengambil haluan politik luar negeri dengan membentuk Poros Jakarta _ Hanoi _ Phnom Penh _ Peking _ Pyongyang.
Dianutnya politik luar negeri yang cenderung condong ke Sovyet menyebabkan perubahan kehidupan sosial politik bangsa Indonesia. Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang dengan leluasa. Partai-partai politik lain dibubarkan satu per satu, sehingga dalam negara hanya ada satu partai, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Puncaknya terjadilah peristiwa G30S/PKI pada tanggal 30 September 1965.
Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung
Sebagai bangsa yang pernah merasakan betapa pahitnya hidup dalam penjajahan, bangsa Indonesia memprakarsai diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika bersama dengan negara India, Pakistan, Birma, dan Sri Lanka.
Persiapan untuk menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika dilakukan di Colombo (Sri Lanka) pada tanggal 28 April - 2 Mei 1954 dan di Bogor (Indonesia) pada tanggal 29 Desember 1954.
Dalam persiapan itu disepakati bahwa Konferensi Asia Afrika (KAA) akan dilaksanakan di Bandung (Indonesia) pada tanggal 18 _24 April 1955. Setelah disepakati, maka pada tanggal 18 sampai dengan 24 April 1955 di Kota Bandung (Jawa Barat) diseleng-garakan Konferensi Asia Afrika, tepatnya di Jalan Asia Afrika.
Maksud dan tujuan diadakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung adalah untuk:
a. meningkatkan kemauan baik (goodwill) dan kerja sama antar bangsa-bangsa Asia Afrika, serta untuk menjajagi dan melanjutkan baik kepentingan timbale balik maupun kepentingan bersama;
b. mempertimbangkan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan budaya dalam hubungannya dengan negara-negara peserta;
c. mempertimbangkan masalah-masalah mengenai kepentingan khusus yang menyangkut rakyat Asia Afrika, dalam hal ini yang menyangkut kedaulatan nasional, rasialisme, dan kolonialisme;
d. meninjau posisi Asia Afrika dan rakyatnya dalam dunia masa kini dan saham yang diberikan untuk peningkatan perdamaian dunia dan kerja sama internasional.
Konferensi yang diselenggarakan di Bandung itu menghasilkan 10 prinsip yang dikenal dengan nama Dasa Sila Bandung.Konferensi Asia Afrika ini dihadiri oleh 29 negara Asia dan Afrika
.
Mendirikan Gerakan Non Blok
Seusai Perang Dunia II, negara-negara di dunia terbagi ke dalam dua blok, yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet. Adanya dua kekuatan tersebut menyebabkan terjadinya "Perang Dingin" (Cold War) di antara kedua blok itu. Akibatnya, suhu politik dunia menjadi memanas dan penuh dengan ketegangan-ketegangan.
Guna mengatasi ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur yang terus bersitegang, bangsa Indonesia memprakarsai didirikannya Gerakan Non-Blok (Non Aligned). Negara-negara pemrakarsa Non-Blok ialah:
a) Afghanistan
b ) India
c ) Indonesia
d) Republik Arab Persatuan (Mesir)
e) Yugoslavia.
Gerakan Non Blok ini dibentuk atas dasar Dasa Sila Bandung (hasil Konferensi Asia Afrika di Bandung). Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama Non Blok diadakan di Beograd atau Belgrado (Yugoslavia) dari tanggal 1 - 6 September 1961 atas undangan dari Presiden Yosef Broz Tito (Yugoslavia), Abdul Nasser (Mesir), dan Sukarno (Indonesia). KTT ini dihadiri oleh 25 negara dari Asia-Afrika, Amerika Latin, dan Eropa.
Konferensi ini dimaksudkan untuk meredakan ketegangan dunia dan menunjukkan kepada dunia bahwa masih ada pihak ketiga yang berada di luar kedua blok yang sedang bertentangan itu. Setelah diadakan KTT Non Blok I, negaranegara yang tergabung dalam Non-Blok oleh Negara - Negara barat disebut sebagai Dunia Ketiga (The Third World). Sampai saat ini, Non-Blok telah mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) puluhan kali. Temukan KTT kedua dan seterusnya, apa keputusan yang dihasilkan dalam setiap KTT.
Mengirimkan Misi Garuda (MISIRIGA)
Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif menyatakan, bahwa bangsa Indonesia akan senantiasa aktif dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Untuk mewujudkan misi ini, maka Indonesia mengirimkan misi perdamaian dunia dengan nama Pasukan Garuda. Pasukan ini diperbantukan untuk PBB dalam usaha turut mendamaikan daerah-daerah yang sedang bersengketa.
Pada bulan Januari 1957 dikirimlah Pasukan Garuda I ke Timur Tengah di bawah komando Kolonel Hartoyo, yang kemudian diganti oleh Letnan Kolonel Suadi. Pada tahun 1960, di Kongo terjadi perang saudara. Untuk mendamaikan situasi di Kongo ini, Indonesia mengirimkan Pasukan Garuda II di bawah pimpinan Kolonel Prijatna, sedangkan sebagai komandan batalion adalah Letkol Solichin Gautama Purwanegara. Selanjutnya Misi Garuda III dikirim ke Kongo dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris.
Dalam setiap sengketa internasional yang menerjunkan PBB, Indonesia selalu siap sedia menjadi petugas misi perdamaian PBB melalui Pasukan Garuda. Keikutsertaan Indonesia dalam Misi Perdamaian ini tergabung dalam Pasukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB). Dalam pengiriman misi perdamaian ini, tentara dari Indonesia mendapat sambutan baik dari negara yang menerima. Hal ini karena tentara kita mengembangkan sikap bersahabat dan cinta damai. Sampai saat ini, bangsa Indonesia telah puluhan kali terlibat dalam misi perdamaian dunia di bawah bendera Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)natau United Nations Organization (UNO)
Dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia, bangsa Indonesia ikut aktif menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 28 September 1950 dengan nomor anggota ke-60. Pada masa Orde Lama (Demokrasi Terpimpin), Indonesia pernah menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, yakni pada tanggal 7 Januari 1965. Pada saat itu, politik luar negeri Indonesia sedang condong ke Sovyet. Akan tetapi, setelah zaman orde baru, Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan tetap pada urutan ke-60, karena oleh PBB Indonesia masih belum dicoret dari keanggotaan. Sebagai anggota PBB, bangsa Indonesia aktif terus dalam usaha menciptakan perdamaian dan keamanan dunia internasional, salah satu di antaranya ialah dengan aktifnya Indonesia dalam mengirimkan misi perdamaian yang tergabung dalam Misi Republik Indonesia Garuda (MISIRIGA).
Menjalin Kerja Sama dengan Negara-negara di Dunia
Politik luar negeri yang bebas dan aktif memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain di dunia. Itulah sebabnya, sehingga bangsa Indonesia juga menjalin hubungan kerja sama dengan negara-negara di dunia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan ilmu pengetahuan, tanpa membatasi diri dengan negara-negara blok barat saja atau blok timur saja.
Sebagai perwujudannya, bangsa kita menjadi anggota oragnisasi internasional. Dalam organisasi internasional, Indonesia juga bekerja sama dalam OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries =Negara-negara pengekspor minyak), Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation = Kerjasama Ekonomi Negara Asia Pasifik). Selain itu, Indonesia juga menjadi anggota organisasi internasional lainnya
Pelaksanaan Politik Luar Negeri pada Masa Orde Baru
Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBBIndonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan tercatat sebagai anggota ke-60. Sebagai anggota PBB, Indonesia telah banyak memperoleh manfaat dan bantuan dari organisasi internasional tersebut.Manfaat dan bantuan PBB, antara lain sebagai berikut.1) PBB turut berperan dalam mempercepat proses pengakuan de facto ataupun de jure kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional.
2) PBB turut berperan dalam proses kembalinya Irian Barat ke wilayah RI.
3) PBB banyak memberikan sumbangan kepada bangsa Indonesia dalam bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Hubungan yang harmonis antara Indonesia dan PBB menjadi terganggu sejak Indonesia menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB pada tanggal 7 Januari 1965. Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB tersebut sebagai protes atas diterimanya Federasi Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, sedangkan Indonesia sendiri pada saat itu sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Akibat keluar dari keanggotaan PBB, Indonesia praktis terkucil dari pergaulan dunia. Hal itu jelas sangat merugikan pihak Indonesia.
Penghentian Konfrontasi dengan Malaysia
Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia setelah diumumkan Dwikora oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964. Tindakan pemerintah Orde Lama ini jelas menyimpang dari pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif. Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia dikembalikan lagi pada politik bebas aktif sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini merupakan pelaksanaan dari Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966.
Indonesia segera memulihkan hubungan dengan Malaysia yang sejak 1964 terputus. Normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia tersebut berhasil dicapai dengan ditandatangani Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966. Persetujuan normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia merupakan hasil perundingan di Bangkok (29 Mei–1 Juni 1966). Perundingan dilakukan Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Malaysia, Tun Abdul Razak dan Menteri Utama/Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik. Perundingan telah menghasilkan persetujuan yang dikenal sebagai Persetujuan Bangkok.
Adapun persetujuan Bangkok mengandung tiga hal pokok, yaitu sebagai berikut.1) Rakyat Sabah dan Serawak akan diberi kesempatan menegaskan lagi keputusan yang telah diambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.2) Kedua pemerintah menyetujui memulihkan hubungan diplomatik.3) Kedua pemerintah menghentikan segala bentuk permusuhan.
Pembentukan Organisasi ASEANAssociation of Southeast Asian Nations atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau dikenal dengan nama ASEAN. ASEAN merupakan organisasi regional yang dibentuk atas prakarsa lima menteri luar negeri negaranegara di kawasan Asia Tenggara. Kelima menteri luar negeri tersebut adalah Narsisco Ramos dari Filipina, Adam Malik dari Indonesia, Thanat Khoman dari Thailand, Tun Abdul Razak dari Malaysia, dan S. Rajaratnam dari Singapura.
Penandatanganan naskah pembentukan ASEAN dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok sehingga naskah pembentukan ASEAN itu disebut Deklarasi Bangkok. Syarat menjadi anggota adalah dapat menyetujui dasar dan tujuan pembentukan ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi ASEAN. Keanggotaan ASEAN bertambah seiring dengan banyaknya negara yang merdeka. Brunei Darussalam secara resmi diterima menjadi anggota ASEAN yang keenam pada tanggal 7 Januari 1984.
Vietnam diterima menjadi anggota ASEAN ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Sementara itu, Laos dan Myanmar bergabung dengan ASEAN pada tanggal 23 Juli 1997 dan menjadi anggota kedelapan dan kesembilan. Kampuchea menjadi anggota ASEAN yang kesepuluh pada tanggal 30 April 1999.
Konsep ZOPFAN dan SEANWFZ
27 November 1971 di Kuala Lumpur diadakan konferensi para menteri luar negeri ASEAN. Konferensi menghasilkan sebuah konsep yang menghendaki agar kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan damai, bebas, dan netral. Konsep ini diberi nama ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality). Indonesia juga mengenalkan konsep SEANWFZ (South East Asian Nuclear Weapons Free Zone) pada tahun 1983 sebagai bagian dari ZOPFAN. Konsep SEANWFZ ini sebenarnya merupakan refleksi dari hasrat Indonesia untuk memainkan peranan yang aktif di panggung regional.
Pembentukan AFTA
Pada awalnya, AFTA merupakan usulan dari pihak Thailand. Indonesia awalnya menolak atas ide pembentukan AFTA, namun pada akhirnya Indonesia menyetujuinya. Atas dukungan Indonesia, AFTA kemudian menjadi usulan ASEAN, bukan lagi usulan Thailand. Dengan terbentuknya AFTA, maka kawasan Asia Tenggara mulai memasuki era perdagangan bebas. Bagi Indonesia, terbentuknya ACFTA membentuk peluang untuk menciptakan iklim investasi yang baik dan tentunya mendukung proses pembangunan nasional.
Normalisasi hubungan  Indonesia dengan Republik Rakyat China (RRC)
Hubungan antara Indonesia dengan RRC membeku sejak Oktober 1967, karena RRC diyakini berada di belakang kudeta yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1965. Indonesia akan menormalisasi hubungan dengan RRC jika China benar-benar bersahabat dan berhenti memberikan bantuan dan fasilitas terhadap para mantan pimpinan PKI. Pada awal tahun 1989, Indonesia secara tiba-tiba mengumumkan bahwa ada kemungkinan bagi Jakarta dan Beijing untuk membuka kembali hubungan diplomatik. Keputusan normalisasi hubungan Indonesia-China tampaknya memiliki kaitan erat dengan hasrat Presiden Soeharto dalam memainkan peranan dominan dalam politik dunia secara umum dan wilayah Asia Pasifik secara khusus.
Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik
Presiden Soeharto memakai Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) untuk memproyeksikan posisi kepemimpinan Indonesia. Pada awalnya Indonesia tidak setuju dengan APEC. Kekhawatiran itu didasarkan pada ketidakmampuan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan. Kekhawatiran lainnya adalah kehadiran APEC dapat mengikis kerja sama antara negara-negara ASEAN. Setelah berakhirnya Perang Dingin, Indonesia mengubah pandangannya terhadap APEC. Faktor pendorongnya antar lain adalah karena Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC selanjutnya. Keberhasilan Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC dan juga keberhasilan menjadi Ketua GNB X pada tahun 1992, setidaknya memberikan pengakuan bahwa Indonesia adalah salah satu pemimpin internasional.
Pasukan Indonesia ke Bosnia
Indonesia melakukan kunjungan dan mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Bosnia ketika Yugoslavia pecah dan terjadi kericuhan antara masyarakat Kristen dan Islam di Bosnia. Dalam menghadapi kasus Perang Bosnia, Indonesia lebih menampilkan politik luar negeri yang bijak. Dengan kata lain, Indonesia tidak menampilkan sikap politik yang terlalu berlebihan dalam memandang persoalan internasional. Hal ini tentu menjadi posisi yang tepat dilakukan indonesia selaku ketua GNB.
Pembentukan OPEC
Selain ASEAN, keterlibatan Indonesia dalam membetuk kondisi perekonomian global yang stabil dan kondusif, serta memaksimalkan kepentingan nasional, Indonesia juga masuk sebagai anggota negara-negara produsen atau penghasil minyak dalam OPEC. OPEC menjadi barometer pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam hal stabilitas perekonomian dunia.
Pada masa Soeharto, politik luar negeri Indonesia cenderung sangat kooperatif dengan negara-negara lain, khususnya negara-negara Barat. Konsep kebangsaan atau nasionalitas diidentikkan dengan percepatan pembangunan dengan konsep dan teknik yang diadopsi dari negara-negara luar. Politik luar negeri Indonesia juga masih cenderung patronatif dengan kebijakan dan orientasi ideologi liberal yang diusung dalam globalisasi. Soerharto cenderung tunduk kepada modal asing yang sangat kuat pengaruhnya terhadap pembangunan negara-negara dunia ketiga. Hal ini yang membuat Indonesia tidak memiliki kedaulatan dan otoritas untuk mengatur bangsa dan negaranya sendiri.
Kepemimpinan Soeharto secara umum mempunyai karakteristik yang berbada dengan pendahulunya. Diparuh pertama kepemimpinannya, dia cenderung adaptif dan low profile. Dan pada paruh terkhir kepemimpinannya, sejak 1983, Soeharto mengubah gaya kepemimpinannya menjadi high profile. Gayanya tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan politik luar negerinya, yang pada kenyataannya tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik-ekonomi dan keamanan dalam negeri Indonesia. (Wuryandari, 2008, hal. 170) Dengan nilai ingin menyejahterakan bangsa, Soeharto mengambil gaya represif (di dalam negeri) dan akomodatif (di luar negeri).
Dalam masa kepemimpinan Soeharto, diplomasi masih digunakan sebagai instrumen politik luar negeri yang dominan. Namun, pada masa pemerintahan Soeharto juga diterapkan diplomasi yang bersifat koersif, artinya dalam menerapkan kebijakan Soeharto terkadang menggunakan otoritas penuh yang dimilikinya sebagai Presiden Indonesia dengan sedikit memaksakan kepada seluruh perangkat pelaksana politik luar negerinya (para menteri dan lembaga pemerintahan) dan kepada seluruh rakyatnya.
Pelaksanaan Politik Luar Negeri pada Masa Transisi
Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dan menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Setelah diumumkannya pengunduran diri Soeharto tersebut, maka B.J. hbibie secara konstitusional dan secara sah telah menjadi Presiden baru Indonesia mengantikan Soeharto. Masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie terbilang cukup singkat. Meskipun begitu, bukan berarti selama menjadi Presiden Indonesia beliau tidak melakukan pemerintahan tanpa pencapaian prestasi yang berarti.
Setelah tumbangnya rezim otoriter Soeharto, Indonesia mencoba menata kembali kehidupan masyarakat dan sistem politik, khususnya politik luar negerinya. Berbagai upaya dilakukan untuk membangun kembali sistem ekonomi yang sempat terpuruk oleh krisis moneter pada akhir 1990-an. Prioritas utama yang dilaksanakan adalah perbaikan ekonomi. Program-program pembangunan ekonomi negara-negara berkembang seperti Millenium Development Goals (MDGs), merupakan gambaran orientasi politik luar negeri Indonesia yang sempat mencari bentuk pasca kejatuhan Soeharto. Namun, dalam perjalananannya program MDGs ini tidak berjalan dengan baik. Politik luar negeri yang pada awalnya ditujukkan untuk memaksimalkan kepentingan nasional masyarakat sendiri, justru hanya menjadi alat bagi korporasi internasional untuk memasukkan kepentingannya di Indonesia.
Di tingkatan global, Indonesia juga semakin serius dalam mengusahakan perdamaian dunia yang diwujudkan dalam kesepakatan internasional, seperti Protokol Kyoto, penempatan pasukan perdamain di daerah konflik, hingga usaha penanganan terorisme internasional. Namun,  semua hal itu belum merefleksikan kondisi sebenarnya dari masyarakat Indonesia yang semakin hari, semakin tidak mandiri terhadap kedaulatan bangsa dan negaranya.
Pada awal masa pemerintahannya Habibie memang menghadapi persoalan legitimasi cukup serius.Pengangkatan B.J. Habibie sebagai Presiden RI ke-3 memunculkan kontroversi di kalangan masyarakat. Meskipun mendapatkan cobaan dari dalam negeri, Habibie masih tetap berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut. Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestik.
Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari dua institusi penting yaitu Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank). Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk membentuk image positif kepada dunia internasional memberikan kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi.
Pemerintahan Habibie pula yang memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan sangat jelas. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor-Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru. Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor-Timur.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor-Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor-Timur merusak hubungan antara dirinya dengan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu.
Habibie menjadi kehilangan legitimasi, baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum. Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi sentimen nasionalis yang semakin menguat, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin oleh Australia masuk ke Timor-Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan teritorial kembali menguat. Padahal sebelumnya, peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Sejak 1998 Indonesia mengalami keterpurukan yang luar biasa dalam berbagai dimensi, serta menjadi penyebab bangsa Indonesia terpuruk pula dalam konstelasi politik internasional. Lepasnya Timor-Timur, kekalahan diplomasi Sipadan dan Ligitan, serta "hilangnya" wibawa Indonesia di mata negara-negara tetangga (seperti Australia, Singapura, dan Malaysia) merupakan beberapa persoalan yang sempat dihadapi bangsa Indonesia, di tengah krisis ekonomi (sebagai imbas krisis moneter Asia tahun 1997) dan carut-marut politik di era reformasi. (Wuryandari, 2008, hal. 175)
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh Presiden Habibie adalah dibangunnya Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang bertujuan untuk mengakselerasi pembangunan nasional. Dengan dibangunnya IPTN ini, dunia bidang teknologi terutama dalam bidang teknologi, khususnya teknologi penerbangan.
Instrumen politik luar negeri yang digunakan pada masa pemerintahan Presiden Habibie adalah diplomasi. Di era Habibie, kepentingan nasional dalam dunia diplomasi lebih merrujuk ke upaya pemulihan ekonomi. Diplomasi juga digunakan oleh Habibie guna menarik perhatian dunia internsional dan mendapatkan dukungan internasional untuk mengukuhkan legitimasinya sebagai presiden transisional. Diplomasi juga digunakan oleh Habibie untuk menarik perhatian publik domestik agar legitimasinya sebagai Presiden diakui.
Pelaksanaan Politik Luar Negeri pada Masa Reformasi
A. Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid naik menjadi Presiden Indonesia yang keempat pada tahun 1999. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat liberal dalam berpikir, kayak akan ide dan kental dengan suasana informal dan santai namun mempunya visi dan tujuan tertentu. Ia cenderung mengagregasikan aspirasi dari setiap kepentingan untuk kemudian diwujudkan dalam suatu kebijakan yang akomodatif bagi semua pihak.
Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur termasuk salah satu presiden Indonesia yang paling sering melakukan kunjungan ke luar negeri dengan tujuan untuk memulihkan nama baik Indonesia sekaligus berdiplomasi meminta bantuan dan dukungan luar negeri. Hal ini menuai cukup banyak kritikan karena dianggap merupakan tindak pemborosan walaupun tujuannya memang untuk membuka jalur investasi asing untuk Indonesia. Profil Gus Dur banyak dinilai controversial dan mengarahkan politik luar negeri Indonesia ke arah yang high profile kembali. Salah satu niatan Gus Dur yang paling controversial ialah rencananya untuk membuka hubungan dagang dengan dengan Israel. Rencana ini kemudian dibatalkan karena banyaknya kecaman dan penolakan dari dalam negeri.Secara umum, kepentingan nasional yang ditekankan pada masa kepemimpinan Gus Dur ialah perbaikan ekonomi nasional, stabilitas politik dan keamanan melalui diplomasi. Hal ini ditegaskan Gus Dur dalam pidatonya di depan MPR pada tanggal 7 Agustus 2000 HYPERLINK "file:///C:\\Users\\ANG\\Documents\\uas%20pln%20ri.docx" \l "_ftn1" [1]. Kepentingan ini kemudian dipenuhi melalui instrument investasi swasta, diplomasi bantuan luar negeri, perdagangan bebas, dukungan internasional, otonomi regional dan sistem politik demokratis. Instrument ini diterapkan dalam ranah global sehingga diharapkan bantuan dan perbaikan citra Indonesia berjalan bersamaan HYPERLINK "file:///C:\\Users\\ANG\\Documents\\uas%20pln%20ri.docx" \l "_ftn2" [2].
Keberhasilan yang berhasil diraih Gus Dur dalam sektor politik luar negeri ialah perbaikan citra Indonesia sehingga investasi asing pun dapat mengalir membantu perekonomian Indonesia yang masih terseok akibat krisis. Kebanyakan keberhasilan Gus Dur lebih berpusat pada pengelolaan konflik melalui agregasi kepentingan yang baik. Namun dengan kepemimpinan yang banyak dianggap menyimpang, Gus Dur tidak sempat menghasilkan catatan keberhasilan lebih banyak dari apa yang telah direncanakan.
Berikut sejumlah hambatan yang muncul pada era kepemimpinan Gus Dur:
1. Transisi demokrasi menyebabkan ketidakstabilan politik
2. Perekonomian masih belum bangkit dari krisis
3. Konflik horizontal dan vertical semakin bermunculan dan mengancam keamanan nasional
4. Kurangnya kepercayaan internasional terhadap citra Indonesia yang memburuk
5. Kurangnya dukungan dari dalam negeri terhadap kebijakan yang diambil Gus Dur
6. Transisi politik dan demokrasi menyebabkan kepercayaan terhadap pemerintah dari rakyat masih minim
B. Megawati Soekarnoputri
Setelah Gus Dur diturunkan dari jabatan Presiden RI dengan kurang hormat, Megawati yang pada saat itu menjabat sebagai wakil presiden naik menggantikan posisi Gus Dur sebagai Presiden RI yang kelima. Megawati mewarisi kondisi domestic Indonesia yang kacau dan kondisi hubungan luar negeri Indonesia yang minim kepercayaan internasional. Megawati dalam memimpin banyak mengambil kebijakan yang berorientasi kanan yang ditandai dengan dijadikannya Amerika Serikat sebagai negara non-Asia pertama yang dikunjungi Megawati HYPERLINK "file:///C:\\Users\\ANG\\Documents\\uas%20pln%20ri.docx" \l "_ftn3" [3]. Selanjutnya, Megawati banyak melakukan kunjungan luar negeri sebagai bentuk kelanjutan usaha-usaha pendahulunya untuk mencari dukungan dan kerjasama luar negeri.
Kebijakan luar negeri Megawati yang menarik adalah kerjasama dengan Rusia melalui pembelian pesawat Sukhoi. Kebijakan yang lain adalah pemutusan hubungan dengan International Monetary Fund (IMF) HYPERLINK "file:///C:\\Users\\ANG\\Documents\\uas%20pln%20ri.docx" \l "_ftn4" [4]. Dalam kedua hal tersebut, terbukti bahwa Megawati mereduksi kecenderungannya pada Barat dan berusaha bertindak netral. Meskipun demikian banyak yang menyebut era kepemimpinan Megwati seperti mendayung yang menabrak karang terus menerus. Hutang Indonesia pada saat itu masih belum bisa tertanggulangi dengan baik. Megawat menjalankan strategi poltik luar negeri yang cenderung low profile.Pada masa Megawati ini, terjadi peristiwa Bom Bali yang menjadi ujian bagi politik luar negeri Indonesia. Semenjak peristiwa tersebut, isu terorisme menjadi perhatian Indonesia di forum internasional dan lagi- lagi mencoreng citra baik yang sedang dibangun Indonesia. Akan tetapi berkat kepiawaian Departemen Luar Negeri yang saat itu menjabat, maka permasalahan ini tidak berdampak sangat serius terhadap hubungan internasional Indonesia. Sayangnya, di tengah-tengah usaha untuk membangun kembali diplomasi Indonesia, justru terjadi kegagalan diplomasi terkait sengketa pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia yang berakibat terhadap lepasnya kedua pulau out dari NKRI.
Secara umum dapat dilihat bahwa kepentingan nasional Indonesia pada era Megawati masih seputar menjaga stabilitas ekonomi, politik dan pertahanan serta keamanan. Di sisi lain, perjuangan untuk memulihkan citra baik Indonesia di mata internasional masih terus dilakukan melalui diplomasi untuk bantuan dan dukungan asing, investasi sektor swasta, perdagangan bebas, promosi sistem politik yang demokratis dan otonomi kekuatan regional. Pada masa tersebut, Megawati memusatkan perhatian politik luar negeri Indonesia pada wilayah regional terlebih dahulu.Pada periode pemerintahan Megawati, Indonesia sedang berada dalam tahap pembentukan sistem politik nasional yang lebih mapan dan pola pemerintahan mulai terlaksana secara desentralisasi. Dengan demikian, demokrasi yang diterapkan sedikit demi sedikit telah memunculkan petanda yang baik. Komitmen yang kuat dalam era Megawati untuk dapat mengembalikan kepercayaan diri Indonesia di mata dunia membuahkan hasil dengan mulai aktifnya kembali hubungan diplomasi Indonesia dengan negara- negara lain. Selain itu, Megawati juga berhasil mengelola konflik yang terjadi baik secara horizontal maupun vertical sehingga tidak memarah lebih jauh. Perekonomian Indonesia juga sudah menglami perbaikan secara infrastruktur dan kasus- kasus KKN mulai mengalami pengusutan. Secara keseluruhan, keberhasilan Megawati lebih terkait pada pengelolaan konflik domestic.Hambatan yang mewarnai kepemimpinan Megawati kurang lebih sama dengan yang sebelum- sebelumnya, yaitu instabilitas ekonomi, politik, keamanan dan kurangnya kepercayaan dunia internasional  terhadap kondisi Indonesia. Hanya saja pada era Megawati, terjadi konflik terorisme yang menambah daftar masalah keamanan negara yang perlu segera ditangani agar bisa membantu perbaikan diplomasi dan hubungan luar negeri Indonesia.A. Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo bambang Yudhoyono atau yang sering disebut SBY naik pertama kali menjadi Presiden RI pada pemilu tahun 2004. Kemudian pada pemilu tahun 2009, beliau kembali terpilih dan menjabat sebagai Presiden RI.
Dalam seminar yang bertajuk 'Politik Luar Negeri Indonesia di bawah Pemerintahan Presiden SBY' disampaikan mengenai konteks politik luar negeri RI yang menyangkut aspek domestik dan aspek kawasan. Dalam aspek domestik termasuk pula mengenai reformasi dan demokrasi. Semakin stabil dan terkonsolidasi demokrasi di Indonesia, maka akan semakin terbukanya kesempatan tumbuhnya Islam berdampingan dengan modernitas. Demokrasi yang berhasil di Indonesia akan memicu demokrasi di negara- negara lain pula. Demokratisasi dalam politik luar negeri RI digalakkan melalui peran DPR RI dan juga melalui civitas akademika serta seluruh anggota masyarakat. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa SBY mendapat keuntungan karena kondisi ekonomi dan politik saat ia terpilih sudah cenderung stabil.
Dalam masa pemerintahannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kepesatan dan menjadi sorotan di mata internasional. Dalam konteks regionalisme, Indonesia telah menjadi salah satu bukti kebangkitan negara- negara Asia, konstelasi negara G- 20 dan ASEAN sebagai poros utama kawasan. Sebagai bukti bahwa kini Indonesia dipandang aman oleh pihak internasional ialah bahwa Indonesia pada tahun 2011 lalu berhasil menjadi tuan rumah bagi East Asia Summit (KTT Asia Timur) yang menjembatani kepentingan negara- negara Asia Timur dan Asia Tenggara.
Saat ini dengan adanya perubahan hubungan dengan negara- negara barat dan perubahan dengan negara- negara komunis maupun mantan komunis, maka terdapat pula perubahan isu- isu yang menjadi konsentrasi utama. Pemerintah Indonesia kini mengarahkan politik luar negerinya kepada isu- isu demokrasi, HAM, lingkungan hidup, ketahanan pangan, krisis energi dan krisis utang di Eropa.Pendekatan politik luar negeri yang dilakukan oleh Presiden SBY memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
· Opportunity Driven, yaitu mendayagunakan segala kesempatan yang ada secara optimal.
· Win Win Solution, yaitu memberikan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
· Constructive, yaitu bahwa Indonesia akan berperan dalam kegiatan- kegiatan yang mendorong terciptanya kestabilan regional.
· Rasional dan Pragmatis, yaitu menggunakan rasio dalam berpikir dan perimbangan keputusan serta berpikir secara pragmatis atau manfaat.
·Soft Power, yaitu mengandalkan dan mempelajari cara- cara halus dalam melakukan diplomasi seperti yang dilakukan di negara- negara Canada, Norwegia dan Australia.
·Personal, yaitu pendekatan yang dilakukan terhadap pemimpin tiap- tiap negara untuk mengamil hati dan menjalin persahabatan.
Dengan pendekatan yang dianut tersebut, maka Presiden SBY menerapkan politik luar negeri yang konstruktif untuk membangun stabilitas nasional dan internasional dengan membawa semboyan All Directions Foreign Policy (Politik luar negeri ke segala arah). Hal ini berarti bahwa Indonesia tidak hanya memihak ke satu pihak saja, sesuai dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Selain itu, Indonesia juga menganut paham A Million Friends, Zero Enemy yang artinya merangkul sebanyak- banyaknya kawan dengan menggunakan soft power sehingga meminimalisir kemungkinan adanya musuh. Harapan- harapan terhadap politik luar negeri Indonesia dibangun dengan sistem bridge builder, consessus builder dan resolusi conflict. Dapat dilihat dari penjabaran di atas, bahwa di bawah kepemimpinan SBY politik luar negeri Inddonesia kembali tampil high profile tetapi konsisten.Kepentingan nasional yang diutamakan lebih kepada mengelola integritas nasional, pengelolaan konflik dan citra baik Indonesia agar terjamin hubungan internasional yang tetap lancar. Instrumen- instrumen yang digunakan Indonesia dalam melaksanakan politik luar negeri antara lain ialah partisipasi Indonesia dalam forum- forum kawasan maupun internasional seperti ASEAN, PBB, G-20, APEC, ASEM maupun WTO. Di samping itu kunjungan kenegaraaan beragai kepala negara asing ke Indonesia juga mencitrakan semakin bertumbuhnya kepercayaan internasional terhadap Indonesia dan semakin banyak hubungan bilateral yang mampu dijalin pemerintah Indonesia dengan luar negeri. Instrumen lain yang digunakan ialah perdagangan internasional, investasi swasta, dukungan internasional dan intstrumen- instrument multidimensi lainnya yang bisa mendukung tercapainya kepentingan nasional Indonesia.
Dampak dan realisasi dari berbagai bentuk kebijakan politik luar negeri terseut ialah bahwa saat ini Indonesia merupakan poros kekuatan ASEAN dan menjadi Co- Chair pada New Asia- Africa Strategic Partnership. Selain itu, dialog intensif yang terjalin dengan negara- negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Australia juga membuka lebih mudahnya terjadi perlindungan hukum agi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Perbaikan citra Indonesia sebagai negeri yang damai, indah dan kaya budaya juga mampu memberi sumbangsihnya tersendiri terutama dalam bidang kepariwisataan.Kemajuan yang pesat pada era politik luar negeri SBY diindikatori dengan banyaknya investasi yang masuk dan jalinan kerjasama antara Indonesia dan negara- negara tetangga. Selain itu, konflik separatism di Aceh berhasil diselesaikan dan konflik- konflik lain pun berhasil diredam. Saat ini Indonesia menjadi salah satu pusat kekuatan di Asia Tenggara yang sedang terus- menerus tumbuh. Meskipun demikian terdapat kritik bahwa pola kebijakan luar negeri SBY cenderung aktif tanpa benar- benar bebas dari keberpihakan terhadap blok manapun.
Hambatan dalam politik luar negeri Indonesia saat ini merupakan hambatan multidimensi berupa konflik horizontal maupun cultural yang bisa memecah persatuan dan kesatua Indonesia. Selain itu permasalahan terorisme sampai saat ini masih menggantung dan belum terselesaikan dengan baik. Hal ini ditambah pula dengan infrastruktur domestic yang belum sepenuhnya memenuhi kualitas yang diperlukan.BAB IV
PENUTUP
Politik luar negeri merupakan fornulasi antara kepentingan domestik dengan keadaan konstelasi politik internasional. Bukan hanya berdasarkan pada kepentingan nasional suatu negara, melainkan politik luar negeri juga harus mempertimbangkan keadaan dunia. Dalam pembahasan kali ini, aktor intelektual memiliki peranan sangat penting dalam menentukan arah kebijakan politik luar negeri negara tersebut.
Dalam kaitannya dengan politik luar negeri Indonesia, setiap Presiden menghadapi keadaan yang berbeda-beda pada saat memerintah, baik dari domestik maupun dari konstelasi politik global. Meskipun strategi penerapan kebijakan dari masing-masing Presiden memiliki karakteristik tersendiri, mereka tetap berpegang pada prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Penafsiran bebas dan aktif inilah yang disesuaikan dengan keadaan domestik dan konstelasi politik global pada saat itu.
Instrumen politik luar negeri yang dominan digunakan oleh masing-masing Presiden Indonesia pada masing-masing periode adalah diplomasi. Sebab, tujun nasional Indonesia utamanya adalah menjaga hubungan baik dengan negara-negara di dunia. Dan diplomasi merupakan instrumen yang paling cocok digunakan dalam menjalankan strategi pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.
Jadi, aktor sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan luar negeri suatu negara. Karakteristik dari sang aktor juga akan mempengaruhi sifat dari kebijakan yang akan diterapkan. Instrumen politik yang paling dominan digunakan oleh para pemimpin Indonesia adalah diplomasi.


Download POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: