Oktober 08, 2016

Makalah Pers

Judul: Makalah Pers
Penulis: Ary Apreandy


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut paham demokrasi. Dimana dengan paham tersebut kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini, semua masyarakat mendapatkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan karena setiap warga negara mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat. Di Indonesia sendiri, terdapat sarana yang dapat digunakan untuk mengungkapkan pendapat. Sarana tersebut salah satunya adalah melalui pers. Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran, ide-ide maupun pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis pula.
Babak baru dalam dunia pers datang ketika keruntuhan kekuasaan rezim presiden Soeharto pada tahun 1998. Hal tersebut dianggap sebagai suatu pencerahan bagi rakyat yang menginginkan suatu reformasi dari segala bidang mulai dari ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang sempat terbelenggu oleh rezim orde baru. Tumbuhnya kebebasan pers pada masa reformasi merupakan angin segar bagi masyarakat. Karena kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Sehingga saat ini, pers di Indonesia sudah bebas bahkan dapat dikatakan pula menjadi sudah sangat bebas. Hal ini dapat kita lihat salah satunya adalah dari media yang mengekspos kehidupan pribadi seseorang yang sebenarnya tidak perlu dipublikasikan. Selain itu, kita juga dapat mengamati berbagai pendapat dari masyarakat yang jika kita telaah karena kebebasan pers, malah menjadi masalah baru dan juga dapat meresahkan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, penyusun tertarik untuk membuat makalah dengan judul "Kebebasan Pers: Antara Anugrah dan Musibah" dimana dengan adanya kebebasan pers, hal tersebut seolah menjadi seperti bumerang untuk masyarakat.
1.2.       Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, masalah utama yang ingin penyusun kaji dalam penyusunan makalah ini adalah mengenai "kebebasan pers". Agar permasalahan yang dikaji tidak meluas, maka penyusun membatasi danmerumuskannya ke dalam beberapa pertanyaan. Adapun rumusan masalah yang akan penyusun uraikan adalah sebagai berikut:
1.2.1.      Bagaimana perkembangan pers di Indonesia pada masa Orde Baru?
1.2.2.      Bagaimana perkembangan pers pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru?
1.2.3.      Bagaimana dampak kebebasan pers pada masa reformasi terhadap kehidupan  masyarakat di Indonesia?
1.3.       Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka  tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pers di Indonesia pada masa Orde Baru;
1.3.2.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pers pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru;
1.3.3.      Untuk mengetahui bagaimana dampak kebebasan pers pada masa reformasi terhadap kehidupan  masyarakat di Indonesia.
1.4.Metode Penelitian
Mengenai metode dan teknik penyusunan, disini penyusun menggunakan metode historis yang terdiri dari:
1.4.1. Heuristik
1.4.2. Kritik
1.4.3. Interpretasi, dan
1.4.4.  Historiografi
Dalam tahap heuristik, penyusun memulainya dengan mengumpulkan berbagai literatur ataupun sumber yang relevan dengan mengunjungi perpustakaan dan mencari sumber lain di Internet. Hal ini dilakukan agar penyusunan makalah ini sesuai dengan fakta-fakta yang ada.
Pada tahap kritik, penyusun melakukan kritik intern dan ekstern. Dalam kritik intern, penyusun mengkaji bagaimana latar belakang dan ideologi dari pengarang ataupun penyusun sumber itu, kemudian bagaimana pendidikannya serta profesinya. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh itu benar-benar sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sedangkan kritik ekstern, penyusun melakukan kritik mengenai bagaimana tahun terbit, dan apa penerbitnya.
Pada tahap interpretasi, penyusun menafsirkannya berdasarkan sumber-sumber yang diperoleh. Jadi tidak ada penafsiran yang dilakukan secara asal-asalan karena sesuai dengan sumber yang diperoleh.
Yang terakhir adalah mengenai historiografi. Hasil dari penyusunan makalah yang selama ini dilakukan oleh penyusun setelah melalui berbagai tahap dari mulai heuristik sampai  kritik hingga pada akhirnya akan ditulis. Historiografi merupakan penyusunan sejarah atau apapun yang telah kita telaah atau teliti.
1.5.   Sistematika Penyusunan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang bagaimana latar belakang yang diungkapkan penyusun tentang permasalahan yang dibahas. Dimana disini penyusun mengungkapkan latar belakang munculnya kebebasan pers di Indonesia. Bab ini juga terdiri dari tujuan penelitian, metode penelitian yang dignakan serta sistematika penyusunan yang digunakan penyusun sesuai dengan pedoman penulisan makalah.
BAB II METODE PENELITIAN
Dalam bab ini, dijelaskan mengenai metode yang digunakan penyusun ketika menyusun makalah ini. Disini penyusun menggunakan metode Historis  yang diantaranya meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan proses penyusunan (historiografi) mengenai fakkta-fakta yang didapat dari berbagai literatur.
BAB III PEMBAHASAN
Dalam bab ini penyusun menjelaskan mengenai perkembangan pers pada masa orde baru, reformasi, dan dmpak dari kebebasan pers di Indonesia bagi masyarakat.
BAB IV STUDI KASUS
Dalam bab ini, penyusun membahas kasus yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kemudian penyusun analisis sebagai sebuah fenomena yang terjadi setelah munculnya kebebasan pers.
BAB V KESIMPULAN
Dalam bab ini penyusun mengemukakan bagaimana kesimpulan atas permasalahan yang di ungkap oleh penyusun dalam penyusunan makalah ini.
BAB II
METODE PENELITIAN
Setelah pembahasan mengenai pendahuluan dan kajian pustaka, maka selanjutnya penyusun akan menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan oleh penyusun. Disini penyusun menggunakan metode historis melalui studi literatur sebagai teknik dari penelitian. Metode ini digunakan karena sumber yang didapatkan oleh penyusun merupakan sumber dari masa lalu dan untuk mengkajinya, maka lebih cocok menggunakan metode historis ini. Menurut Helius Sjamsuddin (2007: 17-19),metode historis yaitu suatu proses pengkajian, penjelasan, dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau. Gottschalk juga menjelaskan bahwa metode historis merupakan proses menguji secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Berdasarkan pendapat yang diungkapkan oleh HeliusSjamsuddin dan Gottschalk, penyusunan makalah ini berupaya untuk mencoba mencari kejelasan atas suatu gejala masa lampau untuk kemudian menemukan dan memehami kenyataan yang bermakna untuk kehidupan sekarang dan mendatang.
Metode ini digunakan untuk mengkaji data dan fakta yang sudah penyusun temukan dari berbagai literatur baik dari buku maupun dari artikel yang berasal dari internet yang relevan dengan permasalahan yang dibahas oleh penyusun. Berdasarkan uraian tersebut, penyusun melakukan langkah-langkah penting dalam penyusunan makalah ini. Lahkah-langkah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Heuristik, yaitu kegiatan mengumpulkan sumber-sumber baik berupa tertulis maupun lisan untuk bahan penyusunan makalah ini.
2.      Kritik, yaitu menguji dan menilai keotentikan data yang didapatkan apakah sesuai dengan masanya atau tidak.
3.      Interpretasi, yaitu menetapkan makna atau penafsiran tentang suatu kejadian dimasa lampau berdasarkan fakta-fakta yang didapatkan.
4.      Historiografi, proses penyusunan laporan dari seluruh rangkaian penyusunan makalah ini.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penyusun membagi tahap-tahap dalam metode penyusunan ini, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan laporan penyusunan penyusunan makalah ini.
3.1.  Persiapan Penyusunan Makalah
Proses ini merupakan langkah awal dalam Penyusunan Makalah. Pada tahap ini, penyusun  mendapatkan tema dari dosen mata kuliah Sejarah Orde Baru dan Reformasi untuk menulis makalah mengenai kebebasan pers pada masa reformasi. Karena tugas ini merupakan tugas yang dilakukan secara kelompok, maka setelah diberikan tema kami sebgai penyusun pun berdiskusi mengenai bagaimana teknik pengerjaan dan pembagiaan tugasnya. Setelah itu, penyusun melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu pelaksanaan dan penyusunan makalah.
3.2.  Pelaksanaan Penyusunan
Pelaksanaan penyusunan merupakan tahap penting dari proses penyusunan karya makalah ini. Dalam tahapan ini, terdapat serangkaian langkah-langkah yang harus dilakukan berdasarkan metode historis yang terdiri dari Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi.
1.2.1.    Heuristik
Dalam tahap heuristik, penyusun memulainya dengan mengumpulkan berbagai literatur ataupun sumber yang relevan dengan mengunjungi perpustakaan dan mencari sumber lain di internet. Hal ini dilakukan agar penulisan makalah ini sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Untuk lebih jelasnya, perpustakaan yang penyusun kunjungi adalah sebagai berikut:
1.2.1.1.     Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
     Kunjungan ke perpustakaan ini dilakukan dimulai dari bulan November-Desember 2012. Adapun buku-buku yang penyusun temukan antara lain adalah buku karya Jacob Oetama yang berjudul Perspektif Pers Indonesia dan buku Pers Orde Baru karya Rizal Mallarangeng.
Selain melakukan kunjungan ke perpustakaan, dalam mencari sumber penyusun juga menggunakan artikel dari berbagai situs di internet. Selain itu, penyusun juga menemukan berbagai buku yang didapatkan dari google book yang kemudian penyusun download. Sumber yang penyusun dapat kemudian penyusun kaji dan bandingkan sehingga diperoleh pokok permasalahan yang akan penyusun angkat.
1.2.2.      Kritik
Pada tahap kritik, dilakukan kritik intern dan ekstern. Dalam kritik intern, dikaji mengenai bagaimana latar belakang dan ideologi dari pengarang ataupun penulis sumber itu, kemudian bagaimana pendidikannya serta profesinya. Namun, dikarenakan buku yang penyusun dapatkan merupakan buku hasil download dari google book, maka penyusun tidak mendapatkan informasi mengenai riwayat hidup dari penulis buku tersebut. Sehingga penyusun tidak dapat melakukan kritik intern. Sedangkan kritik ekstern, penyusun melakukan kritik mengenai tahun terbit, dan apa penerbitnya.
1.2.3.      Interpretasi
Pada tahap interpretasi, penyusun menafsirkannya berdasarkan sumber-sumberyang diperoleh. Jadi tidak ada penafsiran yang dilakukan secara asal-asalan karena sesuai dengan sumber yang diperoleh.
1.2.4.     Historiografi
Yang terakhir adalah mengenai historiografi. Hasil dari penyusunan makalah yang selama ini dilakukan oleh penyusun setelah melalui berbagai tahap dari mulai heuristik sampai  kritik hingga pada akhirnya akan ditulis. Historiografi merupakan penyusunan sejarah atau apapun yang telah kita teliti atau telah kita telaah.
3.3.  Laporan Penyusunan (Historiografi)
Langkah ini merupakan langkah akhir dari pembuatan makalah ini. Teknik penyusunan yang digunakan oleh penyusun mengacu pada sistem Harvard. Penggunakan sistem ini digunakan oleh penyusun karena disesuaikan dengan penyusunan dalam buku pedoman karya tulis ilmiah yang dikeluarkan oleh UPI.
BAB III
MEDIA MASSA
Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai digunakan pada tahun1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas (Wikipedia, 2012). Menurut UU No. 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Media_massa, diunduh 03 November 2012).
Menurut Oemar Seno Adji pers dalam arti sempit, yaitu penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis. Sedangkan pers dalam arti luas, yaitu memasukkan di dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan. Berbeda dengan Oemar, Kustadi mengatakan bahwa pers adalah seni atau keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya (Wikipedia, 2012).
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa pers merupakan sarana yang digunakan oleh masyarakat untuk mengemukakan pendapat, berekspresi maupun menyampaikan ide-ide ataupun gagasan untuk diinformasikan kepada masyarakat luas. Dengan kata lain, pers dapat dikatakan sebagai kurir ataupun jendela penghubung pemikiran antar masyarakat.
4.1.       Pers Pada Masa Orde Baru
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Indonesia dibawah rezim Orde Baru pernah mengenal satu periode di mana pers bersikap sangat kritis terhadap berbagai kebijaksanaan pemerintah dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan. Pers berani mengkritik penyalahgunaan kewenangan kekuasaan, membongkar korupsi yang merajalela di tubuh negara, serta mengecam ketidakadilan. Namun, daya kritis dan kebebasan pers tersebut justru menumbuhkan frustasi pada masyarakat. Karena, seperti yang dikatakan Soe Hok Gie dalam sebuah artikel yang ditulisnya di harian Indonesia Raya tahun 1969 (http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/, diunduh 11 November 2012) daya kritis dan kebebasan pers waktu itu memungkinkan masyarakat mengetahui secara lengkap dan dalam berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan serta sekaligus memungkinkan masyarakat menyampaikan kritikan dan kecamannya. Namun, kritikan dan kecaman masyarakat tersebut tidak ditanggapi secara positif oleh pemerintah melalui perubahan yang nyata dan sungguh-sungguh sehingga mengakibatkan kekecewaan dan keputusasaan masyarakat. Dunia pers yang seharusnya menyambut kebebasan pada masa orde baru, namun pada kenyataannya pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Ketika ada yang menerbitkan hal tersebut, maka media massa itu akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik (http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/, diunduh 11 November 2012).
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinTah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, Detik, dan Editor (ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/.../37, diunduh 14 November 2012).
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pers mengalami depolitisasi pers. Dengan kata lain, pada masa orde baru tersebut segala penerbitan yang dilakukan media massa berada dalam pengawasan pemerintah. Bila pers itu ingin tetap ada, maka pers harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya.
4.2.       Pers Pada Masa Reformasi
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP dan semua bebas mengemukakan pendapatnya tanpa harus mengurus SIUPP dan peraturan yang lain (https://www.isomwebs.com, diunduh 14 November 2012).
Dengan transparansi dan demokartisasi serta terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-undang Nomor 32 tentang penyiaran, hal tersebut dapat memberikan peluang seluas-luasnya bagi kemerdekaan pers Indonesia, sehingga pers tidak lagi merasa khawatir untuk dicabut ijinnya, meskipun informasi datang dari berbagai penjuru tidak lagi satu arah sebagaimana pada masa orde baru (http://www.tni.mil.id/view-43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html, diunduh 28 November 2012).
Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumna pada latar belakang masalah bahwa saat ini, kehadiran pers dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Menurut Anwar Arifin (www.balitbang.depkominfo.go.id/.../.., diunduh 10 Desember 2012) didalam tonggak perjalanan sejarah pers di Indonesia, tercatat sejak Era Reformasi, media massa memiliki kebebasan yang luas terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan. Sejalan dengan itu, penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP) dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan pembredelan .Hal ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bahwa pers memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa suratkabar, tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu.
Fenomena media pada era Reformasi adalah pers yang telah menjadi industri ditengah kebebasan politik yang baru diperolehnya. Keterbukaan yang sangat luar biasa dalam bidang politik saat itu hanyalah menguatkan kecenderungan kapitalisasi pers yang fondasinya telah dipasang sejak berlakunya UU Nomor 21 Tahun 1982 melalui ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP pasal 13 ayat 5.  Sehingga, tidak heran jika setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998, industri media di Indonesia meningkat dengan tajam. Ratusan surat kabar dan tabloid terbit tanpa harus memakai SIUPP setelah keharusan ini dicabut oleh Menpen pada tahun itu juga mekanisme pasar bebas sukar dihindari lagi dalam industri pers nasional, sekaligus mengakhiri kontrol penguasa terhadap pers.
Dr.Ibnu Hamad (2004: 66) mengidentifikasi fenomena pertumbuhan media massadalam era Reformasi di Indonesia terdapat dalam 3 pemikiran. Pertama, memberi basis yang kuat bagi lahirnya pers industri dengan menggeser gejala pers idealis. Kedua, mengundang para pemodal untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka, dan ketiga memunculkan kelompok-kelompok usaha penerbitan pers.
Dengan datangnya gelombang reformasi,di mana pers telah dibebaskan dari belenggu politik, ketiga kecenderungan itu semakin kuat. Media makin leluasa mengekspresikan keyakinan politiknya tanpa harus merasa terancam usahanya dicabut SIUPP. Banyak media dalam pemberitaannya terkesan terbuka luas bagi tokoh-tokoh dan partai politik, baik yang didukung maupun yang diserangnya. Kepentingan politik media lantas berbaur dengan kepentingan usaha dari media tersebut sehingga berita yang disajikan pers kadangkala merupakan berita yang disajikan untuk meraih keuntungan semata dan dikomersilkan.
4.3.       Kebebasan Pers dan Dampaknya terhadap Kehidupan Masyarakat Indonesia
Kebebasan pers dalam bahasa Inggrisnya disebut freedom of opinion and expression dan freedom of the speech. John C. Merril (http://septianapratiwi.wordpress.com/2011/02/10/sejarah-perkembangan-pers-di-indonesia/, diunduh 14 November 2012) merumuskan kebebasan pers sebagai suatu kondisi riil yang memungkinkan para pekerja pers bisa memilih, menentukan dan mengerjakan tugas sesuai keinginan mereka. Bebas dari negatif dan bebas dari positif. Bebas artinya kondisi seseorang yang tidak di paksa melakukan sesuatu.
Kebebasan pers mulai didapatkan setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut. Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Dalam sebuah negara yang demokratis, Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Masalah baru muncul ketika kebebasan pers telah kebablasan. Hal ini terlihat darii pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masayarakat dan kepentingan pers untuk mengejar tingkat oplah. Untuk itu, pihak pers cenderung mengutakan konsep berita yang sensasional, sangat partisipan, dan yang kurang obyektif. Selain itu, pada level etis kemanusiaan kebebasan pers dinilai telah mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan dan lebih mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri.
Emilianus (http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/, diunduh 26 November 2012), juga mencatat bahwa klaim kebebasan bisa dilihat dari kebebasan pers (liberal) yang dinilai menafikan nilai human being dan telah merongrong keutuhan ruang privat manusia. Dari fakta ini muncul kegamangan dan kemuakan masyarakat terhadap kebebasan pers yang dinilainya kebablasan. Kebebasan yang demikian berakibat pada rusaknya moral masyarakat dan mengganggu kedaulatan pemerintah, sehingga muncullah tuntutan masyarakat dan pemerintah terhadap pers, khususnya pada pers yang provokatif, sensasional dan komersil dalam menyajikan informasi. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan baik berupa seks ataupun yang lainnya. Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Padahal seharusnya peran pers saat ini dapat menyelesaikan kesenjangan komunikasi politik antara masyarakat dan pemerintah. Karena, disinilah pers menjadi media yang memungkinkan untuk menjembatani masyarakat dan pemerintah agar komunikasi politik antara yang berkuasa dengan masyarakatnya dapat berjalan. Namun masa Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan juga dampak yang diakibatkan dapat meresahkan masyarakat(http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/, diunduh 26 November 2012).
BAB IV
STUDI KASUS
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Hal tersebut senada dengan ungkapan Amir Purba (2006) yang mengatakan bahwa kehidupan pers setelah reformasi mengalami perubahan yang besar. Secara yuridis, perubahan ini ditandai oleh lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Berbeda jauh dengan rezim sebbelumnya, di mana pers dikunci, dibredel serta terjadi monopoli oleh kekuasaan yang sedang berdiri. Masih menurut Purba, khususnya pada masa Orde Baru, ada beberapa ciri kuatnya intervensi Negara kepada pers, yakni:
1.        Pers menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara.
2.        Kecenderungan pers lebih berat ke sisi negara dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis.
Maka ketika keran reformasi dibuka, pers mendapat nafas baru untuk menarik udara serta menghelanya pada publik. Demokratisasi Negara, dengan amandemen UUD 1945 serta disahkannya banyak UU yang dianggap demokratis, secara seiring membentuk pola masyarakat baru, yang siap menerima informasi dari mana saja dan kapan saja. Terutama karena terlibatnya Indonesia pada era globalisasi; di mana akses yang cepat pada informasi (dengan fasilitas internet), maka kebebasan pers menjadi kata kunci dalam demokratisasi Indonesia. Namun, kebebasan seperti apa yang dimaksud? Setidaknya ada empat konsep pers yang dikemukakan oleh Purba (2006), yakni:
"Pers Otoriter (The Authoritarianism Press), Pers Komunis (The Communism Press), Pers Liberal (The Libertarianism Press), dan Pers Tanggung Jawab Sosial (The Social Responsibility Press). Pada Pers Otoriter negara melakukan pengawasan atau kontrol terhadap pers untuk menjaga agar aktivitas mereka tidak menyimpang dari kepentingan-kepentingan negara; sementara pada Pers Komunis, pers ditempatkan sebagai organ negara sehingga keberadaan mereka tergantung kepada negara. Pers Liberal, menempatkan pers sebagai lembaga yang independen, otonom, dan bebas dari negara; sedangkan Pers Tanggung-jawab Sosial yang lahir sebagai konsekuensi dari Pers Liberal menempatkan kepentingan masyarakat sebagai tujuan utama, di mana kebebasan pers, peranan negara, hukum, dan lain-lain berpedoman kepada kepentingan masyarakatnya."
Dari keempat konsep pers di atas, kita tentunya telah melewatinya terutama pada fase otoriter. Namun, yang sama-sama publik harapkan adalah bagaimana pers yang memiliki tanggung jawab secara social, yakni pada konsep keempat. Pers Tanggung Jawab Sosial, adalah sebuah konsep pers di mana pers tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri, apalagi hanya sentralistik pada Negara. Ia tak hanya berperan aktif pada  penyebaran informasi, namun juga memikirkan apa yang akan diberikan pada public terkait informasi tersebut. Maka, kata kunci perbedaan antara Liberal dan Tanggung Jawab Sosial adalah, penyebaran nilai yang terkandung pada informasi tersebut. Sehingga masyarakat tak hanya tahu (know) soal informasi, namun juga paham bagaimana perlakuan terhadap dan setelah mendapat informasi tersebut.
Saptohadi (2011) mengemukakan prinsip- prinsip dari konsep pers ini, yakni:
1.        Media memiliki kewajiban tertentu kepada masyarakat
2.        Kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, objektivitas, keseimbangan dan sebagainya
3.        Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media dapat seyogyanya mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
4.        Media seyogyanya menghindarkan segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan yang mengakibatkan ketidaktertiban umum atau juga penghinaan terhadap minoritas etnik dan agama.
Era reformasi, memungkinkan kemudahan dalam penerbitan SIUPP. Kemudahan ini mengakibatkan munculnya banyak media. Saptohadi (2011) mengambil data dari Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pada tahun 1999, jumlah penerbitan adalah 1687, melonjak ketika dibandingkan pada tahun 1997 hanya berkisar 289 penerbitan.
Namun, kuantitas ini tidaklah bebas kritik. Selanjutnya Saptohadi menuliskan:
"Kritikan itu sangat variatif, ada yang menyoroti kelemahan- kelemahan dalam proses pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masyarakat dan kepentingan (tingkat oplah) pers. Pihak pers dinilai cenderung mengutamakan konsep berita yang kurang objektif, sensasional dan sangat partisipan; kemudian pada level etis kemanusiaan kebebasan pers itu dinilai telah mengangkangi nilai dan norma moral kemasyarakatan dan telah meruntuhkan kaidah jurnalistik itu sendiri."
Pers kemudian berdiaspora bak jamur. Seperti mendapat momentumnya, pers bermunculan tak hanya membawa kepentingan politik tertentu, namun juga ideologis yang mendekati sektarian. Setidaknya studi yang dilakukan oleh Rahmat Saleh seperti dikutip Purba (2006), terhadap isi surat kabar Media Indonesia, yakni :
1.      Media Indonesia kental memperlihatkan ideologi pemilik –Surya Paloh– dalam konstruksi teks. Penerjemahan ideologi dilakukan dengan "patuh" dalam aktivitas rutin media (media routine) dan menjadi panduan dalam referendum Aceh;
2.      Kepentingan terhadap aspirasi ini dominan ditampilkan dalam berbagai jenis teks mulai editorial sebagai ruang pribadi (private space), berita, komentar pembaca, dan artikel opini sebagai ruang publik.
3.      Eksekusi teks tersebut mengindikasikan rendahnya peran media sebagai ruang publik, seperti akses publik non-elite yang minim, ketimpangan kedudukan publik dalam diskusi isu, strategi pemberitaan dengan pendekatan talking news, rendahnya keberlakuan obyektivitas pemberitaan, konstelasi sikap publik yang tidak berimbang, serta tendensi-tendensi sikap media yang misleading. Semua rangkaian eksekusi teks tersebut memiliki motif baik ekonomi maupun, khususnya yang terlihat jelas, "kepentingan ideologis".
Selain kepentingan politik, juga yang bersifat ideologis. Ini dikemukakan oleh Febri Ichwan Butsi dalam studinya terhadap majalah Sabili dan Tempo dalam kasus Bom Bali, seperti dikutip oleh Purba (2006) :
"Frame kedua majalah sangat berbeda. Majalah Sabili memaknainya sebagai masalah kepentingan politik, sedangkan Tempo sebagai masalah moral dan hukum."
Corak ideologi media sangat berpengaruh. Majalah Sabili sebagai majalah Islam bersikap positif terhadap Islam dan Indonesia, dan negatif terhadap Amerika Serikat. Majalah Tempo, sebagai majalah umum yang mengusung jurnalisme sastra dan reportase investigatif lebih bersikap hati-hati memaknai kasus bom Bali.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, penyusun mendapatkan tiga kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah tersebut. Adapun kesimpulan yang didapat oleh penyusun adalah sebagai berikut:
Pertama, pada masa orde baru kebebasan pers cenderung merupakan kebebasan yang semu dimana terdapat kebebasan pers namun kebebasan tersebut harus tunduk terhadap pemerintah. Pada masa ini, terdapat teori yang pas untuk mengungkapkan kondisi ini. Teori tersebut adalah teori pers otoriter, dimana teoriberasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolut. Dalam teori ini, penetapan tentang hal-hal yang benar dipercayakan hanya kepada segelintir orangyang mampu memimpin. Jadi dengan kata lain pada dasarnya, pendekatan dilakukan dari atas ke bawah dimana pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara. Dalam teori pers otoriter ini disebutkan bahwa para penerbit diawasi melalui paten-paten, izin-izin terbit dan sensor. Konsep ini  menetapkan pola asli bagi sistem pers Indonesia pada masa orde baru.
            Kedua, pada masa reformasi kebebasan pers mulai menggeliat seolh bangun dari tidurnya. Pada masa ini, teori yang pas dalam menggambarkn kondisinya adalah teori pers libertarian atau teori pers bebas. Dalam teori ini, pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran. Pandangan dalam teori ini, pers perlu mengawasi pemerintah.Oleh karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap. Teori ini paling banyak memberi landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Disini pers bebas paling banyak memberi informasi dan hiburan,namun pers bebas juga sedikit mengadakan kontrol terhadap pemerintah. Dalam perusahaan pers yang menganut teori pers bebas, sebagian besar aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemilik modal.
Ketiga, praktik kebebasan pers di Indonesia pada pada setiap periode zamannya selalu mengikuti politik penguasa. Pada masa Orde Baru, system pers yang berjalan adalah otoritarian, meskipun secara formal disebut sebagai pers bebas dan bertanggungjawab. Tetapi bertanggung jawab kepada penguasa, bukan kepada masyarakat. Didalam era Reformasi, melalui euphoria kebebasan politik berdampak pada praktik kebebasan pers yang luas. Banyak media surat kabar diterbitkan dan memakai pola pemberitaan yang bebas, sehingga masyarakat mengakui bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi tersebut. Namun dalam praktiknya, kebebasan pers masih juga menemui hambatan. Hambatan yang kebanyakan merupakan dampak dari kebasan pers yang sebeba-bebasnya dan tanpa terkendali. Sehingga, dengan demikianpraktik kebebasan pers pada akhirnya harus dapat dikelola sendiri oleh masyarakat pers sehingga tidak menjerumuskan dan tidak merugikan masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Bertens, K. (2008). Sketsa-Sketsa Moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual. Jogjakarta: Kanisius
Hamad, I. (2004). Konstruksi Realitas Politil dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik. Jakarta: Granit
Mallarangeng, R. (2010). Pers Orde Baru. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Masduki. (2003). Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jogjakarta: UII Pres Yogyakarta
Oetama,
J. (1989). Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES
Wibowo, W. (2009). Menuju Jurnalime Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era Mondial. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Sumber Internet
Anonim. (______). Kebebasan Pers. [online] Tersedia: http://www.isomwebs.com [14 November 2012]
Anonim. (2012). Pers Dulu Diperas Sekarang untuk Berperang. [online] Tersedia:http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/ [11 November 2012]
Anonim. (______). Praktik  Kebebasan Pers Pada Era Reformasi Di Indonesia.[online] Tersedia:ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/.../37 [14 November 2012]
Anonim. (______). Kebebasan Pers di Era Reformasi. [online] Tersedia:http://www.tni.mil.id/view-43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html [28 November 2012]
Kompasiana. (2012). Kebebasan Pers. [online] Tersedia:http://media.kompasiana.com/buku/2012/09/25/kebebasan-pers/[28 Maret 2011]
Kompasiana. (2012). Kebebasan Pers. [online] Tersedia: http://www.tni.mil.id/view-43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html [05 Desember 2012]
 Pratiwi, S. (2011). Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia. [online] Tersedia:http://septianapratiwi.wordpress.com/2011/02/10/sejarah-perkembangan-pers-di-indonesia/ [14 November 2012]
Putra, A. F. (______). Jejak Pers di Masa Orba dan Reformasi. [online] Tersedia:http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/ [26 November 2012]
Berikut ini adalah cuplikan isi dari Makalah peran pers dalam masyarakat demokrasi - Makalah PKN

BAB IPENDAHULUAN1.1. LATAR BELAKANGSalah satu ciri menonjol negara demokrasi adalah adanya kebebasan untuk berekspresi. Kebebasan berekspresi dapat terwujud dalam berbagai bentuk, seperti berkesenian, menyampaikan protes, atau menyebarkan gagasan melalui media cetak. Media ekspresi dan penyebarluasan gagasan yang banyak dikenal masyarakat adalah pers.Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia, dunia pers tidaklah asing. Jauh sebelum Indonesia merdeka, awal kemunculan pers merupakan alat perjuangan bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia dalam menyampaikan aspirasinya guna mencapai proklamasi kemerdekaan. Paska-Proklamasi kemerdekaan 1945, peranan pers sangat besar sebagai alat perjuangan dalam rangka menyebarluaskan informasi atau berita-berita ke seluruh pelosok daerah Indonesia bahkan penjuru dunia. dalam perkembangannya di Indonesia, dunia pers pernah mengalami pasang surut baik di era Liberal, Orde Lama, Orde Baru maupun Era Reformasi. Pada kehidupan masyarakat demokratis, salah satu peranan penting pers adalah sebagai penggerak prakarsa masyarakat, memperkenalkan usaha-usahanya sendiri, dan menemukan potensi-potensinya yang kreatif dalam usaha memperbaiki perikehidupannya. Pers juga mengemban misi sebagai salah satu alat kontrol sosial terhadap pemerintah, telah mampu memberikan kontribusi guna melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan dalam melaksanakan pemerintahan. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi pemberitaan yang menjurus fitnah, setiap insane pers telah dibekali Kode Etik Profesi Wartawan Indonesia yang harus dipatuhi. Kode Etik mencakup : 1. Kepribadian Wartawan Indonesia, 2. Pertanggung Jawaban, 3. Cara Pemberitaan dan Menyatakan Pendapat, 4. Pelanggaran Hak Jawab, 5. Sumber berita, 6. Kekuatan Kode Etik, dan 7. Pengawasan Penataan Kode Etik.Era globalisasi dewasa ini telah memberi peranan yang lebih besar kepada dunia pers dalam menggalang prakarsa dan kreativitas warga masyarakat melalui berbagai infrastruktur teknologi informasi. Dunia pers dalam perspektif demokrasi telah menemukan jati diri dan dan kebebasannya yang mampu menembus batas-batas Negara baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, hokum, pertahanan keamanan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, memasuki era globalisasi kita sebagai masyarakat demokrasi harus dapat mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi.Dengan alasan tersebut tugas makalah ini tercipta. Sehingga membuat kami terus berusaha dan bekerja keras sebagai siswa dan generasi muda untuk menciptakan karya-karya yang kreatif agar bisa diterima oleh semu orang serta melalui tugas ini kami berharap teman-teman dan para pembaca lainnya dapat menerima tugas kami ini dengan baik dan selalu memberikan dorongan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. 1.2. STANDAR KOMPETENSI1.2.1. Mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi.1.3. KOMPETENSI DASAR1.3.1. Mendeskripsikan pengertian, fungsi, dan peran serta perkembangan pers di Indonesia.1.3.2. Menganalisis pers yang bebas dan bertanggung jawab sesuai kode etik jurnalistik dalam masyarakat demokratis di Indonesia.1.3.3. Mengevaluasi kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarakat demokratis di Indonesia.BAB IIPEMBAHASAN2.1. Pengertian, fungsi, dan peran serta perkembangan pers di Indonesia.2.1.1. Pengertian Pers Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pers adalah usaha percetakan dan penerbitan usaha pengumpulan dan penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio, orang yang bergerak dalam penyiaran berita, medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi atau film.Pers (press) atau jurnalisme adalah proses pengumpulan, evaluasi dan distribusi berita kepada public. Sedangkan Kantor Berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan medium komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga-lembaga masyarakat lainnyaPers sebagai Medium KomunikasiDitinjau dari kerangka proses komunikasi, pers tidak lain adalah medium (perantara) atau saluran (channel) bagi pernyataan-pernyataan yang oleh penyampainya ditujukan kepada penerima yaitu khalayak. Dalam proses komunikasi melalui media terdapat 5 unsur atau komponen yang terlibat, yaitu (1) penyampai, (2) pesan, (3) saluran, (4) penerima, (5) efek. Pers hanya sebagai saluran bagi pernyataan umum. Yang bertindak sebagai penyampai bukan individu biasa seperti yang terdapat dalam komunikasi tatap muka, melainkan individu yang bekerja pada surat kabar, majalah, studio radio, televisi, dan sebagainya. Dalam penyampaian pernyataan tersebut ia tidak bertindak sebagai individu biasa, melainkan sebagai bagian atau mewakili media massa. Jadi ia sendiri tidak menampilkan atau mencantumkan namanya, seperti lazimnya dalam media massa. Ia adalah orang yang anonim.Wilbur Schramm menyebutnya sebagai institutionalized person. Sekalipun harus diakui bahwa tidak semua individu bekerja secara anonim, sebab ada juga orang yang bekerja pada persuratkabaran secara terang-terangan, misalnya seorang kolumnis. Ia adalah orang yang secara periodik dengan menyebutkan atau menuliskan namanya dalam penyelenggaraan suatu rubrik tertentu. Seorang kolumnis dapat juga digolongkan sebagai opinion leader atau pembentuk pendapat umum. Karena namanya sudah merupakan jaminan bagi mutu tulisannya, dan tulisan itu dijadikan pedoman bagi pembaca-pembacanya yang setia. Bahkan pengaruh seorang kolumnis kadang-kadang sampai sedemikian besarnya, sehingga sebagai perseorangan ia mampu mempengaruhi kebijaksanaan politik pemerintahnya.Pers sebagai Lembaga MasyarakatPers sebagai subsistem dari sistem sosial selalu tergantung dan berkaitan erat dengan masyarakat dimana ia berada. Kenyataan ini mempunyai arti bahwa di manapun pers itu berada, membutuhkan masyarakat sebagai sasaran penyebaran informasi atau pemberitaannya. Pers lahir untuk memenuhi keperluan masyarakat akan informasi secara terus menerus mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa besar atau kecil yang terjadi di dalam masyarakat.Peranan dan fungsi pers selain melakukan pemberitaan yang obyektif kepada masyarakat, juga berperan dalam pembentukan pendapat umum. Bahkan dapat berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran politik rakyat dan dalam menegakkan disiplin nasional. Peranan pers dan media massa lainnya yang paling pokok dalam pembangunan adalah sebagai agen perubahan. Letak peranannya adalah dalam membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.2.1.2. Fungsi Pers Adalah sebagai "watchdog" atau pemberi isyarat, pemberi tanda-tanda dni, pembentuk opini dan pengarah agenda ke depan.2.1.3. Peran serta perkembangan pers di IndonesiaSejarah pers di Indonesia baru dimulai pada abad ke 20 ketika Rd. Mas Tirto Adhi Surjo menerbitkan mingguan Soenda Berita pada 17 Agustus 1903. Pada 1 Januari tahun 1907 Tirto dkk menerbitkan mingguan medan Prijaji dan sering mengkritik korupsi serta pemborosan terhadap pejabat belanda maupun pribumi, akibatnya dia sering dipenjara. Setelah merdeka harian Mas Tirto yaitu Indonesia Merdeka yang dipimpin Mochtar Lubis sering berbenturan dengan kebijakan politik dan penyelewengan- penyelewengan pemerintah bahkan pada tahun 1954 Presiden Soekarno pernah dikritiknya.Dr.H.Krisna Harapap membagi perkembangan kemerdekaan pers dalam 5 periode, yaitu :a. Perkembangan Pers Pada Era ColonialSeperti dikemukakan di atas pers pada masa ini sering mengkritik pemerintah kolonial sehingga pembredelan dan ancaman hukuman terhadap pers acap kali terjadi, setelah proklamasi terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang termasuk pers seperti : Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang). Pada bulan September 1945 pers RI makin kuat dengan ditandai terbitnya Soeara Mrdeka, Berita Indonesia, Warta Indonesia dan The Voice of free Indonesia. Pada saat agresi militer Belanda pers terbagi 2 yaitu yang terbit di kota dan desa, yang di kota sering mengalami pembredelan dari pihak Belanda seperti Waspada, Merdeka dan Mimbar umum sedangkan yang di desa antara lain Suara Rakyat, Api Rakyat, Patriot dan Penghela Rakyat serta menara.b. Perkembangan Pers Pada Era Demokrasi Liberal (1945-1959)Pada tahun 1946 pemerintah mulai membina hubungan dengan pers dengan merancang aturan-aturan tetapi karena masih mendapat gangguan Belanda maka RUU ini tidak kelar-kelar, baru pada tahun 1949 Indonesia mendapat kedaulatan pembenahan dibidang pers dilanjutkan kembali dan pers yang ada di desa dan kota bersatu kembali. Komite Nasional Pusat melakukan sidang pleno VI di Yogya pada tanggal 7 Desember 1949, yang pada dasarnya permerintah RI memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers nasional, yang mencakup perlindungan pers, pemberian fasilitas yang dibutuhkan pers & mengakui kantor berita Antara sebagai kantor beritanasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan. 15 Maret 1950 dibentuk panitia pers dan penyediaan bahanbahan dan halaman pers ditambah serta diberi kesempatan untuk memperdalam jurnalistik sehingga iklim pers saat ini tumbuh dengan baik terbukti dengan bertambahnya surat kabar berbahasa Indonesia, Cina dan Belanda dari 70 menjadi 101 buah dalam kurun waktu 4 tahun setelah 1949.c. Perkembangan Pers Pada Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)Era ini kebijakan pemerintah berpedoman pada peraturan penguasa perang tertinggi (peperti) No.10/1960 & penpres No.6/1963 yang menegaskan kembali perlunya izin tertib bagi setiap surat kabar & majalah dan pada tanggal 24 Februari 1965 pemerintah melakukan pembredelan secara masal ada 28 surat kabar di Jakarta dan daerah dilarang tertib serentak.d. Perkembangan Pers Pada Era Orde Baru (1966-1998)Pada masa ini pembredelan dan pengekangan terhadap pers semakin parah tercatat ada 102 kali pembredelan yaitu tahun 1972 50x, tahun 1972 40x, serta 12 penerbitan dibredel terkait peristiwa malari tanggal 15 Januari 1974. Pada saat itu Departemen penerangan seolah-olah menjadi pengawas di Indonesia yang mengharuskan SIT atau SIUPP bagi setiap surat kabar yang ada. Koran Detik, Tempo dan Editor menjadi fenomena terakhir dari sejarah pers yang dibredel yaitu tahun 1994.e. Perkembangan Pers Pada Era Reformasi (1998-sekarang)Pada tanggal 5 Juni 1998, kabinet reformasi di bawah presiden B.j.Habibie meninjau dan mencabut permenpen No.01/1984 tentang SIUPP melalui permenpen No.01/1998 kemudian mereformasi UU pers lama dengan UU yang baru dengan UU No.40 tahun 1999 tentang kemerdekaan pers dan kebebasan wartawan dalam memilih organisasi pers.2.2. Menganalisis pers yang bebas dan bertanggung jawab sesuai kode etik jurnalistik dalam masyarakat demokratis di Indonesia.Peranan pers adalah memberi informasi yang benar kepada publik tentang suatu peristiwa, pers adalah media yang dapat dengan bebas menginvestigasi jalannya pemerintahan dan melaporkan tanpa takut adanya penuntutan. Dalam masyarakat demokratis, rakyat bergantung pada pers untuk memberantas korupsi, memaparkan kesalahan penerapan kukum serta ketidak efisienan dan ketidak efektifan kerja sebuah lembaga pemerintah. Negara demokrasi ditandai adanya pers bebas, sedangkan kediktatoran penguasa ditandai adanya pembungkaman/pembredelan media masa.Pasal 6 UU pers No 40 tahun 1999 tentang peranana pers mengatakan :1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,2. Menegakan nilai-nilai demokrasi, mendorong penegakan supremasi hukum dan HAM, menghormati pluralism/kebhinekaan,3. Mnengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat & benar,4. Melakukan pengawasan ktiris, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.1. Kode Etik PersDalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wartawan penyiaran tunduk kepada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kalau pemberitaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka meskipun bersinggungan dengan yang punya kekuasaan tetap akan selamat, meskipun ada juga yang tersandung tempok kokoh penguasa terbukti banyak kasus-kasus besar terbongkar seperti : skandal Watergate, Bank Century, Perang Vietnam dll.a. Kode etik AJI (Analisi jurnalis Independen) mengatakan :1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.2. Jurnalis selalu mempertahankan prinsip kebebasan berimbang dalam peliputan.3. Jurnalis member tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya & kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.4. Jurnalis hanya melaporkan fakta & pendapat yang jelas sumbernya.5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.7. Jurnalis menghormati hak narasumber untuk member informasi, off the record dan embargo.8. Jurnalis segera meralaat setiap pemberitaan yang diketahui tidak akurat.9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial identitas korban kejahatan seksual dan pelaku tindak pidana dibawah umur.10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi SARA, bangsa, politik, kecacatan dan latar belakang sosial lain yang negatif.11. Jurnalisme menghormati privasi kecuali hal yang merugikan masyarakat.12. Jurnalisme tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan dan seksual.13. Jurnalisme tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimiliki untuk mencari keuntungan pribadi.14. Jurnalisme tidak dibenarkan menerima sogokan.15. Jurnalisme tidak dibenarkan menjiplak.16. Jurnalisme menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.17. Jurnalisme menolak campur tangan pihak lain mengenai hal di atas.18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis kode etik.b. Kode etik pers PWIKepribadian dan IntegritasPasal 1WI Berimtak kepada Tuhan YME, berjiwa Pancasila, taat pada UUD 1945, kesatria, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi pada kepentingan bangsa dan negara serta terpecaya dalam mengemban profesinya.Pasal 2WI dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara agama.Pasal 3WI tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, memutar balikan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan.Pasal 4WI tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita/tulisan/gambar yang dapat menguntungkan/merugikan seseorang/pihak.Dan seterusnya . . .2.3. Mengevaluasi kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarakat demokratis di Indonesia.1. Kebebasan PersKebebasan pers berarti kekebalan media komunikasi meliputi surat kabar, buku, majalah, radio dan televisi dari control/sensor pemerintah. Kebebasan pers dianggap sebagai hal yang fundamental dalam hak-hak individu, tanpa media yang bebas masyrakat & pemerintah yang demokratis tidak mungkin terwujud. Melalui pengakuan atas hak untuk berseberangan pendapat, pemerintah demokratis mendorong perubahan politik dan sosial yang damai dan tertib. Pembubaran Departemen Penerangan dan hilangnya SIUPP menandai sebuah perubahan besar dalam dunia pers Indonesia. Salah saut indikasinya adlah bertambahnya jumlah media masa baik media cetak, radio maupun televisi. Meskipun kebebasan pers membawa sisi negative seperti mengekspos pornografi & pornoaksi yang bertentangan dengan nilai norma yang ada di masyarakat.Menurut Rommy Sugiantoro dalam etika ada 2 faktor yang berperan yaitu norma & nilai norma, perilaku etis yang kongkret merupakan penggabungan 2 hal tersebut. Namun yang dapat mengontrol etika pers adalah masyarakat sendiri.Menurut teori tanggung jawab sosial pers, pers yang etis bukan hanya memanfaatkan hak publik untuk mengetahui tetapi juga menunjukan tanggung jawab atas pemberitaannya terhadap publik. Etika yng harus dimiliki seorang jurnalis minimal sama dengan 9 prinsip sosial yang dimiliki profesi kemasyarakatan seperti :1. Jangan sampai menghilangkan nyawa orang lain2. Meminimalisi kerugian3. Bersikap adil (pemberitaan yang adil)4. Membantu mereka yang perlu perhatian segera5. Memenuhi janji6. Menghargai setiap sumber7. Menghargai orang (menjaga kehormatan, kehidupan pribadi & kemandirian)8. Jujur9. Menghargai publik unuk mengetahui semua hal.Melayani kepentingan umum juga merupakan prinsip yang harus dimiliki seorang jurnalis. Wartawan bertugas menjaga kelangsungan pers bebas, terus menggugat akuntabilitas kekuasaan, menghindari terjadinya kepanikan, menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara, mendidik masyarakat untuk mengatasi krisis.2. Dampak Kebebasan PersSalah satu pilar demokrasi adalah kebebasan pers, dengan bebasnya pers menyapaikan informasi selain ada positif juga ada negativenya disamping berdampak juga terhadap insan dan lembaga pers itu sendiri seperti penyerangan, pengusiran, intimidasi, pembredelan yang sampai dengan tuntutan hukum.Tindakan yang menjamin keterbukaan informasi1. UU yang menjamin keterbukaan informasi2. Meniadakan sensor politik3. Standar profesi yang lebih tinggi para wartawan4. Penetapan standar profesi, indepedensi & tanggung jawab5. Penyesuaian ketentuan untuk pers bebas dan masyarakat umum6. Fair dalam permberitaan terhadap penguasaJaminan kebebasan pers di Indonesia tertuang dalam:1. UU No.40 Tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik PWI dan AJI2. UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran.Pemerintah RI dan DPR membuat UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Dengan UU tersebut penyiaran berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, control dan perekat sosial. Serta UU tersebut juga menyerahkan pengaturan penyiaran kepada KPI (Komisi penyiaran Indonesia) untuk mengontrol penyiaran yang dilakukan media yang ada di Indonesia.c. Penyalahgunaan Kebebasan Pers Dalam Masyarakat Demokratis di Indonesia Beban tugas pers sangat besar sehingga diperlukan tanggung jawab yang berasal dari pengelola pers, pemilik dan para wartawannya. Saat ini suara masyarakat terhadap pers bertambah keras dan kritis kalau terjadi pemberitaan atau tingkah laku insane pers yang tidak proporsional jadi sudah seharusnya pers tidak mengabaikan kritik dan protes masyarakat dengan melakukan reflexi dan koreksi kedalam.Pertanggung jawaban pers diberikan secara hukum. Dalam KUHP (pernah dikumpulkan oleh Menpen Moh. Yunus dalam buku biru tahun 1998), terkumpul pasal-pasal pidana yang bias menjerat peras, diantaranya menyangkut pencemaran nama baik, menyebarkan rasa permusuhan dan penghinaan. Pertanggung jawaban lainnya adalah pertanggung jawaban wartawan, pemilik dan pengelola pers yang disebut pertanggung jawaban etika. Oleh karena itu yang namanya control tetap diperlukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah.Kontrol yang paling umum di dunia adalah dengan sensor dan di Indonesia selain sensor ada Depen, UU pers, penerbitan SIUPP hingga yang ekstrim pembredelan. Secara umum ada 5 ada 5 mengapa buku, majalah atau koran dilarang beredar dikita, yaitu 1.Alasan Politik 2.Alasan Agama 3.Alasan Ras 4.Alasan Pornografi 5.Alasan Penerbitan dalamm aksara asing. Salah satu kelemahan pemerintah kita adalah tidak adanya koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dalam mengambil kebijakan pelarangan buku atau pers disamping itu juga lemahnya penguasaan bibliografi (usaha mengetahui buku) apa saja yang pernah diterbitkan, perpustakaan yang memilikinya yang bagipemerintah kita tidak mungkin dilakukan sebab tidak ada UU wajib simpankarya cetak (UU Deposit) yang mewajibkan setiap penerbit mengirimkan contoh terbitannya (biasanya 2 eksemplar) ke perpustakaan yang ditunjuk (biasanyaperpustakaan nasional).Saat ini tidak ada satu negara pun di dunia yang terang-terangan menyebutkan sensor sebagai kebijakan resmi pemerintah. Hal ini terlihat dari konvenan dan deklarasi yang telah disahkan mengenai kebebasan dan HAM seperti :1. Piagam PBB (1945)2. DUHAM PBB (1948)3. Konvenan Hak-hak politik dan sipil PBB (1966)4. Konvenan tentang Hak-hak ekonomi dan Sosbudb (1966)5. Konvenan HAM Eropa (1953)6. Akta Final Helsinki (1975)7. Konvenan HAM Amerika (1978). BAB IIIPENUTUP3.1. Kesimpulanpers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan politik. pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar.
HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" BAB I HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" PENDAHULUAN HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" 1.1 Latar BelakangMedia memiliki peranan penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934), bahkan teoretisi Marxis melihatmedia massa sebagai piranti yang sangat kuat (a powerfull tool). Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin berkembangnya masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan.
Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 kemudian ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan independensi media massa. Media massa yang terjamin kebebasan dan independensinya pada gilirannya menguntungkan semuanya, baik negara maupun masyarakat. Walaupun seringkali dianggap merugikan kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Media massa dipandang punya kedudukan strategis dalam masyarakat. Secara konseptual, keberadaan media massa dan masyarakat perlu dilihat secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah media massa membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat.
Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas, yang ada hanya celaka. Oleh karena salah satu fungsinya ialah melakukan kontrol sosial, pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segala sesuatu yang menrutnya tidak beres dalam segala persoalan. Karena itu, ada anggapan bahwa pers lebih suka memberitakan hah-hal yang salah daripada yang benar. Pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial dan ketinggalan jaman.Karena kenyataannya, pers sekarang juga memberitakan keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah berbagai kesulitan.
Berdasarkan uraian diataslah penulis menyusun karya tulis ini agar pembaca lebih memahami arti dan peranan pers itu.
HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" 1.2 Rumusan Masalaha.       Apa itu pengertian pers ?
b.      Apakah peran dan fungsi pers itu ?
c.       Bagaimana peran pers dari kemerdekaan sampai sekarang ?
HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" 1.3 Tujuan Penulisan            Penulis membuat karya ilmiah ini dengan tujuan untuk :
1.      Memberi tahukan kepada pembaca mengenai pers dan memaparkan fungsi serta peranan pers dari masa kemerdekaan hingga sekarang ini.
2.      Dapat mengajak pembaca untuk lebih memahami pers itu sendiri dan mampu menilai bagaimana perananan pers dari kemerdekaan hingga sekarang.
3.      Untuk melengkapi tugas mata pelajaran sejarah.

HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" BAB II HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" PEMBAHASANA.    PENGERTIAN PERS
Istilah "pers" berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
B.     PERAN DAN FUNGSI PERS
Fungsi dan peranan pers Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahuimenegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaanmengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi ( the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan pers itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers dari pemerintah. Menurut tokoh pers, jakob oetama, kebebasan pers menjadi syarat mutlak agar pers secara optimal dapat melakukan pernannya. Sulit dibayangkan bagaiman peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap kebebasan pers. Pemerintah orde baru di Indonesia sebagai rezim pemerintahn yang sangat membatasi kebebasan pers . ha l ini terlihat, dengan keluarnya Peraturna Menteri Penerangan No. 1 tahun 1984 tentang Surat Izn Usaha penerbitan Pers (SIUPP), yang dalam praktiknya ternyata menjadi senjata ampuh untuk mengontrol isi redaksional pers dan pembredelan.

C.     PERANAN MEDIA/PERS DARI KEMERDEKAAN SAMPAI SEKARANG
A.      Masa Penjajahan Belanda
Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan "Memories der Nouvelles", yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa "surat kabar" pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan.
Tujuan pendirian pers masa itu :
         Untuk menegakkan penjajahan
         Menentang pergerakan rakyat
         Melancarkan perdagangan
B.   Masa Pendudukan Jepang
Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan "Dai Toa Senso" atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
C.    Awal Kemerdekaan (1942-1945)
Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
D.    Setelah Indonesia Merdeka (1945-1959)
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia sekaligus penggerak pembangunan bangsa. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang.
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koranSoeara Merdeka(Bandung),Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia,da nThe Voice of Free Indonesia.
Kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
Setelah Agresi Militer
Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan, sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut.
Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948 karena pada masa ini jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan di desa-desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan berupa stensilan.
E.   Tahun 1950± 1960-an
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan.
F.    Tahun 1970 -an
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, danPP P. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik.
G.  Tahun 1980 -an
Pada tahun 1980-an banyak Media Massa Cetak yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan ekonomi, budaya, sosial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis.
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel- artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo,DeT IK, dan Editor.
H.  Masa Reformasi (1998/1999) ± sekarang
Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut.
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ.
Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja. Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.
Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan- perubahan tersebut adalah :
         Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.
         Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan
         sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.
         Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan
         pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.
         Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.
         Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ.
         Habibie, yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan
         Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini.

HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" BAB III HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" PENUTUP3.1              HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" SIMPULANPers memiliki peranan yang sangat penting untuk bangsa ini mulai dari zaman kemerdekaan hingga saat ini, itu disebabkan  karena antara pemerintah dan warga negara memerlukan komunikasi dan media yang dapat menghubungkan keduanya. Apalagi saat ini perkembangan pers di Indonesia sudah maju dengan pesat. Dengan adanya berita melalui koran, tabloid, majalah, radio, televisi, dan internet, masyarakat dapat dengan cepat mengetahui suatu kebijakan pemerintah. Penyajian berita atau kejadian melalui pers dapat diketahui masyarakat dengan cepat, akurat, dan efektif.
Tanpa adanya pers bisa-bisa kita akan menjadi bangsa yang terbelakang karena media sangatlah dibutuhkan. Dapat disimpulkan bahwa fungsi & peranan pers di Indonesia antara lain:
1. media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya.
2. media perantara bagi pemerintah dan masyarakat.
3. penyampai informasi kepada masyarakat luas.
4. penyaluran opini publik.
HYPERLINK "http://ayuocit.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pers.html" 3.2   SARAN                Setelah mengetahui arti dan peranan pers di Indonesia, penulis mengharapkan bahwa hendaknya kita sebagai bangsa Indonesia meyakini bahwa keberadaan pers sangat dibutuhkan dalam memperoleh suatu informasi, akan tetapi kita juga harus lebih pandai dalam memilah informasi yang disampaikan oleh media. 
B IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi, Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab.Sedangkan, Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan.Dalam Demokrasi juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan.Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu Negara. pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. pers sebagai.kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan politik. pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar. kemungkinan kebebasan lembaga pers yang terkapitasi oleh kepentingan kapitalisme dan politik tersebut, mendorong semangat lahirnya citizen journalism. istilah citizen journalism untuk menjelaskan kegiatan pemrosesan dan penyajian berita oleh warga masyarakat bukan jurnalis profesional. aktivitas jurnalisme yang dilakukan oleh warga sebagai wujud aspirasi dan penyampaian pendapat rakyat inilah yang menjadi latar belakang bahwa citizen journalism sebagai bagian dari pers merupakan sarana untuk mencapai suatu demokrasi.Wajah demokrasi sendiri terlihat pada dua sisi. Pertama, demokrasi sebagai realitas kehidupan sehari-hari, kedua, demokrasi sebagaimana ia dicitrakan oleh media informasi. Di satu sisi ada citra, di sisi lain ada realitas. Antara keduanya sangat mungkin terjadi pembauran, atau malah keterputusan hubungan. Ironisnya yang terjadi sekarang justru terputusnya hubungan antara citra dan realitas demokrasi itu sendiri. Istilah yang tepat digunakan adalah simulakrum demokrasi, yaitu kondisi yang seolah-olah demokrasi padahal sebagai citra ia telah mengalami deviasi, distorsi, dan bahkan terputus dari realitas yang sesungguhnya. Distorsi ini biasanya terjadi melalui citraan-citraan sistematis oleh media massa. Demokrasi bukan lagi realitas yang sebenarnya, ia adalah kuasa dari pemilik informasi dan penguasa opini publik.Proses demokratisasi disebuah negara tidak hanya mengandalkan parlemen, tapi juga ada media massa, yang mana merupakan sarana komunikasi baik pemerintah dengan rakyat, maupun rakyat dengan rakyat. Keberadaan media massa ini, baik dalam kategori cetak maupun elektronik memiliki cakupan yang bermacam-macam, baik dalam hal isu maupun daya jangkau sirkulasi ataupun siaran.Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi, dimana adanya tranformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara yang menganut paham demokrasi, sehingga ada persebaran informasi yang merata. Namun, pada pelaksanaannya, banyak faktor yang menghambat proses komunikasi ini, terutama disebabkan oleh keterbatasan media massa dalam menjangkau lokasi-lokasi pedalaman.Keberadaan radio komunitas adalah salah satu jawaban dari pencarian solusi akan permasalahan penyebaran akses dan sarana komunikasi yang menjadi perkerjaan media massa umum. Pada perkembangannya radio komunitas telah banyak membuktikan peran pentingnya di tengah persoalan pelik akan akses informasi dan komunikasi juga dalam peran sebagai kontrol sosial dan menjalankan empat fungsi pers lainnya.
1.2 Perumusan MasalahDalam makalah ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut:1. Pengertian pers2. Fungsi dan peranan pers3. Sejarah pers di indonesia4. Pers yang bebas dan bertanggungjawab5. Penyalahgunaan kebebasan pers dan dampak-dampaknya
1.3 Tujuan MasalahTujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :1. Melengkapi salah satu tugas kelompok bidang study pkn (Peranan pers dalam masyarakat demokrasi)2. Untuk mengetahui peranan pers dalam masyarakat demokrasi.3. Untuk mengetahui fungsi pers dalam masyarakat demokrasi.4. Upaya untuk mengenalkan pemahaman tentang peranan pers dalam masyarakat demokrasi.
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pers
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pers adalah alat cetak untuk mencetak buku/surat kabar, alat untuk mnjepit, surat kabar/majalah berisi berita dan orang yang bekerja di bidang persurat kabaran.Pengertian menurut UU No 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers.Menyatakan bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum.Menurut J.C.T SimorangkirPers memiliki 2 arti :- Arti sempitHanya terbatas pada surat kabar, majalah dan tabloid.- Arti luasBukan hanya dalam arti sempit, namun mencakup juga radio, televisi, film dll.
2.2 Fungsi dan Peranan PersBeda fungsi dan peranan :Fungsi lebih mengacu pada kegunaan suatu hal dalam hal ini adalah kegunaan atau manfaat dari pers itu sendiri.Peranan lebih merujuk kepada bagian atau lakon yang dimainkan pers dalam masyarakat, dimana pers memainkan peran tertentu dalam seluruh proses pembentukan budaya manusiaFungsi :1. Sebagai media komunikasi2. Memberikan informasi kepada masyarakat dalam bentuk berita3. Sebagai media pendidikan4. Pemberitaan mengandung nilai dan norma tertentu dalam masyarakat yang baik5. Sebagai media hiburan6. Lebih bersifat sebagai sarana hiburan7. Sebagai lembaga ekonomi8. Mendatangkan keuntungan financialPeranan :1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui2. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum, dan HAM, serta menghormati kebhinekaan3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar4. Melakukan pengawasa, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
2.3 Sejarah Pers di IndonesiaA. Jaman BelandaPers mulai dikenal pada masa gubjen Belanda Jan Pieter zoon Coen masa VOC (abad 17)Tujuan pendirian pers masa itu :1. Untuk menegakkan penjajahan2. Menentang pergerakan rakyat3. Melancarkan perdagangan4. Pada masa JepangSesuai dengan sifat penjajahan maka pers oleh Jepang dijadikan sebagai alat propaganda dengan maksud memperoleh dukungan rakyat Indonesia dalam perangnya melawan tentara sekutu.B. Pada masa pendudukan tentara SekutuSekutu masuk ke Indonesia pada tahun 1945. Pada saat itu bangsa Indonesia telah dapat mengoperasikan peralatan pers sendiri. Adapun tujuan dari pers waktu itu dilihat dari sisi kita adalah mengobarkan semangat perlawanan untuk melawan penjajahC. Pers di awal KemerdekaanIni adalah pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Pers dibentuk dan dikembangkan dengan tujuan utama untuk menyebarluaskan berita proklamasi ke seluruh wilayah RI.D. Pers di masa LiberalStruktur pers terbagi dalam 3 katagori1. Pers Nasional2. Surat kabar Belanda3. Surat kabar berbahasa CinaSecara financial pers nasional jauh lebih lemah dibanding Koran Belanda maupun Cina. Pembredelan pers (pelarangan terbit krn kegiatan melawan pemerintah) banyak dipakai sebagai upaya menghambat perkembngan pers oleh pemerintah di era Soekarno. Tahun 1957-1958 banyak terjadi pengambilalihan perusahaan Belanda oleh Indonesia, yang juga menandai menghilangnya Koran Belanda.E. Pers masa Orde LamaPers tunduk sepenuhnya pada peraturan pemerintah, pers dimanfaatkan sebagai alat revolusi dan penggerak massa. Hal yang menonjol adala :1. Peraturan No3. Thn 1960 tentang larangan terbit surat kbr berbahasa Cina2. Peraturan no 19 thn 1961 tentang keharusan adanya Surat Izin terbit bagi surat kabar3. Peraturan No.2 tahun 1961 tentang pembinaan pers oleh pemerintah, yang tidak loyal akan dibreidel4. UU no 4/ 1963 tentang wewenang Jaksa Agung mengenai persF. Pers masa Orde BaruAwalnya bagus, mengikis dan memberitakan kebobrokan rezim orde lama namun tidak bertahan lama karena segera dikendalikan oleh penguasa dengan dikeluarkannya UU No.11 tahun 1966 tentang pokok-pokok pers. Dibentuk dewan pers yang merupakan perpanjangan tangan Orde Baru untuk mengontrol perkembangan pers. Pers ideal adalah pers Pancasila yang penerapannya dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab demi tercapainya stabilitas nasional serta terwujudnya keamanan dan ketertiban umum. UU No.21 thn 1982 yg dikeluarkan mempertegas pemberlakuakn KUHP terhadap pers. Di era ini ada 3 faktor penghambat kebebasan pers yaitu :1. Adanya perizinan terhadap pers (SIUP)2. Adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan yaitu PWI3. Praktek intimidasi dan sensor pers.Pencabutan SIUPP atau yang disebut dengan pembreidelen pers manjdi momok yang sangat menakutkan dunia pers.G. Perkembangan pers di era ReformasiSIUPP dicabut oleh Habibie karena dianggap memnghambat kebebasan pers di era demokrasi ini, dan diganti dengan UU No.40 thn 1999. Pers menjadi lebih bebas dan longgar, banyak pers yang mengumbar sensasional dan lebih vulgar sehingga terkesan pers menjadi tidak terkontrol. Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengeksplorasi kebebasan. Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, public kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolak ukur mereka sendiri.
2.4 Pers Yang Bebas Dan BertanggungjawabKebebasan pers memiliki hubungan yang erat dengan fungsi pers dalam masyarakat demokratis. Pers adalah salah satu kekuatan demokrasi terutama kekuatan untuk mengontrol dan mengendalikan jalannya pemerintahan. Dalam masyarakat demokratis pers berfungsi menyediakan informasi dan alternative serta evaluasi yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam partisipasinya dalam proses penyelenggaraan Negara. Kedaulatan rakyat tidak bias berjalan atau berfungsi dengan baik jika pers tidak memberikan informasi dan alternative pemecahan masalah yang dibutuhkan.Meskipun demikian, pers tidak bias mempergunakan kebebasannya untuk bertindak seenaknya saja. Bagaimanapun juga, kebebassan manussia tidak bersifat mutlak. Kebebasan bersifat terbatas karena berhadapan dengan kebebasan yang dimiliki orang lain. Juga dalam kebebasan perspers tidak bias seenaknya memberitakan informasi tertentu, wajib menghormati hak pribadi orang lain.Ada 3 kewajiban pers yang harus diperhatikan :1. Menjunjung tinggi kebenaran2. Wajib menghormati privacy orang atau subyek tertentu3. Wajib menjunjung tinggi prinsip bahwa apa yang diwartakan atau diberitakan dapat dipertanggungjawabkanMenurut UU No. 40 thn 1999 tanggungjawab pers meliputi :1. Pers memainkan peran penting dalam masyarakat modern sebagai media informasi2. Pers wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat3. Pers wajib menghormati asas praduga tak bersalah4. Pers dilarang memuat iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan/ atau melanggar kerukunan hidup antar umat beragama5. Pers dilarang memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya
2.5 Penyalahgunaan Kebebasan Pers Dan Dampak-DampaknyaMenurut UU No.40 thn 1999 pers Indonesia memiliki kebebasan yang luas sesuai tuntutan pada era reformasi. Beberapa dampak yang mungkin sebagai ekses dari kebebasan pers misalnya :1. Berita bohong2. Berita yang melanggar norma susila dan norma agama3. Berita kriminalits dan kekerasan fisik4. Berita, tulisan, atau gambar yang membahayakan keselamatan dan keamanan Negara dan persatuan bangsaUntuk memecahkan masalah ini maka Komisi penyiaran Indonesia (KPI) menetapkan beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam memberitakan peristiwa kejahatan (kriminalits) terutamna bag media elektronik yaitu :1. Menyiarkan atau menayangkan gambar pelaku kejahatan melanggar etika dan hokum2. Penayangan gambar-gambar mengerikan merugikan konsumen3. Penayangan gambar korban kejahatan harus dengan izin korban
BAB IIIPENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebebasan pers yang sedang kita nikmati sekarang memunculkan hal-hal yang sebelumnya tidak diperkirakan. Suara-suara dari pihak pemerintah misalnya, telah menanggapinya dengan bahasanya yana khas; kebebasana pers di ndoesia telah kebablasan! Sementara dari pihak asyarakat, muncul pula reaksi yang lebih konkert bersifat fisik.Barangakali, kebebasana pers di Indonesia telah mengahsilkan berbagai ekses. Dan hal itu makin menggejala tampaknya arena iklim ebebasan tersebut tidak dengan sigap diiringi dengan kelengakapan hukumnya. Bahwa kebebasan pers akan memunculkan kebabasan, itu sebenarnya merupakan sebuah konsekuensi yan wajar. Yang kemudan harus diantisipasi adalah bagaimana agar kebablasan tersbeut tidak kemudian diterima sebagai kewajaran.
3.2 SaranPara pekerja pers dalam bekerja wajib memenuhi aspek-aspek profesionalitas. Standar profesionalitas dalam jurnalistik.1. Tidak memutar balikan fakta, tidak memfitnah.2. Berimbang, adil dan jujur.3. Mengetahui perbedaan kehidupan pribadi dan kepentingan umum.4. Mengetahui kredibilitas narasumber.5. Sopan dan terhormat dalam mencari berita.6. Tidak melakukan tindak yang bersifat plagiat.7. Meneliti semua bahan berita terlebih dahulu.8. Memiliki tanggung jawab moral yang besar (mencabut berita yang salah)9. Bagi pembaca makala ini kami mohon maaf jika ada kesalahan dari segi apapun, kami mohon keritik dan saran, untuk memotifasi kami untuk kedepannya lebih baik.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Segala puji bagi  Allah Tuhan semesta alam, yang telah memerintahkan manusia untuk menyeru saudaranya dengan hikmah, mauidzah hasanah, dan al-jidal al-hasanah
Shalawat dan salam semoga tercurah bagi Nabi Muhammad SAW, penuntun umat manusia ke jalan yang benar melalui wahyu dan sabdanya.
Pers mempunyai peranan penting dalam kehidupan, sebagai salah satu sarana media yang diakui keabsahannya di roda kehidupan bermsyarakat maupun bernegara, pers mempunyai banyak fungsi di kehidupan yang menganut demokrasi, mempunyai prinsip  dan juga kode etik didalamnya agar tetap berada dijalur yang benar sehingga tetap terjaga keabsahannya. Dengan adanya pers kita dapat dengan mudah memperbaharui informasi terkini sehingga akan membantu kita dalam menjalani irama kehidupan bernegara dan kita juga bebas mengemukakan kritik maupun opini sebagai warga negara.
B.     Rumusan Masalah
Setelah kita tahu bagaimana latar belakang yang sudah di jelaskan oleh penyusun maka kita mendapatkan beberapa pokok permasalahan yang patut kita telaah lebih jauh lagi diteliti lebih rinci. Akan tetapi, dalam hal ini penyusun membatasi masalah hanya untuk mengkaji peranan pers dalam masyarakat demokrasi.
1.      Apa yang dimaksud dengan pers?
2.      Apa saja fungsi pers?
3.      Bagaimana peranan pers dalam kehidupan berdemokrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pers
Kata pers berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Press dalam bahasa Latin, pressare yang berarti tekan atau cetak. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara istilah berarti penyiaran yang dilakukan secara tercetak.
Pers dalam arti sempit, artinya hanya terbatas pada pers cetak, yaitu surat kabar, majalah, dan tabloid. Pers dalam arti luas, yaitu meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers elektronik, siaran radio, dan siaran televisi.
Pengertian Menurut Para Ahli
a.       Menurut L. Taufik, seorang ahli jurnalistik, pers adalah usaha-usaha dari alat komunikasi massa untuk memenuhi kebutuhan anggota-anggota masyarakat terhadap penerangan, hiburen, keinginan mengetahui peristiwa-peristiwa, atau berita-berita yang telah atau akan terjadi di sekitar mereka khususnya dan di dunia umumnya.
b.      Menurut Weiner, seorang ahli jurnalistik, pers memiliki tiga arti. Pertama, wartawan media cetak. Kedua, publisitas atau peliputan. Ketiga, mesin cetak-naik cetak.
c.       Menurut Oemar Seno Adji, seorang pakar komunikasi, pengertian pers dibagi dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, pers mengandung penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengar jalan kata tertulis. Dalam arti luas, pers adalah semua media komunikasi massa yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang, baik dengan kata-kata tertulis maupun kata lisan.
d.      Menurut J.C.T. Simorangkir, seorang tokoh hukum, pers dibedakan menjadi dua pengertian sebagai berikut.  
B.     Ciri-Ciri Pers
Ciri-ciri pers seperti berikut.
a.       Periodesitas, artinya pers harus terbit secara teratur dan periodik. Periodesitas mengedepankan irama terbit, jadwal terbit, dan konsistensi atau keajekan.
b.      Publisitas, artinya pers ditujukan atau disebarkan kepada khalayak dengan sasaran yang sangat heterogen, baik dari segi geografis maupun psikografis.
c.       Aktualitas, artinya informasi apa pun yang disuguhkan media pers harus mengandung unsur kebaruan, menunjuk pada peristiwa yang benar-benar baru atau sedang terjadi.
d.      Universalitas, artinya memandang pers dari sumbernya dan keanekaragaman materi isinya.
e.       Objektivitas, merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh olen surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya.
C.    Fungsi Pers
Adalah sebagai "watchdog" atau pemberi isyarat, pemberi tanda-tanda dni, pembentuk opini dan pengarah agenda ke depan. Beberapa fungsi Pers lainnya :
a.       Fungsi Informasi : menyajikan informasi karena masyarakat memerlukan informasi tentang berbagai hal yang terjadi di masyarakat, dan Negara.
b.      Fungsi Pendidikan : sebagai sarana pendidikan massa (mass education), maka pers itu memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya.
c.       Fungsi Kontrol Sosial : adalah sikap pers dalam melaksanakan fungsinya yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok dengan maksud memperbaiki keadaan melalui tulisan. Tulisan yang dimaksud memuat kritik baik langsung atau tidak langsung terhadap aparatur Negara, lembaga masyarakat.
d.      Fungsi sebagai Lembaga Ekonomi : Pers adalah sebuah berusahaan yang bergerak di bidang penerbitan. Pers memiliki bahan baku yang diolah sehingga menghasilkan produk yang namanya "berita" yang diminatai masyarakat dengan nilai jual tinggi. Semakin berkualitas beritanya maka semakin tinggi nilai jualnya. Pers juga menyediakan kolom untuk iklan. Pers membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidupnya.
D.    Peranan Pers
Pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 disebutkan peran pers meliputi hal-hal berikut.
a.       Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Hal ini dilakukan melalui transfer informasi dalam berbagai bidang (ekonomi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya).
b.      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi.
c.       Mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM).
d.      Menghormati kebhinekaan.
e.       Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
f.       Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentinga.1 umum. g. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Pasal 6 UU pers No 40 tahun 1999 tentang peranana pers mengatakan :
a.       Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
b.      Menegakan nilai-nilai demokrasi, mendorong penegakan supremasi hukum dan HAM, menghormati pluralism/kebhinekaan,
c.       Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat & benar,
d.      Melakukan pengawasan ktiris, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,
E.     Prinsip-Prinsip Pers
Demi eksistensi pers dalam menjalankan fungsi dan perannya, pers harus memperhatikan prinsip-prinsip berikui ini.
a.       Idealisme, artinya cita-cita, obsesi, atau sesuatu yang terus dikejar untuk dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara.
b.      Komersialisme, artinya pers harus mempunyai kekuatan untuk mencapai cita-cita dan keseimhangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya.
c.       Profesionalisme, paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan.
F.     Teori Pers
a. Teori Pers Otoritarian
Teori pers otoritarian muncul pada masa iklim otoritarian, yaitu akhir renaisans atau segera setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap bukanlah hasil dari massa rakyat, melainkan dari sekelompok kecil orang bijak yang berkedudukan membimbing dan rnengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi, kebenaran dianggap hama diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan.
b. Teori Pers Libertarian
Dalam teori libertarian, pers bukan instrumen pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argumen-argumen yang akan menjadi landasan bagi banyak orang untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya.
c. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial
Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh sebagian pers.Teori tanggung jawab sosial mempunyai asumsi utama bahwa kebebasan mengandung suatu tanggung jawab yang sepadan. Pers harus bertanggung jawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dengan masyarakat modern.
d.      Teori Pers Soviet Komunis
Dalam teori pers Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada pada orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial, dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat. Kekuasaan itu mencapai puncaknya jika digabungkan dengan sumber daya alam, kemudahan produksi dan distribusi, serta saat kekuasaan itu diorganisasi dan diarahkan
G.    Kode Etik Jurnalistik
Kode artinya tanda (sign) yang secara luas diartikan sebagai bangun simbolis. Kode etik berupa nilai-nilai dasar yang disepakati secara universal yang menjadi cita-cita setiap manusia. Kode etik yang berkaitan dengan dunia pers adalah Kode Etik Jurnalistik.
Kode Etik Jurnalistik adalah suatu kode etik profesi yang harus dipatuhi oleh wartawan Indonesia. Tujuan terpenting suatu Kode Etik Jurnalistik adalah melindungi hak masyarakat memperoleh informasi objektif di media massa dan memayungi kinerja wartawan dari segala macam risiko kekerasan.
Wartawan Indonesia menetapkan kode etik jurnalistik sebagai berikut:
a. Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beretikan buruk
b. Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
c. Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji Informasi memberitakan secara berimbang tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah
d. Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul.
e. Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
f. Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
g. Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
H.    Asas-Asas Kode Etik Jurnalistik
Terdapat empat asas Kode Etik Jurnalistik. Keempat asas Kode Etik Jurnalistik tersebut sebagai berikut.
1) Profesionalitas, cirinya sebagai berikut.
   a) Tidak memutarbalikkan fakta.
   b) Berimbang, adil, dan jujur.
   c) Mengetahui sesuatu yang privat dan sesuatu yang publik.
2) Nasionalisme, cirinya sebagai berikut.
   a) Mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara.
   b) Memperhatikan keselamatan dan kearnanan bangsa.
3) Demokrasi, cirinya sebagai berikut.
   a) Harus cover both side (tidak berat sebelah).
   b) Harus jujur dan berimbang.
4) Religius, cirinya sebagai berikut.
   a) Menghormati agama dan kepercayaan lain.
   b) Beriman dan bertakwa.
6. Landasan Hukum Pelaksanaan Kebebasan Pers di Indonesia
Landasan pelaksanaan kebebasan pers di Indonesia meliputi:
a.       Landasan idiil
b.      Landasan idiil dari pelaksanaan kemerdekaan pers adalah Pancasila.
c.       Landasan konstitusional
d.      Landasan konstitusional pelaksanaan kebebasan pers adalah UUD 1945, yaitu yang tertuang dalam pasal 28 dan 28 F UUD 1945. Pasal 28 UUD 1945 berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
e.       Pasal 28 F UUD 1945 berbunyi "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia".
f.       Landasan Yuridis
g.      Landasan yuridis dari pelaksanaan kemerdekaan pers adalah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan mengenai beberapa hal tentang kebebasan pers yaitu sebagai berikut:
h.      Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yangf berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
i.        Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara.
j.        Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
k.      Landasan Etis
l.        Landasan etis dari pelaksanaan kemerdekaan pers adalah tata nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini tentunya disesuaikan dengan lingkungan masing-masing. Meskipun terdapat nilai dan norma yang berlaku universal.
m.    Landasan Profesional
n.      Landasan professional pelaksanaan kebebasan pers adalah kode etik jurnalistik.
I.       Kebebasan Pers di Indonesia
a. Pengendalian Kebebasan Pers
Pengalaman sejarah Indonesia mengajarkan bahwa setidaknya ada 4 faktor terjadinya pengendalian kebebasan pers, yaitu melalui:
  Distorsi peraturan perundang-undangan
  Perilaku aparat
  Pengadilan massa
  Perilaku pers itu sendiri
b.      Penyalahgunaan Kebebasan Pers
Bentuk-bentuk penyalahgunaan kebebasan pers kini bisa bermacam-macam, seperti:
1). Penyajian informasi yang tidak akurat.
2). Tidak objektif, sensasional
3).Tendensius, menghina.
5). Menyebarkan kebohongan dan permusuhan
6). Pornografi.
Hak dan Kewajiban Pers
Hak tolak, hak jawab, hak pencabutan berita.
J.      Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa
1.      Kebebasan Pers
Menurut S. Tasrif, seorang pengacara dan wartawan senior, untuk kondisi Indonesia ada tiga syarat kebebasan pers:
a.       Tidak ada lagi kewajiban untuk meminta surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) bagi suatu penerbitan umum kepada pemerintah.
b.      Tidak ada wewenang pemerintah untuk melakukan penyensoran sebelumnya terhadap berita atau karangan yang akan dimuat dalam pers.
c.       Tidak ada wewenang pemerintah untuk memberangus suatu penerbitan pada waktu tertentu atau selamanya, kecuali melalui lembaga peradilan yang independen.
Payung Hukum Pers di Indonesia
Dalam menjamin kebebasan pers demi terwujudnya pers yang bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ideologi dan kultur kebudayaan bangsa pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan berkaitan dengan pers sebagai berikut.
1.      Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 berkaitan dengan kebebasan berserikat dan berkumpul (berkaitan dengan kebebasan mengeluarkan pendapat). Dari ketentuan pasal ini kemudian disusun undang-undang antara lain Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yang mengatur tentang penyiaran yang berisi tentang KPI, jasa penyiaran, lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, perizinan, isi siaran, bahas siaran, sensor isi siaran dan sebagainya.
2.      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang aturan kebebasan Pers.
3.      KUHP berkaitan dengan penyalahgunaan kebebasan pers antara lain delik penghinaan presiden dan wakil presiden (pasal 137), delik penyebaran kebencian (pasal 154 dan 155), delik penghinaan agama (pasal 156), dan delik kesusilaan atau pornografi (pasal 282).
4.      Pers diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut pers diartikan sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik.
BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan
Kata pers berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Press dalam bahasa Latin, pressare yang berarti tekan atau cetak. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara istilah berarti penyiaran yang dilakukan secara tercetak.
Pers dalam arti sempit, artinya hanya terbatas pada pers cetak, yaitu surat kabar, majalah, dan tabloid. Pers dalam arti luas, yaitu meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers elektronik, siaran radio, dan siaran televisi.
Pers mempunyai beberapa fungsi diantaranya fungsi informasi, pendidikan, kontrol sosial dan fungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 disebutkan peran pers meliputi hal-hal berikut.
g.      Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Hal ini dilakukan melalui transfer informasi dalam berbagai bidang (ekonomi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya).
h.      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi.
i.        Mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM).
j.        Menghormati kebhinekaan.
k.      Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
l.        Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentinga.1 umum. g. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
B.     Saran
Pers merupakan salah satu sarana untuk masyarakat agara dapat berpartisipasi menyalurkan asprasi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang demokratis, pers mempunyai kode etik. Maka dari itu lembaga pers harus benar-benar menjaga keabsahan mereka sebagai lembaga yang menjadi pedoman masyarakat agar dapat memperbaharui informasi dengan mudah dan akurat.
http://maesajuli.blogspot.co.id/2014/11/makalah-peranan-pers-dalam-masyarakat.html
DAFTAR PUSTAKA
http://kewarganegaraan3.wordpress.com/2010/01/29/peranan-pers-dalam-masyarakatdemokratis/http://www.tugaskuliah.info/2011/04/peranan-pers-dalam-masyarakat-demokrasi.htmlhttp://amankeun.blogspot.co.id/2013/12/makalah-pers.html


Download Makalah Pers.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca Makalah Pers. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: