Oktober 23, 2016

Makalah Lengkap Mengenai Hukum Acara Perdata

Judul: Makalah Lengkap Mengenai Hukum Acara Perdata
Penulis: Romi Saputra


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peradilan merupakan segala sesuatu mengenai perkara pengadilan. Kita ketahui bahwa ada beberapa macam peradilan, yakni meliputi Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer yang berada di bawah Mahkamah Agungdan Mahkamah Konstitusi.
Disini penulis dalam makalah ini akan membahas mengenai Peradilan Umum, yang terdiri dari Peradilan Negeri dan Peradilan Tinggi Negeri. Sesuai dengan namanya Peradilan Umum berwenang memeriksa atau menyidangkan baik kasus pidana maupun kasus perdata termasuk kasus yang menyangkut masalah hubungan keluarga yaitu perceraian,kecuali jika pihak yang akan cerai itu beragama Islam yang harus disidangkan oleh Pengadilan Agama. Semua yang menyangkut Peradilan Umum mengenai struktur, tugas dan kewenangan, pengangkatan dan pemberhentiannya, dan lain sebagainya telah diatur dalam undang-undang khususnya Undang-Undang No.2/1986 yang telah diubah dalam Undang-Undang No.8/2004.
1.2. Rumusan Masalah
Apa Definisi atau Pengertian Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Negeri?
Siapa saja Pejabat dalam Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi Negeri?
Bagaimana Cara Tata Beracara di Pengadilan Negeri?
Bagaimana Bentuk Surat Gugatan Wanprestasi?
Bagaimana Sejarah dari Hukum Acara Peradilan?
1.3. Tujuan Penulisan
Mengetahu Pengertian Pengertian Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Negeri?
Mengetahui Tugas Para Pejabat Pengadilan Negeri.
Mengetahui Bagaimana Cara Membuat Surat Gugatan Wanprestasi.
Memahami Sejarah Hukum Acara Peradilan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Negeri
Pengadilan Negeri merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan (Ketua PN dan Wakil Ketua PN), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita. Pengadilan Negeri di masa kolonial Hindia Belanda disebut landraad.
Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan di tingkat banding untuk memeriksa perkara dan pidana yang telah diputuskan oleh pengadilan negeri. Kedudukan pengadilan tinggi berada di wilayah daerah provinsi. Pengadilan tinggi memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut.
Mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding;
Mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antarperngadilan negeri di daerah hukumnya;
Memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum kepada instansi pemerintah di daerahnya apabila di minta.
2.2. Pejabat Dalam Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Negeri
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 2004 pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa susunan Pengadilan Negeri terdiri dari:
Pimpinan Pengadilan Negeri
Pimpinan Pengadilan Negeri terdiri dari seorang Ketua Pengadilan Negeri dan seorang Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Untuk dapat diangkat menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang bersangkutan harus berpengalaman sebagai atau menjadi hakim di Pengadilan Negeri minimal 10 tahun. Mengenai pengangkatan dan pemberhentian ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri adalah menjadi wewenang Ketua Mahkamah Agung. 
Hakim Anggota Pengadilan Negeri
Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul dari Ketua Mahkamah Agung. Seseorang dapat diangkat menjadi hakim Pengadilan Negeri apabila telah memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Menurut pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 8 tahun 2004 persyaratan yang dimaksud adalah :
Warga Negara Indonesia.
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
Sarjana Hukum;
Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
Sehat jasmani dan rohani;
Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan
Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan seseorang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia.
Panitera Pengadilan Negeri
Dalam pelaksanaan pengelolaan administrasi pengadilan, tugas panitera adalah menangani administrasi pengadilan khususnya administrasi yang bersifat teknis peradilan. Panitera ini dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh seorang wakil panitera, beberapa orang panitera pengganti serta beberapa juru sita.
Apabila untuk jabatan hakim pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh presiden atas usul dari Mahkamah Agung, untuk panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Hal ini dinyatakan dala pasal 37 undang-undang nomor 8 tahun 2004.
Sekretaris Pengadilan Negeri
Pada setiap pengadilan ditetapkan adanya sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil sekretaris. Di dalam pasal 45 undang-undang nomor 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum dinyatakan bahwa panitera pengadilan merangkap sekretaris Pengadilan.
Tugas dari pada sekretariat pengadilan adalah menangani administrasi umum di bidang kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan sebagainya. Untuk menjadi sekretaris pengadilan harus memenuhi syarat yang sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera. Seperti halnya panitera, wakil sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Mahkamah Agung.
Juru Sita
Selain sekretaris, pada setiap Pengadilan Negeri juga ditetapkan adanya juru sita dan juru sita pengganti, Juru sita adalah seorang pejabat pengadilan yang ditugaskan melakukan panggilan-panggilan dan peringatan-peringatan atau ancaman-ancaman secara resmi (terhadap orang yang berutang atau yang telah dikalahkan dalam suatu perkara perdata dan juga melakukan penyitaan-penyitaan).
2.3. Tata Cara Beracara di Pengadilan Negeri
Untuk memproses suatu perkara perdata di Pengadilan Negeri, langkah awal yang harus dilakukan adalah memasukan gugatan oleh penggugat kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan melunasi biaya perkara. Ia tinggal menunggu pemberitahuan hari sidang.
Kemudian setelah gugatan didaftar dan dibagikan dengan surat penetapan penunjukan oleh ketua Pengadilan Negeri kepada Hakim yang akan memeriksanya, maka hakim yang bersangkutan dengan surat penetapan menentukan hari sidang perkara tersebut dan seklaigus menyuruh memanggil kedua belah pihak agar menghadap di Pengadilan Negeri pada hari sidang yang telah ditetapkan dengan membawa saksi dan bukti-bukti yang diperlukan. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita yang menyerhakan surat panggilan beserta surat salinan gugat itu kepada tergugat pribadi di tempat tinggalnya. Pada sidang yang telah ditentukan, hakim ketua sidang yang didampingi oleh panitera membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. Ini berarti bahwa setiap orang boleh mendengarkan jalanya persidangan, yang secara formil dapat mengadakan control dan dengan demikian hakim dapat mempertanggung jawabakan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak kepada masyarakat.
Setelah dibuka  dan dinyatakan terbuka untuk umum, maka kedua belah pihak penggugat dan tergugat dipersilahkan untuk masuk.
Hakim memulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Penggugat dan tergugat
Identitas Penggugat.
Identitas Tergugat
Apa sudah mengerti didatangkanya para pihak, di muka  sidang Pengadilan.
Hakim menghimbau agar dilakukanya perdamaian, sedua dengan Perma no 1 Tahun 2008.
Jadi, pada sidang pertama ini sifatnya merupaka cecking identitas para pihak dan apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untukmenghadiri sidang. Setelah para pihak dianggap sudah mengerti, maka hakim menghimbau agar kedua belah pihak mengadakan perdamaian kemudian sidang ditangguhkan. Lalu selajutnya pada pelaksanaan sidang kedua (Jawaban Tergugat).
Apabila para pihak dapat berdamai maka ada dua kemungkinan yakni, gugatan dicabut atau mereka mengadakan perdamaian di luar atau di muka sidang. Apabila perdamaian dilakukan diluar sidang maka hakim tidak ikut campur. Kedua belah pihak berdamai sendiri, apabila tidak tercapai suatu perdamaian, maka sidang dilanjutkan dengan jawaban tergugat. Jawaban ini dibuat rangkap tiga, lembar pertama untuk penggugat, lembar kedua untuk hakim dan lembar ketiga untuk arsip tergugat sendiri. Sidang ketiga yaitu "Replik", pada sidang ini Pengguat menyerahkan replik, satu untuk hakim, satu untuk tergugat dan satu untuk disimpan penggugat sendiri. Replik sendiri adalah tanggapan penggugat dari jawaban tergugat. Lanjut sidang berikutnya keempat (Duplik), dalam sidang ini Tergugat menyerahkan duplik, yakni jawaban tergugat terhadap duplik penggugat. Setelah itu berlanjut kepada sidang selajutnya yang kelima (Pembuktian dari Penggugat) sidang kelima dapat disebut sidang Pembuktian oleh penggugat. Disini Penggugat mengajukan bukti-bukti yang memperkuat dalil-dalil penggugat sendiri dan melemahkan dalil-dalil Tergugat. Bukti yang dimaksud terdiri dari surat dan saksi-saksi.
Sidang keenam disebut dengan Pembuktian Tergugat, jalanya sidang sama dengan sidang kelima dengan catatan bahwa yang mengajukan bukti-bukti dan saksi adalah Tergugat. Sidang ketujuh adalah sidang penyerahan kesimpulan, disini kedua belah pihak membuat kesimpulan dari hasil sidang tersebut. Isi pokok kesimpulan sudah barang tentu yang menguntungkan para pihak sendiri. Dan yang terakhir sidang kedelapan, sidang ini dinamakan sidang putusan hakim. Dalam sidang ini hakim membaca putusan yang seharusnya dihadiri oleh kedua belah pihak. Setelah selesai membaca putusan maka hakim mengetuk palu 3 kali dan para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan banding apabila tidak puas dengan putusan hakim.
2.4. Surat Gugatan dan Contoh Tentang Wanprestasi
Surat gugatan adalah suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang  memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak.Adapun pengertian daripada surat permohonan adalah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
      Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan.
Berikut ini adalah contoh Surat Gugatan Wanprestasi
Jakarta, 11 Januari  2012                                                             
Kepada Yang Terhormat,
Bapak Ketua Pengadilan Negeri  Banjarbaru  
Jl. Trikora No.3 
Banjarbaru – Kalimantan Selatan.
 
Dengan hormat,
Perkenankan kami Popy Nurjanah, S.H.,  dkk, Para Advokat pada Kantor HukumPopy Nurjanah & Associates, berkantor di Wisma Bendungan,  Jl. Bendungan Raya No 123, Jakarta Timur, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. RIDWANA KENCANA berkedudukan dan beralamat di Jalan Raya Pasar Minggu Km. 55, Jakarta Selatan, dalam kedudukannya selaku Penggugat berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 01 Januari 2013 (asli terlampir) dari dan oleh karenanya untuk dan atas nama Penggugat tersebut, dengan ini hendak membuat, menandatangani dan mengajukan gugatan perdata, perihal : Wanprestasi (Ingkar Janji) terhadap :
-    PT. TANA BARA CORPORATION, beralamat di Jalan Jl. Simpang Raya No. 24, Tirai III, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, untuk selanjutnya disebut sebagaiTergugat ; 
Berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
Bahwa  antara Penggugat selaku pembeli dan Tergugat selaku pemilik/ penjual Batubara, telah sepakat untuk membuat dan menandatangani  Perjanjian Kerjasama Jual Beli Batubara, sebagaimana ternyata dari  Surat Perjanjian Jual Beli Batubara, No. 01/SPJB/RK-TBC/I/10, tanggal 14 Januari 2010, selanjutnya disebut "Perjanjian"  ;
Bahwa  sejak berlangsungnya "Perjanjian" sampai dengan awal bulan Juli 2011, Penggugat telah melakukan pembelian/pemesanan batubara kepada Tergugat sejumlah 8.000 MT dengan harga seluruhnya sebesar Rp.3.920.000.000,- (Tiga milyar sembilan ratus dua puluh juta rupiah), sebagaimana ternyata dari Surat Pesanan No.007/SPBB/RK-TBC/IV/2010, tanggal 5 April 2010 ;
Bahwa terhadap pembelian/pemesanan batubara sebagaimana disebutkan pada butir 2 di atas, Penggugat telah melakukan pembayaran  dan telah diterima oleh Tergugat, uang sejumlah Rp. 3.528.000.000,- (Tiga milyar lima ratus dua puluh delapan juta Rupiah), dengan perincian sebagai berikut :
Sebesar Rp. 1.960.000.000,- (Satu milyar sembilan ratus enam puluh juta Rupiah)
Sebesar Rp. 1.568.000.000,- (Satu milyar lima ratus enam puluh delapan juta Rupiah), untuk pembayaran uang Muka ke-2 (dua), sesuai dengan Kwitansi (Receipt)  Nomor : 030/KTBB/IV/2010, tanggal 08 April 2010, yang telah Pengugat bayarkan  pada tanggal 12 April 2010, kepada dan telah diterima oleh Tergugat, dengan cara ditransfer melalui Bank Kalsel dengan Bilyet Giro No. KS.007125 ;
Bahwa walaupun Penggugat telah melakukan pembayaran kepada Tergugat uang sejumlah  Rp. 3.528.000.000,- (Tiga milayra lima ratus dua puluh delapan juta Rupiah),  yaitu sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari nilai pembelian/pemesanan, ternyata Tergugat tidak dapat melaksanakan (merealisasikan)  pengiriman  batubara yang telah dipesan  sesuai dengan "Perjanjian" tersebut  kepada Penggugat ;
Bahwa  oleh karena Tergugat tidak dapat melaksanakan (merealisasikan) pengiriman batubara kepada Penggugat, maka Penggugat dan Tergugat telah saling sepakat untuk menyelesaikan (mengakhiri) "Perjanjian" tersebut, dengan membuat dan menandatangani AKTA KESANGGUPAN PENGEMBALIAN DANA  Nomor : 9, tanggal 15 Juli 2010, yang dibuat dihadapan Yusuf Rezy Fadillah, S.H., Notaris di Kota Banjarbaru, selanjutnya disebut "Akta Kesanggupan" ;  
Bahwa oleh karena "Akta Kesanggupan" tersebut telah dibuat sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, maka menurut hukum "Akta Kesanggupan" tersebut berlaku SAH dan MENGIKAT sebagai undang-undang terhadap Penggugat dan Tergugat, hal mana sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, yang menyatakan :
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
"Suatu Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alas an-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu".
"Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik".
Bahwa   dengan   demikian   seluruh   kewajiban yang harus dikembalikan/ dibayar lunas  oleh  Tergugat kepada  Penggugat  sampai dengan akhir Desember 2010 adalah sebagai berikut :
- Kewajiban Pokok                                                              Rp. 3.528.000.000,-
- Kerugian, dari  bulan Mei s/d. Desember 2010 :                                                  
   8 bulan x 1½ % x Rp. 3.528.000.000,-                        =   Rp.    423.360.000,- +
                                                                        Jumlah     =     Rp. 3.951.360.000,-
                                                                                                ==============
(Terbilang : Tiga  milyar  sembilan  ratus  lima  puluh  satu juta tiga ratus enam  
                      puluh Rupiah) ;
Bahwa   akibat   perbuatan   Wanprestasi (Ingkar Janji) yang telah dilakukan oleh Tergugat tersebut, maka telah  menimbulkan kerugian bagi Penggugat, sehingga karenanya  secara dan menurut hukum Penggugat  berhak menuntut Tergugat untuk membayar ganti rugi, materiil maupun immaterial – vide Pasal 1243 KUH Perdata, sebagaimana diuraikan dibawah ini:
Kerugian Materiil
Kewajiban Pokok dan Kerugian
sampai dengan Desember 2010   
(vide butir 8 di atas), sebesar ………… .       Rp. 3.951.360.000,-
Bunga sebesar 12 % per-tahun
Terhitung sejak bulan Januari 2011
s/d diajukannya gugatan ini, yaitu
13 bulan x 12 % x Rp. 3.951.360.000,- …….    Rp.   474.163.200,-
Biaya : untuk mengurus perkara ini
Penggugat telah menggunakan jasa
Ahli (advokat) dengan biaya yang
harus dikeluarkan sebesar ……………….  Rp. 100.000.000,-
Kerugian Immateriil
Bahwa akibat perbuatan Ingkar Janji (wanprestasi) yang telah dilakukan oleh Tergugat tersebut, menyebabkan kredibilitas dan kepercayaan para relasi/ teman bisnis Penggugat, menjadi turun/berkurang, hal mana apabila dinilai dengan uang adalah setara dan patut ditetapkan sebesar Rp. 25.000.000.000,- (Dua puluh lima milyar Rupiah)
Bahwa dengan demikian seluruh kergian yang Penggugat derita akibat perbuatan ingkar janji (wanprestasi) yang dilakukan oleh Tergugat tersebut, adalah sebesar : Rp. 3.951.360.000,-  + Rp.   474.163.200,- + Rp.100.000.000,- + Rp. 25.000.000.000,- = Rp.  29.525.523.200 (Dua puluh sembilan milyar lima ratus dua puluh lima juta lima ratus dua puluh tiga ribu dua ratus Rupiah)
Bahwa guna menjamin gugatan Penggugat agar nantinya tidak sia-sia (illusoir) dikemudian hari karena adanya itikad tidak baik dari Tergugat serta dikhawatirkan selama proses perkara ini berlangsung, Tergugat akan memindahtangankan/ mengalihkan harta kekayaannya guna menghindari diri dari kewajibannya membayar ganti kerugian, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 "Akta Kesanggupan", maka Penggugat mohon dengan hormat kepada Pengadilan Negeri Banjarbaru agar kiranya berkenan terlebih dahulu meletakkan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) terhadap harta kekayaan (aset-aset) Tergugat, yang akan penggugat ajukan dalam permohonan tersendiri;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat/alinea ke-2 "Akta Kesanggupan" (vide Bukti P-8), Para Pihak, i.c. Penggugat dan Tergugat telah sepakat untuk memilih tempat kediaman  hukum yang sah  dan umum, pada Kantor Kepanitera Pengadilan Negeri di Kota Banjarbaru ;
Maka oleh karena itu, secara dan menurut hukum Pengadilan Negeri Banjarbaru berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara gugatan ini ;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dengan hormat Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Banjarbaru agar berkenan kiranya untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, dengan memutuskan sebagai berikut :
Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) tersebut ; 
Menyatakan demi hukum, bahwa AKTA KESANGGUPAN PENGEMBALIAN DANA  Nomor : 9, tanggal 15 Juli 2010, yang dibuat  dihadapan Yusuf Rezy Fadillah, S.H., notaris di Kota Banjarbaru ("Akta Kesanggupan") tersebut adalah SAH dan mengikat sebagai undang-undang terhadap Penggugat dan Tergugat ;
Menyatakan demi hukum, bahwa Tergugat telah melakukan Ingkar Janji (Wanprestasi) terhadap Penggugat ;
Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini ;
atau setidak-tidaknya, Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ;
Hormat kami,
Kuasa Penggugat
Popy Nurjanah & Associates
Popy Nurjanah, S.H.
2.5. Sejarah Sistem Peradilan dalam Hukum Acara Perdata
 A.    Sejarah Hukum Acara Perdata dan Peradilan di Indonesia
1.      Zaman Hindia Belanda (1848-1942)
2.      Zaman Jepang (1942-1945)
3.      Zaman RIS (1945 dan 1949 dan 1950)
4.      Periode 1950-1959
5.      Periode 5 Juli 1959 s/d 11 Maret 1966 dan sesudah 11 Maret 1966
Badan Peradilan Zaman Hindia Belanda
Menurut SOEPOMO ada lima tatanan peradilan Hindia Belanda, yaitu :
Peradilan Gubernemen
Peradilan Pribumi
Peradilan Swapraja
Peradilan Agama
Peradilan Desa
Peradilan Gubernemen
Peradilan ini merupakan peradilan Pemerintah Hindia Belanda, yang dilaksanakan atas nama Ratu, yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan perkecualian-perkecualian.
Peradilan Gubernemen ini terdiri dari :
Peradilan Gubernemen Bumiputera
Districtsgerecht (Pengadilan Kewedanan)
Regentshapsgerecht (Pengadilan Kabupaten)
§  Landraad
Adalah peradilan tingkat pertama untuk semua perkara perdata dan pidana terhadap orang Indonesia, yang tidak dengan tegas oleh UU dipercayakan pada peradilan lain. Dalam perkara pidana, Landraad merupakan pengadilan tingkat pertama bagi orang Tionghoa dan Timur Asing (TA). Dalam perkara pidana kedudukan orang Tionghoa dan TA sama dengan orang Indonesia.
§   Landgerecht
Landgerecht hanya mempunyai kekuasaan mengadili dalam perkara pidana, dengan tidak memandang kebangsaan terdakwa dalam tingkat pertama dan terakhir terhadap "semua pelanggaran (dan beberapa kejahatan ringan) yang diancam hukuman kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak 500 rupiah"
3.      Raad Van Justitie
4.      Hooggerechtshof
Zaman Jepang
UU No.1 tahun 1942 yang menentukan "bahwa untuk sementara waktu segala UU dan peraturan dari pemerintah Hindia Belanda dahulu terus berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan balatentara Jepang"
Tidak ada perubahan dalam hukum materill, hanya perubahan penyederhanaan sistem peradilan dengan sistem hakim tunggal, menjadi : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja, Peradilan Adat dan Peradilan Militer.
Periode RIS
UU No. 7 tahun 1947 tentang susunan keluasaan MA dan Kejaksaan Agung, UU No.20 tahun 1947 tentang Banding di jawa-madura,dan RBg diluar Jawa-madura dan pembahasan 4 lingkungan peradilan ; umum, agama, adat dan militer
Periode 1950-1959
Menghapus pengadilan khusus,hanya meninggalkan PN yang berkuasa pada tingkat pertama memeriksa,mengadili, UU No.1 tahun 1951 ttg susunan peradilan umum, yaitu PN, PT dan MA
Periode 5 Juli 1959- 11 Maret 1966
Berisi tentang UU No.19/1964 ttg Ket.Pokok kekuasaan kehakiman dan UU No.13 tahun 1965 ttg Pengadilan dalam Peradilan Umum. Kemudian juga menjelaskan 4 lingkungan peradilan, yaitu : Peradilan umum,peradilan agama, peradilan militer, peradilan TUN/ Namun kedua UU tsb memberikan eksekutif dapat intervensi perkara,pengadilan,peradilan, bertentangan dengan UUD'45. Orde baru, Digantikan dgn UU No.14 tahun 1970 ttg Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No.2 tahun Peradilan Umum. Belum ada HaPdt yg berlaku secara Universal,seperti HaPidana (UU No.8/1981)
Sejarah Singkat Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
Untuk mengatahui Sejarah Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia, maka sebelumnya perlu diketahui bahwa Hukum Acara Perdata yang berlaku hingga saekarang belumlah terhimpun dalam sebuah kodifikasi. Herziene Ilandsch Reglement (HIR) merupakan salah satu sumber Hukum Acara Perdata peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku di negara kita hingga kini. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebenarnya berasal dari Inlandsch Reglement (IR) atau Reglement Bumiputera, yang termuat dalam Stb. 1848 Nomor 16 dengan judul (selengkapnya) "Reglement op de uit oefening van de politie de Burgerlijke Rechtspleging en de strafvordering onder de Wanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madura" (Reglement tentang pelaksanaan tugas kepolisian, peradilan perkara perdata dan penuntutan perkara pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura).
Inlandsch Reglement selanjutnya disingkat IR pertama kali diundangkan tanggal 5 April 1848 (Stb. 1848 Nomor 16) merupakan hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers, President Hoogge¬rechtshof (Ketua Pengadilan Tertinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia. Beliau adalah seorang jurist bangsawan kenamaan pada waktu itu. Dasar wewenang Mr. Wichers membuat rancangan IR tersebut adalah Surat Keputusan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen tanggal 5 Desember 1846 Nomor 3 yang memberikan tugas kepadanya untuk merancang sebuah reglement (peraturan) tentang administrasi, polisi, dan proses perdata serta proses pidana bagi golongan Bumi-putera.
Pada waktu itu peraturan Hukum Acara Perdata yang dipakai oleh peng¬adilan yang berwenang mengadili golongan Bumiputera dalam perkara perdata adalah peraturan Hukum Acara Perdata yang termuat dalam Stb. 1819 Nomor 20 yang hanya memuat 7 (tujuh) pasal tentang acara perdata. Dalam menyusun rancangan IR, Wichers mempelajari lebih dahulu terhadap reglement tahun 1819 tersebut dan rencana tahun 1841 yang pernah dibuatnya atas dasar reglement 1819, di mana pada akhir-7 nya ia berpendapat bahwa keduanya (reglement tahun 1819 dan rancang¬an tahun 1841 tersebut) tidak dapat dijadikan dasar untuk menyusun reglement yang akan dikerjakannya.
Dalam waktu yang relatif singkat, belum sampai 1 (satu) tahun tepatnya tanggal 6 Agustus 1847 Mr. Wichers telah berhasil membuat sebuah rencana per¬aturan Hukum Acara Perdata dan Pidana, yang terdiri dari 432 (empat ratus tiga puluh dua) pasal lengkap dengan penjelasan-penjelasannya. Rencana Wichers ini disambut berlainan oleh pihak-pihak yang diminta¬kan pertimbangannya. Ada yang tidak setuju seperti Mr. Hultman yang berpendapat bahwa rencana itu sangat berliku-liku dan terlalu mengikat sehingga perlu disederhanakan. Akan tetapi, keberatan Hultman tidak dapat diterima oleh Hooggerechtshof. Pengadilan Tertinggi ini menilai rencana Wichers itu sebagai suatu kemajuan dibandingkan dengan peraturan tahun 1819. Kemudian, 2 (dua) orang dari Hooggerechtshof menghendaki supaya rencana itu dilengkapi dengan peraturan tentang vrijwaring, voeging, tussenkomst, reconventie, request civiel, dan sebagai¬nya seperti halnya dengan Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering yang sering disingkat dengan Rv atau BRv. Namun, Wichers tidak bersedia untuk mengubah rencananya dengan usul-usul tambahan tersebut, dengan alasan, kalau orang sudah mulai menambah berbagai ketentuan terhadap rencana tersebut, akhirnya akan tidak terang lagi sampai di mana batasnya yang dianggap perlu atau patut ditambahkan itu. Jika demikian, kata Wichers, lebih baik memberlakukan saja hukum acara untuk golongan Eropa terhadap golongan Bumiputera. Kendatipun demikian, Mr. Wichers sedikit banyak rupanya mendekati juga keinginan pengusul-pengusul tersebut. Akan tetapi, dengan pem¬batasan. Sesuai dengan itu ia memuat suatu ketentuan penutup yang ber¬sifat umum. Ketentuan mana setelah diubah dan ditambah kini menjadi pasal yang penting sekali dari HIR, yaitu Pasal 393 yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal mengadili di muka pengadilan bagi golongan Bumi¬putera tidak boleh dipakai bentuk-bentuk acara yang melebihi atau lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam reglement ini.
Namun demikian, Gubernur Jenderal berhak, apabila ber¬dasarkan pengalaman ternyata bahwa dalam hal yang demi¬kian itu sangat diperlukan, setelah meminta pertimbangan Hooggerechtshof, untuk pengadilan-pengadilan di Jakarta, Semarang, dan Surabaya dan lain-lain pengadilan seperti itu yang juga memerlukannya, menetapkan lagi ketentuan lain¬nya yang lebih mirip dengan ketentuan-ketentuan hukum acara bagi pengadilan-pengadilan Eropa.
Akhirnya rancangan Wichers diterima oleh Gubernur Jenderal dan di¬umumkan pada tanggal 5 April 1848 (Stb. 1848 Nomor 16) dengan sebut¬an Reglement op de luit oefening van de politie, de Burgerlijke rechts¬pleging en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Ooster¬tingen of Java en Madura, yang sering disingkat dengan lnlandsch Regle¬ment (IR), yang dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal I Mei 1848. IR ini kemudian disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 Nomor 93 yang diumumkan dalam Stb. 1849 Nomor 63; dan oleh karena dengan pengesahan ini sifat IR menjadi Koninklijk Besluit. Sejak diumumkan pertama kali tanggal 5 April 1848, IR telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan pertama dilakukan pada tahun 1926 (Stb. 1929 Nomor 559 jo. Pasal 496). Perubahan terakhir dilakukan pada tahun 1941 (Stb. 1941 Nomor 44) yang dikatakan sebagai perubahan yang memperbaharui (Herziene) terhadap Inlandsch Reglement, sehingga sejak itulah IR berubah menjadi HIR singkatan dari Herziene Inlandsch Reglement yang berarti Reglement Indonesia yang diperbaharui (yang sering pula disingkat RIB). Sekadar untuk diketahui, bahwa pembaharuan yang dilakukan terhadap IR menjadi HIR pada tahun 1941 itu sebetulnya hanya dilakukan terhadap acara pidana saja, yaitu mengenai pembentukan aparatur Kejaksaan atau Penuntut Umum (Openbaar Ministerie) yang berdiri sendiri, di mana anggota-anggotanya para jaksa yang dulu ditempatkan di bawah pamong praja diubah menjadi di bawah Jaksa Tinggi atau Jaksa Agung. Perubahan IR pada tahun 1941 tersebut sama sekali tidak mengenai acara perdata.
Sejarah Singkat Rechtsreglement voor de Buiten-gewesten (RBg)
RBg adalah singkatan dari Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement untuk daerah seberarang) yang merupakan singkatan pula dari "Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Qewesten buiten Java en Madura", suatu ordonansi yang dibuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 11 Mei 1927 (Stb. 1927 Nomor 227) yang seluruh¬nya terdiri dari 8 (delapan) pasal. Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri mempunyai wewenang untuk membuat peraturan Hukum Acara Perdata bagi daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura ini berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 4 Januari 1927 Nomor 53.
RBg yang dinyatakan Pasal VIII ordonansi tanggal 11 Mei 1927 Nomor 227 mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927, merupakan pengganti peraturan-peraturan Hukum Acara Perdata yang lama yang tersebar dan berlaku bagi daerah-daerah tertentu saja. Yaitu ordonansi-ordonansi bagi daerah-daerah Bengkulu, Lampung, Palembang, Jambi, Sumatra Timur, Aceh, Riau, Bangka, Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, Manado, Sulawesi, Ambon, Ternate, Timor, Bali, dan Lombok (Pasal I ordonansi).
Meskipun pada saat ordonansi tanggal 11 Mei 1927 Nomor 227 itu di¬undangkan, masih ada beberapa peraturan lama yang dinyatakan tetap berlaku bagi daerah tertentu seperti bagi daerah Gorontalo (Pasal IV ordonansi). Kecuali itu masih ada beberapa daerah yang dikecualikan dari berlakunya RBg, seperti daerah Irian Barat bagian selatanRBg yang merupakan lampiran Pasal II ordonansi Tahun 1927 Nomor 227 dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan mencontoh pada HIR dan pasal-pasal Stb. 1867 Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat di bawah tangan dari orang-orang Indonesia (Bumiputera) ditambah dengan sebagian dari BW Buku IV tentang pembuktian. Dengan demikian, apabila pasal-pasal RBg dibandingkan dengan pasal-pasal HIR dan BW, akan terlihat banyak persamaan. Hanya beberapa pasal saja yang berbeda yang disesuaikan dengan keadaan khusus daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura.
Pada zaman pendudukan Jepan di Indonesia, Pemerintah Balatentara Dai Nippon pada tanggal 7 Maret 1942 telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura. Pasal 3 undang-undang ini menyatakan:"Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer. "
Dengan adanya undang-undang ini maka HIR pada zaman Jepang masih tetap berlaku di Indonesia. Untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura, ada badan-badan kekuasaan lain selain Balatentara Dai Nippon, yang tindakan-tindakannya tentang hal ini boleh dikatakan sama. Dengan demikian, pada zaman Jepang, RBg juga masih tetap berlaku di Indonesia. Kemudian, HIR dan RBg masih tetap berlaku sampai Indonesia merdeka (1945) dan terus berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan peralihan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949, dan Undang¬Undang Dasar Sementara 1950. Sejarah HIR dan RBg di atas menunjukkan, kedua hukum acara pening¬galan kolonial Hindia Belanda itu usianya sudah sangat tua, Iebih dari satu setengah abad.
HIR yang berasal dari IR yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848, yang kemudian ditiru dalam menyusun RBg yang berlaku sejak 1 Juli 1927, tentu saja disusun sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia masa itu, yang sebagian besar tidak bisa membaca dan menulis, sehingga bentuk-¬bentuk acaranya sangat sederhana dan tidak formalistis.
BAB IIIPENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pengadilan Negeri merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
3.2. Saran
Sekilas dari pembahasan materi Hukum Acara Perdata. diharapkan para mahasiswa paham dan mengerti tentang aspek dan asas mengenai ketahanan nasional.
Penulis berharap makalah ini dapat membantu bagi mahasiswa dalam memahami aspek ketahanan nasional, dan penulis menyadari kekuarangan dari makalah ini. Di harapkan di kemudian hari makalah ini dapat di sempurnakan lagi agar pembaca dapat memahami lebih lanjut tentang aspek ketahanan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku dan Website
Sudikno Mertokusumo, 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty: Yogayakarta
http://soal-soalpkn.blogspot.de/2015/05/jelaskan-pengertian-pengadilan-negeri.html
http://makalah-update.blogspot.de/2012/12/peradilan-negeri-dan-peradilan-tinggi.html
http://peradilan-di-indonesia.blogspot.de/2012/09/prosedur-beracara-dalam-peangadilan.htmlhttp://rohmanichwani.blogspot.de/2014/09/proses-beracara-di-pengadilan-negeri.html
http://popynurjanah.blogspot.co.id/2013/06/gugatan-wanprestasi.html
http://etnishukum.blogspot.co.id/2012/09/sejarah-hukum-acara-perdata-periode-hir.html


Download Makalah Lengkap Mengenai Hukum Acara Perdata.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca Makalah Lengkap Mengenai Hukum Acara Perdata. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: