Oktober 24, 2016

Makalah Ekonomi Politik Internasional EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL Dengan Studi Kasus: Krisis Moneter 1997 di Thailand Disusun oleh: Chikita Hesa Nova Pratama 125120401111018

Judul: Makalah Ekonomi Politik Internasional EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL Dengan Studi Kasus: Krisis Moneter 1997 di Thailand Disusun oleh: Chikita Hesa Nova Pratama 125120401111018
Penulis: C. Nova Pratama II


Makalah Ekonomi Politik Internasional
EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL
Dengan Studi Kasus: Krisis Moneter 1997 di Thailand

Disusun oleh:
Chikita Hesa Nova Pratama125120401111018
Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya Malang
2014
DAFTAR ISI TOC \o "1-3" \h \z \u DAFTAR ISI PAGEREF _Toc387082858 \h 2LATAR BELAKANG PAGEREF _Toc387082859 \h 3Rumusan Masalah PAGEREF _Toc387082860 \h 4Tujuan PAGEREF _Toc387082861 \h 4PEMBAHASAN PAGEREF _Toc387082862 \h 5Integrasi Tatanan Moneter dan Finansial Global PAGEREF _Toc387082863 \h 5Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 PAGEREF _Toc387082864 \h 5Pasca PDI: Akhir Globalisasi? PAGEREF _Toc387082865 \h 6The Bretton Woods Order PAGEREF _Toc387082866 \h 8Embedded liberalism PAGEREF _Toc387082867 \h 8Runtuhnya Gold Standard dan Masa Depan Dolar PAGEREF _Toc387082868 \h 10From Adjustable Pegs to Exchange Rates PAGEREF _Toc387082869 \h 13Globalisasi Pasar Finansial PAGEREF _Toc387082870 \h 16Politik Nasional dan Pasar Internasional PAGEREF _Toc387082871 \h 18Perubahan Konteks Global PAGEREF _Toc387082872 \h 19Sifat dan Ragam Krisis Keuangan Internasional PAGEREF _Toc387082873 \h 21Resiko dan ketidakpastian PAGEREF _Toc387082874 \h 21Pencegahan Krisis PAGEREF _Toc387082875 \h 22Manajemen dan Resolusi Krisis PAGEREF _Toc387082876 \h 25A New Global Architecture PAGEREF _Toc387082877 \h 26KESIMPULAN PAGEREF _Toc387082878 \h 29KRISIS MONETER 1997 DI THAILAND PAGEREF _Toc387082879 \h 30DAFTAR PUSTAKA PAGEREF _Toc387082880 \h 33
BAB I
LATAR BELAKANGSistem finansial dan moneter internasional memerankan peran utama dalam ekonomi politik global. Sejak akhir abad ke-19, keberadaan sistem ini telah melalui beragam transformasi akibat perubahan ekonomi dan politik yang sering terjadi, baik di level domestik maupun internasional.
Kompleksitas sistem finansial dan moneter, baik di level domestik maupun internasional sangat menarik untuk dipelajari. Kebijakan politik dan ekonomi dari negara-negara di seluruh dunia yang beragam dapat memengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh sirkulasi modal di seluruh dunia.
Atas dasar inilah, makalah ini membahas tentang bangaimana awal abad ke-20 menjadi saksi terbentuknya integrasi politik global yang pertama. Situasi ini bertahan hingga sebelum PDI, dan pada masa interwar, banyaknya krisis yang terjadi menyebabkan sistem lama kembali berganti. Kemenangan Amerika Serikat dan Inggris pada PDII juga melahirkan sebuah rezim moneter terbesar sepanjang masa, yakni Bretton-Woods System. Bagaimanapun, kondisi politik yang berubah drastis setelah PDII pada akhirnya membawa Bretton-Woods pada keruntuhannya, sekalipun hingga kini, warisan Bretton-Woods seperti IMF dan World Bank masih menjadi fitur kunci aktivitas finansial dan moneter hingga detik ini.
Selain itu, makalah ini juga membicarakan tentang bagaimana krisis ekonomi mampu merubah wajah dunia secara drastis, dan bagaimana kondisi ekonomi di masa depan dapat diprediksi dengan melihat bagaimana kondisi ekonomi di dunia terjadi di masa kini.
Makalah ini juga menyediakan studi kasus yang telah disusun sedemikian rupa untuk membantu pembaca dalam mengidentifikasi konteks-konteks finansial dan moneter yang terjadi dalam skema ekonomi politik internasional, sehingga pembaca dapat memahami materi yang disajikan dalam makalah ini dengan lebih mudah.
Rumusan MasalahBagaimana sejarah ekonomi politik dunia berubah dari awal terbentuknya hingga kini?
Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi kondisi finansial dan moneter, baik di level domestik maupun internasional?
Bagaimana krisis moneter dan finansial di seluruh dunia bisa terjadi?
Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ekonomi Politik Internasional.
Mengetahui kompleksitas faktor-faktor yang memengaruhi perubahan ekonomi dan politik dalam sektor finansial dan moneter.
Memahami esensi krisis finansial dari berbagai dimensi dan bagaimana masa depan ekonomi dan politik internasional, terutama dalam konteks finansial dan moneter, bisa berlanjut.

BAB II
PEMBAHASANIntegrasi Tatanan Moneter dan Finansial GlobalAkhir abad ke-19 dan awal abad ke-20Di era ini, arus moneter antar negara meningkat secara dramatis. Sebagian arus ini terdiri atas pergerakan modal jangka pendek sebagai respon atas perbedaan tingkat bunga pada pusat-pusat keuangan di seluruh dunia, sedangkan sisanya adalah ekspor modal jangka panjang dari negara-negara berkuasa di Eropa ke belahan bumi lainnya. Inggris Raya, misalnya, mengekspor modal jangka panjang yang sangat besar setelah tahun 1870. Jumlahnya bahkan melebihi ekspor negara-negara kreditor manapun hingga hari ini (James 2001: 12). Di masa ini, jumlah negara berdaulat yang masih sedikit menciptakan highly integrated monetary system yang berdasarkan pada gold standard. Pada 1914, mata uang semua negara-negara merdeka serta koloninya dihubungkan oleh gold standard yang sama, menghasilkan tingkat pertukaran yang stabil. Ketika perebutan koloni semakin memanas setelah tahun 1870, banyak negara imperial yang terus meningkatkan sirkulasi mata uang mereka di koloni-koloni yang berhasil mereka taklukkan (Helleiner 2003; chs 6, 8). Hal ini dilakukan untuk mempermudah transaksi ekonomi antar blok moneter.
Pada masa ini, terdapat dua monetary union yang membuat mata uang negara-negara anggotanya dapat disalurkan pada satu sama lain:
Latin Monetary Union, 1865 (beranggotakan Perancis, Swiss, Belgia dan Italia)
Scandinavian Monetary Union, 1873 (beranggotakan Swedia dan Denmark; Norwegia kemudian bergabung pada 1875).
Pasca PDI: Akhir Globalisasi?Perang Dunia I membawa perubahan yang sangat drastis pada tatanan finansial dunia yang pada awalnya terlihat tidak akan pernah berganti. Setelah 1919, arus finansial antarnegara berkurang secara dramatis dan banyak negara yang meninggalkan sistem gold standard dan memilih kurs mengambang yang ditetapkan oleh mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran pada bursa valuta asing.
Setelah PDI, usaha-usaha yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Inggris untuk mengembalikan rezim moneter sebelum perang berjalan sukses pada awalnya. Di awal tahun 1920-an, banyak negara yang kembali menggunakan gold standard dan arus modal jangka pendek dan panjang juga berlanjut dalam skala besar. Namun, pada awal tahun 1930-an, krisis finansial global memicu keruntuhan gold standard, mengisyaratkan apa yang disebut Harold James (2001) sebagai 'the end of globalization'. Setelah masa ini, sistem finansial dan moneter global terpecah menjadi serangkaian blok-blok dan union yang bersifat tertutup, dimana proses sirkulasi modal dan pinjam-meminjam tetap berlangsung di dalam blok tersebut. Arus modal antarblok menjadi terbatas, dan seringkali terhalang oleh rezim capital control yang ketat.
Hegemonic Stability vs. Distribusi Kekuasaan Plural
Distribusi kekuasaan dianggap sebagai salah satu pemicu transformasi rezim finansial dan moneter, sehingga muncullah teori hegemonic stability sebagai penyebab pergerakan rezim finansial dan moneter sejak lama. Menurut teori ini, kestabilan ekonomi sebelum PDI ada karena kepemimpinan Inggris dalam arena finansial dan moneter. Sebelum PDI, mata uang Inggris, sterling, dianggap sama bagusnya dengan emas dan digunakan di seluruh dunia sebagai mata uang global. Inggris juga menjadi kreditor sekaligus financial market terbesar di dunia pada masa itu. Ekspor modal Inggris membantu menyeimbangkan neraca pembayaran global. Bahkan ketika Inggris sedang dirundung resesi, peminjaman global justru meluas, memberikan kompensasi bagi negara-negara yang penjualannya menurun pada pasar Inggris. Pada masa PDI, Inggris juga disebut-sebut menjadi pemimpin stabilisasi pasar melalui perannya sebagai kreditor.
Sayangnya, setelah PDI berakhir, Inggris kehilangan perannya sebagai pemimpin. Amerika Serikat menggantikan Inggris sebagai kreditor utama dalam aktivitas finansial dunia, dan US Dollar menggantikan sterling sebagai mata uang yang paling banyak digunakan. New York juga menggantikan London sebagai pusat finansial internasional. Sayangnya, politik isolationism Amerika Serikat serta kecenderungannya untuk lebih berfokus pada ekonomi domestik membuat Amerika Serikat 'menolak' menjadi hegemonic power pada masa ini. Hasilnya, gold standard menjadi tidak stabil dan pada akhirnya pun runtuh.
Hegemonic stability dalam masa ini terlihat ketika perkembangan ekonomi Amerika Serikat yang pesat berpengaruh pula pada ekonomi dunia, namun ketika perkembangannya tiba-tiba melambat pada tahun 1928, perkembangan di luar juga ikut berhenti. Keruntuhan ekonomi AS berujung pada krisis neraca pembayaran banyak negara lain yang bergantung pada pinjaman dari Amerika Serikat. AS kemudian memperburuk kondisi mereka dengan menaikkan tarif impor pada tahun 1930 melalui Smoot-Hawley Act. Tidak seperti Inggris, AS menolak untuk menjadi kreditor untuk menstabilkan krisis atau menghapus hutang perang negara lain yang semakin menumpuk.
Setelah teori ini, muncul kritik yang menyatakan bahwa Inggris sebagai pemeran utama dalam ekonomi global pra-PDI dianggap terlalu berlebihan. Distribusi kekuasaan finansial dan moneter pada masa itu dikatakan lebih cenderung plural daripada hegemonis, dengan stabilisasi yang diatur oleh sejumlah bank sentral dari sejumlah negara. Yang lebih penting, transformasi sistem finansial dan moneter pada masa ini lebih disebabkan oleh distribusi kekuasaan kepada banyak pihak, sehingga kestabilannya bergantung pada kestabilan politik dan ekonomi domestik pula. Ide liberal klasik yang berkembang luas pada saat itu membuat banyak pemerintah memajukan kebijakan moneter domestik mereka dengan menjadikan emas sebagai mata uang nasional.
Ketika mata uang suatu negara mendapat tekanan akibat mengalirnya modal keluar yang berlebihan atau defisit perdagangan, otoritas fiskal dan moneter biasanya merespon dengan mengetatkan kebijakan moneter serta mengurangi pengeluaran. Kombinasi metode ini dengan emas sebagai satuan ukuran mata uang mereka memastikan pergerakan modal jangka pendek menjadi stabil dan berimbang. Dengan begitu, kegiatan perdagangan antarnegara juga akan tetap lancar. Sayangnya, konsep ini otomatis menyandarkan nasib ekonomi global yang rapuh pada kondisi ekonomi domestik yang lebih rapuh lagi. Kelas menengah kebawah adalah pihak yang paling dirugikan atas masalah ini, karena mereka memiliki suara yang kecil dalam arena politik. pada masa pra-PDI, banyak bank sentral yang bukan merupakan badan umum. Kepentingan ekonomi wilayah-wilayah koloni atau peripheral juga lebih sering dikontrol oleh kepentingan luar negeri.
Pasca PDI, tatanan politik domestik berubah menjadi lebih independen. Sistem pemilihan umum meluas ke berbagai kelas masyarakat, kekuatan buruh semakin bertumbuh, dan kebijakan ekonomi intervensionist semakin didukung. Tuntutan bagi kebijakan fiskal dan moneter untuk lebih merespon pada kebijakan domestik pun semakin bertambah. Penyesuaian ekonomi internasional dalam sinkronisasi mata uang negara dengan gold standard menurun karena otoritas fiskal dan moneter lebih ditekan untuk memperhatikan kondisi ekonomi dalam negerinya. Kondisi domestik inilah, dan bukannya dominasi Inggris, yang dipercaya sebagai sebab terpecahnya integrasi sistem moneter pada masa interwar.
Adanya peralihan sistem dari fixed exchange rate menjadi kurs terapung juga merupakan penyebab diseintegrasi rezim ekonomi internasional pasca PDI. Adanya Depresi Besar serta krisis global tahun 1931 membuat pemerintah beralih dari gold standard yang menuntut pengaturan yang rumit dan berpindah ke kurs terapung, sehingga kebijakan moneter luar negeri mereka bisa tetap berkembang meskipun mata uang mereka mengalami depresiasi. Dengan ini, masalah finansial dan moneter domestik tetap bisa diatasi. Dan yang terpenting, kurs terapung mampu melindungi sebuah negara dari keadaan ekonomi Amerika yang terjun bebas pada masa itu, karena kontrol modal sebagai prasyarat kurs terapung membuat mereka mampu mengatur arus modal dengan baik. John Maynard Keynes adalah pendukung ekonomi domestik terbesar pada masa ini: Keynes berkata, "let finance be primarily national". (Keynes 1933: 758).
The Bretton Woods OrderEmbedded liberalismPasca PDII, Amerika keluar sebagai pemenang perang sekaligus kekuatan ekonomi yang paling dominan. Pembuat kebijakan AS pun bertekad untuk menjaga posisinya tetap berada paling atas serta mengendalikan tatanan ekonomi multilateral yang lebih bebas daripada sebelumnya. Obyektif yang disebut Ruggis (1982) sebagai 'embedded liberalism' ini juga didukung oleh Keynes, yang menjadi pembuat kebijakan ekonomi di Inggris setelah PDII. AS dan Inggris kemudian membuat cetak biru tatanan finansial dan moneter internasional pasca perang yang kemudian disetujui oleh 44 negara pada konferensi Bretton-Woods pada tahun 1944 (Van Dormael 1978; Gardner 1980).
Dalam konferensi ini, Dolar Amerika menjadi acuan dengan tingkat harga USD 35/ons emas. Melalui pengaturan ini, negara-negara kembali menetapkan gold-dollar standar yang pada awalnya terlihat serupa dengan gold standar yang sebelumnya gagal. Namun, terdapat beberapa karakteristik baru; pertama, negara diperbolehkan menyesuaikan peg mereka sesuai kebutuhan, bukannya dalam satu standar seperti gold standard yang lama. Artinya, negara dapat menukar deflasi domestik yang berbahaya dengan devaluasi nilai tukar mata uangnya. Devaluasi kurang dari 10% dapat dijalankan secara otomatis, sedangkan devaluasi lebih dari nilai tersebut membutuhkan persetujuan IMF yang baru didirikan. Kedua, sekalipun negara menyetujui bahwa mata uang mereka dapat diubah menurut transaksi, mereka memiliki kontrol penuh atas pergerakan modal. Keynes dan Harry Dexter White ingin melindungi pemerintah suatu negara dari pergerakan modal yang ditujukan untuk 'alasan politis' atau menghindari pajak serta aturan legislatif. Kontrol modal juga membuat pemerintah mampu menadakan perencanaan ekonomi makro melalui kebijakan tingkat bunga yang independen.
Pencipta Bretton-Woods System juga mendirikan dua lembaga finansial: International Bank for Reconstruction and Development atau IBRD (sekarang World Bank) dan International Monetary Fund (IMF). Kedua lembaga ini –terutama IMF- mendapat tugas untuk mempromosikan kerjasama finansial dan moneter global. Khususnya, mereka diharapkan mampu menggantikan posisi negara dan pihak swasta lain sebagai kreditor global. IBRD dirancang untuk menyediakan pinjaman jangka panjang bagi rekonstruksi pasca perang, sedangkan IMF dirancang untuk menyediakan pinjaman jangka pendek bagi negara yang perlu menyeimbangkan neraca perdagangan mereka.
Rezim Bretton-Woods berjaya pada tahun 1950-an hingga 1971, dan selama itu IBRD dan IMF tidak menjadi pemain utama seperti harapan Keynes dan White. Namun, banyak badan lain seperti pemerintah Amerika Serikat dan European Payments Union yang berjalan sesua fitur kunci Bretton-Woods, yakni menjadi kreditor publik (juga penyedia fasilitas rekonstruksi dan pengembangan). Hasil dari konferensi Bretton-Woods yang lain, seperti IBRD, IMF serta sistem mata uang yang dapat dirubah masih bertahan hingga sekarang.
Runtuhnya Gold Standard dan Masa Depan DolarPada Agustus 1971, Amerika Serikat (AS) tiba-tiba menghentikan pertukaran US Dollar ke emas, hal ini menandai berakhirnya peran emas sebagai standar untuk mata uang lainnya. Sebernarnya, kejatuhan Gold Standar sudah diprediksi semenjak tahun 1960, dimana Robert Triffin (1960) telah menyoroti ketidakstabilan dolar terhadap emas. Dalam sebuah sistem di mana dolar adalah mata uang cadangan utama, ia berpendapat bahwa likuiditas internasional dapat diperluas hanya ketika Amerika Serikat menyediakan lebih banyak dolar ke seluruh dunia dengan menjalankan defisit neraca pembayaran, namun hal tersebut sangat beresiko. Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk Triffin Paradox ini adalah menciptakan mata uang internasional yang baru yang tidak terikat dengan neraca pembayaran di suatu negara. Pada 1965, AS mendukung ide yang dikeluarkan oleh IMF bahwa ia mampu menciptakan mata uang tersebut dan tetap menetapkan dollar sebagai cadangan utama, kemudian Special Drawing Rights (SDR) dibuat pada tahun 1969 untuk tujuan ini. SDR hanya bisa digunakan oleh otoritas moneter nasional sebagai asset cadangan untuk mengatur ketidakseimbangan pembayaran antarnegara.
Pada tahun 1960an dan setelah 1960an, prediksi yang dikeluarkan Triffin mulai terlihat. Mata uang AS di luar negeri tumbuh lebih besar dibandingkan jumlah emas yang dikeluarkan pemerintah. Di satu sisi, hal ini membawa keuntungan bagi AS: ia mampu mengembangkan dan memperbaiki keuangan eksternal yang defisit dikarenakan perang di Vietnam dan program Great Society (yang menaikkan impor) dengan cara mencetak dollar lebih banyak ke seluruh dunia. Namun di sisi lain, AS dapat secara mudah diserang oleh krisis. Jika semua pemegang dolar tiba-tiba memutuskan untuk mengubah mata uang AS ke emas, AS tidak akan mampu menghadapinya. Namun krisis ini tidak sampai terjadi karena partner perdagangan AS seperti Jerman dan Jepang sepakat untuk tidak mengubah cadangan mereka ke emas. Sedangkan pihak yang tidak suka dengan kebijakan AS—seperti Prancis, menolak kebijakan AS karena ia menganggap hal ini sebagai bentuk hegemoni AS (Krishner 1995: 192-203).
Dalam kacamata para peneliti, jatuhnya standar pertukaran emas menunjukkan turunnya kekuatan AS, dan pendapat lain menyebutkan bahwa kekuatan hegemoni AS dalam sistem moneter internasional dan perubahan yang terjadi merupakan taktik lain untuk menuju keinginan mereka sebagai pemimpin. Ketika pembuat kebijakan AS menghentikan pertukaran dolar ke emas, beberapa memprediksikan bahwa peran dolar sebagai dominan dunia akan tertantang secara cepat, karena dolar dianggap tidak sebaik emas lagi. Namun pada faktanya, peran dolar sebagai pusat dunia terus berlanjut hingga saat ini. Dolar digunakan sebagai penetapan untuk transaksi ekonomi dan meningkatkan perdagangan internasional serta menarik investaasi di seluruh dunia. Beberapa pemerintah asing juga masih menyimpan cadangan uang mereka dalam bentuk dolar dan menetapkan sistem perdagangan dalam dolar dikarenakan perekonomian dan politik mereka masih terikat dengan AS.
Banyak pihak yang tidak setuju bahwa hegemoni mata uang AS yaitu dolar akan terus berlanjut (lihat Helleiner dan Kirshner 2008, 29009a). Beberapa berpendapat bahwa peran dolar saat ini berada dalam masa yang sulit. Defisit fiskal yang besar yang dikombinasikan dengan hutang luar negeri yang terus meningkat memunculkan perhatian yang baru apakah peran dolar akan terus bertahan dalam pasar global. peran dolar sebagai acuan moneter internasional juga dipertanyakan semenjak keterikatan ekonomi dan politik antarnegara terus menurun. Kemudian muncul mata uang yang mengancam keberadaan dolar sebagai hegemoni mata uang, yaitu euro, yen, dan RMB .
Euro (Eropa)
Dalam Henning (1998), salah satu tujuan dibalik diciptakannya euro adalah untuk menyaingi keberadaan dolar. Komisi Eropa pada saat itu selalu mengatakan bahwa euro mampu membawa keuntungan yang "simetris" pada sistem moneter dunia. Dan memaksa AS untuk "lebih sadar atas keterbatasan pembuat kebijakan". Semenjak euro dibuat pada tahun 1999, perannya sebagai tantangan bagi AS tidak begitu signifikan. Salah satu alasannya adalah bahwa pasar uang Eropa tidak semuanya terintegrasi dengan baik dan tidak ada kesamaan pusat seperti yang ada di AS. Pemerintah Eropa juga tidak terlalu tertarik untuk secara aktif memperkuat peran euro secara internasional. Cohen (2003) berargumen bahwa peran euro dalam lingkup internasional telah ditahan oleh pemerintahannya sendiri oleh sebab yang tidak jelas, namun sepertinya terkait struktur pemerintahan yang ada disana dan kredibilitas politik di luar negerinya. Ketidakpastian ini semakin disorot ketika terjadi krisis finansial pada tahun 2007-2010 dimana manajemen krisis di Eropa tidak cukup baik (meninggalkan pemerintah nasional demi menyelamatkan keuangan negaranya sendiri) dan posisi euro yang lemah di negara anggota Eropa sendiri seperti Yunani.
Yen (Jepang)
Ketika Asia mengalami krisis pada 1997-1998, pembuat kebijakan di Jepang tertarik untuk menjadikan yen sebagai mata uang internasional, terutama pada kawasan Asia Timur (Grimes, 2009). Krisis ini menaikkan kepercayaan di Asia Timur pada dolar AS dan pengaruh moneter Jepang yang terbatas terkait tumbuhnya perdagangan dan investasi pada saat itu. untuk menguatkan peran yen dalam skala internasional, pemerintahan Jepang mengeluarkan beberapa inisiatif yang diantaranya mengembangkan pasar uang jangka pendek dan menaikkan peminjaman dalam satuan yen di Jepang (ketika kebanyakan negara menggunakan satuan dolar AS). Internasionalisasi yen kemudian terhenti dikarenakan masalah sistem keuangan Jepang, dan Cina yang menolak ide Jepang sebagai pemimpin moneteer di kawasan. (Katada 2002).
RMB atau renmimbi (Cina)
Ketika Cina muncul sebagai tekanan ekonomi dunia, beberapa mulai berspekulasi apakah mata uang mereka, renmimbi (RMB) akan menggantikan dominasi dolar AS. Spekulasi ini muncul karena pemerintahan Cina tiba-tiba tertarik untuk menginternasionalisasikan RMB sebagai respon atas krisis finansial dunia pada tahun 2007-2010. Namun ketika Cina mulai menurunkan standar dolar AS, Gross Domestic Product (GDP) Cina menurun sebanyak tiga persen. Internasionalisasi RMB tidak berjalan mudah karena mata uang tersebut tidak bernailai tukar, apabila ia bernilai tukar pun, sikap atraktif Cina terhadap mata uangnya akan menghalangi perkembangan keuangan dan perdagangan. Selain itu, tidak seperti AS, usaha Cina untuk menjadi pemimpin moneter global masih tertinggal jauh oleh AS ketika AS lebih dulu menemukan kekuatan industri.
Pemerintahan Cina, seperti sudah menyadari peran AS, mendukung penguatan peran SDR dalam sistem moneter internasional. Maret 2009, gubernur bank sentral di Cina, Zhou Xiaochuan (2009) , mengeluarkan keputusan yang sangat menonjol untuk membuat sistem yang settle antara SDR dengan mata uang yang lain. International Monetary Fund dipercaya mampu mengawasi sistem moneter untuk menjamin efektifitasnya. Ketika pembuat kebijakan yang lain masih ragu atas keputusan Zhou, mereka (pihak Cina) menyadari akan peran IMF terkait krisis global yang membantu negara-negara yang bangkrut pada masa itu untuk memperbaiki sistem ekonomi dan keuangan mereka. Namun SDR masih menunjukkan peran yang tidak seberapa besar dalam sistem moneter internasional.
Seiring dengan masih didominasinya sistem moneter dunia dengan dolar AS, banyak peneliti EPI bepikir, apakah kekuatan dolar AS dapat digantikan dalam waktu kedepan? Apabila peran dolar AS tergantikan, dari sisi AS, ia akan kehilangan prestige sebagai hegemon mata uang, karena ia juga sudah mengeluarkan seignionare sebagai pendapatan bagi pemerintah AS. Penurunan peran dolar AS tentu akan membawa dampak kepada dunia. Akan muncul pertanyaan apakah sistem moneter internasional akan tetap stabil apabila tidak ada kekuatan moneter yang dominan, tentu saja para pendukung teori hegemonic stability beranggapan bahwa dunia tidak akan mampu bertahan tanpa kekuatan moneter yang dominan. Namun David Challeo (1987: ch. 8) beranggapan bahwa moneter internasional itu berdasar pada "pluralistik" atau "balance of power" yang akan membawa stabilitas daripada hanya mengandalkan satu kekuatan yang dominan. Hegemonic Power¸ dalam pandangannya, merupakan bentuk eksploitasi yang nantinya hanya akan melayani kepentingannya sendiri daripada keinginan untuk menstabilkan sistem yang ada.
From Adjustable Pegs to Exchange RatesSetelah sistem Bretton Woods jatuh pada awal 1970an, fitur lain yang muncul adalah adjustable peg system yang dalam perkembangannya dimulai pada tahun 1973, ketika pemerintah mengizinkan mata uang utama di dunia untuk berada di atas nilai vis-à-vis yang lain. Sistem ini diresmikan pada tahun 1978 ketika Article's of Agreement IMF di amandemen sehingga mengizinkan setiap negara untuk bertumpu pada rezim tertentu dalam menetapkan nilai tukar mata uang mereka. Sistem ini berakhir karena meningkatnya arus keuangan internasional, yang membuat pemerintah berfikir bagaimana caranya untuk mempertahankan nilai mata uang mereka. Selain itu, para pembuat kebijakan yang berpengaruh mulai mempertimbangkan keuntungan yang akan didapat dari sistem ini, mengingat Bretton Woods dulu membawa dampak negatif bagi sistem pertukaran uang sebelum Perang Dunia II.
Banyak pihak yang beranggapan bahwa sistem ini membawa dampak baik untuk memfasilitasi penyesuaian terhadap ketidakseimbangan eksternal ketika banyak pemerintah yang tidak menginginkan peraturan standar emas atau gold standard. Ide penggunaan sistem kurs ini tentu saja berakar dan didukung oleh Bretton Woods; pemerintah dapat menyesuaikan penetapan mata uang mereka ketika dalam kondisi yang tidak seimbang. Namun dalam prakteknya, banyak pemerintah menolak untuk melakukan perubahan ini, karena akan memicu kontroversi kebijakan baik domestik maupun luar negeri. Dari sisi positif sistem ini, muncul sisi negatifnya pula. Sistem ini dikatakan dapat memicu ketidakseimbangan ekonomi eksternal daripada adjustments atau penyesuaian, karena memicu ketidakseimbangan mata uang di tiap negara. Hal ini memicu negara-negara yang tergabung dalam G-5 (AS, Prancis, Inggris, Jerman, Jepang) untuk menandatangani perjanjian Plaza yang membuat negara-negara ini bekerjasama untuk membuat dolar AS tidak jatuh dalam arus keuangan yang begitu intens. Hal ini tentu membuat AS memperkuat kebijakan makroekonomi mereka, yang dinilai oleh pakar dari Jerman Barat dan Jepang sebagai usaha AS untuk memperkecil defisit neraca mereka dengan cara membuat perubahan kebijakan di luar negerinya daripada domestiknya.
Koordinasi makroekonomi diantara negara-negara G-5 memunculkan momentum baru, yaitu surplus perdagangan di Asia Timur pada tahun 2000. Cadangan keuangan Cina tumbuh secara drastis dan menjadi yang paling besar di seluruh dunia. Beberapa berpendapat bahwa akumulasi Asia Timur terhadap dolar AS membawa kembali ke zaman 1960an ketika Eropa dan Jepang meningkatkan simpanan dalam bentuk dolar AS untuk mempertahankan nilai kurs mereka. Hal ini membuktikan bahwa sistem Bretton Woods II masih bertahan lama karena ia menyediakan keuntungan ekonomi bagi negara yang berpatisipasi dalam ekonomi Global. Negara di Asia Timur sudah bisa menyokong ekspor mereka melalui industrialisasi, ketika AS masih menambah impor dengan harga murah dan pendapatan asing yang lemah—sebagai dampak cadangan dolar yang besar di negara lain dan defisit fiskal. Pada saat krisis global 2007-2010, AS menyalahkan negara-negara yang memperoleh surplus, terutama Cina dengan alasan Cina terlalu berlebihan dalam menyimpan cadangan dolar AS sehingga menimbulkan krisis.
Negara G-5 ataupun G-7 saat ini sudah tidak bisa lagi dijadikan badan untuk membicarakan ketidakseimbangan global, sehingga IMF muncul sebagai alternatifnya. Pecahnya krisis utang internasional pada awal tahun 1980 segera memberikan IMF kehidupan baru sebagai sebuah lembaga yang berfokus pada manajemen krisis negara-negara miskin (lihat Pauly, Bab 8 dalam buku ini). Tapi IMF juga terlahir kembali untuk kedua kalinya setelah awal 1970-an. Dalam upaya untuk mempertahankan beberapa persamaan dari aturan multilateral atas sistem nilai tukar mengambang baru, IMF diberi mandat baru pada tahun 1976 yaitu 'latihan pengawasan perusahaan atas kebijakan nilai tukar anggota' (dikutip dalam Pauly 1997: 105). Kegiatan 'pengawasan' IMF ini telah sejak menjadi bagian penting dari keseluruhan operasinya. Meskipun IMF berfokus pada konsultasi bilateral, muncul inisiatif untuk mengatasi krisis global dengan mengikutsertakan Cina, Eropa , Jepang, Amerika Serikat , dan Arab Saudi. Beberapa berharap bahwa inisiatif semacam ini akan memungkinkan IMF untuk mengambil peran aktif dalam menghidupkan kembali jenis manajemen nilai tukar multilateral yang ditandai dengan perjanjian Plaza hingga Louvre. Dengan keanggotaan hampir keseluruh dunia , IMF mungkin lebih cocok daripada badan-badan lainnya , seperti G7 atau OECD , untuk meluncurkan inisiatif semacam ini .
Tapi kaum skeptis berpendapat bahwa kemampuan IMF untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah akan sangat terbatas . Bahkan dalam konteks bilateral , saran IMF secara umum memiliki dampak yang signifikan hanya jika IMF berjanji akan memberikan pinjaman. Dengan kata lain, apabila tidak ada "iming-iming" pinjaman dari IMF, sebenarnya kekuatan IMF sangat terbatas.
Meskipun upaya untuk menstabilkan hubungan antara nilai-nilai dari mata uang utama dunia telah dibatasi sejak awal 1970-an, beberapa pemerintah telah menciptakan hubungan moneter yang stabil dalam konteks regional yang lebih kecil dan hal ini terjadi di Eropa. Pada saat Bretton Woods jatuh, sejumlah negara yang tergabung dalam European Community (EC) berusaha untuk menstabilkan nilai tukar di antara mereka sendiri. Upaya-upaya awal yang diikuti dengan penciptaan Sistem Moneter Eropa pada tahun 1979, yang membentuk semacam 'mini-Bretton Woods'. Kemudian pada tahun1999, negara-negara di Eropa sudah berkomitmen untuk menjadi satu kesatuan moneter. Beberapa pembuat kebijakan di Jerman melihat mata uang euro sebagai cara untuk menghidari inflasi. Bank sentral Eropa yang baru juga mempunyai tujuan untuk menstabilkan harga. Ada yang beranggapan bahwa munculnya euro merupakan cara untuk menciptakan stabilitas makroekonomi. Banyak analis juga berpendapat bahwa keputusan untuk membuat euro terkait dengan kesepakatan politik yang lebih luas antara Jerman dan negara Eropa lainnya pada saat Perjanjian Maastricht. Banyak negara-terutama Eropa terutama Prancis tidak mau didominasi sistem moneter Eropa oleh Jerman Bundesbank, dan mereka ditekan untuk EMU sebagai cara untuk mengalirkan pengaruhnya.
Ketika Eropa membentuk satuan mata uang sendiri, banyak Ekonomis yang berpikir apakah hal ini memang mungkin terjadi. Hal ini terkait dengan optimum currency yang menimbulkan kekuatan di region Eropa (dalam kasus euro). Selain Eropa, ternyata ada beberapa kawasan yang membentuk kesatuan (Union) sendiri. Diataranya CFA franc zone yang pembentuknya koloni Prancis di barat dan Afrika, namun tidak membentuk mata uang untuk kawasan mereka sendiri. Mulai tahun 1999, banyak pembuat kebijakan di berbagai kawasan yang mulai memperdebatkan gagasan untuk menciptakan sebuah serikat mata uang yang akan didasarkan pada dolar AS. Dua negara-- Ekuador dan El Salvador-- memperkenalkan dolar AS sebagai mata uang nasional mereka, pada tahun 2000 dan 2001. Negara di Amerika Latin percaya bahwa mata uang AS akan menarik banyak investor karena cenderung stabil. Pada tahun 2003, negara ASEAN ditambah Cina, Jepang, dan Korea Selatan menciptakan pasar obligasi Asia, dimana nantinya akan menambah simpanan mereka dan kemudian diinvestasikan ulang di kawasan mereka.
Globalisasi Pasar FinansialFitur terakhir rezim Bretton-Woods yang telah berhenti sejak awal 1970-an melibatkan tren globalisasi pasar finansial swasta. Perancang Bretton-Woods menciptakan tatanan finansial global dimana pemerintah mampu mengatur arus finansial swasta diluar teritori mereka, dan lembaga internasional memiliki peran utama untuk memberikan kredit jangka pendek dan panjang dalam level internasional. Di masa kini, nampaknya, justru peran-peran pemerintah dan lembaga internasional tersebut malah tertukar.
Pertumbuhan jaringan telekomunikasi yang pesat membuat uang mampu dipindahtangankan secara lebih cepat dan lebih mudah daripada sebelumnya, membuat tingkat pertumbuhan pasar yang amat signifikan. Ekspansi TNC yang pesat pada tahun 1960-an, misalnya, memunculkan tuntutan lebih untuk layanan finansial swasta yang bersifat global. Tren pada tahun 1970-an yang membuat perusahaan swasta mengambil alih kontrol minyak dan gas alam dari pemerintah juga memicu diversifikasi aset, membuat sistem tukar menjadi lebih rapuh setelah keruntuhan rezim Bretton-Woods pada tahun 1971. Namun, pada saat bersamaan, resiko serta biaya untuk aktivitas internasional menjadi lebih rendah dengan adanya currency futures, options, dan swaps. Pada intinya, pemerintah tidak lagi memberlakukan kontrol penuh atas arus modal di dalam dan luar teritorinya.
Langkah pertama atas pertukaran peran ini terjadi ketika pemerintah Inggris mulai mendukung pertumbuhan 'euro-market' di London pada tahun 1960-an, dimana mereka memperbolehkan aktivitas finansial dilakukan menggunakan mata uang asing –terutama US Dollar- tanpa regulasi yang tegas. Setelah pertengahan 70-an, banyak pemerintah yang mulai menghapus sistem kontrol modal mereka. AS dan Inggris memelopori gerakan ini dengan menghapuskan kontrol modal mereka pada tahun 1974 dan 1979. Pada 1990-an, pola hubungan finansial liberal muncul di negara-negara industri maju, memberikan kebebasan bagi aktor-aktor baru dalam aktivitas finansial antarnegara. Negara-negara berkembang juga perlahan-lahan melepas kontrol mereka, dan banyak negara-negara Caribbean yang bahkan menawarkan lingkungan bebas regulasi untuk aktivitas finansial internasional. Tempat-tempat seperti Cayman Islands menjadi salah satu pusat perbankan yang signifikan di seluruh dunia (Palan 2003).
Berkembangnya paham neo-liberal di masa ini menjadi salah satu penyebab perubahan rezim ekonomi. Tidak seperti pemikiran Keynes dan White, neo-liberal percaya bahwa kontrol modal membuat gangguan dalam sistem pasar bebas dan mencegah pengalokasian modal internasional secara efisien. Liberalisasi kontrol modal juga dilihat oleh beberapa pihak sebagai strategi kompetitif sebuah untuk menarik bisnis serta modal swasta kepada mereka (Cerny 1994). Sistem 'euro-market' di London ada untuk membangung ulang status Inggris sebagai pusat finansial internasional. Dukungan pemerintah atas liberalisasi finansial juga dirancang untuk mengamankan posisi finansial New York sekaligus menarik modal asing kepada mereka. Pusat-pusat finansial lain yang lebih kecil juga memberikan zona bebas regulasi sebagai bagian dari strategi pembangunan yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan sekaligus pemasukan bagi pemerintah. Ketika sebuah negara memiliki akses atas pasar keuangan asing dan menjadi lebih 'transnasional', para pembuat kebijakan mengakui bahwa kontrol modal hanya bisa dilakukan dengan cara yang sulit dan keras, serta merugikan bagi ekonomi nasional (Goodman dan Pauly 1993).
Politik Nasional dan Pasar InternasionalKestabilan pasar internasional selalu dipengaruhi oleh keadaan domestik. Sistem demokrasi yang meluas hingga saat ini membuat korelasi yang kuat antara pasar dan tatanan politik. Pada dasarnya sistem keuangan global adalah sistem yang selalu melibatkan aktor-aktor penghutang dan pemberi pinjaman. Kekuatan atau kondisi pasar internasional ditentukan oleh aktor penggerak yang biasa disebut dominator. Itu berarti kondisi pasar internasional bergantung pada kondisi domestik dominator. Politik yang kuat pada sistem internasional biasanya dikorelasikan dengan adanya korupsi sehingga selalu terkait dengan kasus-kasus kemiskinan dan hal-hal yang bersifat negatif. Namun sistem ekonomi dapat dikatakan sebuah konstruksi, maksudnya adalah untuk menentukan kecocokan suatu sistem ekonomi biasanya bergantung pada siapa yang mengatakannya.
Ketidakstabilan pada pasar pasti berdampak pada keadaan sosial masyarakat. Contohnya saat terjadi Great Depression, Amerika Serikat hampir mengalami perang saudara yang cukup intens pada saat itu. Banyak pula fakta lain yang menunjukkan korelasi ekonomi dan sosial yang ada di masyarakat. Pasar yang terjadi secara global pasti juga mempunyai hubungan keadaan sosial masryarakat domestik. Pasar global pada awalnya dibentuk karena depresi atau dampak perang dunia. Dari depresi tersebut, timbullah asumsi untuk menuju kemakmuran bersama. Butuh kesadaran diri dan pengorbanan dari seluruh manusia untuk menciptakan human society yang lebih baik. Namun seiring perkembangan waktu, asumsi tersebut banyak mengalami perubahan. Untuk kelancaran ekonomi politik internasional ditentukan oleh segala kebijakan ekonomi politik domestik. Yang terjadi sekarang adalah ekonomi politik global hanya ditentukan oleh kebijakan ekonomi politik domestik beberapa negara dominator saja. Contohnya adalah Amerika Serikat, dollar adalah mata uang dunia saat ini, jika seandainya Amerika mengubah kebijakan ekonominya mengenai dollar, maka yang terjadi adalah keadaan ekonomi global ikut terkena dampaknya. Tentunya hal tersebut tidak dapat pula lepas oleh politik yang dilakukan untuk terus menerus mengincar kekuasaan yang ada dalam pasar global itu sendiri.
Tetapi tidak ada yang namanya sistem dominasi yang bertahan selamanya. Maksudnya adalah tidak ada sistem kekuatan dunia dalam pasar global yang selamanya dianggap cocok dan benar. Dapat dicontohkan seperti Gold Standard yang dahulu pernah memegang peran penting namun akhirnya runtuh dan digantikan oleh Bretton Woods System. Namun sistem tersebut juga akhirnya runtuh dan digantikan dengan sistem perekonomian global seperti saat ini. Tidak ada yang tahu kapan sebuah sistem akan hancur atau berubah. Yang terlihat sekarang adalah adanya kontrol IMF dan World Bank atas perekonomian global. Hal ini yang membuktikan bahwa negara pemimpin atau dominator akan membangun sebuah sistem untuk mengawasi dan mencegah adanya krisis global. Negara pemimpin juga akan meningkatkan dan membangun sistem regulasi nasional yang akhirnya berdampak pula pada keadaan global.
Kesimpulannya adalah kestabilan pasar global tidak mudah untuk dicapai. Keadaan pasar global akan selalu diperngaruhi oleh kestabilan sistem domestik masing-masing negara. Namun pada dasarnya selalu ada dominasi dalam sistem dunia sehingga keadaan pasar global secara garis besar selalu dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi politik dominator. Dengan adanya sistem perekonomian global, hubungan antar negara menjadi sangat penting tetapi sulit untuk mencapi kestabilan politik secara menyeluruh.
Perubahan Konteks GlobalEkonomi politik internasional telah tumbuh seiring berjalannya waktu. Setiap tahap yang dilalui pasti melalui perubahan-hingga saat ini. Yang terjadi sekarang tentu bisa dikatakan berbeda dengan apa yang ada di masa lalu. Dahulu negara-negara sangat menutup dirinya. Setiap negara bekerja secara individual dan memaksimalkan sumber dayanya sendiri. Tentu aktor yang berperan pada saat itu adalah negara, semua kebijakan akan bergantung apa yang diputuskan oleh pemerintah dalam negara. Pada saat itu negara lebih cenderung berlomba-lomba mencari kekuatan tanpa melakukan interaksi satu sama lain. Namun krisis akhirnya banyak terjadi di tiap negara karena negara tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Perekonomian dunia turun drastis pada saat itu ditambah keadaan perang yang semakin mendesak.
Akhirnya muncul konsep keterbukaan untuk saling berinteraksi antar negara. Sistem perekonomian dunia muncul untuk menjadi titik koordinasi negara satu dengan negara lain. Dapat dicontohkan dengan adanya Gold Standard dan Bretton Woods System. Kedua sistem tersebut pernah menjadi aturan yang dianut oleh dunia dan menjadi patokan perilaku antar negara. Namun pada saat itu kondisi masih sedikit sulit karena negara-negara masih sulit untuk membuka diri. Baik negara maju dan negara berkembang masih enggan untuk membuka diri karena trauma perang yang pernah terjadi.
Setelah Bretton Woods System runtuh dan Gold Standard benar-benar ditinggalkan pada tahun 1970an, itulah awal perekonomian modern. Mulai saat itu, suatu negara mempunyai kontrol masing-masing atas nilai dari mata uangnya. Hal tersebut dibantu oleh IMF dan World Bank sebagai sisa dari Bretton Woods System. Dengan mempunya kontrol terhadap diri masing-masing, negara-negara berkembang mulai membuka diri terhadap negara maju dengan harapan dapat memperbaiki perekonomian negara. Fenomena tersebut terlihat mencolok pada akhir tahun 1980an dan awal 1990an. Mulai saat itu setiap negara berusaha untuk memperluas pasarnya hingga lintas batas negara. Timbul kesadaran bahwa arus ekonomi akan tumbuh lebih cepat dengan membuka diri daripada hanya mengandalkan sumber daya domestik.
Tahun 1980an menjadi waktu yang memperlihatkan secara jelas dimana hampir semua negara mengubah arah kebijakan ekonominya yang semula hanya tertutup dalam sektor domestik menjadi keterbukaan terhadap pasar ekonomi global. Muncul aktor-aktor baru yang semula hanya negara menjadi perusahaan-perusahaan multinasional atau bahkan individu. Investasi asing mulai merasuki banyak negara terutama negara berkembang. Di satu sisi hal ini merupakan hal yang menguntungkan kedua belah pihak antara investor dan negara penerima, namun di sisi lain, perekonomian global memaksa suatu negara untuk mengubah cara pandangnya. Kebijakan ekonomi negara yang semula hanya berorientasi secara domestik harus berubah mengikuti perkembangan pasar internasional. Contohnya penyesuaian harga barang, harus mengikuti harga yang sedang berkembang di pasar internasional. Dengan kata lain sistem internasional membuat suatu konsekuensi yang harus diterima oleh setiap negara. Tetapi setiap negara pasti tetap berusaha mempertahankan kekuatan dirinya, akhirnya menimbulkan gesekan antar lintas batas negara dalam sistem perekonomian global.
Pada akhirnya yang timbul adalah dilema antara kedaulatan politik dan ketergantungan ekonomi. Di satu sisi, negara bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhannya, namun di sisi lain negara juga harus menjaga kedaulatan dirinya. Kapitalisme global yang diasumsikan oleh Amerika Serikat membawa efek yang cukup luar biasa pada seluruh negara. Dengan adanya pasar bebas dalam tingkat internasional, negara harus memberikan sedikit kekuasaannya untuk diatur dalam pasar tersebut untuk bertahan hidup. Ditambah dengan aktor ekonomi tidak lagi negara, melainkan bermunculan aktor-aktor lain seperti MNC, TNC, dan individu. Negara seperti hanya formalitas sebuah batas wilayah. Namun pada dasarnya kedaulatan politik tetap penting dalam perekonomian global untuk menjaga kestabilan domestik dan internasional. Keadaan perekonomian global saat ini yang didominasi oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat akan membawa bahaya jika masing-masing negara tidak dapat mempertahankan kedaulatannya. Kestabilan internasional pasti berkaitan erat dengan kestabilan domestik. Kondisi sekarang ini menunjukkan kedaulatan yang terus-menerus didesak oleh arus globalisasi ekonomi, oleh karena itu politik domestik harus berusaha keras untuk tetap mempertahankan batas-batasnya.
Sifat dan Ragam Krisis Keuangan InternasionalHarga merupakan Instrumen keuangan utama dalam mulainya krisis keuangan. Harapan pelaku pasar seketika berubah-ubah sehingga menimbulkan gucangan pasar, dan pihak-pihak pasar berusaha dengan cepat untuk menyesuaikan kedudukan mereka. Pada umumnya, para pemegang saham terburu-buru untuk mencairkan saham mereka dan menjual aset yang mereka harapkan terdepresiasi nilai, serta membeli aset yang mereka harapkan dapat naik nilainya. Seperti halnya di setiap pasar yang permintaan cepat menyusut dan pasokan cepat mengembang, harga aset yang tidak diinginkan menurun.
Resiko dan ketidakpastianSebenarnya ekonomi kapitalis beristirahat di atas fondasi utang. Meminjam dan meminjamkan bahan bakar pertumbuhan ekonomi. Pada prinsipnya, klaim keuangan agregat diciptakan oleh interaksi dari konsumen, produsen, penabung, dan investor dalam suatu perekonomian yang nyata, asalkan dapat diharapkan pendapatan masa depan melebihi dari pembayaran utang di masa depan. Untuk mendapatkan informasi karna kita tidak bisa mengetahui masa depan, maka perlu dilibatkannya integrasi pasar karna pendapatan masa depan selalu tidak pasti yang dapat menimbulkan resiko dalam ekonomi. Risiko dapat dinilai, dikurangi, dan dikelola.
Memperdalam hubungan keuangan akan membawa masalah yang tidak dapat dihindari, solusi untuk membutuhkan aksi yang kolektif. Hanya ada beberapa jenis peraturan kolaboratif yang dapat memberikan keyakinan peserta bahwa pasar akan bekerja dalam jangka panjang untuk kepentingan semua. Pada awal abad kedua puluh satu, struktur peraturan koperasi masih rapuh. Jelas sekali bahwa para pelaku memiliki kepentingan dalam bekerja sama untuk memastikan stabilitas sistemik. Tapi mereka juga termotivasi untuk bersaing dengan satu lain dan lebih peduli pada lokal. Dalam struktur pasar keuangan kontemporer, informasi asimetri dianalisis oleh para ekonom dan kekuatan asimetri dianalisa oleh para ilmuwan politik tumpang tindih.
Timbulnya krisis finansial internasional pada tahun 1870-1914, sejarawan ekonomi menggambarkan bagaimana ekspansi pasar keuangan yang berjalan dengan cepat (Flandreau dan Zumer 2004). Meskipun hanya beberapa negara yang terlibat, akan tetapi berdasarkan beberapa ukuran skala internasional intermediasi keuangan jauh melebihi apa pun yang telah berkembang sejak saat itu. Setelah tahun 1919 krisis perbankan semakin meningkat, begitu pula krisis mata uang ketika nilai tukar kembali dipatok. Krisis mata uang terus berlanjut dan mengganggu, yang muncul dari Perang Dunia Kedua. Usaha yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu untuk menang sehingga dapat memastikan stabilitas keuangan internal tidak berhasil dalam mengurangi kejadian krisis perbankan. Krisis perbankan menjadi fakta kehidupan ekonomi internasional.
Pencegahan KrisisTidak ada pasar keuangan modern dapat bertahan dalam waktu yang lama tanpa standar umum yang dipahami oleh semua aktor. Pada tingkat yang paling dasar, informasi keuangan harus dapat disepakati dan dimengerti. Akuntansi, audit, dan aturan perizinan membentuk landasan dasar. Landasan tersebut tidak terjadi secara spontan. Beberapa aktor harus membuat aspek-aspek kolektif seperti untuk penetapan standar, ajudikasi, reformasi, dan pada akhirnya, penegakan aturan. Bahkan pasar ilegal sekalipun, jika ingin bertahan maka harus membutuhkan seseorang untuk memberikan persyaratan minimal tersebut.
Di pasar ilegal, menurut definisi, aspek-aspek kolektif tersebut dibuat oleh pembuat aturan hukum yang mengikat. Untuk memastikan, otoritas tertinggi dapat mendelegasikan tanggung jawab untuk mendefinisikan dan mempromosikan standar teknis di berbagai pasar keuangan dunia. Tapi semua pasar kontemporer yang legal hukum pada standar dan prosedur penegakan bergantung dengan otoritas pemerintah dalam satu bentuk atau lain. Bahkan bank sentral yang sekarang berlabel konvensional 'independen', seperti Bank Central Eropa, memperoleh otoritas mereka dari pengaturan konstitusi atau perjanjian antarnegara. Pencegahan krisis dimulai di sini. dibangun di atas kepercayaan pada ketahanan jangka panjang pasar.
Krisis keuangan internasional mengekspos ambiguitas yurisdiksi dan tumpang tindih. Tetapi mereka biasanya diikuti dengan langkah-langkah pencegahan yang baru, langsung atau tidak langsung didukung oleh otoritas politik. Namun, tindakan tersebut belum diikuti dengan pembentukan penetapan standar global yang tidak ambigu atau badan global yang mampu memberikan penegakan hukum. Perbatasan pasar mengintegrasikan diri melintasi batas-batas politik dan hukum yang ditandai dalam analisis akhir oleh badan-badan antar pemerintah dan dibebankan dengan negosiasi pemahaman lintas-perbatasan bersama pada standar yang tepat beserta penegakannya (Bryant 2003).
Mempertimbangkan kemungkinan yang selalu ada bahwa bank bisa gagal dalam sistem pengaturannya dan membahayakan sistem keuangan secara keseluruhan, pemerintah seharusnya mempertahankan kemampuan baik untuk masuk ke dalam aset nasional untuk menyimpannya atau memungkinkan untuk melikuidasi dalam aset tersebut. Sedangkan bank itu sendiri dapat memperluas operasi internasional mereka dan bekerjasama dengan mitra asing dalam batas kerjasama yang umum guan pendekatan umum pengelolaan keadaan darurat.
Seperti pada sektor perbankan melalui pengaturan standar, mendefinisikan tanggung jawab penegakan hukum, dan menghindar dari kewajiban resmi menjadi lebih rumit karena hambatan fungsional dan geografis yang telah ada sepanjang era pasca-1970. Menciptakan garis pemisah yang jelas antara kepentingan publik dan risiko pribadi menjadi tugas yang tidak mudah lagi
Menuju tahun 1980-an, arena utama di mana regulator keuangan berusaha untuk mengkoordinasikan penetapan standar dan penegakan kegiatan mudah untuk diidentifikasi. Negosiasi bilateral antara regulator nasional dan bank sentral adalah sesuatu yang baru. setelah dampak dari "Herstatt fallout" menyebar secara global melalui pasar valuta asing, interaksi tersebut menjadi multilateral melalui klub gubernur bank sentral yang diselenggarakan di bawah naungan kelembagaan BIS (Bank for International Settlement). Komite Basel pada pengawasan perbankan terkait dengan BIS secara teknis melapor kepada gubernur bank sentral utama (disebut dengan G10, sekarang lebih dari sepuluh anggota), tetapi terus menjadi kunci forum penetapan standar untuk lembaga keuangan terbesar yang beroperasi lintas batas nasional. Ini telah menyebabkan eksperimen dengan protokol standar minimum untuk cadangan modal back-up yang akan diselenggarakan oleh bank, dan bekerja sama dengan badan-badan nasional dan regional lainnya untuk meningkatkan transparansi dan efektivitas pengawasan di dalam dan di luar sektor perbankan. Pada tahun 2006, upaya yang paling luas dan rinci untuk memastikan kecukupan modal datang kesepakatan umum disebut Basel II. Dengan persyaratannya, pemberi pinjaman internasional didorong untuk membawa teknik manajemen yang canggih ke dalam inti prosedur pengambilan keputusan internasional dan perhitungan modal yang memadai.
Selama upaya tersebut dapat dicap sebagai strategi yang koheren, upaya kontemporer negara terkemuka dari waktu ke waktu untuk mencegah keruntuhan keuangan sistemik terutama ditandai dengan pembangunan jaringan tambahan. Negara-negara tersebut menyukai koordinasi kebijakan teknis sejauh yang diperlukan untuk mempromosikan integrasi pendalaman pasar keuangan dan untuk memperpanjang proyek dengan aman di luar inti dari sistem. Secara umum, langkah-langkah tersebut akan melemahkan eksperimen global dalam integrasi keuangan seperti manipulasi nilai tukar dan mempertanyakan sistem terbuka perdagangan, investasi, dan produksi yang merupakan alasan utama upaya itu sendiri.
Pada akhirnya, kebijakan fiskal dan moneter yang saling berkelanjutan di negara-negara pada inti ekonomi dunia diperlukan untuk integrasi keuangan internasional agar dapat berhasil. Stabil, pertumbuhan yang berkelanjutan dalam ekonomi riil inflasi yang rendah, dan pemerataan kemakmuran mendefinisikan tujuan seperti itu. Semua orang dapat menikmatinya, tidak ada yang keberatan dengan hal itu, dan prinsip-prinsip yang mendukung itu sempurna. Baru-baru ini, masalah yang dominan dalam ekonomi makro global yang meremehkan upaya untuk mencegah krisis keuangan lintas-perbatasan telah berkembang pesat menjadi ketidakseimbangan dalam giro dari negara-negara perdagangan utama. Singkatnya, Amerika Serikat telah mengimpor terlalu banyak, menyimpan terlalu sedikit, dan bergantung pada kebutuhan pembiayaan pada arus masuk modal dari Cina, Jepang, Jerman, dan juga dari banyak negara berkembang.
Manajemen dan Resolusi KrisisNegara yang menghadapi krisis mata uang dianalogikan sebagai sebuah perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajibannya. Krisis dapat terjadi akibat pengeluaran secara berlebihan yang dilakukan pemerintah, impor yang berlebihan, ataupun hutang dari swasta yang tidak mampu dibiayai pemerintah dalam negeri. Kondisi ini mungkin saja memotivasi pemerintah untuk meningkatkan produksi. Namun konsekuensi yang biasanya terjadi adalah inflasi. Inflasi mata uang lokal mendorong naiknya kewajiban dari mata uang asing.
Para peneliti dari masa 1945 menganggap ketidakstabilan sistem ekonomi merupakan alasan terjadinya perang. Dalam Bretton Woods, mereka mengambil langkah pertama untuk merancang mekanisme yang membatasi kedaulatan negara-negara yang terlibat dalam sistem mendapatkan diri mereka terdorong ke kegagalan dari hutang mereka. Dari tahun 1945 sampai saat ini negara-negara kreditor dan lembaga keuangan swasta merancang dan mendesain ulang kapal perang dengan diplomasi. Bank-bank internasional dan lembaga-lembaga resmi yang memberikan kredit ekspor secara informal mengorganisir diri mereka dalam kelompok-kelompok untuk mengelola peraturan tersebut.
Selama tahun 1980-1990an, krisis yang mampu menggoyahkan sistem internasional terjadi di pasar negara berkembang, seperti krisis yang menimpa Asia tahun 1998. Dampak yang ditimbulkan dari krisis Asia sangat benar-benar dirasa oleh Indonesia. Indonesia saat itu menjadi salah satu negara yang merasakan dampak paling parah akibat krisis yang terjadi dan pemulihan dari krisis ini dianggap sangat lambat. Beberapa penyebab Indonesia merasakan dampak yang besar akibat krisis karena hutang luar negeri swasta pada saat itu sangat tinggi dan umumnya berjangka pendek sehingga menciptakan kondisi ketidakstabilan dalam negeri. Selain itu banyak diantara hutang swasta tersebut tidak dilandasi dengan kelayakan ekonomi, melainkan mengandalkan koneksi politik dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan.
IMF yang merupakan organisasi yang bergerak di bidang keuangan di bawah naungan PBB mengeluarkan kebijakan untuk memberikan bantuan kepada negara-negara yang terkena krisis pada saat itu. dalam upayanya, IMF melakukan beberapa kebijakan, diantaranya memperkuat pengawasan terhadap negara-negara anggotanya, membantu memperkuat kinerja pasar finansial dengan menjadi technical assistance, secepatnya memberikan policy advice saat krisis itu muncul, dan membantu untuk menjamin bahwa tidak ada negara yang akan termaginalisasikan dari pasar globalsehingga negara dapat fokus untuk mengurus kondisi krisis negaranya.
Negara-negara besar dalam sistem dihadapkan dengan tiga pilihan dasar setiap kali suatu negara atau lebih tidak mampu membayar hutang mereka kepada kreditor, yaitu:
Negara adidaya tidak dapat berbuat apa-apa, namun hal ini akan beresiko pada menyebarnya krisis ke negara-negara lainnya dan tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi sistem domestik mereka juga.
Mereka dapat melakukan intervensi langsung dengan cara menyediakan pembiayaan yang memadai dari sumber daya mereka ke negara yang bermasalah, dan bekerja secara langsung untuk mengatasi penyebab permasalahan.
Yang terakhir, mereka dapat melakukan intervensi, namun tidak secara langsung. Biasanya hal ini lebih murah dan melalui lembaga lainnya.
Dalam praktiknya, pilihan yang ketiga sering menjadi pilihan paling menarik, kecuali untuk kasus yang menimpa negara-negara berkembang yang masih lemah ataupun negara yang masih terisolir. Untuk negara yang memiliki masalah hutang besar dan luas dianggap mampu mengganggu sistem secara keseluruhan.
A New Global ArchitecturePerdebatan penting yang menjadi kunci utama setelah krisis di akhir Tahun 1990-an ini menimbulkan banyak teori dan pratek manajemen baru dalam penanganan krisis serta resolusi pada pasar negara berkembang, khususnya seputar penanganan pengurangan kebutuhan bagi negara paling konsumerisme dimana yang terlalu banyak bergerak lincah (Tirole 2002; Eichengreen 2003; Roubini and Setser 2004). Setelah Perang Dunia II, dimana seseorang dapat merasakan terbukanya jendela dunia yang baru, dimana negara seharusnya dapat memberikan seiris kedaulatan mengenai moneter mereka, atau mungkin fiskal, serta kedaulatan pada instansi yang mengikat. Hal ini menimbulkan pemikiran bagaimana jika globalisasi kapitalisme dapat terbentuk. Jika integrasi keuangan semakin erat seperti secara kolektif yang bahkan mengorbankan kedaulatan fiskal dan moneter, maka negara-negara yang berkonfrontasi, logisnya akan mengkoordinasikan kebijakan serta instrumen mereka. Sehingga mereka akan memiliki satu tujun untuk mencegah atau paling tidak, mengelola dan menyelesaikan krisis keuangan yang akan terjadi di masa depan. Untuk inilah, mengapa krisis keuangan internasional biasanya lebih sulit untuk ditangani daripada krisis di dalam negeri karena adanya perbedaan hukum dan kebijakan pada masing-masing negara.
Beberapa dasar dari leverl koordinasi ini tercantum dalam manajemen krisis. Proposal mengenai manajemen krisis (seperti yang ada pada sub-bab sebelumnya) secara konvensional, dibagi menjadi tiga kategori, yakni unilateral, multilateral, dan supranasional (Eichengreen 2002; chapter 3 dan 4; Bryant 2003, chapter 8.10, dalam Pauly, 2007). Pada unilateral, kedua pandangan konservatif percaya jika penyebab krisis di negara berkembang secara umum bersumber pada pengekangan pasar dan prinsip kedaulatan negara tersebut. Ketika krisis terjadi diatur oleh investor yang "kurang beruntung" yang terjebak dalam kerugian, dan dikontrol oleh pemerintah pemilik hutang dengan modal resiko yang dimiliki. Kreditor swasta dan debitur akhirnya dibiarkan untuk bekerja sendiri di luar aturan mengenai re-strukturiasasi hutang yang mendorong perubahan rezim nilai tukar nasional.
Pada tahun-tahun setelah Krisis Asia dan Argentina, banyak yang mendukung mengenai kontrol modal, peraturan supranasional, atau radikal bebas pasar yang secara pasang-surut pula dalam pandangan publik. Perdebatan kebijakan berlanjut dalam mekanisme yang efektif untuk menyusun kembali hutang yang tidak terurus pada negara-negara berkembang. Kemudian hingga ancaman berikutnya muncul dengan langkah praktis, dimana negara-negara maju akan terus menekan yang menjadi kapitalisme dunia ekonomi serta globalisasi keuangan swasta. COntohnya industrialisasi pada Asia Timur yang berusaha membatasi resiko terkait dengan membangun struktur regional, yang berelebihan untuk moneter nasional negara-negara penerima bantuan luar negerinya nanti. Dan bertambahlah kemiskinan. Atau contoh lain seperti World Bank dan IMF yang memberi kucuran dana dan terus bergerak mencari saldo politik yang stabil di antara mereka yang beragam keanggotaan, sehingga cukup untuk mendukung reformasi kebijakan ekonomi di pemerintahan domestik mereka (Truman 2006; Woods 2006, dalam Pauly, 2007). Mungkin, untuk pembangunan pasar, IMF terkadang mengambil peran penting di dalam penyelesaian sebuah krisis. Namun, tidaklah semua bantuan ini adalah sebuah hal yang terkesan positif, bisa saja hal ini adalah kapitalisme global baru yang terselubung.
BAB III
KESIMPULANTerbentuknya rezim-rezim finansial dan moneter sejak akhir abad ke-19 hingga masa kini melibatkan sebuah konstelasi rumit atas faktor-faktor yang muncul dari berbagai tingkatan pemerintah hingga internasional. Namun, keterkaitan yang erat antara faktor-faktor ini jugalah yang membuat rezim-rezim serta regulasi finansial dan moneter bisa ada dan berjalan untuk mengatur aktivitas ekonomi, bahkan kebijakan politik suatu negara dengan negara lain.
Keberadaan sistem finansial dan moneter juga membuat krisis ekonomi di dunia yang anarkis ini tidak terhindarkan. Namun, dunia selalu bisa menemukan cara untuk bangkit dari krisis finansial yang menimpa mereka. Tentu saja, sekalipun sistem pasar bebas ala liberalis menjadi sistem yang dianut tatanan ekonomi global saat ini, pemerintah atau negara juga tetap memiliki peranan besar sebagai pembuat kebijakan yang dapat melangkahi otoritas aktor internasional manapun.
KRISIS MONETER 1997 DI THAILANDDi antara negara-negara berkembang di seluruh dunia, Asia Tenggara telah mengalami keberhasilan ekonomi paling baik dalam beberapa dekade terakhir. The ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) memiliki kinerja ekonomi yang baik. Dalam dekade terakhir, tingkat pertumbuhan tahunan ASEAN-5 telah meningkat mendekati 8%. Pendapatan per kapita telah meningkat sepuluh kali lipat di Korea, lima kali lipat di Thailand, dan empat kali lipat di Malaysia selama 30 tahun terakhir. Selain itu, tingkat pendapatan per kapita di Hong Kong dan Singapura sekarang melebihi pendapatan di beberapa negara industri. Asia menarik hampir setengah dari total pemasukan modal ke negara-negara berkembang (Fischer, 1998).
Pertumbuhan ekonomi yang dialami negara Asia Tenggara tampak tidak dapat dihancurkan—sampai tahun 1997. Pada bulan Juli 1997, mata uang dari banyak negara Asia mulai terdepresiasi tajam. Devaluasi mata uang mereka memicu krisis keuangan yang tersebar di seluruh negara-negara Asia. Untuk memahami mengapa Asia bisa jatuh pada saat itu, akar krisis harus ditentukan. Seorang peneliti dapat melacak asal dari gangguan pasar keuangan Asia kembali ke perkembangan ekonomi yang terjadi sejak tahun 1994. "Kondisi di Thailand, negara pertama terpengaruh, sebagai contoh terbaik untuk menggambarkan penyebab dari krisis mata uang baru-baru ini" (Alexander dan Guthrie). Nilai tukar yang tinggi Thailand dan berlebihan belanja adalah dua indikator krisis mata uang terkemuka di negara itu.
Selama periode pembangunan, Thailand mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat yang rata-rata hampir 10% per tahun 1987-1995 (Fischer, 1998). Serupa dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, Thailand memiliki low wage / tenaga kerja bergaji rendah; dengan demikian, Thailand berhasil menarik investasi langsung asing yang signifikan (FDI) untuk membangun pabrik produksi untuk ekspor ke negara maju (Ciminero, 1997). Thailand berlari surplus perdagangan, yang menarik arus masuk modal yang besar. Selain itu, mata uang Thailand (baht) dipatok ke dolar AS, yang berarti bahwa jika dolar AS naik, nilai baht juga naik, dan jika dolar terdepresiasi, baht juga disusutkan.
Thailand cukup menikmati pertumbuhan PDB negaranya. Ini membuat pemerintah Thailand menjadi terlalu percaya pada pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pematokan dolar AS-baht. Pemerintah Thailand mulai melakukan pengeluaran secara berlebihan dan mendorong bank-bank negara itu untuk meminjamkan uang untuk real estate swasta dan pengeluaran lainnya (Ciminero, 1997). Liberalisasi sektor keuangan mendorong perusahaan domestik untuk meminjam secara luas dari negara-negara asing. Perusahaan di Thailand meminjam uang dalam jumlah besar karena ekonomi saat itu sedang baik.
Sebagian besar pinjaman dibuat dalam satuan dolar AS karena suku bunga yang jauh lebih rendah daripada mata uang Thailand. Dengan meminjam uang dari negara di mana tingkat bunga lebih rendah , Thailand diasumsikan akan mendapatkan keuntungan dari hal tersebut . Karena nilai tukar yang dipatok terhadap dolar AS, perusahaan yang tidak sadar dengan hal itu harus menggunakan mata uang baht untuk mengembalikan pinjaman dalam bentuk dolar AS . Karena dolar AS sedang naik , Thailand menjadi kurang kompetitif di pasar dunia dan ekspor bersih menurun .
Total ekspor Thailand menurun sebesar 0,2 % (dibandingkan dengan kenaikan melebihi 20% per tahun di tahun-tahun sebelumnya ) dan kehilangan daya saing dalam produk padat karya ( Sussangkarn , 1998) . Perlambatan pertumbuhan ekspor menyebabkan Thailand harus meninggalkan pematokan terhadap dolar dan mendevaluasi mata uangnya untuk mendorong ekspor. Kerugian pendapatan memunculkan krisis seperti hutang menjadi lebih berat. Besarnya arus modal Thailand menyebabkan utang luar negeri yang besar. Pasar keuangan internasional mulai kehilangan kepercayaannya terhadap ekonomi Thailand. Para investor mulai menjual mata uang baht pada tahun 1997. Baht Thailand mengalami depresiasi dari 25 baht per dolar AS menjadi 55 baht per dolar AS pada awal Januari 1998 (Hill, 1998). Hal ini membuat perusahaan domestik tidak mampu atau harus mengeluarkan biaya lebih untuk membayar hutang luar negeri yang kebanyakan dari sektor swasta—dan mampu memicu kebangkrutan dan pengangguran yang tinggi.
Meskipun muncul spekulasi bahwa simpanan devisa luar negeri Thailan naik dari 16,5 triliun AS pada tahun 1990 menjadi 46,5 triliun dolar AS pada 1996, krisis yang sudah terlanjur terjadi memangkas cadangan luar negeri tersebut. Pada tanggal 2 Juli 1997, setelah menguras cadangan devisa, pasar dunia memaksa Bank of Thailand untuk tidak lagi memperrtahanan baht. Pemerintah mencari bantuan dari IMF (Dana Moneter Internasional) dan bank sentral di Jepang dan Asia (Alexander dan Guthrie). IMF mengeluarkan bantuan moneter untuk membantu Thailand, sebagaimana negara Asia lainnya yang sama-sama menghadapi krisis. Paket IMF difokuskan pada mengembalikan proses devaluasi dengan mengembalikan kepercayaan pada mata uang baht. Thailand membuat mata uangnya lebih menarik dengan menaikkan suku bunga sementara (Fischer 1998) karena kenaikan suku bunga menghentikan depresiasi mata uang Thailand. Suku bunga yang meningkat juga mengurangi pengeluaran di semua sektor sistem ekonomi Thailand yang kemudian mengurangi defisit di Thailand. Namun, dalam jangka pendek, perekonomian Thailand bergoncang kembali karena penurunan di bidang manufaktur dan investasi swasta. Salah satu alasannya adalah suku bunga tinggi yang dikenakan sebagai bagian dari paket penyelamatan IMF. Meskipun nilai tukar Thailand masih rendah, suku bunga yang dinaikkan telah menyelamatkan baht dan menjaga inflasi agar tetap rendah (Hill, 1998).
DAFTAR PUSTAKAAnonim. 2008. Rush on Northern Rock continues (http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/6996136.stm). Diakses pada 1 mei 2014.
Anonim. 2008. Timeline: British Banking Crisis (http://news.sky.com/story/663052/timeline-british-banking-crisis). Diakses pada 1 Mei 2014.
Anonim. 2009. The financial crisis of 2007/2008 and its impact on the UK and other economies (http://archive.learnhigher.ac.uk/resources/files/business%20comm%20awareness/The%20Financial%20Crisis%20and%20its%20Impact%20on%20the%20UK%20and%20other%20Economies.pdf). Diakses pada 1 Mei 2014.
Anonim. 2009. The Credit Crunch: Simple Explanations and Innovative Solutions (http://www.creditcrunch.org/). Diakses pada 1 Mei 2014.
Anonim. 2014. Amerika Kritik China Sengaja Turunkan Nilai Mata Uang (http://www.nabawia.com/read/7273/amerika-kritik-china-sengaja-turunkan-nilai-mata-uang). Diakses pada 2 Mei 2014.
Anonim. 2010. AS Tunda Laporan Kontroversial Mata Uang China (http://www.antaranews.com/berita/228614/as-tunda-laporan-kontroversial-mata-uang-china). Diakses pada 2 Mei 2014.
Arifin, Samsul. Wibisono dan Shinta Sudrajat. 2007. IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Bank Indonesia. Kerangka Kebijakan Moneter – ITF. (http://www.bi.go.id/id/peraturan/moneter/). Diakses pada 30 April 2014.
​Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/9/PBI/2014 tanggal 8 April 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. (http://www.bi.go.id/id/peraturan/moneter/Pages/PBI_16914.aspx). Diakses pada 30 April 2014.
Budiono, Agung. 2010. Perang Dolar Versus Yuan Kian Meruncing (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/10/11/139311--perang-dolar-versus-yuan-kian-meruncing). Diakses pada 2 Mei 2014.
Fischer, Stanley (January 22, 1998) "The Asian Crisis: A View from the IMF", http://www.imf.org/external/np/speeches/1998/ 012298/htm (diakses 4 Mei 2014)
Harinowo, C. 2004. IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca IMF. Jakarta: PT Gramedia Utama.
Hill, Jonathan D. (March 1998) "Country Risk Analysis: Thailand", http://www.econ.pncbank.com/thailand.htm (diakses 4 Mei 2014)
IMF. 2014. Lending by the IMF (http://www.imf.org/external/about/lending.htm). Diakses pada 4 Mei 2014.
IMF. 2014. Where does the IMF gets its money? (http://www.imf.org/external/pubs/ft/exrp/what.htm#money). Diakses pada 4 Mei 2014.
Kingsley, Patrick. 2012. Financial crisis: timeline (http://www.theguardian.com/business/2012/aug/07/credit-crunch-boom-bust-timeline). Diakses pada 1 Mei 2014.
Lan, Quan B. 2000. Currency Crisis in Thailand. The Park Mace Economist (Online) vol.8 (http://www.iwu.edu/economics/PPE08/quan.pdf). Diakses pada 2 Mei 2014.
Mankiw, Gregory N. 2007. Macroeconomics: 6th Edition. New York: Worth Publisher.
Ravenhill, John. 2011. Global Political Economy (third edition). United States: Oxford University Press.
Sarah John, Matt Roberts and Olaf Weeken. 2008. The Bank of England's Special Liquidity Scheme(http://www.bankofengland.co.uk/publications/Documents/quarterlybulletin/qb120105.pdf). Diakses pada 1 Mei 2014.
Staff. 2014. Short Selling: What Is Short Selling? (http://www.investopedia.com/university/shortselling/shortselling1.asp). Diakses pada 1 Mei 2014.
Tim Peneliti Pusat Kajian Pasifik Universitas Hasanuddin. 1991. Peningkatan/Pengembangan Hubungan Indonesia-ASEAN dengan Negara-negara di Kawasan Pasifik: "Lembaran Negara Republik Indonesia," (http://www.sjdih.depkeu.go.id). Diakses pada 4 Mei 2014.
Sussangkarn, Chalongphob (January 16, 1998) "Thailand's Debt Crisis and Economic
Outlook", http://www.nectec.or.th/bureaux/tdri/mep_fore.htm (diakses 4 Mei 2014)


Download Makalah Ekonomi Politik Internasional EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL Dengan Studi Kasus: Krisis Moneter 1997 di Thailand Disusun oleh: Chikita Hesa Nova Pratama 125120401111018.docx

Download Now



Terimakasih telah membaca Makalah Ekonomi Politik Internasional EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL Dengan Studi Kasus: Krisis Moneter 1997 di Thailand Disusun oleh: Chikita Hesa Nova Pratama 125120401111018. Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: