Oktober 05, 2016

BUDAYA POLITIK

Judul: BUDAYA POLITIK
Penulis: Aink Uing


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kehidupan politik suatu Negara, Negara tidak lepas dari corak budaya yang ada dalam masyarakatnya. Peran masyarakat dalam kehidupan politik sangat tergantung pada budaya poitik yang berkembang dalam masyarakat untuk dapat mengetahui bagaimana tipe-tipe budaya politik masyarakat Indonesia dan bagaimana peran sertanya dalam pembangunan kehidupan politik di Indonesia.
Setiap hari pasti kita melakukan aktivitas yang tidak lain menonton tv dan membaca majalah maupun koran,tentunya kita pernah menyaksikan secara langsung maupun tidak langsung melalui televise dan media massa lainnya pelaksanaan pemilu, pilkada, demonstrasi, kerusuhan, kampanye partai politik, dan bahkan penculikan-penculikan aktivis-aktivis politik. Pola-pola perilaku tersebut menyangkut kehidupan bernegara, pemerintahan, hukum, adat istiadat dan lainnya yang disebut sebagai budaya politik.
Sebagai warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kita ketahui bahwa politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki. Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan Negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut peraturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Kebijakan-kebijakan umum hanya dapat dilakukan dengan kekuasaan dan untuk memperoleh kekuasaan itulah diperlukan sarana politik yang disebut partai politik.
Kondisi dinamik bangsa Indonesia yang menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalur kan konflik sampai pada penyelesaian dalam bentuk kesepakatan (konsensus),sistem ini membantu pembentukan identitas bersama,hubungan kekuasaan,legitimasi kewenangan dan hubungan politik dan ekonomi.dari dalam untuk menjamin identitas, integrasi, kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan mencapai tujuan nasional. Sistem ini juga berfungsi memelihara keseimbangan antara konflik dan consensus,arti nya dengan ada nya sistem ini apabila terdapat perbedaan-perbedaan pendapat,persaingan, ataupun pertentangan antar individu,juga menekan kan pada consensus total tidak hanya dengan terinduktrinasi ideology saja,tetapi juga menganut dari berbagai Negara termasuk eropa timur dan Asia.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang:
Pengertian Budaya Politik.
Ciri-ciri Budaya Politik.
Macam-macam (Tipe-tipe) Budaya Politik.
Pengertian Partai Politik.
Fungsi Partai Politik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Partai Politik.
Tujuan Penulisan
Makalah ini juga bertujuan untuk menbuat penulis dan pembaca dapat:
Mengetahui dan memahami Pengertian Budaya Politik.
Mengetahui dan memahami Ciri-ciri Budaya Politik.
Mengetahui dan memahami Macam-macam (Tipe-tipe) Budaya Politik.
Mengetahui dan memahami Pengertian Partai Politik.
Mengetahui dan memahami Fungsi Partai Politik.
Mengetahui dan memahami Faktor-faktor yang mempengaruhi Partai Politik.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Budaya Politik
Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama   : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti   orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan   Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari    sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem   politik.
Kedua      : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga      : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan  dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
Ciri-ciri Budaya Politik
Budaya politik adalah nilai-nilai yang berkembang dan dipraktikan oleh suatu masyarakat tertentu dalam bidang politik. Ciri-ciri dari budaya politik adalah
Adanya pengaturan kekuasaan
Proses pembuatan kebijakan pemerintah
Adanya kegiatan dari partai-partai politik
Perilaku dari aparat-aparat negara
Adanya budaya politik menyangkut masalah legitimasi
Adanya gejolak masyarakat  terhadap kekuasaan yang memerintah
Menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat
Ciri-ciri Umum Budaya Politik di Indonesia
Rusadi Kantaprawira memberikan gambaran tentang ciri-ciri budaya politik Indonesia, yaitu:
Konfigurasi subkultur di Indonesia masih beraneka ragam. Keanekaragaman subkultur ini ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (character building).
Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak. Masyarakat bawah masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya. Hal tersebut disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, serta ikatan primordial. Sedangkan kaum elit politik sungguh-sungguh merupakan merupakan partisipan yang aktif. Hal tersebut dipengaruhi oleh pendidikan modern.
Sifat ikatan primordial yang masih berurat berakar yang dikenal melalui indikator berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu, puritanisme dan nonpuritanisme, dan lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.
Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial. Sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap objek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.
Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
Macam-macam (Tipe-tipe) Budaya Politik
Berdasarkan sikap yang di tujukan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap "militan" atau sifat "tolerasi".
Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
Budaya politik toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
Budaya politik yang memiliki mental absolute
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
Budaya politik yang memiliki mental akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
Berdasarkan orientasi politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
Budaya politik parokial (parochial political culture)
yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
Budaya politik kaula (subyek political culture)
yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
Budaya politik partisipan (participant political culture)
yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
Pengertian Partai Politik
Partai politik merupakan organisasi politik yang dapat berperan sebagai penyalur aspirasi masyarakat, dimana partai politik menjadi penghubung antara penguasa dan kuasaan. Adanya partai politik membuat rakyat dapat terlibat secara langsung dalam proses penyelenggaraan negara dengan menempatkan wakilnya melalui partai politik. Secara umum partai politik dikatakan sebagai suatu kelompok yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama, yang berusaha memperoleh kekuasaan melalui pemilihan umum.
Pengertian partai politik dalam UU No. 31 Tahun 2002 pasal 1 (1) adalah:
"Organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum".
Ramlan Surbakti mendefinisikan partai politik sebagai : "Kelompok anggota yang terorganisasikan secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun". (Surbakti, 1992:116)
Inu Kencana dkk, mengemukakan definisi partai politik sebagai : "Sekelompok orang-orang memiliki ideologi yang sama, berniat merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan untuk memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level negara". (Kencana dkk, 2002:58)
Sigmun Neuman seperti yang dikutip oleh Miriam Budiardjo dalam bukunya "Partisipasi Politik dan partai Politik" mengemukakan definisi partai politik sebagai berikut : "Partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuasaan-kekuasaan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas". (Neuman dalam Miriam Budiardjo, 1998:16-17)
J. A. Corry dan Henry J. Abraham mengungkapkan pendapatnya tentang partai politik seperti yang dikutip oleh Haryanto dalam bukunya "Partai Politik Suatu Tinjauan Umum", yaitu : "Political party is a voluntary association aiming to get control of the government by filling elective offices in the government with its members (Partai politik merupakan suatu perkumpulan yang bermaksud untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan dengan cara menempatkan para anggotanya pada jabatan-jabatan pemerintahan)". (Corry dan dalam Haryanto, 1984:9)
Dari berbagai definisi di atas, dapat dilihat bahwa tujuan utama partai politik adalah menguasai pemerintahan sehingga mereka dapat lebih leluasa melaksanakan keinginan-keinginan mereka serta mendapatkan keuntungan. Partai politik berbeda dengan gerakan (movement). Suatu gerakan biasanya menggunakan politik untuk mengadakan suatu perubahan terhadap suatu tatanan yang ada dalam masyarakat, bahkan ada yang sampai ingin menciptakan tatanan masyarakat yang benar-benar baru. Partai politik memiliki tujuan yang lebih luas dari sekedar perubahan, partai politik juga ikut mengadu nasibnya dalam pemilihan umum.
Partai politik juga berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau yang lebih dikenal dengan kelompok kepentingan (inters group).Kelompok kepentingan hanya bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan tertentu dengan mempengaruhi pembuat keputusan. Kelompok kepentingan biasanya berada di luar partai politik, yaitu berasal dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
Fungsi Partai Politik
Fungsi utama partai politik adalah mencari dan memperrtahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang berdasarkan ideology tertentu. Ada pandangan yang berbeda secara mendasar mengenai partai politik di Negara yang demokratis dan di negara yang otoriter. Perbedaan pandangan tersebut berimplikasi pada pelaksanan tugas atau fungsi partai di masing-masing Negara. Di Negara demokrasi partai relative dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga Negara untuk berpartisipasi dalam mengelolah kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasa. Sebaliknya di Negara otoriter, partai tidak dapat menunjukkan harkatnya, tetepi lebih bahwa menjalankan kehendak penguasa.
Berikut ini diuraikan secara lebih lengkap fungsi partai politik di Negara-negara demokratis, otoriter, dan Negara-negara berkembang yang berada dalam transisi ke arah dekokrasi. Penjelasan fungsi partai polituk di Negara otoriter akan di paparkan dalam contoh partai-partai Negara-negara komunis pada masa jayanya.
Sebagai sarana komunikasi politik
Di masyarakat modern yang luas dan kompeks, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pandapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok yang hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan di gabung dengan pendapat atau aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi di olah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation). Seandainya tidak ada yang mengagregasi dan mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan kesimpang siuran dan benturan dikurangi. Agregasi dan artikulasi itulah salah satu fungsi komunikasi partai politik. Setelah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakann. Usul kebijakan ini dimasukkan ke dalam progam atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan atau di sampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public policy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik. Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah keatas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena I satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai pesantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai "pengeras suara". Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan komunikasi politik, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideology sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Akan tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi komunikasi ini, sengaja atau tidak sengaja, menghasilkan informasi yang berat sebelah dan malahan meimbulkan kegelisahan dan keresahan dalam masyarakat. Misinformasi semacam itu menghambat berkembangnya kehidupan politik yang sehat.
Sebagai sarana sosialisasi politik
Dalam ilmu politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi tehadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia adalah bagian dai proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideology, hak dan kewajiban.
Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat menyampaikan "budaya politik" yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan factor yang penting dalam terbentuknya budaya pilitik (political culture) suatu bangsa.
Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi politik M. Rush (1992) : Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali system politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik (political socialization may be depined is the prosess by which individuals in a given society become acquainted with the political system and which to a certain degree determines their perceptions and their reactions to political phenomena).
Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-kanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik, ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik.pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus karder, penataran dan sebagainya.
Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai adalah upaya menciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya. Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggota-anggitanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga Negara dan menepatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Secara khusus perlu disebutkan di sini bahwa di Negara-negara yang baru merdeka, partai-partai politik juga di tuntut berperan memupuk identitas nasional dan integrasi nasional. Ini adalah tugas lain dalam kaitannya dengan sosialisasi politik. Namun, tidak dapat disangkal adakalanya partai mengutamakan kepentingan partai atas kepentingan nasional. Loyalitas yang diajarkan adalah loyalitas kepada partai, yang melebihi loyalitas kepada Negara. Dengan demikian ia mendidik pengikut-pengikutnya untuk melihat dirinya dalam konteks yang sangat sempit. Pandangan ini malahan dapat mengakibatkan pengotakan dan tidak membantu proses integrasi, yang bagi Negara-negara berkembang menjadi begitu penting.
Sebagai sarana rekuitmen politik
fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan pimpinannya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional. Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik yaitu melalui kontrak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain.
Sebagai sarana pengatur konflik
Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), social-ekonomi, ataupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di Negara yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam Negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik.
Disini paran partai diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partai Politik
Dalam berbagai teori ilmu politik dikenal beberapa faktor yang mempengaruhi survival partai politik.
Pertama, adalah teori mengenai kelembagaan politik. Sebagaimana disinggung oleh Moses Maor, bahwa sebelum partai itu bertahan (persist) maka partai tersebut harus eksis (survive). Hal ini juga diungkapkan oleh Samuel P. Huntington yang membahas mengenai kelembagaan politik menyataka bahwa agar partai politik survive partai tersebut harus memiliki kelembagaan yang kuat. Huntington memberikan definisi mengenai kelembagaan politik sebagai proses di mana organisasi dan prosedur memperoleh nilai baku dan stabil. Huntington mengukur tingkat pelembagaan politik dari tingkat adaptabilitas, kompleksitas, otonomi dan koherensi. Menurutnya, semakin mudah organisasi politik menyesuaikan diri semakin tinggi pula derajat pelembagaannya. Begitu pula semakin banyak tantangan yang timbul dan semakin tua umur organisasi politik, semakin besar pula kemampuannya menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Sejalan dengan teori kelembagaan partai politik di atas, Akbar Tandjung, dalam buku terbarunya memberikan argumen mengenai bagaimana Partai Golkar dapat bertahan (survive). Dalam dua kali Pemilu Partai Golkar berhasil meraih suara yang cukup signifikan dengan bertahan di posisi kedua setelah PDIP pada Pemilu 1999 dengan raihan suara 23.741.749 (22,4%) dan meraih 120 kursi. Selanjutnya Golkar kembali bangkit dan menang pada Pemilu 2004 dengan raihan suara 24.461.104 (21,58%) dan meraih 128 kursi di DPR.
Kelembagaan partai politik, menurut Panebianco, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Huntington. Menurutnya pelembagaan politik lebih erat kaitannya dengan arti pentingnya pemimpin, terutama ketika suatu partai politik tersebut didirikan. Pemimpin, baik yang kharismatik maupun yang tidak, memiliki peranan penting dalam menyampaikan ideologi yang anut, menetapkan basis sosial organisasi, memetakan wilayah sasaran, serta menyusun bentuk organisasi politik berdasarkan kemampuan sumber daya yang ada.
Teori dari Panebianco di atas, sebagai counter dari teori Huntington, cocok diterapkan pada fenomena eksisnya Partai Demokrat pada Pemilu 2004 dan juga Pemilu 2009. Di mana peran pemimpin umum Partai Demokrat sekaligus pendiri partai, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sangat besar. Ia menerapkan tipe kepemimpinan yang khas, sehingga kemenangan Partai Demokrat pada pemilu 2009, diidentifikasi salah satu faktornya adalah karena kepempimpinan SBY.
Kedua, adalah mengenai teori kesisteman. Yang dimaksud kesisteman adalah meningkatnya lingkup, kerekatan, dan keteraturan (regularitas) interaksi yang menjadikan partai politik sebagai sebuah struktur. Regularitas mengandung arti rutinitas dan tingkat  pengembangan kebiasaan yang dianggap lazim dan dijadikan pedoman dalam berperilaku dalam organisasi tersebut.
Ketiga, aspek attitudinal dan dimensi internal yaitu yang terkait dengan penanaman nilai (value infusion). Konsep ini merujuk pada sejauh mana aktor-aktor partai politik dan para pendukungnya, memiliki komitmen terhadap partai politik lebih dari sekadar alat atau insentif pribadi atas keterlibatannya. Lebih jauh penanaman nilai ini terkait dengan keberhasilan partai politik dalam menciptakan kulturnya yang khas atau sistem nilai dan dapat dilihat sebagai satu alat perekat partai politik (partai cohesion). Kedua faktor ini dalam praktisnya adalah budaya organisasi yang diterapkan dalam berinteraksi oleh para anggotanya.
Keempat, faktor aspek struktural dan dimensi eksternal yaitu yang terkait dengan persoalan otonomi. Pada tingkat tertentu, otonomi berarti kebebasan organisais dari intervensi dalam menentukan kebijakan partai. Aspek otonomi ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli politik mengingat indikator otonomi dan intervensi yang disebutkan masih bersifat tidak pasti. Sejauhmana disebut intervensi dan sejauh mana saling ketergantungan yang dimaksud.
Kelima, aspek reification, yaitu bagaimana keberadaan partai politik tertanam dalam benak atau imajinasi masyarakat (citra). Sejauhmana keberadaan partai politik dikenali dan diakui keberadaannya di tengah masyarakat. Semakin banyak dikenali maka partai politik tersebut akan menyesuaikan dengan masyarakat tersebut. Reifikasi yang dimaksud adalah sejauhmana partai politik tersebut dikenali di sebuah masyarakat dan menjadi faktor pembentuk perilaku dari aktor-aktor partai tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Budaya politik merupakan perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, peneyelenggaraan administrasi negara.
Tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia ada 3 macam, yaitu budaya politik parokial, budaya politik kaulka, dan budaya politik partisipan.
Budaya politik partisipan perlu di sosialisasikan kepada segenap rakyat agar dapat berperan serta secara aktif.
Sebagai bangsa yang berdaulat, kemampuan menjaga dan melindungi seluruh wilayah Negara dari berbagai ancaman dan gangguan baik berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, tidak dapat dihindari lagi. Pertahanan dan keamanan Negara republic Indonesia silaksanakan dengan menyusun, mengerahkan, menggerakkan serta seluruh potensi nasional, termasuk kekuatan masyarakat diseluruh bidang kehidupan nasional secara terintegrasi dan terkoordinasi.
Saran
Mengingat perlunya kewaspadaan dikalangan para remaja khususnya bagi siswa jangan sekali-kali terjun kepolitik.
Mengingat berbagai resiko yang dapat ditimbulkan tentang politik
Dalam berpolitik sebaikya dilakukan menurut kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang sesuai agar tercipta integrasi nasional. Karena bangsa Indonesia terrdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, dan budaya.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Sujianto. Muhlisin,. (2007). Praktik Belajar Kewarganegaraan. Editor: Friska Liberti. Jakarta. Ganeca Exact.
Bambang S. dan Sugiyarto. 2007. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN  Untuk SMA/MA Kelas XI
Jutmini sri dan Winarno.2006. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Untuk SMA/MA Kelas XI
Tim Edukatif HTS. 2006. Modul Kewarganegaraan Untuk SMA/MA Semester Gasal. Surakarta: Penerbit Hayati Tumbuh Subur
Tim SIMPATI. 2006. LKS SIMPATI Untuk SMA/MA Semester Ganjil. Surakarta: Penerbit Grahadi
http://www.google.co.id/search?q=budaya+politik+partisipan&hl=id&start=10&sa=N


Download BUDAYA POLITIK .docx

Download Now



Terimakasih telah membaca BUDAYA POLITIK . Gunakan kotak pencarian untuk mencari artikel yang ingin anda cari.
Semoga bermanfaat

banner
Previous Post
Next Post

Akademikita adalah sebuah web arsip file atau dokumen tentang infografi, presentasi, dan lain-lain. Semua pengunjung bisa mengirimkan filenya untuk arsip melalui form yang telah disediakan.

0 komentar: